Selasa, 20 Agustus 2013

Memahami Gempabumi Melalui Model Tektonik Lempeng



Isi dan Umur Bumi
Dari studi-studi seismologi dapat diketahui bahwa planet bumi terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: inti-dalam (inner-core), inti-luar (outer-core), mantel-bawah (lower-mantle), mantel-atas (upper-mantle) dan kerak bumi (crust). Para seismolog telah mendeteksi bahwa bagian-bagian tersebut mempunyai sifat fisik yang berbeda-beda, ada yang bersifat cair, kental, ductile (agak renggang) dan kaku (rigid). Jari-jari bumi sekitar 6.370 km dengan keliling sekitar 40.000 km.
Dalam tinjauan sistem tata surya, bumi mengelilingi sumbunya sendiri (terhadap sumbu kutub) sekali dalam sehari-semalam sambil mengelilingi matahari sekali setahun. “Sifat fisik lapisan-lapisan bumi yang berbeda-beda” dan “pergerakan bumi" inilah yang menyebabkan sehingga isi perut bumi menjadi dinamis, tidak statis! Terjadinya gempa tektonik pada kerak bumi adalah salah satu buktinya!
Planet bumi telah berumur 4,5 milyar tahun = 4.500.000.000 tahun = 45.000.000 abad. Bandingkan dengan kelahiran Nabi Almasih Isa Ibnu Maryam As., 20 abad yang lalu …! Atau, kelahiran Nabi Muhammad bin Abdullah SAW 14 abad yang lalu …! Bumi sudah sangat tua …!
Karena dinamis dan umurnya yang sudah sangat tua, maka bentuk awal permukaan bumi sudah jauh berbeda dengan bentuknya yang sekarang. Juga, stabilitas fisik planet ini, mungkin saja … telah menurun…!

Jenis-jenis Gempa
Dalam literatur-literatur berbahasa Inggeris, gempabumi disebut earthquake (gempa = quake, padanannya adalah shock dan seismic). Berbeda dengan gunungapi yang diketahui sumber bahayanya, tetapi “gempa tektonik” tidak diketahui dan tidak tampak oleh manusia. Dengan tiba-tiba saja bumi bergetar dan dengan mendadak pula jatuh korban, baik harta benda maupun jiwa manusia.
Dalam referensi geofisika dan geologi serta ilmu-ilmu kebumian lainnya, disebutkan bahwa ada 3 jenis gempabumi. yaitu:
a.    Gempabumi longsoran (runtuhan). Disebabkan oleh longsoran tanah dan runtuhan goa-goa, baik goa alam maupun goa penambangan. Getarannya bersifat sangat lokal sehingga efeknya tidak berdampak luas.
b.  Gempabumi vulkanik. Disebabkan oleh meletusnya gunungapi. Proses letusannya dan massa material yang dimuntahkan dan jatuh kembali ke bumi menimbulkan getaran, tetapi bersifat lokal sehingga efeknya juga tidak berdampak luas. Yang berbahaya dari letusan gunungapi adalah hawa dan lahar panasnya. Namun demikian, letusan gunungapi yang mengeluarkan material padat yang sangat besar dan jatuh di laut dapat menimbulkan getaran besar dan tsunami, seperti yang terjadi pada letusan Gunung Krakatau pada 1883. Gunung Vesuvius di Italia yang meletus pada 79 SM, sebelum kelahiran Nabi Al Masih Isa Ibnu Maryam As., menggetarkan dan menimbun seluruh bagian Kota Pompey.
c.  Gempabumi tektonik. Disebabkan oleh pergeseran lempeng-lempeng litosfer. Efek getarannya dapat bersifat lokal dan luas, tergantung besarnya energi yang dilepaskan oleh pusat gempanya.

Parameter Gempabumi
Bila terjadi gempabumi, maka dari pusat gempa akan merambat 2 jenis gelombang, yaitu gelombang P (P = primer, sifatnya longitudinal) dan gelombang S (S = sekunder, sifatnya transversal). Perambatan gelombang P lebih cepat daripada gelombang S. Gelombang-gelombang ini akan dideteksi oleh beberapa seismograf yang relatif dekat dengan pusat gempa dan secara otomatis langsung tercatat pada kertas seismogram. Dalam seismogram tersebut yang terlihat hanyalah deretan pulsa, dengan amplitudo dan panjang yang tidak beraturan. Deretan pulsa ini membentuk suatu grafik berbentuk gelombang, yang tidak lain adalah rekaman dari gelombang P dan S. Kadang-kadang terekam pula gelombang-gelombang permukaan, yakni gelombang Love dan gelombang Rayleigh. Gelombang ini berasal dari gelombang P dan/atau S yang tiba di permukaan bumi, kemudian merambat dan dicatat oleh seismograf.
Melalui lembaran seismogram, para staf di Stasion Geofisika, akan menentukan parameter-parameter gempa, seperti: origin time (waktu terjadinya gempa, dinyatakan dalam jam:menit:detik); amplitudo (simpangan maksimum getaran gempa, dengan satuan millimeter); selisih waktu tiba gelombang P dan S (disebut "S - P", baca: S min P); kedalaman hiposenter (kedalaman pusat gempa, dinyatakan dalam kilometer); dan jarak episenter (episenter adalah titik di permukaan bumi yang tegak lurus dengan hiposenter; sedangkan jarak episenter adalah jarak antara episnter dengan stasion geofisika, dinyatakan dalam derajat atau klometer, untuk wilayah khatulistiwa: 1 derajat = 111,5 km).
Dengan cara manual, posisi episenter dapat diketahui melalui perpotongan lingkaran dari minimal 3 buah lingkaran, di mana stasion-stasion geofisika tersebut sebagai pusat lingkaran dan jarak episenter sebagai jari-jarinya. Posisi episenter ini dinyatakan dalam "(bujur,lintang)" atau "(longitude,latitude)" disingkat "(long,lat)". Sedangkan posisi hiposenter dinyatakan sebagai "(kedalaman,bujur,lintang)" atau "(depth,long,lat)". Semua hasil catatan di setiap Stasion Geofisika lokal kemudian dikirim ke BMG Pusat di Jakarta untuk dianalisis lebih lanjut.
Parameter berikutnya adalah magnitudo dan intensitas. Magintudo (dinyatakan dalam skala Richter) menunjukkan besarnya energi yang dilepaskan oleh pusat gempa (hiposenter). Sedangkan intensitas (dinyatakan dalam skala MM, skala MSC, dan lain-lain; di Indonesia, yang banyak digunakan adalah skala MM, singkatan dari Modified Mercalli) menunjukkan tingkat kerusakan yang terjadi di suatu wilayah yang diakibatkan oleh gempa tersebut.
Nilai magnitudo ditentukan melalui analisis S - P, amplitudo dan jarak episenter. Sedangkan nilai intensitas ditentukan dengan meninjau langsung kerusakan yang terjadi di lapangan. Dengan demikian, satu kejadian gempa hanya mempunyai satu nilai magnitudo, sedangkan nilai intensitasnya akan berbeda-beda, tergantung pada jarak dari episenter. Jadi, berdasarkan cara penentuan nilainya, maka magnitudo bersifat kuantitatif, sedangkan intensitas bersifat kualitatif (deskriptif).
Apabila magnitudonya besar, maka efek getarannya juga besar dan dapat menjangkau jarak ribuan kilometer dari pusat gempa. Sedangkan kerusakan dan korban jiwa yang ditimbulkan bergantung pada jarak dari episenter, kondisi dan jenis bangunan, kondisi batuan di mana bangunan tersebut berdiri serta kepadatan penduduk dan waktu terjadinya gempa tersebut.
Dari sekian parameter gempa yang disebutkan di atas, yang sering dijadikan bahan informasi untuk konsumsi umum adalah episenter, hiposentar, magnitudo dan intensitasnya. Tiga parameter yang pertama sangat penting untuk membuat prediksi-prediksi gempa berikutnya.

Model Tektonik Lempeng
Dalam menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi dari inti hingga permukaan dan segala macam proses yang terjadi di dalamnya, para ahli ilmu kebumian mengacu pada model tektonik lempeng. Model yang mulai dikembangkan pada abad ke-19 ini mempunyai cakupan yang luas. Di dalamnya sangat banyak teori yang berdiri sendiri-sendiri secara parsial, yang apabila disatukan akan membentuk model tektonik lempeng. Sebenarnya, model ini masih belum sempurna betul karena masih ada beberapa proses-proses kebumian yang belum dapat dijelaskan dengan baik, terutama yang berkaitan dengan asal mula medan magnet bumi. Tetapi untuk menjelaskan fenomena gempabumi tektonik, model ini sangat sesuai. Mungkin karena masih belum sempurna, sehingga para ahli kebumian belum seluruhnya sepakat untuk menyatakan model tektonik lempeng sebagai teori tektonik lempeng. Beberpa point penting dari model ini:
a.    Permukaan bumi dilapisi oleh sejumlah kecil massa batuan yang relatif kaku (rigid), yang disebut lempeng litosfer. Setiap lempeng ini mempunyai ketebalan yang bervariasi, dari 6 sampai 150 km. Lempeng-lempeng ini tersusun oleh material kerak bumi dan mantel-atas. Batas-batas antar lempeng merupakan zone aktivitas tektonik yang kuat, dan merupakan tempat-tempat terkonsentrasinya gempa tektonik. Bagian tengah lempeng relatif diam secara tektonik, kecuali lempeng di mana Kepulauan Hawaii berada.
b.   Jenis kerak pada bagian atas setiap lempeng menentukan apakah lempeng tersebut adalah lempeng benua, lempeng samudra, atau lempeng kombinasi dari keduanya. Bila keraknya hanya satu lapis (simatic), seperti lempeng Nazca dan Pasifik, maka ia adalah lempeng samudra; bila keraknya dua lapis (sialic + simatic), seperti lempeng Arab dan Iran, maka ia adalah lempeng benua (daratan). Beberapa lempeng lainnya, seperti lempeng Amerika Utara, merupakan lempeng kombinasi, karena keraknya terdiri atas benua dan samudra.
c.  Lapisan dengan material batuannya bersifat ductile disebut astenosfer, dan merupakan pemisah antara litosfer dengan mantel-bawah. Batuan astenosfer sangat rendah rigiditasnya sehingga memungkinkan lempeng-lempeng litosfer yang terletak di atasnya bersifat dinamis.
d. Benua dan samudra seakan-akan sebagai penumpang di atas lempeng-lempeng litosfer yang bergerak. Bila lempeng-lempeng tersebut berubah posisi relatif terhadap yang lainnya, maka distribusi benua dan samudra juga mengalami perubahan, yang berarti bentuk muka bumi berubah pula.
e.    Ada 3 jenis batas lempeng, yang semuanya merupakan tempat-tempat aktivitas tektonik, yaitu: 1) Batas divergen, batas di mana lempeng-lempeng bergerak saling menjauhi. Batas ini tiada lain adalah punggung tengah-samudra (mid-ocean ridge). 2) Batas konvergen, batas di mana lempeng-lempeng saling bertemu. Batas ini bisa berupa zone subduksi, juga bisa berupa zone obduksi. Zone subduksi tidak lain adalah palung laut (trench). Contohnya adalah palung laut Sulawesi. Pada kasus ini, lempeng Laut Sulawesi menunjam ke bawah lempeng Pulau Sulawesi. Pusat gempa pada zone subduksi terletak pada lempeng yang melengkung ke arah mantel, yang disebut zone Benioff.  Peristiwa obduksi adalah kebalikan dari peristiwa subduksi. Wilayah Kalimantan Utara terbentuk melalui proses obduksi. 3) Batas netral, merupakan sesar transform (transform faults), yakni batas di mana 2 lempeng saling berpapasan. Contohnya adalah sesar Palu-Koro. Mungkin, sesar ini merupakan batas antara mendala timur dan mendala barat Pulau Sulawesi. Kedua mendala ini tidak bertemu, tetapi berpapasan, di mana mendala timur bergerak relatif ke arah utara.

Pada batas konvergen dan batas netral terjadi pergeseran antara 2 lempeng, sedang pada batas divergen terjadi pergeseran antara lempeng dengan material kerak bumi yang ada di atasnya. Kaitan antara pergeseran lempeng-lempeng ini dengan kejadian gempa tektonik dijelaskan dalam teori elastic rebound. Menurut H. F. Reid (1906), penggagas teori ini, bahwa "Penyebab gempa tektonik adalah adanya pelepasan energi elastik strain yang tiba-tiba. Energi ini sebelumnya terakumulasi pada bidang lempeng selama proses pergeseran terjadi. Bila pada suatu tempat tertentu, pada lempeng tersebut, fracture strength-nya terlampaui, maka dari tempat tersebut akan lepas seluruh energi yang telah terakumulasi".
Energi yang dilepaskan ini sebagian berubah menjadi energi panas dan sebagian lagi menjadi energi yang berbentuk gelombang elastik atau gelombang seismik. Energi gelombang ini akan menjalar ke segala arah, di dalam bumi dan di permukaan bumi, menggetarkan tanah atau batuan. Getaran inilah yang disebut gempabumi. Gempa ini disebut gempa tektonik, karena proses kejadiannya didahului dengan pergeseran lempeng-lempeng litosfer, sebagaimana yang disebutkan dalam model tektonik lempeng.
Dengan memperhatikan distribusi episenter, yang merupakan batas-batas lempeng litosfer sebagaimana disebutkan di atas, sekarang ini sudah dapat diidentifikasi lempeng-lempeng yang ada, baik yang berukuran raksasa, berukuran sedang, maupun yang berukuran mikro. Ada 8 lempeng raksasa, 3 di antaranya adalah lempeng Pasifik, Eurasia dan India-Australia. Lempeng sedang adalah lempeng Filipina, Cocos, Turki, dan lain-lain. Sedangkan lempeng mikro, yang ada di sekitar Pulau Sulawesi, adalah lempeng Banggai-Sula dan lempeng Tukang Besi.
Dari uraian di atas, berdasarkan model tektonik lempeng, dapatlah diketahui bahwa isi bumi tidaklah statis atau diam, melainkan dinamis! Salah satu bukti nyata tentang kedinamisan ini adalah proses terjadinya gempa tektonik. Lempeng-lempeng yang ada saling bergerak antara yang satu dengan yang lain. Batas-batas lempeng ini merupakan tempat terkonsentrasinya pusat gempa. Khusus pada batas konvergen (zone subduksi), di samping sebagai konsentrasi pusat gempa, juga merupakan konsentrasi gunungapi. Jajaran gunungapi yang ada di Pulau Sumatra dan Pulau Jawa adalah akibat dari subduksi lempeng India-Australia ke bawah lempeng Eurasia. Pada zone Inilah gempa Aceh berpusat. Adapun jajaran gunungapi yang ada di Sulawesi Utara adalah akibat subduksi lempeng Laut Sulawesi ke bawah lempeng Pulau Sulawesi.
Tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh gempa-gempa yang berpusat pada ketiga jenis batas lempeng tersebut berbeda-beda. Gempa yang berpusat pada batas netral umumnya mempunyai daya rusak yang kuat, karena pusat gempanya dangkal (0 - 70 km). Gempa yang berpusat pada batas konvergen mempunyai kedalaman menengah (70 - 300 km) sampai dalam ( > 300 km). Daya rusaknya lemah, karena getaran gempa sudah banyak teredam sebelum sampai ke permukaan bumi. Tetapi pada beberapa kasus, pusat gempanya dangkal, sehingga daya rusaknya kuat, misalnya gempa Aceh, yang juga disusul tsunami. Dan, gempa-gempa yang berpusat pada batas divergen, meskipun pusat gempanya dangkal tetapi daya rusaknya hampir tidak ada. Hal ini disebabkan karena umumnya jarak antara daratan dengan punggung tengah-samudra sangat jauh, maka getaran yang tiba di daratan sudah melemah, bahkan sudah tidak ada.
Hingga saat ini, belum ada ilmu dan teknologi jenis apapun, atau peralatan secanggih apapun, yang dapat memprediksi secara rinci dan akurat: kapan dan di mana lagi akan terjadi gempabumi tektonik, Karena itu, sangatlah diperlukan pemahaman yang baik tentang fenomena ini, sebagai modal awal dalam mencari upaya-upaya preventif dalam menghadapi ancaman gempa tektonik, yang kehadirannya selalu tiba-tiba …… dan …… seringkali menghancurkan ……! Waspadalah …!

Dikutip dari Dosen Fisika, Staf Peneliti PPLH dan Ka. PP BMBA Lembaga Penelitian UNTAD serta Dir. Penelitian LPPS - DAOT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar