Isi dan Umur Bumi
Dari studi-studi
seismologi dapat diketahui bahwa planet bumi terdiri atas beberapa lapisan,
yaitu: inti-dalam
(inner-core), inti-luar (outer-core), mantel-bawah (lower-mantle),
mantel-atas
(upper-mantle) dan kerak bumi
(crust). Para seismolog telah
mendeteksi bahwa bagian-bagian tersebut mempunyai sifat fisik yang
berbeda-beda, ada yang bersifat cair, kental, ductile (agak renggang) dan kaku
(rigid). Jari-jari bumi sekitar 6.370
km dengan keliling sekitar 40.000 km.
Dalam tinjauan sistem
tata surya, bumi mengelilingi sumbunya sendiri (terhadap sumbu kutub) sekali
dalam sehari-semalam sambil mengelilingi matahari sekali setahun. “Sifat fisik
lapisan-lapisan bumi yang berbeda-beda” dan “pergerakan bumi" inilah yang
menyebabkan sehingga isi perut bumi menjadi dinamis, tidak statis! Terjadinya gempa
tektonik pada kerak bumi adalah salah satu buktinya!
Planet bumi telah berumur
4,5 milyar tahun = 4.500.000.000 tahun = 45.000.000 abad. Bandingkan dengan
kelahiran Nabi Almasih Isa Ibnu Maryam As., 20 abad yang lalu …! Atau, kelahiran Nabi
Muhammad bin Abdullah SAW 14 abad yang lalu …! Bumi sudah sangat tua …!
Karena dinamis dan
umurnya yang sudah sangat tua, maka bentuk awal permukaan bumi sudah jauh
berbeda dengan bentuknya yang sekarang. Juga, stabilitas fisik planet ini,
mungkin saja … telah menurun…!
Jenis-jenis Gempa
Dalam literatur-literatur
berbahasa Inggeris, gempabumi disebut earthquake (gempa = quake, padanannya
adalah shock
dan seismic).
Berbeda dengan gunungapi yang diketahui sumber bahayanya, tetapi “gempa
tektonik” tidak diketahui dan tidak tampak oleh manusia. Dengan tiba-tiba saja
bumi bergetar dan dengan mendadak pula jatuh korban, baik harta benda maupun
jiwa manusia.
Dalam referensi geofisika
dan geologi serta ilmu-ilmu kebumian lainnya, disebutkan bahwa ada 3 jenis
gempabumi. yaitu:
a. Gempabumi longsoran (runtuhan). Disebabkan oleh
longsoran tanah dan runtuhan goa-goa, baik goa alam maupun goa penambangan.
Getarannya bersifat sangat lokal sehingga efeknya tidak berdampak luas.
b. Gempabumi vulkanik. Disebabkan oleh meletusnya
gunungapi. Proses letusannya dan massa material yang dimuntahkan dan jatuh
kembali ke bumi menimbulkan getaran, tetapi bersifat lokal sehingga efeknya
juga tidak berdampak luas. Yang berbahaya dari letusan gunungapi adalah hawa
dan lahar panasnya. Namun demikian, letusan gunungapi yang mengeluarkan
material padat yang sangat besar dan jatuh di laut dapat menimbulkan getaran
besar dan tsunami, seperti yang terjadi pada letusan Gunung Krakatau pada 1883.
Gunung Vesuvius di Italia yang meletus pada 79 SM, sebelum kelahiran Nabi Al
Masih Isa Ibnu Maryam As., menggetarkan dan menimbun seluruh bagian Kota
Pompey.
c. Gempabumi tektonik. Disebabkan oleh pergeseran
lempeng-lempeng litosfer. Efek getarannya dapat bersifat lokal dan luas,
tergantung besarnya energi yang dilepaskan oleh pusat gempanya.
Parameter Gempabumi
Bila terjadi gempabumi, maka dari pusat gempa akan
merambat 2 jenis gelombang, yaitu gelombang P (P = primer, sifatnya
longitudinal) dan gelombang S (S = sekunder, sifatnya transversal). Perambatan
gelombang P lebih cepat daripada gelombang S. Gelombang-gelombang ini akan
dideteksi oleh beberapa seismograf yang relatif dekat dengan pusat gempa dan
secara otomatis langsung tercatat pada kertas seismogram. Dalam seismogram
tersebut yang terlihat hanyalah deretan pulsa, dengan amplitudo dan panjang
yang tidak beraturan. Deretan pulsa ini membentuk suatu grafik berbentuk gelombang,
yang tidak lain adalah rekaman dari gelombang P dan S. Kadang-kadang terekam
pula gelombang-gelombang permukaan, yakni gelombang Love dan gelombang
Rayleigh. Gelombang ini berasal dari gelombang P dan/atau S yang tiba di
permukaan bumi, kemudian merambat dan dicatat oleh seismograf.
Melalui lembaran seismogram, para staf di Stasion
Geofisika, akan menentukan parameter-parameter gempa, seperti: origin time
(waktu terjadinya gempa, dinyatakan dalam jam:menit:detik); amplitudo
(simpangan maksimum getaran gempa, dengan satuan millimeter); selisih waktu
tiba gelombang P dan S (disebut "S - P", baca: S min P); kedalaman
hiposenter (kedalaman pusat gempa, dinyatakan dalam kilometer); dan jarak
episenter (episenter adalah titik di permukaan bumi yang tegak lurus dengan
hiposenter; sedangkan jarak episenter adalah jarak antara episnter dengan
stasion geofisika, dinyatakan dalam derajat atau klometer, untuk wilayah khatulistiwa:
1 derajat = 111,5 km).
Dengan cara manual, posisi episenter dapat diketahui
melalui perpotongan lingkaran dari minimal 3 buah lingkaran, di mana
stasion-stasion geofisika tersebut sebagai pusat lingkaran dan jarak episenter
sebagai jari-jarinya. Posisi episenter ini dinyatakan dalam
"(bujur,lintang)" atau "(longitude,latitude)" disingkat
"(long,lat)". Sedangkan posisi hiposenter dinyatakan sebagai
"(kedalaman,bujur,lintang)" atau "(depth,long,lat)". Semua
hasil catatan di setiap Stasion Geofisika lokal kemudian dikirim ke BMG Pusat
di Jakarta untuk dianalisis lebih lanjut.
Parameter berikutnya adalah magnitudo dan intensitas.
Magintudo (dinyatakan dalam skala Richter) menunjukkan besarnya energi yang
dilepaskan oleh pusat gempa (hiposenter). Sedangkan intensitas (dinyatakan
dalam skala MM, skala MSC, dan lain-lain; di Indonesia, yang banyak digunakan
adalah skala MM, singkatan dari Modified Mercalli) menunjukkan tingkat
kerusakan yang terjadi di suatu wilayah yang diakibatkan oleh gempa tersebut.
Nilai magnitudo
ditentukan melalui analisis S - P, amplitudo dan jarak episenter. Sedangkan
nilai intensitas ditentukan dengan meninjau langsung kerusakan yang terjadi di
lapangan. Dengan demikian, satu kejadian gempa hanya mempunyai satu nilai
magnitudo, sedangkan nilai intensitasnya akan berbeda-beda, tergantung pada
jarak dari episenter. Jadi, berdasarkan cara penentuan nilainya, maka magnitudo
bersifat kuantitatif, sedangkan intensitas bersifat kualitatif (deskriptif).
Apabila
magnitudonya besar, maka efek getarannya juga besar dan dapat menjangkau jarak
ribuan kilometer dari pusat gempa. Sedangkan kerusakan dan korban jiwa yang
ditimbulkan bergantung pada jarak dari episenter, kondisi dan jenis bangunan,
kondisi batuan di mana bangunan tersebut berdiri serta kepadatan penduduk dan waktu
terjadinya gempa tersebut.
Dari sekian
parameter gempa yang disebutkan di atas, yang sering dijadikan bahan informasi
untuk konsumsi umum adalah episenter, hiposentar, magnitudo dan intensitasnya. Tiga parameter yang pertama sangat penting untuk
membuat prediksi-prediksi gempa berikutnya.
Model Tektonik Lempeng
Dalam menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan
bumi dari inti hingga permukaan dan segala macam proses yang terjadi di
dalamnya, para ahli ilmu kebumian mengacu pada model tektonik lempeng. Model
yang mulai dikembangkan pada abad ke-19 ini mempunyai cakupan yang luas. Di
dalamnya sangat banyak teori yang berdiri sendiri-sendiri secara parsial, yang apabila
disatukan akan membentuk model tektonik lempeng. Sebenarnya, model ini masih
belum sempurna betul karena masih ada beberapa proses-proses kebumian yang
belum dapat dijelaskan dengan baik, terutama yang berkaitan dengan asal mula
medan magnet bumi. Tetapi untuk menjelaskan fenomena gempabumi
tektonik, model ini sangat sesuai. Mungkin karena masih belum sempurna,
sehingga para ahli kebumian belum seluruhnya sepakat untuk menyatakan model
tektonik lempeng sebagai teori tektonik lempeng. Beberpa point penting dari model ini:
a.
Permukaan
bumi dilapisi oleh sejumlah kecil massa batuan yang relatif kaku (rigid), yang
disebut lempeng litosfer. Setiap lempeng ini mempunyai ketebalan yang
bervariasi, dari 6 sampai 150 km. Lempeng-lempeng ini tersusun oleh material
kerak bumi dan mantel-atas. Batas-batas antar lempeng merupakan zone aktivitas
tektonik yang kuat, dan merupakan tempat-tempat terkonsentrasinya gempa
tektonik. Bagian tengah lempeng relatif diam secara tektonik, kecuali lempeng
di mana Kepulauan Hawaii berada.
b. Jenis
kerak pada bagian atas setiap lempeng menentukan apakah lempeng tersebut adalah
lempeng benua, lempeng samudra, atau lempeng kombinasi dari keduanya. Bila
keraknya hanya satu lapis (simatic), seperti lempeng Nazca dan Pasifik, maka ia
adalah lempeng samudra; bila keraknya dua lapis (sialic + simatic), seperti
lempeng Arab dan Iran, maka ia adalah lempeng benua (daratan). Beberapa lempeng
lainnya, seperti lempeng Amerika Utara, merupakan lempeng kombinasi, karena
keraknya terdiri atas benua dan samudra.
c. Lapisan
dengan material batuannya bersifat ductile disebut astenosfer, dan merupakan
pemisah antara litosfer dengan mantel-bawah. Batuan astenosfer sangat rendah
rigiditasnya sehingga memungkinkan lempeng-lempeng litosfer yang terletak di
atasnya bersifat dinamis.
d. Benua
dan samudra seakan-akan sebagai penumpang di atas lempeng-lempeng litosfer yang
bergerak. Bila lempeng-lempeng tersebut berubah posisi relatif terhadap yang
lainnya, maka distribusi benua dan samudra juga mengalami perubahan, yang
berarti bentuk muka bumi berubah pula.
e.
Ada
3 jenis batas lempeng, yang semuanya merupakan tempat-tempat aktivitas
tektonik, yaitu: 1) Batas divergen, batas di mana lempeng-lempeng bergerak
saling menjauhi. Batas ini tiada lain adalah punggung tengah-samudra (mid-ocean
ridge). 2) Batas konvergen, batas di mana lempeng-lempeng saling bertemu. Batas
ini bisa berupa zone subduksi, juga bisa berupa zone obduksi. Zone subduksi
tidak lain adalah palung laut (trench). Contohnya adalah palung laut Sulawesi.
Pada kasus ini, lempeng Laut Sulawesi menunjam ke bawah lempeng Pulau Sulawesi.
Pusat gempa pada zone subduksi terletak pada lempeng yang melengkung ke arah
mantel, yang disebut zone Benioff.
Peristiwa obduksi adalah kebalikan dari peristiwa subduksi. Wilayah Kalimantan
Utara terbentuk melalui proses obduksi. 3) Batas netral, merupakan sesar
transform (transform faults), yakni batas di mana 2 lempeng saling berpapasan.
Contohnya adalah sesar Palu-Koro. Mungkin, sesar ini merupakan batas antara
mendala timur dan mendala barat Pulau Sulawesi. Kedua mendala ini tidak
bertemu, tetapi berpapasan, di mana mendala timur bergerak relatif ke arah
utara.
Pada batas konvergen dan batas netral terjadi
pergeseran antara 2 lempeng, sedang pada batas divergen terjadi pergeseran
antara lempeng dengan material kerak bumi yang ada di atasnya. Kaitan antara
pergeseran lempeng-lempeng ini dengan kejadian gempa tektonik dijelaskan dalam teori
elastic rebound. Menurut H. F. Reid (1906), penggagas teori ini, bahwa
"Penyebab gempa tektonik adalah adanya pelepasan energi elastik strain
yang tiba-tiba. Energi ini sebelumnya terakumulasi pada bidang lempeng selama
proses pergeseran terjadi. Bila pada suatu tempat tertentu, pada lempeng
tersebut, fracture strength-nya terlampaui, maka dari tempat tersebut akan
lepas seluruh energi yang telah terakumulasi".
Energi yang dilepaskan ini sebagian berubah menjadi
energi panas dan sebagian lagi menjadi energi yang berbentuk gelombang elastik
atau gelombang seismik. Energi gelombang ini akan menjalar ke segala arah, di
dalam bumi dan di permukaan bumi, menggetarkan tanah atau batuan. Getaran
inilah yang disebut gempabumi. Gempa ini disebut gempa tektonik, karena proses
kejadiannya didahului dengan pergeseran lempeng-lempeng litosfer, sebagaimana
yang disebutkan dalam model tektonik lempeng.
Dengan memperhatikan distribusi episenter, yang
merupakan batas-batas lempeng litosfer sebagaimana disebutkan di atas, sekarang
ini sudah dapat diidentifikasi lempeng-lempeng yang ada, baik yang berukuran
raksasa, berukuran sedang, maupun yang berukuran mikro. Ada 8 lempeng raksasa,
3 di antaranya adalah lempeng Pasifik, Eurasia dan India-Australia. Lempeng
sedang adalah lempeng Filipina, Cocos, Turki, dan lain-lain. Sedangkan lempeng
mikro, yang ada di sekitar Pulau Sulawesi, adalah lempeng Banggai-Sula dan
lempeng Tukang Besi.
Dari uraian di atas, berdasarkan model tektonik
lempeng, dapatlah diketahui bahwa isi bumi tidaklah statis atau diam, melainkan
dinamis! Salah satu bukti nyata tentang kedinamisan ini adalah proses
terjadinya gempa tektonik. Lempeng-lempeng yang ada saling bergerak antara yang
satu dengan yang lain. Batas-batas lempeng ini merupakan tempat
terkonsentrasinya pusat gempa. Khusus pada batas konvergen (zone subduksi), di
samping sebagai konsentrasi pusat gempa, juga merupakan konsentrasi gunungapi.
Jajaran gunungapi yang ada di Pulau Sumatra dan Pulau Jawa adalah akibat dari
subduksi lempeng India-Australia ke bawah lempeng Eurasia. Pada zone Inilah gempa Aceh
berpusat. Adapun jajaran gunungapi yang ada di Sulawesi Utara adalah akibat
subduksi lempeng Laut Sulawesi ke bawah lempeng Pulau Sulawesi.
Tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh
gempa-gempa yang berpusat pada ketiga jenis batas lempeng tersebut
berbeda-beda. Gempa yang berpusat pada batas netral umumnya mempunyai daya
rusak yang kuat, karena pusat gempanya dangkal (0 - 70 km). Gempa yang berpusat
pada batas konvergen mempunyai kedalaman menengah (70 - 300 km) sampai dalam (
> 300 km). Daya rusaknya lemah, karena getaran gempa sudah banyak teredam
sebelum sampai ke permukaan bumi. Tetapi pada beberapa kasus, pusat gempanya
dangkal, sehingga daya rusaknya kuat, misalnya gempa Aceh, yang juga disusul
tsunami. Dan, gempa-gempa yang berpusat pada batas divergen, meskipun pusat
gempanya dangkal tetapi daya rusaknya hampir tidak ada. Hal ini disebabkan
karena umumnya jarak antara daratan dengan punggung tengah-samudra sangat jauh,
maka getaran yang tiba di daratan sudah melemah, bahkan sudah tidak ada.
Hingga saat ini, belum ada ilmu dan teknologi jenis
apapun, atau peralatan secanggih apapun, yang dapat memprediksi secara rinci
dan akurat: kapan
dan di mana lagi akan terjadi gempabumi tektonik, Karena itu, sangatlah
diperlukan pemahaman yang baik tentang fenomena ini, sebagai modal awal dalam
mencari upaya-upaya preventif dalam menghadapi ancaman gempa tektonik, yang
kehadirannya selalu tiba-tiba …… dan …… seringkali menghancurkan ……! Waspadalah
…!
Dikutip dari Dosen Fisika, Staf
Peneliti PPLH dan Ka. PP BMBA Lembaga Penelitian UNTAD serta Dir. Penelitian LPPS
- DAOT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar