Dewasa ini sumberdaya alam
dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat eksploitasi yang berlebihan
dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati secara ekonomi dapat
meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain dapat menimbulkan ancaman kerugian
ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih,
banjir, longsor, dan sebagainya. Salah satu akibat dari kelangkaan tersebut adalah
pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang kini mulai bergeser dari SDA darat kearah
pemanfaatan SDA pesisir dan laut.
Indonesia merupakan negara
kepulauan (archipelago state) yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia
(61.000 km). Kita juga memiliki wilayah laut yang sangat luas di mana terdapat
tiga macam wilayah perairan berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional,
yaitu perairan laut teritonial, zone ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen.
Sehingga wajar apabila sekarang ini wilayah pesisir dan laut Indonesia merupakan
sasaran dan harapan baru dalam memenuhi kesejahteraan rakyatnya.
Beralihnya pemanfaatan SDA
pesisir dan laut tidak hanya didasarkan pada alas an kekayaan SDA tersebut yang
kita miliki. Melainkan ada alasan lain dimana sepanjang 2-3 dasawarsa terakhir
ini, pengelolaan sumberdaya di darat telah menimbulkan degradasi lahan, hutan,
dan air serta kerusakan lingkungan yang mengancam kelestariannya. Bukan
mustahil, apabila ke depan wilayah pesisir dan laut Indonesia juga akan
mengalami nasib sama seperti di darat, karena pengelolaannya yang kurang baik.
Gejala-gejala ke arah sana, sesungguhnya sudah mulai nampak saat ini. Kasus di Teluk
Buyat, penambangan pasir di Riau, pendangkalan Sagaraanakan, dan sebagainya merupakan
bukti-bukti yang dapat kita saksikan sebagai bentuk kerusakan lingkungan di
wilayah pesisir dan laut.
Hakekat Pesisir dan Laut
Sebelumnya coba kalian
pahami terlebih dulu tentang pengertian-pengertian yang berkenaan dengan
pesisir, pantai, dan laut. Sering ada kerancuan terutama antara istilah pantai
yang disamaartikan dengan pesisir. Padahal keduanya memiliki pengertian berbeda.
Pantai (shore atau beach, dalam bahasa Inggris) adalah kenampakan alam yang menjadi
batas antara wilayah yang bersifat daratan dengan wilayah yang bersifat lautan.
Wilayah pantai dimulai dari titik terendah air laut pada saat surut hingga arah
ke daratan sampai batas paling jauh gelombang atau ombak menjangkau daratan.
Tempat pertemuan antara air
laut dengan daratan tadi dinamakan dengan garis pantai (shore line). Garis
pantai ini setiap saat berubah-ubah sesuai dengan perubahan pasang-surut air
laut. Bentuk pantai ada yang landai dan ada pula yang terjal (cliff). Sedangkan
pantai yang berpasir disebut gisik (sand beach) dan pantai yang berlumpur disebut
(mud beaach). Sementara pesisir adalah suatu wilayah yang lebih luas dari pada
pantai. Wilayahnya mencakup wilayah daratan yang masih mendapat pengaruh laut
(pasang-surut, suara deburan ombak, rembesan air laut di daratan) dan wilayah
laut sejauh masih mendapat pengaruh dari darat (aliran air sungai dan
sedimentasi dari darat). Menurut Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL), batas wilayah pesisir ialah daerah yang masih ada pengaruh
kegiatan bahari dan sejauh konsentrasi permukiman nelayan.
Laut adalah
sekumpulan air yang sangat luas di permukaan bumi yang memisahkan atau menghubungkan suatu benua
atau pulau dengan benua atau pulau lainnya. Umumnya perairan laut merupakan massa air asin dengan kadar garam cukup
tinggi (rata-rata 3.45%). Laut merupakan
bagian dari samudera. Samudera adalah bentangan air asin yang menutupi
cekungan yang sangat luas.
Laut dapat diklasifikasikan
menurut karakteristiknya masing-masing. Berdasarkan kedalamannya laut
dikelompokan kedalam empat zone, yaitu:
a. Zona litoral adalah wilayah laut yang pada saat terjadinya pasang
naik tertutup oleh air laut dan ketika air laut surut wilayah ni menjadi
kering. Zona ini sering disebut sebagai wilayah pasang surut.
b. Zona neritik adalah wilayah laut mulai zona pasang surut sampai
kedalaman 200 meter. Zona ini merupakan tempat terkonsentrasinya biota laut,
terutama berbagai jenis ikan. Zona neritik sering disebut wilayah laut dangkal.
c. Zona batial adalah wilayah laut yang merupakan lereng benua yang
tenggelam di dasar samudra. Kedalaman zona ini berkisar di atas 200 meter -
2000 meter.
d. Zona abisial adalah wilayah laut yang merupakan wilayah dasar
samudra. Kedalamannya di atas 2000 meter dan jenis biota yang ada pada zona ini
terbatas.
Laut banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia diantaranya
sebagai sumber bahan makanan dan mineral. Di tepian laut terdapat ekosistem
pantai yang merupakan tatanan sebuah kesatuan lingkungan pantai secara utuh
dengan segenap unsur lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Ekosistem pantai
memiliki arti penting sebagai tempat berkembang biaknya berbagai jenis biota
laut, tanaman bakau (mangrove) dan juga sebagai sarana pelestarian pantai dari
ancaman abrasi air laut.
Wilayah pesisir dan Lautan Indonesia juga kaya akan bahan tambang
dan mineral, seperti minyak dan gas, timah, biji besi, bauksit dan pasir
kwarsa. Wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama untuk pusat
pengembangan industri pariwisata.
Kerusakan
Lingkungan Pesisir dan Laut
Daerah pesisir dan laut merupakan salah satu dari lingkungan
perairan yang mudah terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat.
Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting
artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya merupakan
sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi
merupakan pula lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan
minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur
pelayaran.
Di daratan pesisir, terutama di sekitar muara sungai besar,
berkembang pusat-pusat pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar
muara sungai besar dan tersedianya prasarana angkutan yang relatif mudah dan
murah, dan pengembangan industri juga banyak dilakukan di daerah pesisir. Jadi
tampak bahwa sumberdaya alam wilayah pesisir Indonesia telah dimanfaatkan
secara beranekaragam. Namun perlu diperhatikan agar kegiatan yang
beranekaragaman dapat berlangsung secara serasi.
Suatu kegiatan dapat menghasilkan hasil samping yang dapat
merugikan kegiatan lain. Misalnya limbah industri yang langsung dibuang ke
lingkungan pesisir, tanpa mengalami pengolahan tertentu sebelumnya dapat
merusak sumber daya hayati akuatik, dan dengan demikian merugikan perikanan. Lingkungan
pesisir terdiri dari bermacam ekosistem yang berbeda kondisi dan sifatnya.
Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat
dikatakan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya di manapun juga
di wilayah pesisir secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi
ekosistem di wilayah tersebut. Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumber
daya di dalamnya. Agar akibat negatif dari pemanfaatan beranekaragam dapat
dipertahankan sekeci-kecilnya dan untuk menghindari pertikaian
antarkepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem di wilayah pesisir,
pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu berlandaskan
perencanaan menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi
dan ekologi.
Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam
kelestarian sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia yaitu : pencemaran,
degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai,
konservasi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana
alam. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut,
khususnya di Indonesia yaitu pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang,
pengaruh kegiatan manusia, dan pencemaran wilayah pesisir.
1.
Pemanfaatan Ganda
Konsep
pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan keserasian berbagai macam
kegiatan. Sementara itu, batas kegiatan perlu ditentukan. Dengan demikian
pertentangan antar kegiatan dalam jangka panjang dapat dihindari atau diperkecil.
Salah satu contoh penggunaan wilayah untuk pertanian, kehutanan, perikanan,
alur pelayaran, rekreasi, pemukiman, lokasi industri dan juga sebagai tempat
pembuangan sampah dan air limbah. Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi
dapat berjalan untuk jangka waktu tertentu, kemudian persaingan dan
pertentangan mulai timbul dengan berjalannya waktu, pemanfaatan telah melampaui
daya dukung lingkungan. Untuk beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi
dengan teknologi mutakhir. Akan tetapi, perlu dijaga agar cara pemecahan itu
tidak mengakibatkan timbulnya dampak negatif atau pertentangan baru.
2.
Pemanfaatan Tak
Seimbang
Masalah
penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di Indonesia adalah
ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya tersebut, ditinjau dari sudut penyebarannya
dalam tata ruang nasional. Hal ini merupakan akibat dari ketimpangan pola
penyebaran penduduk semula disebabkan oleh perbedaan keunggulan komparatif (comparative advantages) keaadaan sumber
daya wilayah pesisir Indonesia.
Pengembangan
wilayah dalam rangka pembangunan nasional harus juga memperhatikan kondisi
ekologis setempat dan faktor-faktor pembatas. Melalui perencanaan yang baik dan
cermat, serta dengan kebijaksanaan yang serasi, perubahan tata ruang tentunya
akan menjurus ke arah yang lebih baik.
3.
Pengaruh Kegiatan
Manusia
Pemukiman
di sekitar pesisir menghasilkan pola-pola penggunaan lahan dan air yang khas,
yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat pemanfaatan, sesuai dengan
keadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu. Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan
ikan, pembuatan garam, eksploitasi hutan rawa, pembuatan perahu, perdagangan
dan industri, merupakan dasar bagi tata ekonomi masyarakat pedesaan wilayah
pesisir.
Tekanan
penduduk yang besar sering mengakibatkan rusaknya lingkungan, pencemaran
perairan oleh sisa-sisa rumah tangga, meluasnya proses erosi, kesehatan masyarakat
yang memburuk dan terganggunya ketertiban dan keamanan umum. Karena itu, perlu
diperoleh pengertian dasar tentang proses perubahan yang terjadi di wilayah
pesisir. Dengan demikian, pemanfaatan sumber daya yang terkandung di dalamnya
dapat dikelola dengan baik. Perlu dihayati pula bahwa sekali habitat atau suatu
ekosistem rusak maka sukar untuk diperbaiki kembali.
Selain beberapa hal tersebut yang dapat memicu terjadinya
kerusakan lingkungan pesisir dan laut, juga terdapat faktor lain. Kegagalan
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan
dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Pertama akibat adanya
kegagalan kebijakan (lag of policy) yang menjadikan aspek lingkungan hanya
menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan
segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product,
sanitary safety, dan sebagainya. Salah satu contoh dari kegagalan kebijakan
tersebut adalah berkenaan dengan kebijakan penambangan pasir laut. Di satu
sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan peluang investasi
terlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain telah menimbulkan dampak yang
cukup signifikan dan sangat dirasakan langsung oleh nelayan dan
pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan
oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena
karakteristik wilayah pesisir bersifat dinamis.
Kedua, adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai
bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan
mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat terjadi
akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan
lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya kapasitas dan kapabilitas
masyarakat untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat
tersebut semakin memperburuk posisi tawar (bargaining position) masyarakat
sebagai pengelola lokal dan pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja,
kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang
diakibatkan oleh kurang perdulinya publik swasta untuk melakukan internalisasi
eksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya
pabrik-pabrik yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti
akan terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari proses ekstrasi
minyak yang tersembunyi, dan sebagainya.
Ketiga, penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada masih
bersifat parsial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan
co-existence antar variable lingkungan yang menuju keharmonisan dan
keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya, solusi pembuatan
tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara
(Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan
yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau
juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik
wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis.
Jika dilihat dari sumber (asal) kejadiaanya, jenis kerusakan
lingkungan ada yang dari luar system wilayah pesisir dan juga dari dalam
wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran berasal dari limbah yang dibuang oleh
berbagai kegiatan pembangunan (seperti tambak, perhotelan, pemukiman dan
industri) yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga berupa kiriman dari
berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas. Sumber pencemaran perairan pesisir
dan laut biasa terdiri dari limbah industri, limbah cair pemukinan (sewage),
limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran (shipping), pertanian, dan
perikanan budidaya. Bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah
tersebut berupa: sedimen, unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic metals),
pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting
substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut dalam air laut
berkurang).
Bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan industri,
pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif
bukan saja pada perairan sungai tetapi juga perairan pesisir dan lautan. Dampak
yang terjadi kerusakan ekosistem bakau, terumbu karang, kehidupan dari
jenis-jenis biota (ikan, kerang, keong), terjadi abrasi, hilangnya benih
banding dan udang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap bahan-bahan
yang akan dibuang ke perairan, termasuk perairan wilayah pesisir yaitu :
a. Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan;
b. Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yang berkaitan dengan
kondisi oseanografi setempat;
c. Kemungkinan interaksi antara sifat-sifat kimia dan biologi bahan
buangan dengan lingkungan perairan.
d. Pengaruh bahan buangan terhadap kehidupan dan rantai makanan;
e. Proses degradasi dan perubahan biogeokimia;
f. Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di hari
depan;
g. Faktor-faktor lain yang khas.
Pentingnya
Mengelola Lingkungan Pesisir dan Laut
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut;
ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang
masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi
dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al,
2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu,
wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai
untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk
kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.
Kedua definisi wilayah pesisir tersebut di atas secara umum
memberikan gambaran besar, betapa kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi
terjadi di wilayah ini. Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan,
pariwisata, pemukiman, perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang
cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem
mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar
tersebut jika tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas
sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir.
Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi
bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan
pesisir dan laut. Dewasa ini, pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyallir
terbukti memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka
menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Namun
demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya bentuk-bentuk
pengelolaan lain yang lebih aplikatif (applicable) dan adaptif (acceptable).
Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan
efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis masyarakat
(community based management).
Komunitas/masyarakat memiliki adat istiadat, nilai-nilai sosial maupun
kebiasaan yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan dalam
hal-hal tersebut menyebabkan terdapatnya perbedaan pula dalam praktek-praktek
pengelolaan lingkungan. Karena itu, dalam proses pengelolaan lingkungan perlu
memperhatikan masyarakat dan kebudayaannya, baik sebagai bagian dari subjek
maupun objek pengelolaan tersebut. Dengan memperhatikan hal ini dan tentunya
juga kondisi fisik dan alamiah dari lingkungan pesisir dan laut, proses
pengelolaannya diharapkan dapat menjadi lebih padu, lancar dan efektif serta
diterima oleh masyarakat setempat.
Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih
memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini
tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan
kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah
yang mungkin memiliki perbedaan di samping kesamaan. Dengan demikian, strategi
pengelolaan pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi
setempat. Perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut
oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan.
Segenap gambaran wacana tersebut di atas secara umum memberikan
cermin bagaimana sebuah pengelolaan yang melibatkan unsur masyarakat cukup
penting untuk dikaji dan diujicobakan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan
ini lebih dikenal dengan istilah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau
community based management (CBM). Menurut Carter (1996), Community-Based
Resource Management (CBRM) didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan
mengenai pemanfaatan sumber daya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu
daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di
daerah tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini,
masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan
terhadap sumber daya dan lingkungan yang dimilikinya, di mana masyarakat
sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat
itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Konsep pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki
beberapa aspek positif yaitu;
a. Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan;
b. Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang
spesifik;
c. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat
yang ada;
d. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis;
e. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan
lingkungan lokal;
f. Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta
g. Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan
lingkungan seoptimal mungkin harus seimbang, terkoordinasi dan tersinkronisasi.
Hal ini penting dilakukan mengingat pemerintah mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk mendukung pengelolaan sumber
daya dan lingkungan demi sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab dan turut
berperanserta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya alam dan
lingkungan.
Penanggulangan
Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat
Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut perlu
dilakukan secara hati-hati agar tujuan dari upaya dapat dicapai. Mengingat
bahwa subjek dan objek penanggulangan ini terkait erat dengan keberadaan
masyarakatnya, dimana mereka juga mempunyai ketergantungan cukup tinggi
terhadap ketersediaan sumber daya di sekitar, seperti ikan, udang, kepiting,
kayu mangrove, dll., maka penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut
yang berbasis masyarakat menjadi pilihan yang bijaksana untuk
diimplementasikan.
Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis
masyarakat diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah
berdasarkan karakteristik sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah
tersebut. Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau
bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan
pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah
terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya.
Pola perencanaan pengelolaan meliputi pola pendekatan perencanaan
dari bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas
menjadi sinergi diimplementasikan. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat menjadi hal krusial yang harus dijadikan dasar implementasi sebuah
pengelolaan berbasis masyarakat. Tujuan khusus penanggulangan kerusakan
lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat dalam hal ini dilakukan untuk:
a. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi
kerusakan lingkungan;
b. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam
pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara terpadu yang
sudah disetujui bersama;
c. Membantu masyarakat setempat memilih dan mengembangkan aktivitas
ekonomi yang lebih ramah lingkungan; dan
d. Memberikan pelatihan mengenai system pelaksanaan dan pengawasan
upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat.
Kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasis
masyarakat seringkali terfokus pada pengembangan, transformasi atau penguatan
kelembagaan masyarakat, sehingga proses identifikasi kelembagaan lokal yang ada
dan menganalisisnya untuk mengetahui sejauh mana kelembagaan tersebut
berhubungan dengan upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Pengelolaan
yang berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat
secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi kegiatan sebagai berikut:
1.
Persiapan
Dalam
persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan, yaitu:
a. Sosialisasi rencana kegiatan dengan masyarakat dan kelembagaan
lokal yang ada,
b. Pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan
c. Penguatan kelompok kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja
baru.
2.
Perencanaan
Dalam
melakukan perencanaan upaya penanggulangan pencemaran laut berbasis masyarakat
ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan efektif, yaitu
a. Proses perencanaannya berasal dari dalam dan bukan dimulai dari
luar,
b. Merupakan perencanaan partisipatif, termasuk keikutsertaan masyarakat
lokal,
c. Berorientasi pada tindakan (aksi) berdasarkan tingkat kesiapannya,
d. Memiliki tujuan dan luaran yang jelas,
e. Memiliki kerangka kerja yang fleksibel bagi pengambalian
keputusan,
f. Bersifat terpadu, dan
g. Meliputi proses-proses untuk pemantauan dan evaluasi.
3.
Persiapan Sosial
Untuk
mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka masyarakat
harus dipersiapkan secara sosial agar dapat:
a. Mengutarakan aspirasi serta pengetahuan tradisional dan
kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang merupakan aturan-aturan yang
harus dipatuhi,
b. Mengetahui keuntungan dan kerugian yang didapat dari setiap
pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan
keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan
c. Berperan serta dalam perencanaan dan pengimplementasian rencana tersebut.
4.
Penyadaran Masyarakat
Dalam rangka menyadarkan
masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran, yaitu:
a. Penyadaran tentang nilai-nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut
serta manfaat penanggulangan kerusakan lingkungan,
b. Penyadaran tentang konservasi, dan
c. Penyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya penanggulangan
kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan bijaksana.
5.
Analisis Kebutuhan
Untuk
melakukan analisis kebutuhan terdapat tujuh langkah pelaksanaannya, yaitu:
a. PRA dengan melibatkan masyarakat lokal,
b. Identifikasi situasi yang dihadapi di lokasi kegiatan,
c. Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman,
d. Identifikasi masalah-masalah yang memerlukan tindak lanjut,
e. Identifikasi pemanfaatan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan di
masa depan,
f. Identifikasi kendala-kendala yang dapat menghalangi implementasi
yang efektif dari rencana-rencana tersebut, dan
g. Identifikasi strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan
kegitan.
6.
Pelatihan Keterampilan
Dasar
Pelatihan
keterampilan dasar perlu dilakukan untuk efektivitas upaya penanggulangan kerusakan
lingkungan, yaitu
a. Pelatihan mengenai perencanaan upaya penanggulangan kerusakan,
b. Keterampilan tentang dasar-dasar manajemen organisasi,
c. Peranserta masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan,
d. Pelatihan dasar tentang pengamatan sumber daya,
e. Pelatihan pemantauan kondisi sosial ekonomi dan ekologi, dan
f. Orientasi mengenai pengawasan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan dan pelestarian
sumber daya.
7. Penyusunan Rencana Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan
Laut secara Terpadu dan Berkelanjutan
Terdapat
lima langkah penyusunan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan
laut secara terpadu dan berkelanjutan, yaitu:
a. Mengkaji permasalahan, strategi dan kendala yang akan dihadapi
dalam pelaksanaan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan,
b.
Menentukan sasaran dan
tujuan penyusunan rencana penanggulangan,
c.
Membantu pelaksanaan
pemetaan oleh masyarakat,
d.
Mengidentifikasi aktivitas
penyebab kerusakan lingkungan, dan
e. Melibatkan masyarakat dalam
proses perencanaan serta dalam pemantauan pelaksanaan rencana tersebut.
8. Pengembangan Fasilitas Sosial
Terdapat
dua kegiatan pokok dalam pengembangan fasilitas sosial, yaitu:
a. Melakukan perkiraan atau
analisis kebutuhan prasarana yang dibutuhkan dalam upaya penanggulangan
kerusakan lingkungan, penyusunan rencana penanggulangan dan pelaksanaan
penanggulangan berbasis masyarakat, serta
b. Meningkatkan kemampuan
(keterampilan) lembaga-lembaga desa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
langkah-langkah penyelamatan dan penanggulangan kerusakan lingkungan dan
pembangunan prasarana.
9. Pendanaan
Pendanaan
merupakan bagian terpenting dalam proses implementasi upaya penanggulangan
kerusakan lingkungan. Karena itu, peran pemerintah selaku penyedia pelayanan
diharapkan dapat memberikan alternatif pembiayaan sebagai dana awal perencanaan
dan implementasi upaya penanggulangan. Namun demikian, modal terpenting dalam
upaya ini adanya kesadaran masyarakat untuk melanjutkan upaya penanggulangan
dengan dana swadaya masyarakat setempat.
Kesembilan
proses implementasi upaya penanggulangan pencemaran laut tersebut di atas tidak
bersifat absolut, tetapi dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, sumberdaya
dan masyarakat setempat, terlebih bilamana di wilayah tersebut telah terdapat
kelembagaan lokal yang memberikan peran positif bagi pengelolaan sumber daya
dan pembangunan ekonomi masyarakat sekitarnya.