Sabtu, 17 Agustus 2013

Pola Permukiman



A.  Pengertian Pola Permukiman
Secara etimologis pola permukiman berasal dari dua kaca pola dan permukiman. Pola (pattern) dapat diartikan sebagai susunan struktural, gambar, corak, kombinasi sifat kecenderungan membentuk sesuatu yang taat asas dan bersifat khas (Depdikbud, 1988), dan dapat pula diartikan sebagai benda yang tersusun menurut sistem tertentu mengikuti kecenderungan bentuk tertentu. Pengertian ini tampaknya hampir mirip dengan pengertian model, atau susunan sesuatu benda. Pengertian pola, permukiman (settlement patterns) Bering dirancukan dengan pengertian pola persebaran permukiman (distribution patterns of settlement). Dua pengertian tersebut pada dasarnya sangat berbeda, terutama jika ditinjau dari aspek bahasannya (Yunus, 1989).
1.  Bahasan pola permukiman perlu diperhatikan dari tinjauan individual permukiman atau dari tinjauan kelompok permukiman.
a. Tinjauan pola permukiman dari segi individual, lebih mengarah kepada bahasan bentuk-bentuk permukiman secara individual, sehingga, dapat dibedakan dalam kategori pola permukiman bentuk memanjang, pola permukiman bentuk melingkar, pola permukiman bentuk persegi panjang, pola permukiman bentuk kubus. Setup kategori pola permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci misalnya pola permukiman memanjang sungai, memanjang jalan, memanjang garis pantai, dan seterusnya.
b. Tinjauan pola permukiman dari aspek kelompok lebih mengarah kepada bahasan sifat persebaran dari individu-individu permukiman dalam satu kelompok. Oleh karenanya dari sifat persebaran tersebut dapat dibedakan kedalam kategori pola persebaran permukiman secara umum yakni pola menyebar dan pola mengelompok. Analog dengan pola bentuk permukiman, setup kategori pola persebaran permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci misalnya pola persebaran permukiman menyebar teratur, menyebar tidak teratur, mengelompok teratur dan tidak teratur dan seterusnya.
2.  Pola persebaran permukiman membahas sifat persebaran kelompok permukiman sebagai satu satuan (unit) permukiman, juga dapat dibedakan menjadi dua kategori.  Tinjauan pola persebaran permukiman dari aspek bentuk persebaran kelompok permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman memanjang pola persebaran kelompok permukiman melingkar, pola persebaran kelompok permukiman sejajar, pola persebaran kelompok permukiman bujur sangkar, pola persebaran kelompok permukiman kubus. Setiap kategori pola, persebaran kelompok permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori Iebih rinci. Tinjauan pola persebaran kelompok permukiman dari aspek sifat persebaran dari kelompok-kelompok permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman menyebar, dan pola persebaran kelompok permukiman memusat atau mengelompok. Setiap kategori pola persebaran kelompok permukiman tersebut juga masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci.

Pengertian pola permukiman dan persebaran (dispersion) permukiman mempunyai hubungan yang erat. Persebaran permukiman membicarakan hal dimana terdapat permukiman dan dimana tidak terdapat permukiman di suatu daerah permukiman. Dengan kata lain persebaran permukiman berbicara tentang lokasi permukiman. Disamping itu juga membahas cara terjadinya persebaran permukiman, serta fakto-faktor yang berpengaruh terhadap persebaran tersebut- Pola permukiman membicarakan sifat dari persebaran permukiman tersebut. Dengan kata lain pola permukiman secara umum merupakan susunan sifat persebaran permukiman dan sifat hubungan antara faktor-fektor yang menentukan terjadinya sifat persebaran permukiman tersebut.
Pengertian pola, permukiman di atas berbeda dengan pengertian pola pemukiman yang banyak menyangkut tentang berbagai tipe atau corak cara memindahkan penduduk dari daerah satu ke daerah lain. Sebagai contoh nyata adalah program transmigrasi, yang kegiatannya mencakup proses pemindahan dari permukiman asal ke permukiman baru. Dalam cara memindahkan penduduk tersebut menggunakan berbagai cara yang akan membentuk pola-pola tertentu. Beberapa buku acuan hasil penulisan mengenai pokok-pokok pemukiman membahas tentang pola-pola pemukiman di negara-negara Asia Tenggara, yang membicarakan cara-cara pemin­dahan penduduk, tipe-tipe pelaksanaan, kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan cara tersebut (McAndrews, 1984). Pembicaraan pola pemukiman mempunyai pokok pembahasan yang berbeda dari pokok pembahasan pola permukiman. Namun demikian, terdapat kesamaan, yakni obyeknya tempat tinggal dan penduduk. Sesuai dengan tujuan pembahasan uraian selanjutnya ditekankan pada pola persebaran permukiman, dengan beberapa variasinya, serta beberapa faktor yang menentukan.

B.  Variasi Pola Permukiman
Persebaran permukiman bersifat menentukan terhadap keanekaan pola permukiman. Persebaran dari aspek kepadatan bervariasi (jumlah luas permukiman dibagi jumlah luas wilayah dimana permukiman itu berada) dari sangat jarang hingga satu dilihat dari segi dispersi, padat. Tinjauan lain dapat dilihat dari segi keteraturan persebaran, yakni teratur, dan tidak teratur. Beberapa pendapat tentang variasi pola permukiman dari pelbagai penulis dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Hudson (1970) membedakan secara garis besar antara  pola permukiman mengelompok, dengan pola permukiman menyebar. Pola persebaran permukiman mengelompok tersusun dari dusun-dusun atau bangunan-bangunan rumah yang lebih kompak dengan jarak tertentu, sedangkan pola persebaran permukiman menyebar terdiri dari dusun-dusun dan atau bangunan-bangunan rumah yang tersebar dengan jarak tidak­tertentu. Thorpe (1964) mengemukakan bahwa konsep dasar pola permukiman hanya terdapat dua tipe yang berbeda yang mendasarkan pada kenampakan yang bervariasi dari sangat tegas, yakni tipe pola memusat dengan tipe pola menyebar. Namun, dalam penjelasannya, bahwa perbedaan pola permukiman tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pengelompokkan bangunan rumah sebagai permukiman atau tempat tinggal.
Pembagian pola permukiman menjadi dua seperti itu juga dikemukakan oleh Van der Zee (1979) yang membedakan antara pola permukiman tersebar, dengan pola permukiman mengelompok. Namun, dibedakan pula antar pola permukiman tunggal, dengan pola permukiman ganda yang mengelompok Dijelaskan bahwa pembahasan pola permukiman itu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan persebaran permukiman serta letak dan situasinya. Pembagian pola tersebut, ternyata sedikit berbeda dari pembedaan pola permukiman yang dikemukakan Singh (1969) menggunakan istilah tipe permukiman. Atas dasar persebarannya permukiman dibedakan menjadi tiga tipe atau pola, yaitu 1) pola permukiman mengelompok, 2) permukiman semi mengelompok, dan pola permukiman menyebar.
Sebenarnya, variasi pola permukiman tersebut di etas, pada dasarnya sama dalam memberikan klasifikasi, hanya saja mereka belum memberikan kelas-kelas pola permukiman secara konkrit batas-batasnya Pembedaan pola tersebut oleh Bunce (1982) dianggap tidak kuat atau kurang meyakinkan, karena pada jarak bangunan rumah seberapa untuk pola permukiman yang mengelompok, dan jarak antar bangunan seberapa untuk pola menyebar. Hal ini sangat beralasan, mengingat hingga seat itu belum ada kesepakatan tentang jarak minimum antar bangunan rumah untuk pola permukiman menyebar ataupun mengelompok, sehingga tidak dapat digunakan untuk­analisis.
Hal di atas menimbulkan ketidakpuasan bagi pakar-pakar yang akan mengaplikasikan. Haggett (1970) mengemukakan "ketidakpuasan orang membincangkan pola permukiman secara deskriptip, menimbulkan gagasan untuk membincangkannya secara. kualitatif".
Dengan pertimbangan untuk tujuan pembahasan pola permukiman secara kuantitatif tersebut Haggett membedakan pola permukiman menjadi tiga:
a.    uniform (seragam)
b.    random (acak)
c.    clustered (mengelompok).

C.  Beberapa Ukuran Pola Permukiman
Zee (1979) mengemukakan bahwa permukiman adalah suatu sumber informasi tentang manusia dan aktivitasnya di dalam habitatnya Dengan demikian pola permukiman memberikan kesan tentang persebaran fisik permukimannya beserta kepadatan penghuninya (penduduknya). Beberapa model teoritikal telah disusun berkenaan dengan struktur ideal pola permukiman. Namun demikian seringkali cara analisis secara nyata menunjukkan fakta berbeda, dimana dari teori lebih banyak memberikan informasi cara lingkungan alami mempengaruhi aktivitas manusia, pada hal kenyataan seringkali berbeda, justru aktivitas manusia dari aspek permukiman mempengaruhi lingkungan fisiknya alami kaitannya dengan kuantifikasi pola permukiman ternyata beberapa penulis mengacu kepada pertimbangan jumlah penduduk di suatu daerah dalam kaitannya dengan tempat tinggal. Salah satu pengukuran pola permukiman dengan menggu­nakan perhitungan indeks aglomerasi, adalah pengukuran pengelompokan penduduk dan persebarannya yang dikemukakan Houston (1953) menggunakan indeks Demangoens (Hudson, 1970; Pacione, 1984; dan Zee, 1979): E.NK=T
dimana:
K = the index ofagglomeration
E = the population of the comune excluding that of chief nucleated settlement
N = the number of settlements excluding the chief centre
T = the total population of the commune.

Pengukuran dengan cara tersebut banyak kelemahannya, karena hanya mendasarkan pada jumlah penduduk yang setup saat selalu berubah, dan tidak diketahui seberapa besar batas kriteria. angka K untuk permukiman disebut mengelompok, dan berapa K permukiman disebut menyebar.
Derajad pengelompokan pola permukiman dapat pula ditunJukkan dengan menggunakan nilai per gridsquare. Secara ekstrim ukuran tersebut dapat dibedakan sebagai berikut (Zee, 1979): Sangat mengelompok: bila seluruh penduduk dalam satu gridsquare berada dalam sepersepuluh luas daerah tersebut.
Sangat tersebar bila hanya sepersepuluh penduduk pada gridsquare tersebut berada dalam seper sepuluh luas daerah. Salah satu cara untuk mengukur pola permukiman dapat pula dilakukan dengan menggunakan "model dan analisis tetangga terdekat" atau nearest neighbour analysis, yaitu dengan menghitung besarnya parameter tetangga terdekat atau T dengan menggunakan rumus berikut (Hagget, 1975): Ju T=Jh
dimana:
T = indeks penyebaran tetangga terdekat
Ju = jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangga yang terdekat
Jh = jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random (acak), yakni dihitung dengan rumus -V2p
p = kepadatan titik dalam tiap kilometer persegi, yaitu jumlah titik (M dibagi dengan luas wilayah dalam kilometer persegi (A)

Untuk mengetahui apakah pola permukiman yang dianalisis, termasuk menge­lompok, random atau seragam, dibandingkan dengan continuum nilai parameter tetangga terdekat T untuk masing-masing pola yang dapat diperlihatkan: T = 0 - 0,7 pola bergerombol (mengelompok); T= 0,71-1,4 pola acak (tersebar tidak merata; T = 1,41 - 2,15 pola tersebar merata.

D.  Faktor Pengaruh terhadap Pala Persebaran Permukiman
Terjadinya keanekaragaman pola persebaran permukiman sebagai wujud dari persebaran penduduk yang tidak merata Hal ini akan menimbulkan terjadinya berbagai masalah yang bervariasi pula di antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, baik bagi kehidupan penduduk beserta lingkungannya saat ini, maupun bagi rencana pengembangan permukiman itu sendiri pada masa mendatang. Oleh karenanya, pemahaman lewat penelitian yang mendasar mengenai bagaimana pola persebaran permukiman yang ada pada saat ini beserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya suatu pola persebaran permukiman merupakan suatu usaha yang penting dan dapat mendukung landasan pola berfikir pemecahan masalah permukiman pada mass mendatang.
Persebaran permukiman mempunyai kaitan erat dengan persebaran penduduk. Persebaran penduduk membentuk persebaran permukiman dengan pola-pola persebaran permukiman yang bervariasi. Shryock, et al. (1971) mengemukakan bahwa persebaran permukiman dipengaruhi oleh Mini (suhu dan curah hujan); topografi bentuk lahan, sumberdaya alam; hubungan keruangan; faktor budaya; serta faktor demografi. Secara garis besar terjadinya pola permukiman menurut Shryock tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik balk alarm maupun buatan, faktor sosial-ekonomi, dan faktor budaya manusia atau penduduk.
Faktor-faktor pengaruh tersebut menurut Singh (1969) yang menerapkan dalam penelitiannya pola permukiman di salah satu bagman daerah di India, hanya ditekankan pada faktor fisik, sejarah, tradisi, dan sosial ekonomi, dengan perincian sebagai berikut:
a.    faktor fisik mencakup relief, sumber air, jalur drainase, dan kondisi tana, faktor sosial ekonomi meliputi tata guna lahan, penyakapan tanah, rotasi tanaman, transportasi dan komunikasi, serta kepadatan penduduk,
b. faktor sejarah dan tradisi seperti sejarah terbentuknya permukiman, kebiasaan penduduk melakukan migrasi, maupun kebiasaan penduduk yang mengacu kepada adat dalam kaitannya dengan membangun tempat tinggal.

Dalam hal ini terlihat, bahwa terbentuknya pola permukiman banyak dipe­ngaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks, tetapi mencerminkan adanya kecenderungan faktor alam menentukan terhadap kegiatan manusia. Jelas hal tersebut sudah banyak yang tidak berlaku, mengingat kemampuan manusia dalam mengadaptasikan diri dengan lingkungan sangat dominan, sebagai akibat kemajuan teknologi. Seperti yang dikemukakan oleh Pacione (1984) bahwa pola permukiman merupakan cerminan penyesuaian penduduk terhadap lingkungan alam, seperti topografi, iklim dan tanah. Tingkat penyesuaian tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor sosial ekonomi dan kultur penduduknya. Dengan demikian, pola tempat kediaman penduduk terbentuknya akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial ekonomi, serta keadaan budaya mereka.
Beberapa faktor pengaruh terhadap persebaran permukiman antara lain:
1.    Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap compact rural settlement:
a.   Daerah-daerah yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman penduduk dalam satu kelompok. Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran rendah menjadi sasaran penduduk untuk bertempat tinggal.
b.    Daerah-daerah dengan permukaan air tanah yang dalam menyebabkan adanya sumur-sumur yang sangat sedikit, karena pembuatan sumur-sumur itu akan memakan biaya dan waktu yang banyak. Dengan demikian maka sebuah sumber air, dalam hal ini sumur menjadi pemusatan penduduk.
c.  Daerah-daerah dimana keadaan keamanan belum dapat dipastikan, balk karena gangguan binatang maupun gangguan suku bangsa yang sedang bermusuhan dapat berpengaruh terhadap timbulnya pengelompokan tempat kediaman.
2.    Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fragmented rural settlement:
a.  Daerah-daerah banjir dapat merupakan pemisah antara permukiman perdesa­an satu dengan lainnya.
b.      Daerah-daerah dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar.
Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang ada.

Dalam kaitannya dengan pola permukiman tersebut, Pacione (1984) mengemukakan bahwa permukiman yang memusat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan keamanan atau pertahanan, ikatan keluarga atau marga, kelang-kaan air, kebiasaan dari sistem pembagian waris, datar ekonomi dari hasil pertanian, politik, agama atau ideologi. Sebaliknya untuk permukiman yang tersebar, dipengaruhi oleh faktor-faktor kurang pentingnya pertahanan, kolonisasi yang dilakukan oleh keluarga-keluarga secara individu berdasarkan hubungan darah maupun wilayah, pertanian yang bersifat pribadi, melon perbukitan atau pegunungan, persediaan air yang dangkal, dan penyebaran yang disengaja oleh pemerintah.
Demikian pula Singh (1971), mengklasifikasikan pola permukiman desa atas: compact type, semi compact type dan dispersed type. Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe permukiman memusat antara lain permukaan lahan yang datar, lahan yang subur, curah hujan yang relatif kurang, kebutuhan akan kerjasama, ikatan sosial-ekonomi, agama atau kepercayaan, kurangnya keamanan waktu yang lampau, tipe pertanian, lokasi industri dan mineral. Untuk tipe permukiman tersebar berhubungan dengan topografi yang kasar, keanekaragaman kesuburan lahan, curah hujan dan air permukaan yang melimpah, keamanan waktu yang lampau dan susunan kasta Disamping itu dinyatakan, bahwa pola permukiman dipengaruhi oleh lingkungan fisi­kal, seperti relief, sumber air, jalur drainase, kondisi lahan serta kondisi sosial­ekonomi, seperti tats guna lahan, penyakapan lahan, rotasi tanaman, prasarana trans­portasi dan komunikasi serta kepadatan penduduk (Wuryanto Abdullah dan Su Rito Hardoyo, 1981).
Pendapat dan pernyataan di atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam pola permukiman, yakni pola mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain itu, tampak pula bahwa relief, kesuburan lahan dan sumber air, merupakan komponen lingkungan alam yang dominan dalam mempengaruhi pola permukiman, di samping kondisi sosial-ekonomi dan kebudayaan, seperti tata guns lahan, tipe pertanian, penyakapan lahan, prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan penduduk, lokasi mineral dan industri, keamanan, politik, sistem pembagian waris dan agama atau ideologi.
Ditinjau dari letak ketinggian wilayah, tampak faktor ini mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas lahan. Dengan pernyataan lain, semakin meningkatnya letak ketinggian tempat, - menyebabkan semakin berkurangnya lahan-lahan datar. Sandy (1977) menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan atau lebih besar dari 100 meter, biasanya topografi lebih kasar daripada di bawahnya- Dengan demikian berarti, bahwa semakin meningkatnya letak ketinggian tempat di suatu wilayah, maka semakin meningkat pula kekasaran topografinya. Sebaliknya, dari letak ketinggian tempat ini lebih bar yak menunjukkan, bahwa keadaan permukaan air sumur semakin dalam dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat, sehingga kemungkinan untuk terjadinya pengelompokan permukiman secara teratur maupun penyebaran secara teratur sangat kecil. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat pada suatu wilayah, pola permukiman semakin tersebar secara tidak teratur.
Adanya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang semakin mendesak di daerah pedesaan, mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian yang lebih besar. Hal ini memaksa, orang atau penduduk untuk menduduki lahan-lahan yang tadinya tidak diperuntukkan bagi permukiman maupun usaha pertanian. Di pihak lain, memaksa penduduk untuk semakin meningkatkan lahan-lahan garapannya seefektif mungkin. Keadaan ini mendorong para. penggarap untuk berusaha mendekatkan tempat tinggalnya dengan masing-masing lahan garapannya, sehingga mendorong pula untuk tumbuhnya permukiman-permukiman baru bagi lahan pertanian yang terlalu jauh. Sejalan dengan pernyataan Sandy 1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di pedesaan, ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan demikian, adanya perluasan lahan pertanian dan peningkatan efektivitas kerja, yang disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dapat mempengaruhi terhadap penyebaran pola permukiman.
Terdapatnya permukiman dalam artian sempit di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh adanya kemungkinan untuk hidup bagi masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai dengan keahlian ataupun ketrampilan mereka-Makin besarnya kemungkinan untuk hidup yang diberikan suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan jumlah manusia yang tinggal di wilayah tersebut, atau semakin besar pula terjadinya pemusatan penduduk wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari perkembangan bentuk-bentukpenggunaan lahan untuk usaha pertanian rakyat di pede­saan, sebagaimana dikemukakan Sandy (1977), bahwa perkembangan tertinggi dari usaha pertanian kecil di Indonesia adalah persawahan dengan pengairan teratur, apabila memungkinkan penduduk akan membuat sawah pada medan dengan lereng yang bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan apalagi daerah datar. Dengan demikian, daerah- daerah usaha pertanian lahan sawah merupakan daerah pusaatan penduduk yang terbesar.
Adanya perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam usaha pertanian, dengan sendirinya memerlukan tingkat pengolahan serta tingkat kebutuhan tenaga, kerja yang berbeda-beda pula. Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya pemakaian tenaga kerja dalam bentuk usaha lahan sawah akan lebih besar dari usaha pertanian lahan kering, seperti tegalan, kebun campuran maupun usaha perkebunan kecil. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja ini, dilakukan dengan sistem pertukaran jasa. (barter tenaga sesama. mereka). Sejalan dengan pendapat Mubyarto (1977), bahwa tolong menolong lebih banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang sama. pada. tanaman yang sama Dengan adanya sistem pertukaran jasa (barter tenaga sesama mereka) dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja ini, menurut Leibo (1986) sebagai penyebab sifat-sifat kelompok primer dalam ketetanggaan masyarakat desa Dengan demikian, besarnya pemakaian tenaga kerja dari besarnya. Sifat kegotongroyongan pada usaha pertanian lahan sawah, menuntut suatu kehidupan sosial yang saling berdampingan antara sesama keluarga petani. Hal ini, menuntut pula terjadinya pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar lahan sawah, dan sebaliknya terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada penggunaan lahan pertanian lahan kering.
Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pola permukiman, antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air sumur, curah hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan persentase luas lahan sawah dari seluruh luas lahan pertanianPenyakapan tanah prasarana transportasi dan komunikasi, lokasi mineral dan industri, sistem pembagian waris, keamanan dan politik agama atau ideologi.

1 komentar: