A. Pengertian Pola Permukiman
Secara
etimologis pola permukiman berasal dari dua kaca pola dan permukiman. Pola
(pattern) dapat diartikan sebagai susunan struktural, gambar, corak, kombinasi
sifat kecenderungan membentuk sesuatu yang taat asas dan bersifat khas
(Depdikbud, 1988), dan dapat pula diartikan sebagai benda yang tersusun menurut
sistem tertentu mengikuti kecenderungan bentuk tertentu. Pengertian ini
tampaknya hampir mirip dengan pengertian model, atau susunan sesuatu benda. Pengertian
pola, permukiman (settlement patterns) Bering dirancukan dengan pengertian pola
persebaran permukiman (distribution patterns of settlement). Dua pengertian
tersebut pada dasarnya sangat berbeda, terutama jika ditinjau dari aspek
bahasannya (Yunus, 1989).
1. Bahasan
pola permukiman perlu diperhatikan dari tinjauan individual permukiman atau
dari tinjauan kelompok permukiman.
a. Tinjauan
pola permukiman dari segi individual, lebih mengarah kepada bahasan
bentuk-bentuk permukiman secara individual, sehingga, dapat dibedakan dalam
kategori pola permukiman bentuk memanjang, pola permukiman bentuk melingkar,
pola permukiman bentuk persegi panjang, pola permukiman bentuk kubus. Setup
kategori pola permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih
rinci misalnya pola permukiman memanjang sungai, memanjang jalan, memanjang garis
pantai, dan seterusnya.
b. Tinjauan
pola permukiman dari aspek kelompok lebih mengarah kepada bahasan sifat
persebaran dari individu-individu permukiman dalam satu kelompok. Oleh karenanya
dari sifat persebaran tersebut dapat dibedakan kedalam kategori pola persebaran
permukiman secara umum yakni pola menyebar dan pola mengelompok. Analog dengan
pola bentuk permukiman, setup kategori pola persebaran permukiman masih dapat
diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci misalnya pola persebaran permukiman
menyebar teratur, menyebar tidak teratur, mengelompok teratur dan tidak teratur
dan seterusnya.
2. Pola
persebaran permukiman membahas sifat persebaran kelompok permukiman sebagai
satu satuan (unit) permukiman, juga dapat dibedakan menjadi dua kategori. Tinjauan pola persebaran permukiman dari
aspek bentuk persebaran kelompok permukiman, sehingga dapat dibedakan pola
persebaran kelompok permukiman memanjang pola persebaran kelompok permukiman melingkar,
pola persebaran kelompok permukiman sejajar, pola persebaran kelompok
permukiman bujur sangkar, pola persebaran kelompok permukiman kubus. Setiap
kategori pola, persebaran kelompok permukiman masih dapat diturunkan lagi ke
sub kategori Iebih rinci. Tinjauan pola persebaran kelompok permukiman dari
aspek sifat persebaran dari kelompok-kelompok permukiman, sehingga dapat
dibedakan pola persebaran kelompok permukiman menyebar, dan pola persebaran
kelompok permukiman memusat atau mengelompok. Setiap kategori pola persebaran
kelompok permukiman tersebut juga masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori
lebih rinci.
Pengertian
pola permukiman dan persebaran (dispersion) permukiman mempunyai hubungan yang
erat. Persebaran permukiman membicarakan hal dimana terdapat permukiman dan
dimana tidak terdapat permukiman di suatu daerah permukiman. Dengan kata lain
persebaran permukiman berbicara tentang lokasi permukiman. Disamping itu juga
membahas cara terjadinya persebaran permukiman, serta fakto-faktor yang berpengaruh
terhadap persebaran tersebut- Pola permukiman membicarakan sifat dari
persebaran permukiman tersebut. Dengan kata lain pola permukiman secara umum
merupakan susunan sifat persebaran permukiman dan sifat hubungan antara
faktor-fektor yang menentukan terjadinya sifat persebaran permukiman tersebut.
Pengertian
pola, permukiman di atas berbeda dengan pengertian pola pemukiman yang banyak
menyangkut tentang berbagai tipe atau corak cara memindahkan penduduk dari
daerah satu ke daerah lain. Sebagai contoh nyata adalah program transmigrasi,
yang kegiatannya mencakup proses pemindahan dari permukiman asal ke permukiman
baru. Dalam cara memindahkan penduduk tersebut menggunakan berbagai cara yang
akan membentuk pola-pola tertentu. Beberapa buku acuan hasil penulisan mengenai
pokok-pokok pemukiman membahas tentang pola-pola pemukiman di negara-negara
Asia Tenggara, yang membicarakan cara-cara pemindahan penduduk, tipe-tipe
pelaksanaan, kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan kebijakan cara tersebut
(McAndrews, 1984). Pembicaraan pola pemukiman mempunyai pokok pembahasan yang
berbeda dari pokok pembahasan pola permukiman. Namun demikian, terdapat
kesamaan, yakni obyeknya tempat tinggal dan penduduk. Sesuai dengan tujuan
pembahasan uraian selanjutnya ditekankan pada pola persebaran permukiman,
dengan beberapa variasinya, serta beberapa faktor yang menentukan.
B. Variasi Pola Permukiman
Persebaran
permukiman bersifat menentukan terhadap keanekaan pola permukiman. Persebaran
dari aspek kepadatan bervariasi (jumlah luas permukiman dibagi jumlah luas
wilayah dimana permukiman itu berada) dari sangat jarang hingga satu dilihat
dari segi dispersi, padat. Tinjauan lain dapat dilihat dari segi keteraturan
persebaran, yakni teratur, dan tidak teratur. Beberapa pendapat tentang variasi
pola permukiman dari pelbagai penulis dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Hudson
(1970) membedakan secara garis besar antara pola permukiman mengelompok, dengan pola
permukiman menyebar. Pola persebaran permukiman mengelompok tersusun dari
dusun-dusun atau bangunan-bangunan rumah yang lebih kompak dengan jarak
tertentu, sedangkan pola persebaran permukiman menyebar terdiri dari
dusun-dusun dan atau bangunan-bangunan rumah yang tersebar dengan jarak tidaktertentu.
Thorpe (1964) mengemukakan bahwa konsep dasar pola permukiman hanya terdapat
dua tipe yang berbeda yang mendasarkan pada kenampakan yang bervariasi dari
sangat tegas, yakni tipe pola memusat dengan tipe pola menyebar. Namun, dalam
penjelasannya, bahwa perbedaan pola permukiman tersebut hanya dapat
dipergunakan untuk pengelompokkan bangunan rumah sebagai permukiman atau tempat
tinggal.
Pembagian
pola permukiman menjadi dua seperti itu juga dikemukakan oleh Van der Zee
(1979) yang membedakan antara pola permukiman tersebar, dengan pola permukiman
mengelompok. Namun, dibedakan pula antar pola permukiman tunggal, dengan pola
permukiman ganda yang mengelompok Dijelaskan bahwa pembahasan pola permukiman
itu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan persebaran permukiman serta letak
dan situasinya. Pembagian pola tersebut, ternyata sedikit berbeda dari
pembedaan pola permukiman yang dikemukakan Singh (1969) menggunakan istilah
tipe permukiman. Atas dasar persebarannya permukiman dibedakan menjadi tiga
tipe atau pola, yaitu 1) pola permukiman mengelompok, 2) permukiman semi
mengelompok, dan pola permukiman menyebar.
Sebenarnya,
variasi pola permukiman tersebut di etas, pada dasarnya sama dalam memberikan
klasifikasi, hanya saja mereka belum memberikan kelas-kelas pola permukiman
secara konkrit batas-batasnya Pembedaan pola tersebut oleh Bunce (1982)
dianggap tidak kuat atau kurang meyakinkan, karena pada jarak bangunan rumah
seberapa untuk pola permukiman yang mengelompok, dan jarak antar bangunan
seberapa untuk pola menyebar. Hal ini sangat beralasan, mengingat hingga seat
itu belum ada kesepakatan tentang jarak minimum antar bangunan rumah untuk pola
permukiman menyebar ataupun mengelompok, sehingga tidak dapat digunakan untukanalisis.
Hal
di atas menimbulkan ketidakpuasan bagi pakar-pakar yang akan mengaplikasikan. Haggett
(1970) mengemukakan "ketidakpuasan orang membincangkan pola permukiman
secara deskriptip, menimbulkan gagasan untuk membincangkannya secara.
kualitatif".
Dengan
pertimbangan untuk tujuan pembahasan pola permukiman secara kuantitatif
tersebut Haggett membedakan pola permukiman menjadi tiga:
a.
uniform (seragam)
b.
random (acak)
c.
clustered (mengelompok).
C. Beberapa Ukuran Pola Permukiman
Zee
(1979) mengemukakan bahwa permukiman adalah suatu sumber informasi tentang
manusia dan aktivitasnya di dalam habitatnya Dengan demikian pola permukiman
memberikan kesan tentang persebaran fisik permukimannya beserta kepadatan
penghuninya (penduduknya). Beberapa model teoritikal telah disusun berkenaan
dengan struktur ideal pola permukiman. Namun demikian seringkali cara analisis
secara nyata menunjukkan fakta berbeda, dimana dari teori lebih banyak
memberikan informasi cara lingkungan alami mempengaruhi aktivitas manusia, pada
hal kenyataan seringkali berbeda, justru aktivitas manusia dari aspek
permukiman mempengaruhi lingkungan fisiknya alami kaitannya dengan kuantifikasi
pola permukiman ternyata beberapa penulis mengacu kepada pertimbangan jumlah
penduduk di suatu daerah dalam kaitannya dengan tempat tinggal. Salah satu
pengukuran pola permukiman dengan menggunakan perhitungan indeks aglomerasi,
adalah pengukuran pengelompokan penduduk dan persebarannya yang dikemukakan
Houston (1953) menggunakan indeks Demangoens (Hudson, 1970; Pacione, 1984; dan
Zee, 1979): E.NK=T
dimana:
K = the
index ofagglomeration
E = the
population of the comune excluding that of chief nucleated settlement
N = the number
of settlements excluding the chief centre
T = the total
population of the commune.
Pengukuran
dengan cara tersebut banyak kelemahannya, karena hanya mendasarkan pada jumlah
penduduk yang setup saat selalu berubah, dan tidak diketahui seberapa besar
batas kriteria. angka K untuk permukiman disebut mengelompok, dan berapa K
permukiman disebut menyebar.
Derajad
pengelompokan pola permukiman dapat pula ditunJukkan dengan menggunakan nilai
per gridsquare. Secara ekstrim ukuran tersebut dapat dibedakan sebagai berikut
(Zee, 1979): Sangat mengelompok: bila seluruh penduduk dalam satu gridsquare
berada dalam sepersepuluh luas daerah tersebut.
Sangat
tersebar bila hanya sepersepuluh penduduk pada gridsquare tersebut berada dalam
seper sepuluh luas daerah. Salah satu cara untuk mengukur pola permukiman dapat
pula dilakukan dengan menggunakan "model dan analisis tetangga
terdekat" atau nearest neighbour analysis, yaitu dengan menghitung
besarnya parameter tetangga terdekat atau T dengan menggunakan rumus berikut
(Hagget, 1975): Ju T=Jh
dimana:
T = indeks
penyebaran tetangga terdekat
Ju = jarak
rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangga yang terdekat
Jh = jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik
mempunyai pola random (acak), yakni dihitung dengan rumus -V2p
p = kepadatan titik dalam tiap kilometer persegi, yaitu
jumlah titik (M dibagi dengan luas wilayah dalam kilometer persegi (A)
Untuk
mengetahui apakah pola permukiman yang dianalisis, termasuk mengelompok,
random atau seragam, dibandingkan dengan continuum nilai parameter tetangga
terdekat T untuk masing-masing pola yang dapat diperlihatkan: T = 0 - 0,7 pola
bergerombol (mengelompok); T= 0,71-1,4 pola acak (tersebar tidak merata; T =
1,41 - 2,15 pola tersebar merata.
D. Faktor Pengaruh terhadap Pala
Persebaran Permukiman
Terjadinya
keanekaragaman pola persebaran permukiman sebagai wujud dari persebaran
penduduk yang tidak merata Hal ini akan menimbulkan terjadinya berbagai masalah
yang bervariasi pula di antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, baik bagi
kehidupan penduduk beserta lingkungannya saat ini, maupun bagi rencana
pengembangan permukiman itu sendiri pada masa mendatang. Oleh karenanya,
pemahaman lewat penelitian yang mendasar mengenai bagaimana pola persebaran
permukiman yang ada pada saat ini beserta faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya suatu pola persebaran permukiman merupakan suatu usaha yang
penting dan dapat mendukung landasan pola berfikir pemecahan masalah permukiman
pada mass mendatang.
Persebaran
permukiman mempunyai kaitan erat dengan persebaran penduduk. Persebaran
penduduk membentuk persebaran permukiman dengan pola-pola persebaran permukiman
yang bervariasi. Shryock, et al. (1971) mengemukakan bahwa persebaran
permukiman dipengaruhi oleh Mini (suhu dan curah hujan); topografi bentuk
lahan, sumberdaya alam; hubungan keruangan; faktor budaya; serta faktor
demografi. Secara garis besar terjadinya pola permukiman menurut Shryock
tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik balk alarm maupun buatan, faktor
sosial-ekonomi, dan faktor budaya manusia atau penduduk.
Faktor-faktor
pengaruh tersebut menurut Singh (1969) yang menerapkan dalam penelitiannya pola
permukiman di salah satu bagman daerah di India, hanya ditekankan pada faktor
fisik, sejarah, tradisi, dan sosial ekonomi, dengan perincian sebagai berikut:
a.
faktor
fisik mencakup relief, sumber air, jalur drainase, dan kondisi tana, faktor sosial
ekonomi meliputi tata guna lahan, penyakapan tanah, rotasi tanaman,
transportasi dan komunikasi, serta kepadatan penduduk,
b. faktor
sejarah dan tradisi seperti sejarah terbentuknya permukiman, kebiasaan penduduk
melakukan migrasi, maupun kebiasaan penduduk yang mengacu kepada adat dalam
kaitannya dengan membangun tempat tinggal.
Dalam
hal ini terlihat, bahwa terbentuknya pola permukiman banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang kompleks, tetapi mencerminkan adanya kecenderungan faktor
alam menentukan terhadap kegiatan manusia. Jelas hal tersebut sudah banyak yang
tidak berlaku, mengingat kemampuan manusia dalam mengadaptasikan diri dengan
lingkungan sangat dominan, sebagai akibat kemajuan teknologi. Seperti yang
dikemukakan oleh Pacione (1984) bahwa pola permukiman merupakan cerminan
penyesuaian penduduk terhadap lingkungan alam, seperti topografi, iklim dan
tanah. Tingkat penyesuaian tersebut sangat tergantung pada faktor-faktor sosial
ekonomi dan kultur penduduknya. Dengan demikian, pola tempat kediaman penduduk
terbentuknya akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial
ekonomi, serta keadaan budaya mereka.
Beberapa
faktor pengaruh terhadap persebaran permukiman antara lain:
1.
Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap compact rural settlement:
a. Daerah-daerah
yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman penduduk dalam
satu kelompok. Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran
rendah menjadi sasaran penduduk untuk bertempat tinggal.
b. Daerah-daerah
dengan permukaan air tanah yang dalam menyebabkan adanya sumur-sumur yang
sangat sedikit, karena pembuatan sumur-sumur itu akan memakan biaya dan waktu
yang banyak. Dengan demikian maka sebuah sumber air, dalam hal ini sumur
menjadi pemusatan penduduk.
c. Daerah-daerah
dimana keadaan keamanan belum dapat dipastikan, balk karena gangguan binatang
maupun gangguan suku bangsa yang sedang bermusuhan dapat berpengaruh terhadap
timbulnya pengelompokan tempat kediaman.
2.
Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap fragmented rural settlement:
a. Daerah-daerah
banjir dapat merupakan pemisah antara permukiman perdesaan satu dengan lainnya.
b.
Daerah-daerah
dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar.
Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang ada.
Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap tempat, sehingga perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang ada.
Dalam
kaitannya dengan pola permukiman tersebut, Pacione (1984) mengemukakan bahwa
permukiman yang memusat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan keamanan atau
pertahanan, ikatan keluarga atau marga, kelang-kaan air, kebiasaan dari sistem
pembagian waris, datar ekonomi dari hasil pertanian, politik, agama atau
ideologi. Sebaliknya untuk permukiman yang tersebar, dipengaruhi oleh
faktor-faktor kurang pentingnya pertahanan, kolonisasi yang dilakukan oleh
keluarga-keluarga secara individu berdasarkan hubungan darah maupun wilayah,
pertanian yang bersifat pribadi, melon perbukitan atau pegunungan, persediaan
air yang dangkal, dan penyebaran yang disengaja oleh pemerintah.
Demikian
pula Singh (1971), mengklasifikasikan pola permukiman desa atas: compact type,
semi compact type dan dispersed type. Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe
permukiman memusat antara lain permukaan lahan yang datar, lahan yang subur,
curah hujan yang relatif kurang, kebutuhan akan kerjasama, ikatan
sosial-ekonomi, agama atau kepercayaan, kurangnya keamanan waktu yang lampau,
tipe pertanian, lokasi industri dan mineral. Untuk tipe permukiman tersebar
berhubungan dengan topografi yang kasar, keanekaragaman kesuburan lahan, curah
hujan dan air permukaan yang melimpah, keamanan waktu yang lampau dan susunan
kasta Disamping itu dinyatakan, bahwa pola permukiman dipengaruhi oleh
lingkungan fisikal, seperti relief, sumber air, jalur drainase, kondisi lahan
serta kondisi sosialekonomi, seperti tats guna lahan, penyakapan lahan, rotasi
tanaman, prasarana transportasi dan komunikasi serta kepadatan penduduk
(Wuryanto Abdullah dan Su Rito Hardoyo, 1981).
Pendapat
dan pernyataan di atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam pola
permukiman, yakni pola mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain
itu, tampak pula bahwa relief, kesuburan lahan dan sumber air, merupakan
komponen lingkungan alam yang dominan dalam mempengaruhi pola permukiman, di
samping kondisi sosial-ekonomi dan kebudayaan, seperti tata guns lahan, tipe
pertanian, penyakapan lahan, prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan
penduduk, lokasi mineral dan industri, keamanan, politik, sistem pembagian
waris dan agama atau ideologi.
Ditinjau
dari letak ketinggian wilayah, tampak faktor ini mempunyai hubungan yang erat
dengan kualitas lahan. Dengan pernyataan lain, semakin meningkatnya letak
ketinggian tempat, - menyebabkan semakin berkurangnya lahan-lahan datar. Sandy
(1977) menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan atau lebih besar dari
100 meter, biasanya topografi lebih kasar daripada di bawahnya- Dengan demikian
berarti, bahwa semakin meningkatnya letak ketinggian tempat di suatu wilayah,
maka semakin meningkat pula kekasaran topografinya. Sebaliknya, dari letak
ketinggian tempat ini lebih bar yak menunjukkan, bahwa keadaan permukaan air
sumur semakin dalam dengan semakin meningkatnya letak ketinggian tempat,
sehingga kemungkinan untuk terjadinya pengelompokan permukiman secara teratur
maupun penyebaran secara teratur sangat kecil. Oleh karena itu, dengan semakin
meningkatnya letak ketinggian tempat pada suatu wilayah, pola permukiman
semakin tersebar secara tidak teratur.
Adanya
tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang semakin mendesak di daerah
pedesaan, mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian yang lebih besar. Hal
ini memaksa, orang atau penduduk untuk menduduki lahan-lahan yang tadinya tidak
diperuntukkan bagi permukiman maupun usaha pertanian. Di pihak lain, memaksa
penduduk untuk semakin meningkatkan lahan-lahan garapannya seefektif mungkin.
Keadaan ini mendorong para. penggarap untuk berusaha mendekatkan tempat
tinggalnya dengan masing-masing lahan garapannya, sehingga mendorong pula untuk
tumbuhnya permukiman-permukiman baru bagi lahan pertanian yang terlalu jauh.
Sejalan dengan pernyataan Sandy 1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di
pedesaan, ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan
demikian, adanya perluasan lahan pertanian dan peningkatan efektivitas kerja,
yang disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dapat mempengaruhi
terhadap penyebaran pola permukiman.
Terdapatnya
permukiman dalam artian sempit di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh adanya
kemungkinan untuk hidup bagi masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai
dengan keahlian ataupun ketrampilan mereka-Makin besarnya kemungkinan untuk
hidup yang diberikan suatu wilayah, semakin besar pula kemungkinan jumlah
manusia yang tinggal di wilayah tersebut, atau semakin besar pula terjadinya
pemusatan penduduk wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari perkembangan
bentuk-bentukpenggunaan lahan untuk usaha pertanian rakyat di pedesaan,
sebagaimana dikemukakan Sandy (1977), bahwa perkembangan tertinggi dari usaha
pertanian kecil di Indonesia adalah persawahan dengan pengairan teratur,
apabila memungkinkan penduduk akan membuat sawah pada medan dengan lereng yang
bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan apalagi daerah datar. Dengan
demikian, daerah- daerah usaha pertanian lahan sawah merupakan daerah pusaatan
penduduk yang terbesar.
Adanya
perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam usaha pertanian, dengan sendirinya
memerlukan tingkat pengolahan serta tingkat kebutuhan tenaga, kerja yang
berbeda-beda pula. Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya
pemakaian tenaga kerja dalam bentuk usaha lahan sawah akan lebih besar dari
usaha pertanian lahan kering, seperti tegalan, kebun campuran maupun usaha
perkebunan kecil. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja ini, dilakukan
dengan sistem pertukaran jasa. (barter tenaga sesama. mereka). Sejalan dengan pendapat
Mubyarto (1977), bahwa tolong menolong lebih banyak terdapat pada pekerjaan
dimana dimungkinkan pengembalian pekerjaan yang sama. pada. tanaman yang sama
Dengan adanya sistem pertukaran jasa (barter tenaga sesama mereka) dalam
memenuhi kebutuhan tenaga kerja ini, menurut Leibo (1986) sebagai penyebab
sifat-sifat kelompok primer dalam ketetanggaan masyarakat desa Dengan demikian,
besarnya pemakaian tenaga kerja dari besarnya. Sifat kegotongroyongan pada
usaha pertanian lahan sawah, menuntut suatu kehidupan sosial yang saling
berdampingan antara sesama keluarga petani. Hal ini, menuntut pula terjadinya
pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar lahan sawah, dan sebaliknya
terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada penggunaan lahan pertanian lahan
kering.
Berbagai
pendapat di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pola
permukiman, antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air
sumur, curah hujan, kepadatan penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan
pertanian dan persentase luas lahan sawah dari seluruh luas lahan
pertanianPenyakapan tanah prasarana transportasi dan komunikasi, lokasi mineral
dan industri, sistem pembagian waris, keamanan dan politik agama atau ideologi.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus