Sesuai dengan perkembangan penduduk
perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka tuntutan akan
kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi
juga terus mengalami peningkatan, yang semuanya itu mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena
ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya
kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan
mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe
area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut sebagai invasion dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar
disebut sebagai urban sprawl (Northam
dalam Yunus, 1994).
Secara garis besar menurut Northam
dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut :
a. Penjalaran
fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan
menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris
(concentric development).
b.
Penjalaran
fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang
tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan
fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial
development).
c. Penjalaran
fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan yang
meloncat (leap frog/checher board
development).
Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan
oleh Northam sama dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus
(1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki
mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat
dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.
Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur
transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap
pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :
1. Perluasan mengikuti pertumbuhan
sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti jalur jalan
transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan
berbentuk bintang atau star shape.
2. Daerah-daerah hinterland di luar
kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya menggabung pada kota yang
lebih besar.
3. Menggabungkan kota inti dengan
kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau disebut dengan konurbasi.
Senada dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994), mengenai perkembangan fisik kota
secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam pola perkembangan fisik
kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Selanjutnya berdasarkan pada
kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal kota yang ada, menurut
Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu
sebagai berikut :
a. Bentuk satelit dan pusat-pusat baru.
Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada dengan kota-kota kecil di
sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga pertalian fungsional lebih
efektif dan lebih efisien.
b. Bentuk stellar atau radial. Bentuk
kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya didominasi oleh ribbon development.
c. Bentuk cincin, terdiri dari beberapa
kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar.
d. Bentuk linier bermanik, pertumbuhan
areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan utama dan pola umumnya
linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke arah samping tanpa
kendala fisikal.
e. Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk
perkembangan areal kota yang biasanya didominasi oleh perkembangan vertikal.
f. Bentuk memencar, merupakan bentuk
dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak dengan beberapa ”urban
centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus
dan berbeda satu sama lain.
Berdasarkan pendapat para ahli yang
dikemukakan di atas, tentang pola-pola perkembangan fisik kota, pada dasarnya
memiliki banyak persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik kota dapat
dibedakan menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola
jaringan jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan
baru.
Dalam mengkaji perkembangan fisik
suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat mengacu pada teori difusi atau teori
penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki maksud
yang berbeda. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model
difusi relokasi, dengan penjelasan berikut ini :
1. Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses
penyebaran informasi, material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu
populasi dari suatu daerah ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini
informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi
lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi
adalah terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang
dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang
terdapat pertumbuhan jumlah penduduk, material dan ruang hunian baru.
2. Model difusi yang lainnya adalah
difusi relokasi (relocation diffusion)
adalah suatu proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material
yang didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.
Untuk lebih jelasnya kedua metode
difusi tersebut dapat dilihat pada Gambar di bawah ini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar