Secara istilah, sesar (fault) sama dengan patahan (faulting) kerak bumi (crust) yang salah satunya, atau keduanya
sekaligus, berubah posisi dari posisi semula. Jika hanya patah
saja, tidak berubah posisi, disebut kekar. Bentuk sesar ada 3 macam, yaitu sesar turun
(sesar normal), sesar naik dan sesar geser. Dua bentuk yang pertama biasa
disebut sesar vertikal, sedang bentuk yang ketiga biasa disebut sesar mendatar.
Ada 2 jenis sesar geser,
yaitu dextral dan sisnistral.
Salah satu sesar yang
terdapat di Pulau Sulawesi adalah sesar Palu-Koro. Karena
dimensinya yang besar, maka paling tepat disebut sistem atau zone sesar
Palu-Koro. Tetapi seringkali disebut sesar Palu-Koro saja. Lajur sesar ini
berarah hampir utara-selatan, memanjang mulai dari sekitar batas perairan Laut
Sulawesi dengan Selat Makassar sampai pantai utara Teluk Bone. Panjangnya
sekitar 500 km. Di darat, sesar ini mempunyai panjang sekitar 250 km, mulai
dari Teluk Palu sampai pantai utara Teluk Bone, mungkin di sekitar Masamba Kab.
Luwu Prov. Sulawesi
Selatan. (Bukan Masomba sebagaimana yang termuat di HU Radar
Sulteng pada Selasa 25 Januari 2005. Karena kesalahan nama ini, sehingga
masyarakat di sekitar Masomba sempat resah karena menyangka gempa berikutnya
akan berpusat di Masomba).
Semula sesar ini dinamakan sesar Fossa Sarassina kemudian dinamakan sesar Palu-Koro. Perubahan nama ini mungkin
karena lajur sesar ini memotong Kota Palu (Lembah Palu) dan Sungai Lariang pada
segmen Sungai Koro (Lembah Koro). Semua ahli geologi dan geofisika yang
mengenal sesar Palu-Koro sepakat bahwa sesar tersebut adalah sesar aktif,
berciri sinistral (pergeseran mengiri) dengan kecepatan sekitar 14 - 17 mm/tahun. Pada segmen Palu - Kulawi, sesar
ini berciri sesar normal dan membentuk graben yang menyebabkan Kota Palu sampai
Kulawi diapit oleh 2 sesar normal. Sering pula segmen ini disebut "sistem
sesar Palu-Koro". Ciri-ciri keberadaan sistem sesar ini adalah banyaknya
dijumpai mata air panas di kedua sisi dataran antara Palu - Kulawi.
Sebagian besar gempa yang terjadi di wilayah ini, khususnya Lembah Palu dan
perairan Selat Makassar merupakan kontribusi dari aktivitas sesar ini. Sejarah
gempabumi tektonik yang diakibatkan oleh aktivitas sesar Palu-Koro seumur
dengan awal mula terbentuk dan aktifnya sesar tersebut, ribuan tahun yang lalu.
Beberapa yang sempat tercatat, yang menimbulkan bencana adalah Gempa Donggala
1927 (penulis menyebutnya Gempa Watusampu), menyebabkan sejumlah korban jiwa
dan menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang 15 m yang menerjang pantai
timur Teluk Palu, merubah daratan sekitar 200 m dari pantai termasuk di dalamnya
kawasan pasar Mamboro menjadi dasar laut, Gempabumi Tambu atau Gempa Mapaga
1968, menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang sekitar 10 m, longsoran
tanah, dan munculnya mata air panas di sepanjang pantai. Di Mapaga tercatat
sekitar 790 rumah rusak dan mengakibatkan korban jiwa yang cukup besar; Gempa
Lawe 1995, menimbulkan kerusakan lahan berupa retakan tanah, pelulukan,
longsoran dan kerusakan rumah terjadi di Kulawi, Gimpu, Lawe dan Kantewu;
Gempabumi Tonggolobibi 1996, menimbulkan tsunami dan merubah daratan di sekitar
pantai menjadi dasar laut; dan masih banyak lagi gempabumi tektonik yang pernah
terjadi akibat aktivitas sesar Palu-Koro, misalnya Gempa Donggala 1938, Rano
1998, Donggala 1998, dan lain-lain, serta yang terakhir Gempa Bora.
Gempa Bora
Hanya
berselang beberapa jam setelah 3 rangkain goncangan kuat, menjelang fajar pada
Senin 24 Januari 2005, yang menggetarkan
Lembah Palu dan sekitarnya, Pusat Gempa Nasional (PGN) di Jakarta mengeluarkan
data resmi tentang guncangan tersebut. Yakni:
Pusat Gempa di Bora, Jarak Episenter 16 km (ke arah tenggara Kota Palu),
Kedalaman Gempa 33 km dan Magnitudo Gempa 6,2 pada Skala Richter. (Khusus untuk
pusat gempa, setelah penulis mengamati wilayah Sigimpu sampai Ranteleda, maka
penulis lebih cenderung berpendapat bahwa pusat gempa yang sebenarnya terletak
di wilayah Gunung Sibalaki, Desa Bakubakulu Kec. Palolo, tidak jauh dari Desa
Bora Kec. Sigi Biromaru).
Gempa ini telah menimbulkan “panik massal” yang
belum pernah terjadi sebelumnya di Lembah Palu, khususnya di Kota Palu. Mereka
takut terhadap tsunami yang kemungkinan akan muncul setelah guncangan-guncangan
tersebut. Ada yang benar-benar panik, ada juga yang berpanik-ria. Namun, semuanya diliputi
ketakutan dan kecemasan. Semuanya mengikuti “pelatihan mengungsi”, dengan satu
komando: AIR...!
Apalagi, setelah itu,
berbagai isu muncul. Isu tsunami secara pelan-pelan redup, muncul isu bahwa Danau
Lindu bisa pecah karena rentetan gempa belum selesai. Muncul juga isu
akan ada aliran lahar panas dari Bora karena telah terjadi ledakan vulkanik di
sana. Setelah itu, muncul lagi isu bahwa akan terjadi gempa yang berpusat di
Masomba. Semuanya tidak terbukti…! Namun, setelah itu, muncul lagi isu bahwa
akan terjadi gempa yang lebih besar, tepatnya pada 26 – 28 Januari 2005.
Belakangan, muncul lagi isu bahwa gempa besar tersebut akan terjadi pada awal
Februari. Memang sangat
mudah orang panik percaya pada isu.
Gempa Susulan
Gempa susulan muncul setelah gempa utama. Berdasarkan realitas, dapat
disimpulkan bahwa gempa susulan untuk Gempa Bora dimulai dari gempa ketiga dari
3 rangkain guncangan di waktu menjelang fajar itu. Gempa susulan ini masih
berlanjut hingga sekarang dan bisa memakan waktu yang lama, mencapai bulanan.
Gempa susulan untuk Gempa Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004, hingga saat
ini masih sering dirasakan oleh warga Banda Aceh dan sekitarnya. Tetapi
kekuatan gempa susulan ini tidak akan melebihi kekuatan gempa utama. Hal yang
sama juga berlaku bagi Gempa Bora, tapi mungkin waktunya lebih pendek dibanding
Gempa Aceh.
Gempa Watusampu 1927
Menurut sumber dari Stasion Geofisika Palu, gempa ini terjadi pada 1
Desember 1927, jam 12:37 waktu lokal dengan pusat gempa: 0.5 LS, dan 119,5 BT.
Pusatnya di Teluk Palu. Gempa ini menimbulkan kerusakan bangunan di Palu,
Donggala, Biromaru dan sekitarnya. Di Palu 3 kios besar di pasar rusak total,
yang lainnya rusak berat. Jalan utama, menuju pasar rusak berat dan beberapa
bagian jalan di belakang pasar tersebut turun setengah meter. Pasar Biromaru
rusak total dan kantor kecamatan rusak berat. Kantor Pemerintah Daerah Donggala
roboh sebagian. Gempa juga dirasakan di bagian tengah Sulawesi yang jaraknya
sekitar 230 km dari pusat gempa.
Terjadi gelombang pasang dari Teluk Palu dengan ketinggian maksimum 15
meter. Rumah-rumah di pantai mengalami kerusakan, 14 orang meninggal dan 50
orang luka-luka. Tangga dermaga Talise hanyut sama sekali. Dasar laut setempat
turun 12 meter. Gempa susulan dirasakan sampai di Parigi hingga 17 Desember
1927.
Sebenarnya, dalam referensi yang ada, gempa ini disebut Gempa Donggala.
Penulislah yang mengganti namanya menjadi Gempa Watusampu. Alasannya, agar
pikiran orang langsung tertuju ke sana begitu Gempa Donggala 1927 disebut,
apalagi wilayah Kab. Donggala relatif luas. Perobahan nama ini juga didasari
bahwa gempa tersebut sedang berada dalam periode berulangnya, sehingga perlu
dicermati dan diwaspadai.
Sebuah rumus empiris, yang didasarkan pada hitungan-hitungan statistik,
telah dikemukakan oleh seorang seismolog Jepang: bahwa periode berulangnya
gempa-gempa besar adalah dalam rentang waktu (69 ± 13,2) tahun.
Tepatnya: 55,8 sampai 82,2 tahun. Jadi, Gempa Watusampu yang terjadi lebih dari
77 tahun yang lalu, berada dalam periode pengulangan tersebut. Akankah tejadi...?
Tuhan mengaruniai akal kepada manusia, mari kita gunakan sejenak...!
Watusampu
ke Bora
Pengulangan Gempa Watusampu telah terjadi. Penulis menduga bahwa energi dalam bentuk
gelombang gempa yang lepas di Bora pada Senin 24 Januari 2005 adalah energi
yang terakumulasi selama puluhan tahun untuk pengulangan Gempa Watusampu. Hanya
saja, pusat pelepasan energi tersebut bergeser ke Bora atau Gunung Sibalaki,
bukan di Teluk Palu. Dugaan ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa berulangnya
sebuah gempa tidak mesti persis di titik yang sama, karena:
a.
Isi perut bumi dinamis, yang menyebabkan
lempeng-lempeng yang ada di atasnya juga dinamis.
b. Jarak antara pusat Gempa Watusampu
dengan pusat Gempa Bora hanya sekitar 5 - 8% dari panjang total lajur sesar Palu-Koro.
c. Tidak ada catatan sejarah gempa yang
mengatakan bahwa di lokasi pusat Gempa Bora pernah terjadi gempa besar yang
waktu kejadiannya berada dalam rentang waktu tersebut di atas.
Masih adakah
Gempa?
Gempa tidak
pernah berhenti. Menurut rekaman seismograf pada Stasion Geofisika Palu, hampir
setiap hari sesar Palu-Koro menimbulkan beberapa kali gempa. Untunglah bahwa
sebagian besar dari gempa tersebut bermagnitudo kecil, yang getarannya hanya dapat
dideteksi oleh seismograf.
Isu tentang akan adanya gempa yang lebih besar lagi setelah Gempa Bora,
mungkin muncul dari prediksi berulangnya Gempa Donggala 1927. Berdasarkan
analisis penulis sebagaimana dijelaskan di atas, pengulangan itu telah terjadi.
Dan, pengulangannya adalah Gempa Bora. Olehnya itu, masyarakat tidak usah resah
dan takut, karena gempa yang lebih besar itu tidak akan terjadi, paling tidak,
sampai beberapa tahun yang akan datang.
Daripada percaya kepada isu yang dihembuskan oleh orang iseng dan orang
kesurupan, lebih baik kita berzikir dan bertawakkal kepada Sang Khalik, karena
Dia-lah yang menentukan segalanya...!
Dikutip dari Dosen Fisika, Staf Peneliti PPLH
dan Ka. PP BMBA Lembaga Penelitian UNTAD serta Dir. Penelitian LPPS - DAOT