Sabtu, 19 Oktober 2013

Konservasi Tanah (Metode Vegetatif)



Metode vegetatif adalah suatu cara pengelolaan lahan miring dengan menggunakan tanaman sebagai sarana konservasi tanah (Seloliman, 1997). Tanaman penutup tanah ini selain untuk mencegah atau mengendalikan bahaya erosi juga dapat berfungsi memperbaiki struktur tanah, menambahkan bahan organik tanah, mencegah proses pencucian unsur hara dan mengurangi fluktuasi temperatur tanah.
Teknik konservasi tanah secara vegetatif antara lain : penghutanan kembali (reforestation), wanatani (agroforestry) termasuk didalamnya adalah pertanamanlorong (alley cropping), pertanaman menurut strip (strip cropping), striprumput (grass strip) barisan sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalahpergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dantumpang gilir (relay cropping).
Dalam penerapannya, petani biasanya memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan terusberkembang di lapangan. Keuntungan yang didapat dari system vegetatif ini adalah kemudahan dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani darihasil sampingan tanaman konservasi tersebut.
A.  Penghutanan Kembali
Penghutanan kembali (reforestation) secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga berpotensi untuk peningkatan kadar bahan organic tanah dari serasah yang jauh di permukaan tanah dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali biasanya dilakukan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam misalnya kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan.
Hutan mempunyai fungsi tata air yang unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect). Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air, efektif dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m. Tanah dengan kedalaman <3 m mempunyai aliran permukaan yang cukup tinggi karena keterbatasan kapasitas tanah dalam menyimpan air (Agus et al., 2002). Pengembalian fungsi hutan akan memakan waktu 20-50 tahun sampai tajuk terbentuk sempurna. Jenis tanaman yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang kuat, dan kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian tentang kondisi biofisik lahan sangat penting untuk menentukan jenis tanaman yang akan dipergunakan dengan tujuan penghutanan kembali terutama untuk hutan monokultur. Beberapa tanaman tahunan mempunyai intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan banyak mengkonsumsi air. Penelitian terhadaptanaman pinus (Pinus merkusii) yang dilakukan oleh Universitas GadjahMada/UGM, Institut Pertanian Bogor/IPB dan Universitas Brawijaya/Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002), menyimpulkan bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah yang mempunyai curah hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang mempunyai curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman pinus dicampur dengan tanaman lain yang mempunyai intersepsi dan evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau Agatis.Sedangkan untuk daerah yang mempunyai curah hujan 1.500mm/tahun atau kurang disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan menimbulkan kekurangan (defisit) air.

B.  Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang menggabungkan antara tanaman pohon-pohonan,atau tanaman tahunan dengan tanaman komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim.Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yangmempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim.
Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim. Secara umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng yang semakin curam demikian juga sebaliknya. Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah pada tanaman semusim biasanya dilakukan dengan cara mencangkul, mengaduk tanah,maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah,sehingga tanah mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan, maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga semakin besar.
Penanaman tanaman tahunan tidak memerlukan pengolahan tanahsecara intensif.Perakaran yang dalam dan penutupan tanah yangrapat mampu melindungi tanah dari erosi.Tanaman tahunan yang dipilih sebaiknya dari jenis yang dapatmemberikan nilai tambah bagi petani dari hasil buah maupunkayunya.Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepatdan lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat baik dalam mencegah erosi tanah.
Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia danberkembang menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campuran,pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan silvipastura.
1.    Pertanaman Sela
Pertanaman sela adalah pertanaman campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim.Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun yang dekat dengan lokasi permukiman.Tanaman sela juga banyak diterapkan di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian tanaman tahunan lainnya.Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara langsung sehingga memperkecil risiko tererosi.Sebelum kanopi tanaman tahunan menutupi tanah, lahan di antara tanaman tahunan tersebut digunakan untuk tanaman semusim.
Di beberapa wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketika pohon jati masih pendek dan belum terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim berupa jagung, padigogo, kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber officinale), temulawak (Curcuma xanthorrizha), kencur (Kaemtoria galanga), kunir (Curcuma longa), dan laos (Alpiniagalanga). Pilihan teknik konservasi ini sangat baik untuk diterapkan oleh petani karena mampu memberikan nilai tambah bagi petani, mempertinggi intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan dan melindungi dari erosi.
Penanaman tanaman semusim bisa berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijau sebaiknya dipilih dari tanaman legum seperti Leucaena leucocephala, Glyricidia sepium, Cajanus cajan, Tephrosia candida, dan lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan secara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim semakin sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit.
2.    Pertanaman Lorong
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisantanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehinggamembentuk lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antaratanaman pagar tersebut.Sistem ini sesuai untuk diterapkanpada lahan kering dengan kelerengan 3-40%. Dari hasil penelitianHaryati et al. (1995) tentang sistem budi daya tanaman lorong di Ungaran pada tanah Typic Eutropepts, dilaporkan bahwa sistem inimerupakan teknik konservasi yang cukup murah dan efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu mempertahankan produktivitas tanah.
Penanaman tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et al., 1999):
a. Merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsurhara ke dalam tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen(N2) dari udara.
b.   Menghasilkan banyak bahan hijauan.
c. Tahan terhadap pemangkasan dan dapat tumbuh kembalisecara cepat sesudah pemangkasan.
d.   Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinarmatahari dan ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidakbegitu tinggi.
e.    Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagitanaman utama.
f.    Sebaiknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakanternak, kayu bakar, dan penghasil buah sehingga mudahdiadopsi petani.

Penelitian-penelitian tentang pertanaman lorong menyimpulkan, bahwa sistem budi daya lorong merupakan salah satu cara untuk mempertahankan produktivitas lahan kering yang miskin hara dan mempunyai KTK yang rendah. Suwardjo et al. (1987) melaporkan bahwa kandungan bahan organik tanah Podsolik diJambi, Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2% setelah 1 tahun ditanami dengan tanaman lorong Flemingia. Pada tahun kedua kandungan bahan organik semakin bertambah dengan nilai 2,8%.
Dari hasil kajiannya pada penerapan pertanaman lorong (Alleycropping) di beberapa negara yang tergabung dalam ASIALANDsloping land project yang meliputi Indonesia, Phillipines, Laos danVietnam, Irawan (2002) melaporkan bahwa alley cropping mampu mengurangi kehilangan hara akibat erosi senilai US $ 4,1-85,5/ha/tahun.
Flemingia mempunyai kemampuan yang tinggi untuk tumbuhdan bertunas sehingga menghasilkan hasil pangkasan yang cenderung terus meningkat. Hasil pangkasan ini merupakan sumber bahan organik yang sangat penting. Dari reklamasi yang dilaksanakan pada tahun 1970 dan evaluasinya pada tahun 1984 pada tanah berskeletal vulkanik Gunung Merapi di Kali Gesik, Jawa Tengah,Sukmana et al. (1985) melaporkan bahwa setelah 14 tahun direklamasi dengan Flemingia congesta mampu menghasilkan serasah (keringudara) sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini memberikan kontribusi terhadappeningkatan bahan organik tanah 2,65% yang sebelum direklamasitidak mengandung bahan organik. Dibandingkan dengan vegetasialami, Flemingia sangat besar kontribusinya dalam peningkatan bahanorganik tanah. Bahan organik ini sangat penting dalampeningkatan kapasitas tanah menahan air (water holding capacity).
Pada penelitian sistem pertanaman lorong menggunakan tiga jenis legum yang ditanam dua strip tiap baris dilaporkan, bahwa pada tahun kedua penanaman Flemingia congesta sudah terlihat adanya pembentukan teras alami dengan tinggi tampingan sekitar 25 cm, lebih tinggi dibandingkan pada tanaman Calliandra calothyrsusmaupun Tephrosia volgelli. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kerapatan tanaman serta produksi hijauan Flemingia congesta yang mampu menahan partikel tanah lebih baik dibandingkan Calliandra maupun Tephrosia (Rachman et al., 1990). Sistem perakaran yang dalam dan hasil dari guguran daun ataupun dari hasil pangkasan yang menumpuk akan membantu terbentuknya teras alami. Aliran permukaan akan menghanyutkan partikel-partikel tanah dan mengendap di bawah tegakan legum. Endapan tersebut makin lama makin tinggi dan akhirnya membentuk bidang olah menyerupai teras dengan tanaman legum sebagai penguat tampingan. Hal ini merupakan cara pembuatan teras yang ekonomis karena menurut Rachman et al. (1989), untuk pembuatan teras bangku pada kemiringan 15% membutuhkan tenaga kerja sebesar 607 HOK/ha, sedang untuk teras gulud sebesar 52 HOK/ha.
Bahan tanaman pagar tidak selalu tersedia di sekitar petani sehingga bantuan benih/bibit tanaman pagar akan sangat membantu penerapannya di lapangan. Analisis kebutuhan tenaga dalam penerapan sistem pertanaman lorong secara rinci adalah sebagai berikut (Agus et al., 1999):
a.  Penanaman dengan menggunakan bahan tanaman berupabibit (tanaman muda) dan rumput membutuhkan tenagakerja 100-200 HOK/ha tergantung kelerengan.Perawatannyahanya membutuhkan tenaga kerja antara 20-25 HOK/ha.Apabila memerlukan penanaman rumput akanmembutuhkan 20-40 HOK/ha.
b. Penanaman dengan menggunakan bahan tanaman berupastek membutuhkan tenaga kerja antara 20-40 HOK/hadengan kebutuhan perawatan per tahun mencapai 25-30HOK/ha.
c.  Penanaman secara langsung hanya membutuhkan tenagakerja 6-12 HOK/ha dengan perawatan pertahun mencapai 25-30 HOK/ha.


Berbagai tanaman pagar yang umumnya adalah tanaman pohon telah diteliti dan diidentifikasi sifat-sifat pertumbuhannya. Banyak tanaman mempunyai pertumbuhan yang cepat sepertiKaliandra dan Glirisidia yang sangat efektif untuk digunakan sebagai tanaman pagar.

3.    Talun Hutan Rakyat
Talun adalah lahan di luar wilayah permukiman penduduk yang ditanami tanaman tahunan yang dapat diambil kayu maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan perawatan intensif dan hanya dibiarkan begitu saja sampai saatnya panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan, maka jarak tanam sering tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi umum lahan seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun hutan rakyat dengan kanopi yang rapat dapat mencegah erosi secara maksimal jugasecara umum mempunyai fungsi seperti hutan.

4.    Kebun Campuran
Berbeda dengan talun hutan rakyat, kebun campuran lebih banyak dirawat. Tanaman yang ditanam adalah tanaman tahunan yang dimanfaatkan hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga ditanam dengan tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim lebih besar daripada tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut tegalan. Kebun campuran ini mampu mencegah erosi dengan baik karena kondisi penutupan tanah yang rapat sehingga butiran air hujan tidak langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan tanaman juga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman lain di luar tanaman semusim mampu mengurangi risiko akibat gagal panen dan meningkatkan nilai tambah bagi petani.

5.    Pekarangan
Pekarangan adalah kebun di sekitar rumah dengan berbagai jenis tanaman baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan. Lahan tersebut mempunyai manfaat tambahan bagi keluarga petani, dan secara umum merupakan gambaran kemampuan suatu keluarga dalam mendayagunakan potensi lahan secara optimal. Tanaman yang umumnya ditanam di lahan pekarangan petani adalah ubi kayu, sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya, tanaman obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman lain yang umumnya bersifat subsisten.

6.    Tanaman Pelindung
Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan yang ditanam disela-sela tanaman pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan untuk mengurangi intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman pokok dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu system wanatani sederhana (simple agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap (Erythrina subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala) atau kayu manis (Cinnamomum burmanii).
b. Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentuk wanatani kompleks (complex agroforestry atau sistem multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites muluccana), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai (Perkia speciosa), kayu manis, dadap, lamtoro, gamal, durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer),dan lain sebagainya.

Tajuk tanaman yang bertingkat menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang mana hanya sebagian kecil air yang langsung menerpa permukaan tanah. Produksi serasah yang banyak juga menjadi keuntungan tersendiri dari sistem ini.

7.    Silvipastura
Sistem silvipastura sebenarnya adalah bentuk lain dari system tumpang sari, tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman tahunan bukan tanaman pangan melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Penniseitumpurpoides), dan lain-lain. Silvipastura umumnya berkembang di daerah yang mempunyai banyak hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat dipergunakan sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai untuk mengembangkan peternakan sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.

8.    Pagar Hidup
Pagar hidup adalah sistem pertanaman yang memanfaatkan tanaman sebagai pagar untuk melindungi tanaman pokok. Manfaat tanaman pagar antara lain adalah melindungi lahan dari bahaya erosi baik erosi air maupun angin. Tanaman pagar sebaikny atanaman yang mempunyai akar dalam dan kuat, menghasilkan nilai tambah bagi petani baik dari hijauan, buah maupun dari kayu bakarnya.
Untuk tanaman pagar dapat dipilih jenis pohon yang berfungsi sebagai sumber pakan ternak, jenis tanaman yang dapat menghasilkan kayu bakar, atau jenis-jenis lain yang memiliki manfaat ganda. Tanaman-tanaman tersebut ditanam dengan jarak yang rapat (< 10 cm). Karena tinggi tanaman bisa mencapai 1,5 – 2 m maka pemangkasan sebaiknya dilakukan 1-2 kali setahun (Agus et al., 1999).

C.  Strip Rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput (grass strip) biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak. Penelitian yang dilakukan oleh Suhardjo et al. (1997), Abdurachman et al. (1982), dan Abujamin (1978), membuktikan bahwa untuk lahan dengan lereng di bawah 20% sistem ini sangat efektif menahan partikel tanah yang tererosi dan menahan aliran permukaan. Tetapi apabila lahan mempunyai lereng di atas 20% dibutuhkan tindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau teras bangku.
Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih dari jenis yang berdaun vertical sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar matahari bagi tanaman pokok, tidak banyak membutuhkan ruangan untuk pertumbuhan vegetatifnya, mempunyai perakaran kuat dan dalam, cepat tumbuh, tidak menjadi pesaing terhadap kebutuhan hara tanaman pokok dan mampu memperbaiki sifat tanah.
Faktor tumbuh tanaman rumput, jarak tanam dalam satu strip,dan jarak antar-strip sangat menentukan efektifitas pengendalian erosi. Penelitian terhadap efektifitas berbagai macam strip rumput yang dilakukan Suhardjo et al. (1997), menunjukkan bahwa tingkat erosi pada tahun pertama masih tinggi karena rumput belum tumbuh optimal. Pertumbuhan rumput yang lebih baik pada tahun kedua mampu menekan jumlah tanah tererosi antara 30-60% pada  kemiringan di bawah 20%. Sedimen yang tertahan lama kelamaan akan mendekati bentuk datar sehingga menciptakan bidang terasalami. Abujamin et al. (1983) melaporkan bahwa setelah 4 tahun(1976/1977 sampai dengan 1979/1980) strip rumput bahia menghasilkan teras alami hasil endapan partikel tanah terangkut dengan ketinggian sekitar 25-30 cm, sedangkan pada strip rumput bede sekitar 50-60 cm.
Strip rumput sangat bagus jika dikombinasikan dengan usaha peternakan. Penelitian yang dilakukan oleh Watung et al. (2003) dan Subagyono et al. (2004) di sub-DAS Babon, Ungaran, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa integrasi penanaman rumput baik secara strip maupun ditanam pada sebagian bidang olah dengan penggemukan sapi terbukti memberikan alternatif yang dapat ditempuh untuk mewujudkan implementasi teknologi konservasi secara berkelanjutan. Hasil pangkasan strip dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sedangkan kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Di wilayah sentra produksi peternakan, teknik ini mudah diadopsi oleh peternak. Walaupun tingkat kebutuhan hijauan pakan ternak lebih besar daripada kontribusi pupuk kandang ke lahan pertanian, kondisi ini dapat diatasi dengan penanaman rumput secara khusus (padang rumput). Aspek keterjangkauan lahan dari permukiman penduduk desa juga perlu dipertimbangkan karena seringkali strip berupa pakan ternak tersebut dicuri.
Dalam upaya lebih meningkatkan efektifitasnya dalam menahan erosi, strip rumput dapat dikombinasikan dengan mulsa. Selain bertujuan untuk menahan erosi, sistem ini juga efektif dalam mempertahankan kelengasan tanah. Strip rumput dapat dikombinasikan dengan teknik konservasi secara mekanis seperti penerapan teras. Penanaman strip rumput dibibir teras sampai tampingan teras menghasilkan pengurangan tingkat erosi 30-50% dibandingkan bila strip rumput hanya ditanam di bibir teras saja. Menurut Suhardjo et al. (1997), pada tanah Inceptisols dengan curah hujan 1.441,8 mm/musim tanam maupun Entisols dengan curah hujan 1.625,5 mm/musim tanam, strip rumput yang ditanam di bibir teras saja ternyata masih menghasilkan erosi yang tinggi yaitu 20t/ha/musim tanam.

D. Mulsa
Dalam konteks umum, mulsa adalah bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air melalui evaporasi. Mulsa juga dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan tanah dari pukulan langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi percik(splash erosion), selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan (Suwardjo, 1981). Bahan mulsa yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan organik tanah dan hara. Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah pada kondisi yang baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya evaporasi, berimplikasi padastabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa berperan dalamperbaikan sifat fisik tanah. Pemanfaatan mulsa di lahan pertanian juga dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma.
Dalam bahasan ini, mulsa sisa tanaman atau bahan-bahan lain dari tanaman yang berfungsi untuk konservasi tanah dan air diuraikan. Peran mulsa dalam menekan laju erosi sangat ditentukan oleh bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi (Abdurachman dan Sutono, 2002). Menurut Suwardjo et al. (1989), dalam jangka panjang olah tanah minimum dan pemberian mulsa dapat menurunkan erosi hingga dibawah ambang batas yang dapat diabaikan (tolerable soil loss).
Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi terjadi makin besar.
Hasil penelitian telah membuktikan bahwa pemberian mulsa mampu meningkatkan laju infiltrasi.Lal (1978) melaporkan bahwa pemberian mulsa sisa tanaman sebanyak 4-6 t/ha mampu mempertahankan laju infiltrasi, serta menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat yang masih dapat diabaikan. Menurut Kurnia et al. (1997), mulsa jerami ditambah dengan mulsa dari sisa tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi sertamengurangi konsentrasi sedimen dan hara yang hilang akibat erosi. Erfandi et al. (1994) melaporkan, bahwa hasil pangkasan rumput vetiver yang dijadikan mulsa pada tahun ketiga penelitian sebanyak 5-6 t/ha mampu meningkatkan kadar C dan N tanah masing-masing sebesar 37-70%. Dari penelitian tentang mulsa dan pupuk hijau Sonosiso (Dalbergia siso) yang dilakukan oleh Haryati et al.(1990) di Desa Gondanglegi, Kabupaten Boyolali dapat disimpulkan bahwa cara pemberian pupuk hijau dengan cara dimulsakan lebih efisien/menguntungkan dibandingkan dengan cara pembenaman kedalam tanah.
Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa sisa tanaman yang tidak mudah terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung dengan takaran yang disarankan adalah 6 t/ha atau lebih.Bahan mulsa sebaiknya dari bahan yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah pembuangan limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.

E.   Sistem Penanaman Menurut Strip
Penanaman menurut strip (strip cropping) adalah system pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami tanaman dengan jarak tanam tertentu dan berselang-seling dengan jenis tanaman lainnya searah kontur. Misalnya penanaman jagung dalamsatu strip searah kontur dengan lebar strip 3-5 m atau 5-10 mtergantung kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacang tanah dengan sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumput atau tanaman penutup tanah yang lain.
Semakin curam lereng, maka strip yang dibuat akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling tampak lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi hingga 70-75% (FAO, 1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis legum) akan mampu memperbaiki sifat tanah walaupun terjadi pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50%.
Sistem ini biasa diterapkan di daerah dengan topografi berbukit sampai bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan teknik konservasi lain seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain. Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga tidak memerlukan modal yang besar.

F.   Barisan Sisa Tanaman
Pada dasarnya, sistem barisan sisa tanaman (trash line) ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah teknik konservasi tanah yangbersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang disiangi ditumpuk berbaris.Untuk daerah berlereng biasanya ditumpuk mengikuti garis kontur. Penumpukan ini selain dapat
megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan juga bias berfungsi sebagai mulsa.
Ketersediaan bahan sisa tanaman harus cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang lebih kuat. Sisa tanaman tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air dan akan cepat terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan kayu-kayu pancang diperlukan untuk memperkuat barisan sisa tanaman ini. Sistem ini cukup bagus untuk mempertahankan ketersediaan hara melalui dekomposisi bahan organik dan melindungi tanah dari bahayaerosi sampai umur tanaman <5 bulan.

G. Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang biasa ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah. Tanaman yang dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan darijenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi, buah, dan daun. Sebagaimana dilaporkan Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu meningkatkan laju infiltrasi.
Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi empat (Agus et al.,1999), yaitu: (1) tanaman penutup tanah rendah seperti centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica) dan benguk (Mucuna sp.); (2) tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro (Leucaena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium); (3) tanaman penutup tanah tinggi seperti sengon (Periserianthes falcataria); dan (4) belukar lokal.
Tanaman penutup tanah rendah, dapat ditanam bersama tanaman pokok maupun menjelang tanaman pokok ditanam. Tanaman penutup tanah sedang dan tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana tanaman pokok ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman pokok ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.
Tanaman penutup tanah dimaksudkan untuk menambah penghasilan petani dari hasil panennya, selain itu juga untuk memperbaiki sifat tanah karena mampu menambat N dari udara dan sisa tanamannya dapat dijadikan sumber bahan organik. Sebagai contoh tanaman penutup tanah dari jenis legum seperti Mucuna sp. sangat besar kontribusinya dalam memperbaiki produktivitas tanah. Selain mampu mengurangi pengaruh keracunan Al pada tanaman, Mucuna sp. juga merupakan sumber unsur hara bagi tanaman. Kandungan hara Mucuna sp. sebagai berikut: N=2,32%; P=0,20%; danK=1,97% (Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Ini berarti bahwa setiap pengembalian 1 t biomassa kering Mucuna sp. sebagai mulsa, maka akan diperoleh sekitar 23 kg N; 2 kg P dan 20 kg K yang setara dengan 52 kg urea; 10 kg TSP, dan 39 kg KCl. Hasil ini jelas akan memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi petani dalam memenuhi kebutuhan lahannya terhadap pupuk.

H. Penyiangan Parsial
Penyiangan parsial merupakan teknik dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu dengan cara menyisakan sebagian rumput alami maupun tanaman penutup tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di sekitar batang tanaman pokok akan bersih dari gulma. Tanaman penutup tanah yang tidak disiangi akan berfungsi sebagaipenahan erosi. Pada dasarnya teknik ini menyerupai strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan dan mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi dikembalikan ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman sehingga dapat menambah bahan organik bagi tanah dan memperbaiki sifat tanah. Teknik penyiangan yang termasuk dalam penyiangan parsial adalah:
1.    Strip tumbuhan alami (natural vegetative strips = NVS)
Pada dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahan yang tidak disiangi dan tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuh membentuk strip yang kurang lebih sejajar dengan garis kontur. Teknikini banyak diterapkan untuk tanaman semusim dan sudahberkembang di Mindanao Utara, Filipina (Agus et al., 2002).Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi, tetapi teknik ini juga mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
2.    Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok
Teknik ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanah tertutupi oleh gulma rumput maupun tanaman penutup tanah lain yang sengaja ditanam. Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman pokok dengan diameter sekitar 120 cm. Dengan memanfatkan teknik penyiangan ini pada areal tanaman kopi umur satu tahun dengan kemiringan lereng 60% dan curah hujan sebesar 1.338 mm (selama 6 bulan) tingkat aliran permukaan hanya sebesar 1,8% dari curah hujan dan erosi sebesar 1,9 t/ha. Sedangkan pada tanaman kopi umur 3 tahun dengan lereng 62-63% dan umur 16 tahun dengan kelerengan 46-49%, curah hujan yang sama menghasilkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 3,4% dan 6,3% dari jumlah curah hujan dan erosi yang dihasilkan berturut-turut sebesar 1,6 dan 1,3 t/ha (Gintings, 1982). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok ini juga dimaksudkan, untuk mencegah hama dan penyakit menyerang tanaman pokok dengan tetap memelihara keberadaan tanaman penutup tanah.

I.     Penerapan Pola Tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan waktu tanam dan jenis tanaman sesuai dengan iklim, kesesuaian tanah dengan jenistanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi terjadinya erosi. Biasanya petani sudah mempunyai pengetahuan tentang pola tanam yang cocok dengan keadaan biofisik dan sosial ekonomi keluarganya berdasarkan pengalaman dan kebiasaan pendahulunya. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam suatu usaha tani, erosi masih terjadi. Pemilihan pola tanam yang tepat dapat meningkatkan keuntungan bagi petani dan meningkatkan penutupan tanah sehingga erosi dapat dikurangi. Misalnya penanaman padi gogo yang disisipi jagung pada awal musim hujan, setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada saat bera ditanami benguk (Mucuna sp). Jenis tanaman dapat lebih bervariasi tergantung keinginan petani dan daya dukung lahannya. Pertanaman majemuk yang merupakan salah satu bagian dalam pola tanam pada dasarnya merupakan sistem dimana satu bidang olah ditanami lebih dari satu jenis tanaman pangan. Misalnya dalam satu bidang olah ditanami sekaligus tanaman jagung, padigogo, mukuna (benguk), dan kedelai. Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan, dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk salah satu tanaman, meningkatkan nilaitambah bagi petani dan juga termasuk tindakan pengendalian hama dan pengendalian erosi. Pada tahun 1974, hasil penelitian IRRI membuktikan bahwa populasi hama penggerek jagung (Ostrinianubilalis) pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacang tanah berada dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah populasi hama tersebut pada saat jagung ditanam secara monokultur.
Dengan penerapan pertanaman majemuk, penutupan tanah akan lebih rapat sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
1.    Pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman (crop rotation) adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan beberapa jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk meragamkan hasil tanaman. Pergantian tanaman ada yang dilakukan secara intensif dimana setelah panen tanaman pertama kemudian langsung ditanami tanaman kedua dan ada pula yang dibatasi periode bera. Daerah yang memiliki musim kering (MK) <4 bulan sangat baik untuk menerapkan system ini.
Penggunaan sistem pergiliran tanaman intensif secara berurutan, antara tanaman pertama yang disusul tanaman kedua dan seterusnya mampu menekan erosi secara nyata dibandingkan lahan yang hanya diolah tanpa ditanami. Pengaruh nyata tersebut dihasilkan dari fungsi tanaman sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien tanaman = 0,371) serta penambahan bahan organik dari sisa tanaman tersebut sebagai mulsa dan pembenah tanah sehingga tahan terhadap erosi.
Penggunaan sistem ini disarankan untuk tetap menggunakan pupuk dan teknik konservasi tanah, sehingga hasil tanaman dapat maksimal dan lahan yang dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya. Dari segi konservasi tanah, pergiliran tanaman memberikan peluang untuk mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Demikian seterusnya, sehingga sepanjang tahun intensitas penutupan tanah senantiasa dipertahankan. Kondisi ini akan mengurangi risiko tanah tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
2.    Tumpang sari
Tumpang sari (intercropping) adalah sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis tanaman yang ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem tumpang sari sebagian besar dikelola pada pertanian lahan kering yang hanya menggantungkan air hujan sebagai sumber air utama. Sistem tumpangsari adalah salah satu usaha konservasi tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan.Tanaman yang ditanam dapat berupa jagung dengan kacang tanah, jagung dengan kedelai, dan sebagainya. Tanaman tersebut dapat berupa tanaman penambat nitrogen, berperakaran dalam maupun dangkal yang pada prinsipnya saling menguntungkan.
Kerapatan penutupan tanah akan sangat menguntungkan untuk pencegahan erosi, mempertahankan kadar lengas tanah karena evaporasi terhambat, memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas perakaran mempertinggi bahan organik tanah. Hasil ganda yang diperoleh dalam satu luasan lahan dapat meningkatkan pendapatan petani. Setelah tanaman dalam tumpang sari tersebut dipanen sebaiknya tanah langsung ditanami dengan tanaman pangan lain ataupun tanaman penutup tanah yang mampu tumbuh cepat untuk melindungi tanah, sehingga erosi dapat dikurangi.
3.    Tumpang gilir
Tumpang gilir (relay cropping) adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan ditanami dengan dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan tanam. Pada system ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen jagung. Sistem ini diterapkan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan.
Penanaman tanaman kedua sebelum tanaman pertama dipanen dimaksudkan untuk mempercepat penanamannya dan masih mendapatkan air hujan yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya. Tanaman pertama tidak terlalu terpengaruh akibat kompetisi tanaman kedua karena tanaman pertama telah melewati fase pertumbuhan vegetatifnya. Begitu pula dengan tanaman kedua yang mendapatkan air dan hara yang cukup sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan vegetatifnya.

Dari segi konservasi, penutupan tanah yang rapat pada tumpang gilir mempunyai pengaruh yang cukup baik dalam menahan erosi. Penerapan teknik ini perlu diiringi dengan penerapan teknik konservasi tanah yang lain seperti penambahan bahan organik, penutup tanah dan jika perlu diterapkan tindakan sipil teknis. Mengingat intensitas tanaman yang tinggi, pemupukan juga perlu dilaksanakan. Penambahan sisa tanaman yang dijadikan mulsa akan mengoptimalkan kemampuan tanah dalam menahan erosi selain menyediakan kebutuhan tanaman akan hara.
Pola tanam yang diintroduksikan harus mampu meningkatkan efektivitas penggunaan lahan dan penggunaan air melalui pertimbangan biofisik lahan dan sosial ekonomi suatu wilayah. Perbedaan pola tanam menghasilkan komoditas serta intensitas pertanaman yang berbeda.Pola tanam juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan hara terutama jika pola tanam yang diintroduksi mencakup tanaman-tanaman dengan kedalaman perakaran yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar