Home » » Hierarki Perkotaan

Hierarki Perkotaan

Written By Tasrif Landoala on Kamis, 07 November 2013 | 01.19



Hierarki perkotaan menggambarkan jenjang fungsi perkotaan sebagai akibat perbedaan jumlah, jenis, dan kualitas dari fasilitas yang tersedia di kota tersebut. Atas dasar perbedaan itu, volume dan keragaman pelayanan yang dapat diberikan setiap jenis fasilitas juga berbeda. Perbedaan fungsi ini umumnya terkait langsung dengan perbedaan besarnya kota (jumlah penduduk). Perbedaan fungsi ini juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas pengaruh. Dengan demikian, ada kota yang menjalankan banyak fungsi sekaligus dengan kualitas pelayanan yang tinggi dan ada kota yang hanya menjalankan beberapa fungsi saja dengan kualitas yang kurang memadai. Sejalan dengan itu, ada kota yang wilayah pengaruhnya cukup luas bahkan juga termasuk kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya dan ada kota yang pengaruhnya hanya beberapa desa di sekitamya saja. Hierarki perkotaan seringkali sudah tercipta secara alamiah (mekanisme pasar) tetapi bisa juga dimodifikasi/diubah sebagai akibat keputusan pemerintah. Misalnya, sebuah kota kecil yang diputuskan pemerintah menjadi ibukota kabupaten, secara perlahan akan menaikkan hierarki dari kota tersebut, apabila keputusan itu direspons oleh masyarakat/pasar. Hierarki perkotaan sangat perlu diperhatikan dalam perencanaan wilayah karena menyangkut fungsi yang ingin diarahkan mtuk masing-masing kota. Terlaksananya fungsi itu berkaitan dengan fasilitas kepentingan umum yang akan dibangun di masing-masing kota. Banyaknya fasilitas yang harus tersedia di masing-masing kota harus sejalan dengan luas pengaruh kota tersebut, atau jumlah penduduk yang diperkirakan akan memanfaatkan fasilitas tersebut.
Dalam suatu wilayah, kota orde tertinggi diberi peringkat ke-l. Penentuan orde (tingkat) sangat terkait dengan luas wilayah analisis. Bagi Indonesia, Jakarta adalah kota orde ke-1. Bagi Provinsi Sumatra Utara, Medan adalah kota orde ke-1 . Bagi sebuah kabupaten kemungkinan besar ibukota kabupaten itu yang menjadi orde ke-l, seandainya ibukota itu adalah kota terbesar di kabupaten tersebut. Untuk kepentingan perencanaan wilayah, setiap kota di suatu wilayah harus ditetapkan ordenya. Orde ditetapkan berdasarkan kondisi riil di lapangan ataupun karena adanya keinginan untuk mengubah orde suatu kota. Orde suatu kota bisa diubah secara bertahap dengan merencanakan penambahan berbagai fasilitas di kota tersebut, di mana masyarakat diperkirakan akan mau memanfaatkan fasilitas tersebut sebagaimanamestinya (direspons oleh pasar). Untuk menciptakan efisiensi dalam kehidupan masyarakat, kota-kota di suatu wilayah perlu direncanakan ordenya. Setelah orde ditetapkan dapat dibuat perencanaan fasilitas yang sesuai untuk masing-masing orde. Misalnya di suatu kabupaten ditetapkan orde kota ada 4 tingkat, sedangkan pedesaan dinyatakan sebagai non orde. Maka untuk fasilitas pendidikan, dapat dibuat aturan perencanaan. Misalnya pada daerah non orde direncanakan ada SD, pada kota orde IV direncanakan ada SMP, beberapa SD dan taman kanak-kanak; pada kota orde III, direncanakan ada SMA, beberapa SMP, lebih banyak SD, dan lebih banyak taman kanak-kanak; pada kota orde II direncanakan ada akademi (program diploma), beberapa SMA, lebih banyak SMP, lebih banyak SD, dan lebih banyak taman kanak-kanak; pada kota orde I direncanakan ada Perguruan Tinggi, ada akademi, lebih banyak SMA, lebih banyak SMP, lebih banyak SD, dan lebih banyak taman kanak-kanak. Hal ini juga berlaku untuk fasilitas lain seperti rumah sakit (berbagai tingkatan), fasilitas pasar (bertagai tingkatan), dan fasilitas kebutuhan umum lainnya (air minum, listrik telepon dengan jumlah dan jenis yang berbeda di setiap orde).
Penentuan jenis dan besarnya fasilitas di masing-masing kota harus tepat. Apabila kekurangan akan merugikan masyarakat sedangkan apabila berlebih, akan membuat investasi menjadi mubazir. Ada pandangan kontroversial antara melihat dahulu pada masyarakat yang mebutuhkan, baru membangun fasilitas atau membangun fasilitas terlebih dahulu, baru mengharapkan masyarakat akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Apabila menunggu dahulu kebutuhan (fasilitas akan digunakan secara penuh) baru fasilitasnya dibangun, berarti masyarakat sudah dirugikan dan pertumbuhan ekonomi menjadi lambat. Namun membangun fasilitas terlebih dahulu tanpa meperhitungkan kemungkinan apakah masyarakat memanfaatkan fasilitas itu dalam waktu yang tidak terlalu lama juga merugikan karena membuat investasi menjadi mubazir. Masyarakat yang akan memanfaatkan fasilitas sangat terkait dengan perkembangan jumlah penduduk. Perkembangan jumlah penduduk sangat terkait dengan daya tarik subwilayah tersebut. Daya tarik suatu subwilayah sangat pengaruhi oleh pertumbuhan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan lapangan kerja, yang berbeda antara satu subwilayah dengan subwilayah lainnya. Pertumbuhan penduduk dapat juga terjadi karena adanya pengembang yang membangun lokasi perumahan di wilayah tersebut. Diperlukan pengamatan yang saksama utamanya tentang rencana investasi para pengusaha dan pemerintah, untuk memperkirakan daya tarik suatu subwilayah di masa yang akan datang.


Sumber: Perencanaan Pembangunan Wilayah (Tarigan, R., 2009)

Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger