Menurut
Djamal (2005), hutan kota adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan
asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur,
menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam,
membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan
lingkungan sehat, nyaman, dan estetis. Agar semua fungsi hutan kota tersebut
dapat dimaksimalkan maka perlu dicari dan dikembangkan bentuk dan struktur
hutan kota yang mendukungnya.
Berdasarkan
Lampiran I Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/MENHUT-V/2004 tanggal 22 Juli
2004, Bagian Ke enam, tentang Pedoman pembuatan Tanaman Penghijauan Kota
sebagai Gerakan Nasioanl Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antara lain disebutkan
bahwa luas minimal hutan kota adalah 0,25 ha dalam satu kesatuan hamparan yang
kompak (menyatu), agar tanaman dapat membentuk iklim mikro.
A. Bentuk dan Struktur Hutan Kota
Hasil
penelitian Zoer’aini Djamal Irwan (1994), hutan kota dapat dikelompokkan
berdasarkan kepada bentuk dan strukturnya :
1.
Bentuk Hutan Kota
Kawasan
hutan kota minimum 0,4 ha, jika berbentuk jalur minimum 30 m lebarnya. Hutan
kota meliputi taman, tepi jalan, jalan tol, jalan kereta api, bangunan, lahan
terbuka, kawasan padang rumput, kawasan luar kota, kawasan permukiman, kawasan
perdagangan, dan kawasan industri. Booth (1979) mengemukakan bahwa jalur hiaju
dengan lebar 183 m dapat mengurangi pencemaran udara sampai 75%.
Hutan
kota mempunyai fungsi yang efektif terhadap suhu, kelembapan, kebisingan, dan
debu sehingga keempat variabel ini dapat mencirikan kelompok hutan kota.
Menurut Zoer’aini Djamal Irwan (1994) bentuk hutan kota dapat dikelompokkan
menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Bergerombol atau menumpuk, yaitu hutan kota
dengan komunitas vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah
vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak bearturan;
b. Menyebar, yaitu hutan kota yang tidak
mempunyai pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar
dalam bentuk rumpun atau bergerombol kecil;
c. Berbentuk jalur, yaitu komunitas
vegetasinya tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung,
mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran, dan sebagainya.
2.
Struktur Hutan Kota
Struktur
hutan kota ditentukan oleh keanekaragaman vegetasi yang ditanam sehingga
terbangun hutan kota yang berlapis-lapis dan berstrata baik vertikal maupun
horizontal yang meniru hutan alam. Struktur hutan kota, yaitu komunitas
tumbuh-tumbuhan yang menyusun hutan kota. Struktur hutan kota diklasifikasikan
menjadi:
a. Berstrata dua, yaitu komunitas
tumbuh-tumbuhan hutan kota hanya terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup
tanah lainnya;
b. Bersrata banyak, yaitu komunitas
tumbuh-tumbuhan hutan kota selain terdiri dari pepohonan dan rumput juga
terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup
tanah, jarak tanam rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi
mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.
Struktur
hutan kota berstrata banyak dapat dilihat dalam penelitian penanggulangan
masalah lingkungan kota yang berhubungan dengan suhu udara, kebisingan, debu,
dan kelembaban udara. Hasil analisis secara multidimensi dari lima jenis hutan
kota, ternyata hutan kota yang berbentuk menyebar strata benyak paling efektif
untuk menanggulangi masalah lingkungan kota di sekitarnya.
Hutan
alam tropis menampilkan tiga lapisan pohon. Menurut Samingan, 1975; Ewusie,
1980; Longman dan Jenik, 1974, dan Goley, 1983 dalam Djamal, 2005, lapisan
pohon dan lapisan lainnya yang berdiri sendiri seperti belukar, perdu, dan terna
adalah sebagai berikut :
a. Paling atas (stratum A). Terdiri dari
pepohonan setinggi 30 - 45 m. Pohon tersebut muncul keluar mencuat tinggi di
atas, bertajuk lebar, dan umumnya tersebar sedemikian rupa sehingga tidak
saling bersentuhan membentuk lapisan yang berkesinambungan. Bentuk khas
tajuknya sering dipakai untuk mengenali spesies dalam suatu wilayah.
b. Lapisan pepohonan yang kedua (stratum B)
terletak di bawah pohon yang mencuat. Lapisan ini sering disebut sebagai
lapisan tingkat atas yang terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 18-27 m.
Pepohonan ini tumbuh berdekatan dan cenderung membentuk sodor yang
bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar pohon yang
mencuat (stratum A).
c.
Lapisan pepohonan yang ketiga (stratum C),
disebut lapisan tingkat bawah. Terdiri dari pepohonan yang tumbuh sekitar 8-14
m, cenderung rapat dan tegak.
d.
Lapisan belukar (stratum D), terdiri dari
spesies berkayu dengan ketinggian sekitar 10 m. Ada dua bentuk belukar, yaitu
yang mempunyai percabangan dekat ke tanah, tidak mempunyai sumbu utama dan yang
menyerupai pohon kecil, mempunyai sumbu yang jelas berupa pohon muda dari spesies
pohon yang lebih besar.
e. Lapisan terna (stratum E), terdiri dari
tumbuhan kecil, merupakan kecambah (anakan) dari berbagai vegetasi. Biasanya
terna tidak banyak dan tergantung kepada banyaknya sinar matahari yang tembus.
Pelapisan
vertikal komunitas hutan mempengaruhi penyebaran populasi hewan yang hidup
dalam hutan. Beberapa jenis burung dalam kehidupan dan pencarian makanannya
terdapat pada pepohonan yang mencuat tinggi sedangkan pada lapisan yang lebih
rendah terdapat herbivor mamalia seperti bajing dan lemur. Sedangkan pada
lapisan bawah (dasar) terdapat hewan dasar hutan seperti rusa.
B. Tipe Hutan Kota
Pembangunan
hutan kota harus sesuai dengan guna lahan (land use) yang dikembangkan. Menurut
Djamal (2005), terdapat beberapa tipe hutan kota, yaitu:
1.
Tipe Pemukiman
Hutan kota tipe ini lebih
dititik-beratkan kepada keindahan, penyejukan, penyediaan habitat satwa
khususnya burung, dan tempat bermain dan bersantai.
Hutan kota di daerah pemukiman dapat berupa taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan semak dan rerumputan.
Hutan kota di daerah pemukiman dapat berupa taman dengan komposisi tanaman pepohonan yang tinggi dikombinasikan dengan semak dan rerumputan.
2.
Tipe Kawasan Industri
Kawasan industri yang
memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun
hutan kota dengan tipe kawasan industri yang mempunyai fungsi sebagai penyerap
pencemar, tempat istirahat bagi pekerja, tempat parkir kendaraan dan keindahan.
Beberapa jenis tanaman telah diketahui kemampuannya dalam menyerap dan menjerap
polutan. Dewasa ini juga tengah diteliti ketahanan dari beberapa jenis tanaman
terhadap polutan yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Dengan demikian informasi
ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih jenis-jenis
tanaman yang akan dikembangkan di kawasan industri.
3.
Tipe Rekreasi dan Keindahan
Manusia dalam kehidupannya
tidak hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah seperti makanan dan
minuman, tetapi juga berusaha memenuhi kebutuhan rohaniahnya, antara lain
rekreasi dan keindahan. Rekreasi dapat didefinisikan sebagai setiap kegiatan
manusia untuk memanfaatkan waktu luangnya (Douglass, 1982). Dewasa ini terdapat
kecenderungan terjadinya peningkatan minat penduduk perkotaan untuk rekreasi,
karena kehidupannya semakin sibuk dan semakin besar kemungkinan untuk mendapat
stress. Rekreasi pada kawasan hutan kota bertujuan untuk menyegarkan kembali
kondisi badan yang sudah penat dan jenuh dengan kegiatan rutin, supaya siap
menghadapi tugas yang baru. Untuk mendapatkan kesegaran diperlukan suatu masa
istirahat yang terbebas dari proses berpikir yang rutin sambil menikmati sajian
alam yang indah, segar dan penuh ketenangan.
4.
Tipe Pelestarian Plasma Nutfah
Hutan konservasi
mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian
terhadap sumberdaya alam. Bentuk hutan kota yang memenuhi kriteria ini antara
lain : kebun raya, hutan raya dan kebun binatang. Ada 2 sasaran pembangunan
hutan kota untuk pelestarian plasma nutfah yaitu :
a.
Sebagai tempat koleksi plasma nutfah,
khususnya vegetasi secara ex-situ.
b.
Sebagai habitat, khususnya untuk satwa yang
akan dilindungi atau dikembangkan.
Manusia modern menginginkan
back to nature. Hutan kota dapat diarahkan kepada penyediaan habitat burung dan
satwa lainnya. Suatu kota sering kali mempunyai kekhasan dalam satwa tertentu,
khususnys burung yang perlu diperhatikan kelestariannya. Untuk melestarikan
burung tertentu, maka jenis tanaman yang perlu ditanam adalah yang sesuai
dengan keperluan hidup satwa yang akan dilindungi atau ingin dikembangkan,
misalnya untuk keperluan bersarang, bermain, mencari makan ataupun untuk bertelur.
5.
Tipe Perlindungan
Kota yang memiliki
kuantitas air tanah yang sedikit dan atau terancam masalah intrusi air laut,
maka fungsi hutan yang harus diperhatikan adalah sebagai penyerap, penyimpan
dan pemasok air. Maka hutan yang cocok adalah hutan lindung di daerah tangkapan
airnya. Kota dengan kemiringan yang cukup tinggi yang ditandai dengan
tebing-tebing yang curam ataupun daerah tepian sungai perlu dijaga dengan
membangun hutan kota agar terhindar dari bahaya erosi dan longsoran. Hutan kota
yang berada di daerah pesisir dapat berguna untuk mengamankan daerah pantai
dari gempuran ombak laut yang dapat menghancurkan pantai. Untuk beberapa kota
masalah abrasi pantai ini merupakan masalah yang sangat penting.
6.
Tipe Pengamanan
Yang dimaksudkan hutan
kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas
hambatan. Dengan menanam perdu yang liat dan dilengkapi dengan jalur pohon
pisang dan tanaman yang merambat dari legum secara berlapis-lapis, akan dapat
menahan kendaraan yang keluar dari jalur jalan. Sehingga bahaya kecelakaan
karena pecah ban, patah setir ataupun karena pengendara mengantuk dapat dikurangi.
Pada kawasan ini tanaman harus betul-betul cermat dipilih yaitu yang tidak
mengundang masyarakat untuk memanfaatkannya. Tanaman yang tidak enak rasanya
seperti pisang hutan dapat dianjurkan untuk ditanam di sini.
C. Fungsi Hutan Kota
Fungsi
hutan kota sangat tergantung pada komposisi dan keanekaragaman jenis dari
komunitas vegetasi yang menyusunnya dan tujuan perancangannya.
1.
Fungsi Landscape
Fungsi
lansekap meliputi fungsi fisik dan fungsi sosial, yaitu:
a. Fungsi fisik. Vegetasi sebagai unsur
struktural berfungsi sebagai perlindungan kondisi fisik alami seperti angin,
sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan bau. Penggunaan untuk maksud
ini ditentukan oleh ukuran dan bentuk kerapatan vegetasi. Secara arsitektural
vegetasi sangat penting di dalam tata ruang luar. Vegetasi dapat digunakan pada
ruang luar untuk menghubungkan bangunan dengan tapak di sekitarnya, menyatukan
dan menyelaraskan lingkungan sekitar yang seolah tidak beraturan, memperkuat
titik-titik dan area-area tertentu dalam lansekap, mengurangi kekakuan
unsur-unsur arsitektural yang keras dan membingkai pemandangan. Dalam hal ini
vegetasi dapat berfungsi sebagai pelengkap, pemersatu, penegas, pengenal,
pelembut, dan pembingkai.
b. Fungsi sosial. Penataan vegetasi dalam
hutan kota yang baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat produktif.
Di dalam hutan kota, penyair atau seniman dapat merenung sehingga menjadi
sumber inspirasi dan ilham. Hutan kota dengan aneka vegetasinya mengandung
nilai-nilai ilmiah yang dapat menjadi laboratorium hidup untuk sarana
pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan (hygiene), misalnya untuk terapi
mata dan mental serta fungsi rekreasi, olahraga, dan sebagai tempat interaksi
sosial lainnya. Rekreasi erat kaitannya dengan estetika dan merupakan bagian
dari hidup manusia, yaitu berbagai kegiatan untuk mencari kesegaran mental
dalam rangka memperbaiki semangat seseorang yang dapat menimbulkan inisiatif
dan perspektif kehidupan sehingga siap kembali untuk bekerja keras (Douglass,
1970). Fungsi sosial politik ekonomi, misalnya untuk persahabatan antar negara.
Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan
penduduk dengan menghasikan buah-buahan dan obat-obatan sebagai warung hidup
dan apotek hidup.
2.
Fungsi Pelestarian Lingkungan (Ekologi)
Dalam
pengembangan dan pengendalian kualitas lingkungan, fungsi lingkungan diutamakan
tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi lingkungan antara lain:
a.
Menyegarkan udara atau sebagai ”Paru-Paru
Kota”
Vegetasi
mengambil CO2 dalam proses fotosintesis dan menghasilkan O2 yang sangat
diperlukan makhluk hidup untuk pernapasan. Menurut Grey dan Deneke (dalam
Djamal 2005), setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen
dengan CO2 yang dihembuskan oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu
yang sama sebagai hasil pernapasannya. O2 sebagai hasil fotosisntesis, sebagian
dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan untuk berjalannya proses respirasi
(pernapasan). Pada proses respirasi justru memerlukan O2 dan menghasilkan CO2. Soemarwoto
(1991) mengemukakan bahwa pada fase pertumbuhan, tumbuhan atau sekumpulan
tumbuhan seperti hutan, laju fotosisntesis (P) lebih besar daripada proses pernapasan
(R), sehingga P/R = > 1.
Pada
fase ini laju pengikatan CO2 lebih besar daripada laju emisi CO2, sehingga
hutan mengurangi kadar CO2 dalam atmosfer. Akan tetapi, semakin besar hutan
maka semakin banyak daun yang ternaungi dan semakin besar pula proporsi bagian
tumbuhan yang kurang mengandung klorofil seperti batang dan akar. Dengan
demikian nisbah P/R semakin mengecil, akhirnya akan mendekati 1. Apabila
tumbuhan atau hutan mencapai keseimbangan dinamik maka laju pengikatan CO2 sama
dengan laju pelepasan CO2. Begitu pula tumbuhan yang muda biasanya P/R > 1,
semakin tua tumbuhan P/R maka semakin mendekati 1.
b.
Menurunkan Suhu Kota dan Meningkatkan
Kelembaban
Kelembaban
udara menunjukkan kandungan uap air di atmosfer pada suatu saat dan waktu
tertentu. Kelembabpan udara berhubungan dengan keseimbangan energi dan
merupakan ukuran banyaknya energi radiasi berupa panas laten yang dipakai untuk
menguapkan air yang terdapat di permukaan yang menerima radiasi. Semakin banyak
air yang diuapkan, semakin banyak energi yang berbentuk panas laten dan makin
lembab udaranya.
Tanaman yang tinggi, laju evapotranspirasinya lebih besar. Kehilangan panas karena terjadinya evaporasi akan menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk.
Tanaman yang tinggi, laju evapotranspirasinya lebih besar. Kehilangan panas karena terjadinya evaporasi akan menyebabkan suhu di sekitar tanaman menjadi lebih sejuk.
c.
Sebagai Ruang Hidup Satwa
Vegetasi
atau tumbuhan selain sebagai produsen pertama dalam ekosistem juga dapat
menciptakan ruang hidup (habitat) bagi makhluk hidup lainnya, contohnya burung.
Burung sebagai komponen ekosistem mempunyai peranan penting, diantaranya adalah
mengontrol populasi serangga, membantu penyerbukan bunga dan penyebaran biji.
Hampir
pada setiap bentuk kehidupan terkait erat dengan burung, sehingga burung mudah
dijumpai di beberapa tempat. Dengan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa
burung dapat dijadikan sebagai indikator lingkungan. Karena apabila terjadi
pencemaran lingkungan, burung merupakan komponen alam terdekat yang terkena
pencemaran. Burung berperan dalam rekreasi alam, hal ini terbukti dengan adanya
taman burung yang selalu dikunjungi orang, untuk menikmati bunyi, kecantikan,
ataupun kecakapan burung. Burung mempunyai nilai pendidikan dan penelitian.
Keindahan burung dengan segala yang dimilikinya akan memberikan suatu
kenikmatan tersendiri. Berbagai jenis burung memerlukan berbagai jenis makanan.
Komposisi
dan struktur vegetasi akan memengaruhi jenis dan jumlah burung untuk melakukan
aktivitasnya. Hasil penelitian Kusnadi (1983) dalam Hernowo (1989) menunjukkan
jumlah dan jenis burung semakin meningkat dengan bertambahnya jarak dari pusat
kegiatan industri. Pada jarak 1 km dijumpai 32 jenis, jumlahnya 1.012 ekor,
jarak 2 km terdapat 46 jenis dengan jumlah 1.123 ekor, dan jarak 3 km terdapat
52 jenis dengan jumlah 1.309 ekor. Hal ini menunjukkan burung merupakan salah
satu indikator lingkungan, sehingga keberadaannya harus diperhatikan. Terdapat
burung yang mempunyai kebiasaan berada dari tajuk sampai ke bawah tajuk. Ini
menunjukkan bahwa apabila hutan kota mempunyai komposisi yang banyak jenisnya,
berlapis-lapis, dan berstrata akan membuat banyak burung tertarik.
Hasil
penelitian Zoer’aini Djamal Irwan (1994) menunjukkan bahwa burung lebih banyak
dijumpai, baik jenis maupun jumlahnya pada hutan kota yang ditanami dengan
tanaman produktif (berbunga, berbuah, dan berbiji) pada struktur hutan kota yang
berstrata banyak. Kehadiran burung pada hutan kota juga dikarenakan adanya
jenis buah-buahan (tanaman produktif). Tanaman produktif dalam hal ini adalah
tanaman yang menghasilkan bunga, buah, dan biji sehingga memberikan kesempatan
lebih besar kepada burung (herbivor) yang menyukainya untuk datang, mencari
makan, bercengkerama, atau bersarang. Kehadiran burung juga dapat terjadi
karena adanya informasi dari hutan kota terhadap burung, misalnya dari bentuk
tajuk, aroma, maupun estetika dari vegetasi yang ada.
d.
Penyanggah dan Perlindungan Permukaan Tanah
dari Erosi
Fungsi
hutan kota lainnya adalah sebagai penyanggah dan pelindung permukaan tanah dari
air hujan dan angin untuk penyediaan air tanah dan pencegahan erosi.
e.
Pengendalian dan Mengurangi Polusi Udara
dan Limbah.
Untuk
mengendalikan atau mengurangi polusi udara, limbah, dan menyaring debu. Debu
atau partikulat terdiri dari beberapa komponen zat pencemar. Dalam sebutir debu
terdapat unsur-unsur seperti garam sulfat, sulfuroksida, timah hitam, asbestos,
oksida besi, silika, jelaga, dan unsur kimia lainnya. Pencemaran debu secara
langsung dapat menyebabkan kerusakan pada organ pernapasan dan kulit.
Hasil
penelitian Zoer’aini Djamal Irwan (1994) menunjukkan bahwa hutan kota dapat
menurunkan kadar debu sebesar 46,13% di siang hari pada permulaan musim hujan.
Hutan kota yang berstrata banyak lebih efektif menurunkan kadar debu, yaitu
sebesar 53,56%, dibandingkan dengan hutan kota yang berstrata dua menurunkan
kadar debu sebesar 42,89%. Tumbuhan dapat mengurangi debu dengan tajuk yang
rindang sesuai dengan ketentuan berikut :
1)
Sebidang tanah seluas 300 x 400 m2 dapat
menurunkan kadar debu dalam udara dari 7.000 partikel/liter menjadi 4.000
partikel/liter.
2) Antara ujung-ujung suatu jalur hijau
sepanjang 5 km dengan lebar 2 km, konsentrasi debu menurun dengan perbandingan
50 : 3.
Berbagai
jenis penelitian lainnya hanya menunjukkan bahwa vegetasi dapat mengakumulasi
berbagai jenis polutan. Penelitian Wargasasmita et. al. (1991) menunjukkan
bahwa tumbuhan dapat mengakumulasi Pb pada daun dan kulit batangnya. Terbukti
dari hasil penelitian itu bahwa kandungan Pb pada tumbuhan sejenis, di lokasi
yang jauh dari pinggir jalan. Jahja Fakuara et. al., menemukan dalam
penelitiannya bahwa Cassia siamea (johar),
Pithecellobium dulce (asam landi), dan Swietenia macrophylla (mahoni) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap Pb. Badri (1986) mengemukakan bahwa merupakan tumbuhan dari pencemaran logam berat.
Pithecellobium dulce (asam landi), dan Swietenia macrophylla (mahoni) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap Pb. Badri (1986) mengemukakan bahwa merupakan tumbuhan dari pencemaran logam berat.
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa Axonopus compressus, Acalypha wilkesana, dan
Pterocarpus indicus dapat menyerap logam berat seperti Zn, Cu, dan Pb. Hasil
penelitian Dahlan (1989) menunjukkan bahwa kandungan Pb jerapan dan Pb serapan
sangat bervariasi menurut jenis daun. Daun tanaman Agathis Alba (damar), Bixa orellana
(kesumba), Filicium decipiens (kiara payung), Swietenia macrophylla (mahoni),
Podocarpus imricatus (jamuju), dan Myristica fragrans (pala) mempunyai potensi
yang tinggi sebagai pereduksi Pb. Sedangkan daun pohon pala, jamuju, kupu-kupu,
damar, kesumba, mahoni, dan kirai payung mempunyai kemepuan untuk mereduksi Pb
dengan kadar tinggi dan sedang. Daun pohon kupu-kupu mempunyai kemampuan penyerapan
relatif lebih rendah. Penelitian Misawa et. al. (1993) mengenai studi sabuk
hijau terhadap kualitas udara dengan enam jenis tumbuhan, yaitu Pasania edulis,
Quercus myrsinaefolia, Mirica rubra, Ilex integra, Ilex rotunda, dan
Cryptomeria japonica dengan bebagai bentuk struktur jalan.
Oleh
karena itu sebaiknya, agar penyerapan partikulat dapat terjadi sebanyak
mungkin, perlu dikembangkan struktur jalan dan penutupan jalan dengan sabuk
vegetasi. Grey dan Deneke (1976) mengemukakan bahwa ada beberapa tumbuhan
tertentu yang dapat menyerap polutan tertentu. Seperti sebagian spesies kayu manis
dan yellow birch dapat menyerap sulfur dioxide. Ahli dari Rusia, Robinette
(1972), menunjukkan hasil penelitiannya bahwa lingkungan pabrik dengan luas 500
m lahan hijau dapat menurunkan sekitar 70% sulfur dioxide dan 67% nitrit oxide.
f.
Peredaman Kebisingan
Kebisingan
adalah suara yang berlebihan, tidak diinginkan dan sering disebut “polusi tak
terlihat” yang menyebabkan efek fisik dan psikologis. Efek fisik berhubungan
dengan transmisi gelombang suara melalui udara, efek psikologis berhubungan
dengan respons manusia terhadap udara.
Telinga manusia dapat mendeteksi frekuensi suara berkisar antara 20-20.000 CPS.
Telinga manusia dapat mendeteksi frekuensi suara berkisar antara 20-20.000 CPS.
Intensitas
suara yang dapat didengar oleh
telinga manusia antara 0-10 desibel. Peningkatan kadar bising di ruang luar ditentukan oleh :
telinga manusia antara 0-10 desibel. Peningkatan kadar bising di ruang luar ditentukan oleh :
1) Keadaan sumber bunyi (frekuensi, lokasi,
komposisi, apakah berbentuk garis atau titik);
2)
Keadaan alam dan vegetasi yang dilalui
bunyi;
3) Keadaan atmosfer, antara lain kecepatan dan
arah angin, temperatur, dan kelembaban udara.
Seberapa
jauh tingkat kebisingan yang dapat dikontrol oleh vegetasi tergantung pada
jenis spesies, tinggi tumbuhan, kerapatan, dan jarak tumbuh; faktor iklim yaitu
angin, kecepatan, temperatur, dan kelembaban; properti dari suara yaitu tipe,
asal, tingkat desibel, dan intensitas suara tersebut. Gelombang suara
diabsorbsi oleh daun-daun, cabang-cabang, ranting-ranting dari pohon dan semak.
Telah dipostulasikan bahwa bagian tanaman yang paling efektif untuk absorbsi
suara adalah bagian yang memiliki daun tebal, berdaging dengan banyak petiole.
Studi
yang dilakukan oleh School of Engineering di Universitas Nebraska, Rocky
Mountain Forest, Range Experiment Station, dan di hutan Amerika dengan hasil
sebagai berikut (Cook dan Van Haverbeke, 1971 dalam Djamal, 2005) :
1) Pengurangan kebisingan yang disebabkan oleh
kendaraan berkecepatan tinggi dan truk di daerah pedesaan dapat diperoleh hasil
terbaik dengan menanam pohon dan semak yang lebarnya 20m - 30m, penyangga
tepinya 16m - 20m dari pusat jalur lalu lintas terdekat. Deretan pusat pohon
dengan ketinggian minimal 14m.
2) Penurunan kebisingan lalu lintas yang
berasal dari kendaraan roda empat dengan kecepatan sedang di daerah perkotaan
dengan menggunakan pohon dan semak penyangga yang lebarnya 6m - 16m akan
efektif dengan semak penyangga adalah semak yang tepinya 2m - 2,5m serta latar
belakangnya deretan pohon dengan tinggi sekitar 4,5m - 10m.
3)
Untuk mendapatkan hasil yang optimum,
jajaran semak dan pohon seharusnya ditanam dekat pusat kebisingan.
4)
Pohon-pohon tinggi yang rindang dapat pula
digunakan, vertikal dan seragam yang dikombinasikan dengan semak. Jika pohon
yang tinggi kurang dapat digunakan maka dapat mengombinasikan semak yang rendah
dengan rumput yang tinggi atau penutup tanah yang lembut sebagai lawan dari
permukaan trotoar, tumpukan batu, dan kerikil.
5) Pohon dan semak yang ditanam saling
menutupi merupakan suatu kesatuan sehingga dapat menjadi bafer yang kuat.
6)
Sebaiknya ditanam conifer atau vegetasi
yang hijau sepanjang tahun.
7)
Jarak penyangga sebaiknya dua kali jarak
dari pusat sumber suara ke penerima, dan pada kedua sisi dan sepanjang jalan
jika digunakan pada jalur lalu lintas.
Penggunaan
vegetasi untuk menyaring kebisingan tidak akan efektif apabila tidak
memerhatikan ukuran dan kepadatannya. Akan lebih efektif lagi jika vegetasi
menggunakan kombinasi topografi jalan. Hutan kota berfungsi untuk mengurangi
kebisingan selain menghalangi gelombang suara juga menghalangi sumber suara.
Cook dan Van Haverbeke (1971) dalam Djamal (2005) dari hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa jalur pepohonan yang tinggi dan padat dikombinasikan dengan
semak digabungkan dengan permukaan halus lainnya, akan mengurangi kebisingan
sampai 50%. Fakta-fakta berikut ini memberikan beberapa arti fisik terhadap
skala desibel dari tingkat intensitas suara, yaitu :
1)
0 desibel sama dengan awal pendengaran;
2)
130 desibel dapat disamakan awal dari rasa
sakit;
3) perubahan 1 desibel dalam SPL merupakan
perbedaan terkecil yang dapat dikenal;
4) peningkatan 10 desibel dapat disamakan
dengan dua kali lipat peningkatan kebisingan yang nyata;
5)
suara yang biasa terdengar adalah 40
desibel (lokasi permukiman pada malam hari di lokasi yang tenang) dan 80
desibel (truk besar atau sepeda motor yang lewat dalam jarak 16 m).
g.
Tempat Pelestarian Plasma Nutfah dan Bioindikator
Hutan
kota juga berfungsi sebagai tempat pelestarian plasma nutfah dan bioindikator
dari timbulnya masalah lingkungan seperti hujan asam. Karena tumbuhan tertentu
akan memberikan reaksi tertentu terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di
sekitarnya.
Plasma
nutfah sangat diperlukan dan mempunyai nilai yang sangat tinggi dan diperlukan
untuk kehidupan. Masih banyak jenis vegetasi yang belum dikenal, terutama yang
jenisnya belum diketahui. Jenis-jenis yang belum dapat diketahui ini dapat
digunakan dalam dunia kesehatan sebagai bahan baku untuk obat-obatan. Di dunia
pertanian sangat berguna jika jenis ini dikawinkan dengan jenis yang sudah
dikenal dalam rangka mencari bibit unggul.
h.
Menyuburkan Tanah
Sisa-sisa tumbuhan akan
dibusukkan oleh mikroorganisme dan akhirnya terurai, lalu menjadi humus atau
materi yang merupakan sumber hara mineral bagi tumbuhan.
D. Fungsi Estetika
Karakteristik
visual atau estetika erat kaitannya dengan rekreasi. Ukuran, bentuk, warna, dan
tekstur tanaman serta unsur komposisi dan hubungannya dengan lingkungan
sekitarnya merupakan faktor yang memengaruhi kalitas estetika. Kualitas visual
vegetasi sangat penting karena tanggapan seseorang merupakan reaksi dari suatu
penampakan. Hutan, selain memberikan hasil utama dan sebagai sumber air, juga
merupakan sarana untuk berekreasi.
Hutan
kota dapat memberikan kenyamanan dan kenikmatan kepada penduduk kota jika dapat
mengembangkan dan membangun hutan kota ditata dengan baik. Tingkat kenyamanan
seseorang selain tergantung pada faktor usia dan kebudayaan, juga sangat
ditentukan oleh suhu dan kelembaban (iklim mikro). Kenyamanan dapat didesain
pada batas-batas tertentu dengan menggunakan vegetasi, memodifikasi suhu, angin
dan kelembapan. Diharapkan hutan kota dapat memenuhi tingkat kenyamanan yang
dikehendaki karena hutan kota dapat memodifikasi iklim mikro.
Hutan
kota dengan struktur yang berstrata banyak memberikan banyak keuntungan bagi
penduduk kota karena :
1. Hutan kota berstrata banyak lebih efektif
menanggulangi masalah lingkungan perkotaan;
2.
Lingkungan di sekitar hutan kota berstrata
banyak lebih nyaman
3.
Lingkungan di sekitar hutan kota berstrata
banyak lebih terasa nikmat.