A. Pengertian Sistem Informasi Geografi
(SIG)
SIG adalah suatu hal yang tidak mudah untuk memberikan suatu definisi yang
dapat memuaskan berbagai kalangan, karena SIG banyak berkaitan dengan banyak
disiplin ilmu, seperti teknologi informasi, keteknikan, survei dan
fotogrametri, kartografi, sosioekonomi, dan geografi yang masing-masing
memiliki sudut pandang yang berbeda (Juppenlatz dan Xiaoping Tian, 1996). Oleh
karena itu, definisi yang
mencakup keseluruhan aspek dan dapat diterima semua pihak secara memuaskan
sangat sulit untuk dirumuskan. Definisi yang ada hingga kini masih menurut
sudut pandang disiplin ilmunya masing-masing.
Pengertian SIG
secara luas adalah sistem manual dan atau komputer yang digunakan untuk
mengumpulkan, menyimpan, mengelola dan menghasilkan informasi yang mempunyai
rujukan spasial
atau geografis. Banyak para ahli mencoba mendefinisikan SIG secara lebih
operasional, misal Burrough (1986) mengemukakan bahwa SIG adalah seperangkat
alat (tools) yang bermanfaat untuk pengumpulkan, penyimpanan,
pengambilan data yang dikehendaki, pengubahan dan penayangan data keruangan
yang berasal dari gejala nyata di permukaan bumi. Arronof (1989) dalam bahasa
yang lebih lugas mendefinikan SIG sebagai suatu “sistem” berbasis komputer yang
memberikan empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yakni pemasukan, pengelolaan atau
manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis,
dan keluaran.
Dari berbagai
definisi tersebut dapat ditarik suatu benang merah bahwa di dalam SIG tercermin
adanya:
a.
Pemrosesan data spasial dalam bentuk digital (numeric)
yang mendasarkan pada kerja komputer yang mempunyai persyaratan tertentu ,
disamping data lainnya yang berupa data
atribut;
b.
Dinamisasi proses pemasukan, klasifikasi, analisis hingga
keluaran (hasil);
c.
Menghasilkan informasi baru.
B. Pemanfatan SIG
SIG sebagai alat
tidaklah bermakna apa-apa tanpa melalui interaksi dengan manusia. Melalui
interaksi antara alat (SIG) dengan manusia ini diperoleh manfaat yang berupa
kemudahan, kecermatan, ketepatan proses dan optimalisasi penggunaannya. SIG
akan lebih bermanfaat, bila penggunaannya terkoordinasi, pengguna mampu menilai
kekuatan fasilitas yang dimiliki SIG, dan mampu menganalisis keluaran (out put) data. SIG menyediakan
kemudahan bagi manusia untuk memadukan data yang bermacam-macam, sehingga dapat
dengan mudah menarik kesimpulan dan menentukan keputusan. Beberapa contoh
aplikasi SIG antara lain pembuatan peta klasifikasi kualitas lahan permukiman,
evaluasi sumber daya lahan, pemantauan perkembangan kota, pemetaan daerha
bahaya longsor, perancangan jaringan jalan baru, jalur listrik, pipa, kabel telpon, dan lain-lain.
Saat ini SIG di
Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Suatu contoh sederhana betapa SIG
sebagai suatu metode dan teknologi belum dimanfaatkan oleh masyarakat adalah
banyaknya korban tanah longsor di Purworejo dan Banyumas. Bencana tanah longsor
yang telah menelan korban jiwa dan harta benda terjadi secara beruntun pada
musim penghujan tahun 2001. Pemerintah sebagai pengayom masyarakat ternyata
tidak dapat memberikan peringatan antisipasi agar terhindar dari bencana tanah
longsor dan jaminan keselamatan kepada warga masyarakat di daerah bencana.
Bencana tanah longsor sebenarnya dapat diantisipasi bila pemerintah mempunyai
data peta potansi kelongsoran. Peta daerah bahaya longsor lahan dapat diperoleh
dengan memanfaatkan SIG. Berdasarkan peta daerah potensi bahaya longsor ini, pemerintah daerah dapat
memberitahu titik-titik yang potensial terjadi bahaya longsor dan
menginstruksikan kepada warga masyarakat yang menempati areal beresiko tinggi
terjadi longsor agar pindah tempat, dan berbagai antisipasi penyelematan diri. Pengolahan
dan pembuatan peta daerah bahaya longsor ini dapat dilakukan dengan memadukan input data berupa peta
curah hujan, peta kemiringan lereng, peta jenis tanah, peta penggunaan lahan,
dan peta geologi.
Pada umumnya di
negara-negara berkembang, pemanfaatan SIG sebagai alat bantu untuk pengambilan kebijakan
pembangunan belum dilakukan secara optimal. Di Indonesia, bahkan SIG belum
dipakai secara nasional, pemanfaatannya masih sangat terbatas, karena disamping
masih terbatasnya tenaga ahli, masih terbatasnya dana, belum adanya pemahaman
dari pemerintah daerah, juga belum tertatanya peta-peta dalam bentuk basis
data. Bila masing-masing pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten memiliki basis data peta mengenai daerahnya ,
maka dapat dengan mudah dikembangkan SIG secara nasional, sehingga Indonesia
mempunyai SIG Nasional (SIGNAS).
Bila saat ini
pemda-pemda belum dapat menerapkan SIG dalam proses pembangunan mungkin masih
dimaklumi, karena perguruan tinggi saja yang semestinya menjadi perintis dan pengembang
SIG ternyata belum dapat berbuat banyak, terbukti hanya sedikit sekali
perguruan tinggi yang memiliki program studi yang mempelajari SIG, apalagi
memiliki laboratorium SIG. Universitas Gadjah Mada (khususnya Fakultas
Geografi) dan Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional) saja
yang disebut sebagai perintis SIG di Indonesia, kondisinya kurang representatif
untuk dijadikan sebagai ujung tombak penembangan program SIG agar lebih
berdayaguna dan mengoptimalkan aplikasinya untuk kepentingan pembangunan.
Selain di
perguruan tinggi, SIG di Indonesia baru
dimanfaatkan oleh beberapa lembaga departemen dan non-departemen di tingkat
pusat dan baru dirintas di tingkat
daerah. Departemen yang paling banyak memanfaatkan SIG adalah Departemen
Kehutanan dan Departemen PU. Departemen lainnya dan lembaga-lembaga struktural
lainnya di daerah-daerah belum anyak yang menggunakan SIG, karena masih
minimnya tenaga yang terampil, kesadaran dan ketidaktahuan untuk membuat basis
data, dan belum ada yang teralokasikan untuk kepentingan ini. Belum
teralokasikannya dana untuk pengaadaan peralatan dan aplikasi SIG ini terjadi
karena para penyelenggara pemerintahan belum banyak tahu tentang pentingnya SIG
dalam penyusunan rencana, pemantauan, dan evaluasi pembangunan secara mudah,
murah, efektif, dan akurat. Semestinya lembaga struktural yang paling banyak
membutuhkan SIG adalah Bappenas/Bappeda, tetapi kenyataannya Bappeda Kota
Yogyakarta saja yang merupakan daerah yang memiliki tenaga ahli dan profesional
dalam bidang SIG ini (akademisi kampus UGM), ternyata belum mengaplikasikan SIG
untuk kepentingan pembangunan daerahnya, apalagi daerah lain yang tidak
memiliki tenaga ahli SIG.
Bila kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka Indonesia akan semakin jauh
ketinggalan dari negara-negara lain, apalagi di era persaingan bebas.
C. Manfaat SIG dalam Pembangunan
Nasional
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa SIG mempunyai peran penting dalam pembangunan.
Pembangunan meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam setiap
tahapnya pembangunan memerlukan data yang handal agar pembangunan yang
dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Untuk mencapai
maksud tersebut, maka SIG berperan untuk menampilkan informasi karakteristik
area (fisik dan non-fisik) yang akan menjadi tempat pembangunan tersebut. SIG
mampu menyajikan prioritas daerah-daerah mana yang harus didahulukan,
memberikan informasi tentang jenis pembangunan yang diperlukan, dan lain-lain.
Bila masing-masing daerah mempunyai basis data SIG, maka pemerintah dapat
memanfaatkan teknologi internet untuk membangun SIGNAS. Berikut ini diuraikan
beberapa contoh manfaat SIG dalam pembangunan nasional.
a.
Penyusunan neraca sumber daya
Salah
hal penting yang harus diketahui dalam proses pembangunan adalah mengetahui
potensi yang dimiliki oleh kita, baik yang berupa sumber daya alam maupun
sumber daya manusia. Apalagi kini, diterapkan otonomi daerah dimana setiap
daerah harus memiliki neraca sumber daya
daerah. Neraca sumber daya ini dapat diperoleh dengan bantuan SIG. SIG mampu memberikan informasi baru mengenai
sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah, dapat diketahui persebaran dan
kauntitasnya.
b. Perubahan penggunaan lahan
Penggunaan
lahan merupakan aspek penting untuk mengetahui sejauh mana aktivitas manusia
dalam berinteraksi dengan alam. Bahkan kondisi penggunaan lahan dapat menjadi
dasar bagi penelitian mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan
lahan (Mallingreau dan Rosalia, 1981). Data penggunaan lahan dan perubahannya
dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para perencana tata ruang dan
pengendaliannya, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan penggunaan lahan. Perlu
diketahui bahwa sebagian korban bencana di Indonesia akibat penyalahgunaan
lahan.
c. Pemetaan kelas dan
perkembangan jalan
Kemajuan
suatu daerah secara fisik ditandai oleh makin tingginya tingkat aksesibilitasnya. Tingkat
aksesibilitas ini ditunjukkan oleh kualitas dan jaringan jalannya. Perkembangan aksesibilitas ini dapat
dipantau dan dipetakan dengan bantuan SIG.
d. Evaluasi perkembangan kota
Perkembangan
fisik kota pada umumnya melebihi batas administrasi kota, sehingga banyak
dijumpai masayarakat yang secara administrasi termasuk desa, tetapi secara fisik
daerah termasuk kota. Kondisi ini menyebabkan pemerintah harus melakukan
pendekatan pembangunan yang sesuai. Pengambilan kebijakan terhadap masyarakat
demikian dapat menggunakan jasa SIG.
e. Potensi kependudukan
Informasi
potensi kependudukan yang dapat diperoleh dengan alat bantu SIG antara lain taksiran
kepadatan penduduk, persebaran, interaksi, mobilitas, dan kemungkinan terapan
lainnya.
f. Pemetaan sumber daya hutan
Hutan
merupakan kekayaan alam yang sangat bermanfaat sebagai sumber ekonomi, konservasi
alam maupun untuk keberlangsungan hidup manusia sendiri. Karena nilai ekonomis
yang dimilikinya membuat manusia tertarik untuk mengeksploitasinya terus
menerus. Pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi hutan yang luas dapat
dilakukan dengan menggunakan SIG yang diintegrasikan dengan Penginderaan Jauh.
g. Eksplorasi tambang
Kondisi
tambang biasanya terdapat pada area yang khas, dapat dilihat dari struktur
geologi dan geomorfologi areanya.
Penentuan tempat-tempat yang diduga menyimpan tambang-tambang tertentu dapat
diduga dengan menggunakan jasa SIG yang diintegrasikan dengan Penginderaan
Jauh.
Manfaat SIG
dalam rangka menunjang proses pembangunan nasional adalah menyajikan informasi
spasial baru untuk membantu penentuan kebijakan aspek fisik maupun non-fisik.
Data daerah yang berserakan baik yang berupa data tabel maupun data peta, yang
semula tidak bermanfaat dapat didayagunakan dengan cara mengaitkan dengan data
lain yang bereferensi geografis untuk kemudian ditumpangsusunkan (overlay), sehingga dapat diperoleh
informasi baru, dan bahkan dapat menjadi pedoman untuk pengambilan keputusan.
Apabila masing-masing daerah memiliki data yang tersusun dalam suatu basis data
peta, maka Indonesia akan mempunyai SIG
Nasional (SIGNAS) yang akan memudahkan pemerintah dalam membuat perencanaan
pembangunan, pemantauan, dan evaluasinya secara akurat. Informasi baru mengenai
potensi sumber daya lahan, agihan spasial mengenai kependudukan,
fasilitas-fasilitas umum, keuntungan dan kelemahan kondisi fisiografis akan
mudah diakses untuk kepentingan pembangunan.
SIG sebagai
metode dan teknologi mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan pemetaan yang semula
sangat sulit untuk dilakukan secara manual. Informasi baru yang diperoleh dari
hasil analisis SIG sangat akurat dan dapat dilihat pola keruangannya, sehingga
memudahkan proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan dan dapat
menjadi pedoman untuk pengambilan keputusan.
Sedemikian pentingnya SIG, maka pemerintah baik di tingkat pusat maupun
daerah semestinya memanfaatkan SIG, yang selanjutnya dibentuk SIGNAS dengan
memanfaatkan internet untuk membantu proses pembangunan. Dengan demikian
pembangunan yang dilakukan akan sesuai dengan tujuan dan sasaran, sehingga
terwujud pembangunan yang berkeadilan sosial yang berdampak terwujudnya
masyarakat makmur, berkeadilan, dan solid.