Teori Perencanaan Pembangunan
Konsep dasar perencanaan adalah
rasionalitas, ialah cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan problem dengan
cara sistematis dan menyediakan berbagai alternatif solusi guna memperoleh
tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu perencanaan sangat dipengaruhi oleh
karakter masyarakat dalam mengembangkan budaya ilmiah dalam menyelesaikan Tugas
Filsafat dan Teori Perencanaan Pembangunan 2 permasalahan yang dihadapinya. Hal
ini cukup beralasan karena perencanaan juga berkaitan dengan pengambilan
keputusan (decision
maker), sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi dengan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), informasi berupa data yang dikumpulkan oleh pengambil keputusan (ekskutor). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat kembali pada kurva/grafik spatial data dan decesion.
maker), sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi dengan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), informasi berupa data yang dikumpulkan oleh pengambil keputusan (ekskutor). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat kembali pada kurva/grafik spatial data dan decesion.
Menurut friedmann, perencanaan akan
berhadapan dengan problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan
perencanaan yang efektif dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar
tersebut maka perencanaan didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan
antara pengetahuan dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya
friedmann menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan
masyarakat banyak.
masyarakat banyak.
Disisi lain Campbell dan Fainstain
(1999:1) menyatakan bahwa dalam pembangunan Kota atau daerah dipengaruhi sistem
ekonomi kapitalis atau demokratis. Dalam konteks tersebut maka pada prakteknya
perencanaan tidak dapat dipisahkan dengan suasana politik kota atau daerah
sebab keputusan-keputusan publik mempengaruhi kepentingankepentingan
lokal. Hal ini menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi perencanaan. Ketika perencanaan telah dipengaruhi oleh sistem politik suatu kota atau daerah sebagaiman pernyataan di atas, maka sebenarnya yang terjadi adalah wilayah rasional yang menjadi dasar dalam perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya perencanaan akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara idealisme “kepakaran seorang perencana” atau mengikuti selera atau kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju.
Disamping itu karena perencanaan merupakan pekerjaan yang menyangkut wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat dibuktikan dan dirasakan manfaatnya.
lokal. Hal ini menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi perencanaan. Ketika perencanaan telah dipengaruhi oleh sistem politik suatu kota atau daerah sebagaiman pernyataan di atas, maka sebenarnya yang terjadi adalah wilayah rasional yang menjadi dasar dalam perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya perencanaan akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara idealisme “kepakaran seorang perencana” atau mengikuti selera atau kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju.
Disamping itu karena perencanaan merupakan pekerjaan yang menyangkut wilayah publik maka komitmen seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat sangat dibutuhkan sehingga hasil perencanaan dapat dibuktikan dan dirasakan manfaatnya.
Paradigma Perencanaan Pembangunan Nasional
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan
negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali
perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi
perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan
lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai
pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi
daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Mengenai dokumen perencanaan
pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan
adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi
Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan
memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen dokumen perencanaan
pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama
dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan
perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah
semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945,
demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU
Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004
dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor
23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan
prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi,
bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan
pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA,
WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :
Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :
a.
Dokumen perencanaan periode
1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden
Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan
sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar perencanaan nasional yaitu TAP
MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis
Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS
No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara
dan Haluan Pembangunan.
b.
Dokumen perencanaan periode
1968-1998
Landasan bagi perencanaan
pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN.
GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk
menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses
penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat
perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif.
Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan
kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus
mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak
kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan
inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan
masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan
komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya. Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal
membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola
sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan
dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
c.
Dokumen perencanaan periode
1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan
perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut
dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses
penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh
dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat
dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran
lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut
tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.
d.
Dokumen perencanaan periode
2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR
mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004
ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam
bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan
(Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan
DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana
pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian
Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Dokumen
perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya UU
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak
memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum
dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan,
karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan
pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga
pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah
sangat besar.
Tapi
pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya
bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme
perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal
dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa
pemerintahan Orde Baru?
Apakah
aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan,
penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih
dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas formalitas belaka ?
mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan
kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan.
Perencanaan
Pembangunan Nasional menurut Teori Tradisional
Pemerintah memiliki wadah yang sangat luas dalam pembangunan. Dengan adanya keterbukaan dalam proses penyelenggaraana negara maka pemerintah mendorong masyarakat untuk berpartisifasi aktif dalam pemerintahan atau dalam pelaksanaan pembangunan, mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap setiap kebijaksanaan pemerintah, sehingga akan terhindar terjadinya KKN dalam pemerintahan.
Pemerintah memiliki wadah yang sangat luas dalam pembangunan. Dengan adanya keterbukaan dalam proses penyelenggaraana negara maka pemerintah mendorong masyarakat untuk berpartisifasi aktif dalam pemerintahan atau dalam pelaksanaan pembangunan, mendorong masyarakat untuk melakukan kontrol sosial terhadap setiap kebijaksanaan pemerintah, sehingga akan terhindar terjadinya KKN dalam pemerintahan.
Dengan
keterbukaan berarti pemerintah atau penyelenggara negara sanggup
bertanggungjawab terhadap kegiatan yang dilakukan kepada rakyat. Tanggungjawab
ini menyangkut masalah proses pengerjaan, pembiayaan dari segi manfaatnya bagi
masyarakat, bangsa dan negara, maka terjalin hubungan yang harmonis antara
pemerintah dan rakyat yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang
kondusif bagi pelaksanaan pembangunan nasional.
Menurut
Growth (1960) teori pertumbuhan ekonomi dapat dikemukakan menjadi beberapa
tahap yaitu :
a.
Tahap Masyarakat Tradisional
Masyarakat menciptakan produksi yang
amat rendah sehingga pendapatan per kapita yang kurang pemerataan, di bidang
pertanian sumber tenaga mesin sangat kurang maka masyarakat atau pemerintah
bahan memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya berbagai komunitas
menginvestasikan ke dalam kehidupan bangsa, menciptakan kemampuan menjalankan
bangsa.
b.
Tahap Masyarakat Dewasa
Tahap masyarakat dewasa dalam arti
masyarakat yang mampu memilih dan memberi respon terhadap perubahan dan mampu
mengendalikan masa depannya sehingga tidak bergantung kepada pihak lain.
Pengertian Pembangunan
Pembangunan adalah suatua proses kegiatan masyarakat
atas prakata sendiri atau pemerintah dalam memperbaiki kondisi ekonomi sosial
dan budaya berbagai komunitas, mengintrogasikan berbagai komunitas ke dalam
kehidupan bangsa, menciptakan kemampuan memajukan bangsa secara terpadu.
Pembangunan daerah adalah proses kegiatan, masyarakat
daerah dalam memperbaiki kondisi ekonomi sosial dan budaya yang bertempat
tinggal di suatu daerah tertentu.
Perencanaan Pembangunan Partisipatif Antara Tantangan Dan Harapan
Perencanaan Pembangunan Partisipatif Antara Tantangan Dan Harapan
Seiring dengan penerapan UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi
daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya
meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Semangat
seperti itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-tengah masyarakat,
meskipun dalam prakteknya belum sebagaimana yang diharapkan banyak pihak.
Barangkali itulah proses yang harus dilalui secara bertahap dan
berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999, yang
dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah
memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri,
termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya
masing-masing.
Perencanaan Pembangunan Partisipatif
Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan
yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif.
Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta sejak tahun 2001 telah mencoba melakukan
perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi yang
berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan
dan kota. Sebuah langkah positif yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi
hal seperti itu masih dalam taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini
masih terdapat kelemahan baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di
masyarakat.
Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola
pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada
umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan,
sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar
dari bawah (bottom-up approach). Nampaknya mudah dan indah kedengarannya,
tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak factor yang perlu
dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah
masyarakat.
Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang
melibatkan semua unsur / komponen yang ada dalam masyarakat tanpa
membeda-bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut
paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan
secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam
tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru
dalam perencanaan pembangunan ini yang membedakan dengan pola-pola pendekatan
perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik.
Nah, dengan era otonomi daerah yang tengah
dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini
diharapkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin
baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan pembangunan ini
sekaligus menjadi wahana pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi
masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat secara menyeluruh mampu
melakukan proses demokratisasi yang baik melalui forum-forum musyawarah yang
melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga),
RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota.
Penggerak Pembangunan
Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan
partisipatif yang sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung
tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan
pembangunan partisipatif tiada lain adalah sejauhmana keterlibatan warga
termasuk pengurus RT dan RW dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan program-program pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW tersebut.
Lembaga organisasi RT dan RW sebagai sebuah lembaga
masyarakat yang bersifat “pengabdian” yang dikelola oleh pengurus RT dan
RW ini benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian, ketulusan dan
keikhlasan yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat semata-mata dan jauh dari
berbagai kepentingan pribadi. Barangkali pada level-level seperti inilah
pembelajaran demokratisasi warga diimplementasikan bagi kepentingan warga
masyarakat sekitarnya. Warga masyarakat yang mengajukan usulan program
kegiatan, warga masyarakat pulalah yang melakukan dan sekaligus melakukan
pengawasannya. Kesederhanaan, kebersamaan, dan kejujuran diantara warga yang
sangat majemuk barangkali menjadi kata kunci perekat diantara mereka.
Bukanlah rahasia lagi bahwa yang namanya pengurus RT
dan RW ini sudah biasa kalau harus berkorban tenaga, pikiran, dan dana ketika
melakukan berbagai program kegiatan yang ada di lingkup ke-rt-an maupun
ke-rw-an, apalagi kalau menyambut adanya event-event tertentu. Bahkan tidak
jarang mereka harus berhadapan langsung dengan berbagai permasalahan sosial
kemasyarakatan, seperti masalah keributan / perkelahian antar warga, keamanan
warga, dan sebagainya yang kadangkala jiwa menjadi taruhannya. Mudah-mudahan
jiwa dan semangat pengabdian mereka tetap terjaga dengan baik.
Harapan dan Tantangan
Nuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum
musyawarah tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang
dengan baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak merupakan modal dasar
yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya.
Tetapi, kondisi yang ada di lingkup ke-rt-an maupun ke-rw-an sekaligus bisa
menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari
masyarakat level bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai “manis di
mulut tetapi sepi dalam realitas”. Apabila hal ini terjadi, maka pola
pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif hanya tinggal sebagai sebuah
slogan yang manis dibicarakan, namun pahit dalam tataran pelaksanaannya.
Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika
akan diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka setiap RT
dan RW harus mempersiapkan usulan-usulan program yang akan dilakukan untuk
suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang bersifat phisik maupun
nonphisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut selanjutnya
dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke forum Muskelbang. Forum
inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran demokratisasi para warga di level
kelurahan.
Nah, sebelum sampai pada forum Muskelbang, sesuai
dengan SK Walikota Surakarta Nomor: 410/45-A/1/2002 tentang pedoman teknis
penyelenggaraan Musyawarah Kelurahan Membangun, Musyawarah Kecamatan Membangun
dan Musyawarah Kota Membangun Kota Surakarta tahun 2002, disebutkan bahwa
sebelum dilaksanakan Muskelbang terlebih dahulu dilakukan Pra-Muskelbang I dan
II.
Secara garis besar, pada dasarnya apa yang dilakukan
dalam kegiatan Pra-Muskelbang I dan II merupakan tahapan-tahapan persiapan yang
perlu dilakukan agar Muskelbang yang akan diselenggarakan berjalan dengan baik
dan dapat mencapai tujuannya. Selanjutnya, apa yang telah dihasilkan dalam
forum Muskelbang ini akan dibahas ke forum musyawarah tingkat Kecamatan
(Muscambang) dan selanjutnya ke forum musyawarah Kota (Muskotbang).
Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan,
Kecamatan, dan Kota tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang
berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk
ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan program
pembangunan daerahnya masing-masing. Apa yang dimusyawarahkan pada forum-forum
tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat program fisik tetapi
juga yang bersifat non-fisik, termasuk didalamnya sejumlah indicator
keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan
tersebut.
Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat
lapisan bawah ini adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang bersumber
dari musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan terealisir?
Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam warga
masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah-sah saja. Oleh karena, umumnya
mereka sangat berharap bahwa apa yang diusulkan tersebut dapat terealisir,
sehingga akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Akan tetapi, di sisi yang lain pemerintah kota memiliki kendala klasik yaitu
keterbatasan anggaran bagi pembangunan daerah. Bahkan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) 2002 porsi dana yang disediakan untuk pembangunan
sangatlah minim. Disamping itu, masyarakat sendiri juga tidak pernah tahu
seberapa besar pemerintah kota (pemkot) mampu menghasilkan penerimaan
(pendapatan) bagi APBDnya dan akan dialokasikan pada kegiatan apa. Ini berarti
bahwa sosialisasi memiliki arti yang sangat penting bagi warga masyarakat.
Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan di daerah. Nah, bagaimana dengan program kegiatan yang memiliki bobot prioritas nomor-nomor berikutnya? Pertanyaan ini pernah muncul dalam suatu forum pelatihan fasilitator di sebuah hotel di Solo beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah respon dari instruktur yang mewakili pemerintah kota (pemkot).
Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah-payah menyusun usulan program tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien, karena pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun berikutnya. Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan adalah munculnya sikap para pengusul yang lebih cenderung asal-asalan dalam mengajukan usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya usulannya nanti tidak terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul sebagai sebuah akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya yang barangkali perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh, cuek atau tidak mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di lingkungannya.
Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi (jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini merupakan modal dasar pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri (pemkot).
Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan di daerah. Nah, bagaimana dengan program kegiatan yang memiliki bobot prioritas nomor-nomor berikutnya? Pertanyaan ini pernah muncul dalam suatu forum pelatihan fasilitator di sebuah hotel di Solo beberapa waktu yang lalu sebagai sebuah respon dari instruktur yang mewakili pemerintah kota (pemkot).
Kalau yang diterima dan dibiayai APBD hanya usulan kegiatan yang memperoleh prioritas utama, sementara prioritas nomor berikutnya tersisihkan dan harus diusulkan lagi untuk periode berikutnya, maka hal ini memberikan dampak yang kurang baik bagi para pengusul program kegiatan yang sudah bersusah dan berpayah-payah menyusun usulan program tersebut. Pertama: penentuan pola DSP seperti itu tidak efisien, karena pengusul (RT dan RW) harus mengusulkan lagi untuk tahun berikutnya. Kedua, salah satu dampak yang sangat tidak diharapkan adalah munculnya sikap para pengusul yang lebih cenderung asal-asalan dalam mengajukan usulan kegiatan, karena merasa toh pada akhirnya usulannya nanti tidak terealisir juga. Sikap seperti ini bisa saja muncul sebagai sebuah akumulasi kekecewaan yang lama. Ketiga, sikap lainnya yang barangkali perlu diantisipasi adalah munculnya sikap masa bodoh, cuek atau tidak mau tahu terhadap pembangunan masyarakat di lingkungannya.
Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi (jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini merupakan modal dasar pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri (pemkot).