Kamis, 15 Agustus 2013

Fringe Area


Mengacu pada RPJM Nasional, pertumbuhan kota-kota saat ini terus berkembang di Indonesia. Diperkirakan pada awal millenium ketiga jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan sekitar 42 % dan angka tersebut lebih tinggi lagi di Pulau Jawa. Secara fisik, hal ini antara lain ditunjukkan oleh:
a.    Meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya fringe-area.
b.  Meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan ‘sub-urban’ yang telah ‘mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya dan membentuk konurbasi yang tak terkendali.
c.    Terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa).
d. Kecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk pusat kota menurun, sedangkan di daerah sekitarnya meningkat (terjadi proses ‘pengkotaan’ kawasan sekitar).

Kecenderungan perkembangan semacam ini berdampak negatif (negative externalities) terhadap perkembangan kota-kota metropolitan, besar dan menengah itu sendiri, maupun kecil di wilayah lain. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain adalah:
a. Terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota besar dan metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
b. Terjadinya secara terus menerus konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan, dan industri.
c. Menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan timbulnya polusi.
d. Menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi, serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan. Walaupun selain itu masih ada kemungkinan implikasi lain yang bersifat netral dan positip (co-exist dan cooperative).

Banyak kota di Indonesia mengalami pertumbuhan; pada hampir semua pinggiran kotanya terlihat meluas dengan munculnya kawasan-kawasan perumahan baru. Potensi untuk terus berkembang pesat cukup besar terutama dengan adanya jalur-jalur masuk dari segala penjuru yang menarik terjadinya konversi lahan terbuka menjadi hunian. Namun di sisi lain tentu ada keinginan untuk dapat mengendalikan pertumbuhan kota dalam suatu ‘sistem wilayah pembangunan' yang compact, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan. Kegiatan pokok yang akan dilakukan pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan nasional di antaranya adalah penerapan ‘land use and growth management’ yang menekankan pada infill development, dengan intensitas bangunan vertikal yang cukup tinggi, serta membatasi sub-urban sprawl, termasuk upaya pencegahan konversi lahan pertanian produktif disertai dengan penerapan ’zoning regulation’ secara tegas, adil dan demokratis.
Pertumbuhan lingkungan permukiman baru yang diiringi dengan masuknya nilai-nilai kota (urban values) tersebut membawa implikasi perubahan yang “luar biasa” bagi wilayah pinggiran. Daerah tersebut secara perlahan dan pasti mengalami proses peng-“kota”-an. Seiring dengan proses tersebut, berbagai implikasi akan timbul, baik yang bersifat lingkungan fisik maupun sosial dan ekonomi. Secara empiris, perubahan yang tampak diantaranya adalah konversi lahan pertanian, menyempitnya kepemilikan lahan, marginalisasi penduduk perdesaan, perubahan landscape dan bentuk rumah, perubahan pekerjaan, pendapatan, kesempatan kerja, interaksi sosial budaya, dan sebagainya. Problem lain keberadaan permukiman baru dengan ciri-ciri kehidupan kota adalah kemungkinan terjadinya interaksi negatif berupa konflik antara masing-masing kelompok masyarakat, khususnya antara warga pendatang dengan penduduk asli.
Eksistensi permukiman baru di pinggiran kota menuntut suatu penerapan kebijaksanaan yang mempertimbangkan proses integrasi fisik dan sosial ekonomi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam kenyataanya tidak mudah untuk merumuskan kebijaksanaan tersebut. Sulitnya mencari alternative pengelolaan permukiman di pinggiran kota karena belum adanya penelitian khusus yang menjelaskan karakteristik atau pola perkembangan permukiman baru di pinggiran kota dan implikasinya bagi perubahan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di dalamnya. Akibatnya, upaya-upaya pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan permukiman yang terus diupayakan para praktisi seringkali menghadapi jalan buntu terutama karena masih terbatasnya teori-teori yang dapat menjelaskan fenomena perkembangan permukiman yang khas Indonesia.
Selama ini studi tentang permukiman lebih diletakkan dalam kerangka perbaikan lingkungan permukiman di dalam perkotaan, kajian tentang pengadaan dan pembiayaan pembangunan perumahan, kajian desain rumah dan lingkungan permukiman. Pertumbuhan permukiman baru di wilayah pinggiran kota dan implikasinya belum banyak mendapat perhatian. Oleh karena itu berbagai studi harus terus dilakukan untuk mengembangkan teori dasar mengenai system permukiman, agar upaya pragmatis untuk memecahkan persoalan permukiman di Indonesia tidak begitu saja terjebak menggunakan teori-teori dari barat yang belum tentu tepat untuk konteks Indonesia.
Adanya penelitian tentang fringe area ini akan bermanfaat, baik bagi pengembangan konsep (teoritis) maupun aplikasi. Dari sisi pengembangan konsep dan teori, penelitian seperti ini memberikan kontribusi dalam upaya strategi pembangunan lingkungan perumahan yang berwawasan kesatuan. Hingga saat ini, pembangunan perumahan baru di Indonesia cenderung di lakukan dengan pendekatan kekotaan dan secara parsial tanpa memandang perkembangan wilayah yang ada di sekitarnya dengan kondisi yang berbeda.
Sebaiknya penelitian bisa menawarkan re-orientasi baru dalam memandang strategi pembangunan perumahan, yaitu merubah atau menggeser dari paradigma city oriented menjadi local based development secara terintegrasi. Pengembangan model ini menggunakan cara pandang yang lebih luas dengan mengintegrasikan berbagai macam karakteristik sosial-ekonomi yang berbedabeda menjadi satu kekuatan yang integral. Model ini tepat di dalam kerangka menyambut era otonomi daerah dan meredam konflik antara penduduk pendatang di perumahan baru dengan penduduk lokal, sehingga dapat meredam munculnya disintegrasi sosial, khususnya secara fungsi, sosial dan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar