Jumat, 16 Agustus 2013

Menekan Laju Pemanasan Global



Apakah bumi semakin panas? Benarkah beberapa pulau kecil akan tenggelam? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menjadi topik perdebatan serius di manca negara sejak 3 dekade terakhir. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim dianggap sangat penting sehingga dibahas dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro Brazil (1992) dan beberapa pertemuan tingkat internasional lainnya, termasuk yang dibicarakan oleh G-8 (negara-negara maju) di Heidingdam Jerman pada 6-7 Juni 2007. Sehubungan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia 5 Juni, penulis akan menjelaskan fenomena tersebut dengan mengacu pada buku PEMANASAN GLOBAL: Siapakah yang Merasa Panas? (Gerald Foley, 1993) dan berita-berita terkini.

ATMOSFIR
Atmosfir adalah lapisan udara yang menyelubungi planet bumi sampai ketinggian lebih dari 300 km di atas permukaan bumi. Beberapa ilmuwan percaya bahwa batas teratar atmosfir mencapai ketinggian sekitar 1.000 km. Hal ini mungkin didasarkan pada fakta bahwa rumbai-rumbai bumi mencapai ketinggian tersebut.
Ahli Matematika Perancis, Jean Bapstite Fourier (1822 atau 1827) mengemukkan: ”Atmosfir bagi bumi bagaikan kaca bagi rumah kaca.” Kaca meloloskan energi panas matahari masuk ke rumah kaca tetapi mencegahnya keluar, sehingga suhu di dalam rumah kaca meningkat, lebih tinggi dibanding suhu di luarnya. Atmosfir pun meloloskan energi panas matahari sampai ke bumi tetapi mencegahnya keluar ke angkasa. Tanpa atmosfir, bumi akan sedingin bulan, tidak bisa dihuni. Di malam hari, suhu di bumi bisa tetap hangat karena adanya panas yang terperangkap dalam atmosfir. Lantas, mengapa suhu bumi bisa meningkat lebih tinggi dari sebelumnya?

PEMANASAN GLOBAL
Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi ”gas-gas rumah kaca” yang menyebabkan konsentrasi atau timbunan gas tersebut meningkat dalam atmosfir. Beberapa contoh gas rumah kaca adalah karbondioksida (CO2), metana, nitrat oksida dan klorofluorokarbon (CFC). Secara fisika, gas-gas rumah kaca dapat dilewati oleh radiasi gelombang pendek tetapi ”menyerap” (sulit dilewati) radiasi gelombang panjang (sinar infra merah, l > 1.200 A). Karenanya, kenaikan konsentrasi gas-gas tersebut di atmosfir menyebabkan banyaknya radiasi gelombang panjang yang terperangkap di atmosfir yang kemudian menaikkan suhu udara di permukaan bumi, lebih tinggi dari sebelumnya. Keseimbangan panas di bumi terganggu! Inilah yang disebut ”pemanasan global.” Dampaknya besar dan bersifat global ...! Apabila akumulasi energi panas semakin meningkat, cukup untuk mencairkan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan. Permukaan air laut akan naik. Kota-kota dan desa-desa di sekitar pantai akan lebih sering mengalami banjir, bahkan kemungkinan akan tenggelam secara permanen.
Ada 2 hal yang dipastikan menyebabkan pemanasan global, yaitu: ”efek rumah kaca alami di bumi” dan ”akibat ulah manusia.” Yang kedua ini, sebagai pemicu peningkatan suhu di bumi, umumnya disebabkan oleh: 1) Pembukaan hutan, pembakaran bahan fosil dalam industri, kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan sebagainya; dan 2) Emisi berbagai gas dari kegiatan industri termasuk penggunaan dan pembuatan CFC.
Siapakah yang bersalah memicu pemanasan global? Banyak pihak menuduh negara-negara Dunia Ketiga (negara-negara sedang berkembang) sebagai biang keladinya karena adanya pembakaran hutan secara besar-besaran di negara-negara tersebut, yang melepaskan CO2 dalam jumlah besar ke atmosfir. Tapi sebenarnya emisi CO2 dan gas-gas rumah kaca lainnya lebih besar di negara-negara maju (industri). Pada 1986, Amerika Serikat saja, mengahasilkan 1/4 dari emisi CO2 dunia. Gabungan seluruh negara maju menghasilkan 2/3 dari emisi CO­­2 dunia.

DAMPAK
Dampak pemanasan global adalah naiknya permukaan laut (es di Kutub mencair), gangguan ekologis, gangguan keamanan pangan, yang semuanya akan bermuara pada dampak sosial dan politik. Banyak kawasan pertanian subur dan berpenduduk padat terletak di dataran rendah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sekitar separuh dari umat manusia hidup di wilayah ini. Dataran rendah tersebut, misalnya delta Sungai Gangga-Brahmaputera di Bangladesh, Nil di Mesir, Mekong di Indo-Cina, Indus di Pakistan, Hwang Ho di Cina, dan lain-lain. Negara-negara yang rentan terhadap peninggian permukaan laut adalah Belanda, Inggeris, bagian timur Afrika, India, Indonesia, dan lain-lain. Kota-kota besar dunia yang rentan terhadap kasus yang sama adalah Kalkutta, Shanghai, Tokyo, London, New York, New Orleans, Jakarta, dan lain-lain.
Apa akibatnya bagi Indonesia jika pemanasan global berlanjut? Dampak yang terlihat secara visual dari pemanasan global adalah naiknya permukaan air laut. Karenanya, menurut Prof. Dr. Otto Soemarwoto, ”Indonesia akan kehilangan beberapa pulau kecil dan lahan persawahan, khususnya yang terdapat dekat pantai. Dalam hal ini, dikhawatirkan akan menenggelamkan wilayah pesisir di bagian utara Jawa, timur Sumatera, selatan Sulawesi, dan pulau-pulau Sunda Kecil. Selain itu, perubahan pola cuaca lokal dapat menyebabkan panen padi, kedelai dan kacang menurun.”
Indonesia, seperti banyak negara sedang berkembang lainnya, tampaknya bukanlah kontributor terbesar bagi pemanasan global. Tetapi, emisi CO2 Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Pada 2010 diperkirakan emisi CO2 akan meningkat 5 kali dari kadar tahun 1986. Hal ini terjadi akibat peningkatan konsumsi listrik dan industri, penggunaan energi yang tidak efisien, dan pada saat yang sama, luas hutan Indonesia (penyerap CO terbesar) makin menciut akibat penebangan hutan yang terus berlangsung. Fakta ini menuntut Indonesia harus turut bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global.
Pemanasan global sangat terkait dengan perubahan iklim (di antaranya: suhu, tekanan udara, angin dan hujan). Pemanasan global sudah terlihat di Indonesia. Musim kemarau dan hujan sering bergeser. Terkadang petani merugi karena tidak dapat mengantisipasinya. Dalam 3 dekade terakhir, Indonesia sudah mengalami beberapa kali musim kemarau panjang yang berdampak besar. Pada 1983, di Pulau Pari, Teluk Jakarta, terjadi peningkatan suhu air laut sampai 33 0C (suhu ideal 28 0C). Akibatnya, terjadi kerusakan ekosistem laut berupa matinya terumbu karang yang merugikan sektor perikanan. Pada 1982 - 1983, 1987 dan 1991, menyebabkan kebakaran hutan yang luas. Pada 1982 - 1983, sekitar 3,6 juta Ha hutan di Kalimantan Timur terbakar. Pada 1991, sekitar 40.000 Ha sawah dipusokan. Akibatnya pemerintah Indonesia, yang sudah mencapai swasembada beras sejak 1984, terpaksa mengimpor beras dari India, Thailand dan Korea Selatan.
Kemarau panjang yang sudah sering terjadi, diakibatkan oleh fenomena El Nino. Dalam hal ini, naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31 0C (suhu normal 27 - 28 0C) sehingga membawa kekeringan di Indonesia. Jadi, kemarau panjang pada 1982 - 1983, 1987, 1991 dan 1997 adalah akibat El Nino.
Sebaliknya, pada awal 1993, dekade tahun 2000-an dan terakhir Februari dan Mei 2007, hujan deras mengguyur berbagai wilayah di Indonesia, lebih deras dari tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena La Nina, kebalikan dari El Nino. Dalam hal ini, turunnya suhu permukaan Samudera Pasifik yang membawa angin serta awan hujan ke Australia dan Asia bagian selatan, termasuk Indonesia. La Nina membawa curah hujan tinggi disertai angin topan.

PENYELESAIAN
Negara-negara Dunia Ketiga akan mengalami dampak pemanasan global sama seperti negara-negara maju. Namun, Dunia Ketiga tidak punya sumberdaya yang cukup untuk mengantisipasinya, di samping sibuk mengurus hutang dan berbagai ketidakadilan dari negara-negara maju. Karenanya, setiap pembicaraan dan rencana penyelesaian pemanasan global harus meliputi penyelesaian berbagai masalah yang melilit Dunia Ketiga.
Menurut Dr. P. M. Kelly, keterlambatan mengurangi polusi dalam setiap 5 tahun akan meningkatkan pemanasan global sebesar 10%. Langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk menekan laju peningkatan pemanasan global? Jawabnya: kurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, karena penggunaannya melepaskan CO2; cegah penggundulan hutan, karena bila tumbuhan dibakar atau membusuk, terjadi pelepasan CO2; tanam sebanyak mungkin tumbuh-tumbuhan, karena tumbuh-tumbuhan menyerap CO2; tingkatkan efisiensi energi dan terapkan teknologi ramah lingkungan yang tidak memicu peningkatan emisi gas-gas rumah kaca. Khusus di Indonesia, diperlukan sosialisasi menyeluruh terhadap langkah-langkah tersebut, karena hal ini relatif mudah untuk dilakukan oleh Pemerintah bersama masyarakat umum. Bagi Indonesia dan beberapa negara lainnya, menekan laju peningkatan pemanasan global dengan cara merehabilitasi dan menjaga kelestarian hutan, sekaligus adalah upaya meminimalkan frekuensi dan resiko banjir. Demikian halnya dengan cara merehabilitasi dan menjaga kelestarian hutan mangrove, sekaligus adalah upaya menjaga kelestarian ekosistem pantai, mencegah abrasi dan meningkatkan produktivitas perikanan.
Jon Tinker (1993): ”Tentang pemanasan global adalah bahwa kita perlu bertindak sebelum ada bukti, karena pada saat kita mempunyai bukti kuat tentang efek pemanasan global, waktu itu sudah terlambat untuk menghentikannya.” Pernyataan ini, kini telah terbukti. Untuk mencegah pemanasan lebih lanjut, perlu penurunan emisi gas rumah kaca hingga ke kondisi masa pra-industri. Sangat sulit ...! Namun demikian, penurunan harus tetap diupayakan demi keselamatan seluruh makhluk di bumi. Dan, hal ini tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Pemanasan global adalah masalah global yang menuntut penyelesaian global...!

Dikutip dari Dosen Fisika dan Ka. Pusat Penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana Alam - Lembaga Penelitian UNTAD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar