Apakah
bumi semakin panas? Benarkah beberapa pulau kecil akan tenggelam? Inilah
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi topik perdebatan serius di manca negara
sejak 3 dekade terakhir. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim dianggap
sangat penting sehingga dibahas dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di
Rio de Janeiro Brazil (1992) dan beberapa pertemuan tingkat internasional
lainnya, termasuk yang dibicarakan oleh G-8 (negara-negara maju) di Heidingdam
Jerman pada 6-7 Juni 2007. Sehubungan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup
se-Dunia 5 Juni, penulis akan menjelaskan fenomena tersebut
dengan mengacu pada buku PEMANASAN GLOBAL: Siapakah yang Merasa Panas? (Gerald
Foley, 1993) dan berita-berita terkini.
ATMOSFIR
Atmosfir
adalah lapisan udara yang menyelubungi planet bumi sampai ketinggian lebih dari
300 km di atas permukaan bumi. Beberapa ilmuwan percaya bahwa batas teratar
atmosfir mencapai ketinggian sekitar 1.000 km. Hal ini mungkin didasarkan pada
fakta bahwa rumbai-rumbai bumi mencapai ketinggian tersebut.
Ahli
Matematika Perancis, Jean Bapstite Fourier (1822 atau 1827) mengemukkan:
”Atmosfir bagi bumi bagaikan kaca bagi rumah kaca.” Kaca meloloskan energi
panas matahari masuk ke rumah kaca tetapi mencegahnya keluar, sehingga suhu di
dalam rumah kaca meningkat, lebih tinggi dibanding suhu di luarnya. Atmosfir
pun meloloskan energi panas matahari sampai ke bumi tetapi mencegahnya keluar
ke angkasa. Tanpa atmosfir, bumi akan sedingin bulan, tidak bisa dihuni. Di
malam hari, suhu di bumi bisa tetap hangat karena adanya panas yang
terperangkap dalam atmosfir. Lantas, mengapa suhu bumi bisa meningkat lebih tinggi
dari sebelumnya?
PEMANASAN GLOBAL
Aktivitas
manusia telah meningkatkan emisi ”gas-gas rumah kaca” yang menyebabkan
konsentrasi atau timbunan gas tersebut meningkat dalam atmosfir. Beberapa
contoh gas rumah kaca adalah karbondioksida (CO2), metana,
nitrat oksida dan klorofluorokarbon (CFC). Secara fisika, gas-gas rumah kaca dapat
dilewati oleh radiasi gelombang pendek tetapi ”menyerap” (sulit dilewati)
radiasi gelombang panjang (sinar infra merah, l > 1.200 A). Karenanya, kenaikan konsentrasi gas-gas tersebut di
atmosfir menyebabkan banyaknya radiasi gelombang panjang yang terperangkap di
atmosfir yang kemudian menaikkan suhu udara di permukaan bumi, lebih tinggi
dari sebelumnya. Keseimbangan panas di bumi terganggu! Inilah
yang disebut ”pemanasan global.” Dampaknya
besar dan bersifat global ...! Apabila akumulasi energi panas semakin
meningkat, cukup untuk mencairkan es di Kutub Utara dan Kutub Selatan.
Permukaan air laut akan naik. Kota-kota dan desa-desa di sekitar pantai akan
lebih sering mengalami banjir, bahkan kemungkinan akan tenggelam secara
permanen.
Ada 2 hal
yang dipastikan menyebabkan pemanasan global, yaitu: ”efek rumah kaca alami di
bumi” dan ”akibat ulah manusia.” Yang kedua ini, sebagai pemicu peningkatan
suhu di bumi, umumnya disebabkan oleh: 1) Pembukaan hutan, pembakaran bahan
fosil dalam industri, kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan sebagainya;
dan 2) Emisi berbagai gas dari kegiatan industri termasuk penggunaan dan
pembuatan CFC.
Siapakah
yang bersalah memicu pemanasan global? Banyak pihak menuduh negara-negara Dunia
Ketiga (negara-negara sedang berkembang) sebagai biang keladinya karena adanya
pembakaran hutan secara besar-besaran di negara-negara tersebut, yang
melepaskan CO2 dalam jumlah besar ke atmosfir. Tapi sebenarnya emisi
CO2 dan gas-gas rumah kaca lainnya lebih besar di negara-negara maju
(industri). Pada 1986, Amerika Serikat saja, mengahasilkan 1/4 dari emisi CO2
dunia. Gabungan seluruh negara maju
menghasilkan 2/3 dari emisi CO2 dunia.
DAMPAK
Dampak
pemanasan global adalah naiknya permukaan laut (es di Kutub mencair), gangguan
ekologis, gangguan keamanan pangan, yang semuanya akan bermuara pada dampak
sosial dan politik. Banyak kawasan pertanian subur dan berpenduduk padat
terletak di dataran rendah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sekitar
separuh dari umat manusia hidup di wilayah ini. Dataran rendah tersebut,
misalnya delta Sungai Gangga-Brahmaputera di Bangladesh, Nil di Mesir, Mekong
di Indo-Cina, Indus di Pakistan, Hwang Ho di Cina, dan lain-lain. Negara-negara
yang rentan terhadap peninggian permukaan laut adalah Belanda, Inggeris, bagian
timur Afrika, India, Indonesia, dan lain-lain. Kota-kota besar dunia yang
rentan terhadap kasus yang sama adalah Kalkutta, Shanghai, Tokyo, London, New
York, New Orleans, Jakarta, dan lain-lain.
Apa akibatnya bagi Indonesia jika pemanasan global berlanjut? Dampak
yang terlihat secara visual dari pemanasan global adalah naiknya permukaan air
laut. Karenanya, menurut Prof. Dr. Otto Soemarwoto, ”Indonesia akan kehilangan
beberapa pulau kecil dan lahan persawahan, khususnya yang terdapat dekat
pantai. Dalam hal ini, dikhawatirkan akan menenggelamkan wilayah pesisir di
bagian utara Jawa, timur Sumatera, selatan Sulawesi, dan pulau-pulau Sunda
Kecil. Selain itu, perubahan pola cuaca lokal dapat menyebabkan panen padi,
kedelai dan kacang menurun.”
Indonesia, seperti banyak negara sedang berkembang lainnya, tampaknya
bukanlah kontributor terbesar bagi pemanasan global. Tetapi,
emisi CO2 Indonesia adalah yang terbesar di Asia Tenggara. Pada 2010 diperkirakan emisi CO2 akan meningkat 5 kali dari
kadar tahun 1986. Hal ini terjadi akibat peningkatan konsumsi listrik dan
industri, penggunaan energi yang tidak efisien, dan pada saat yang sama, luas
hutan Indonesia (penyerap CO2 terbesar) makin menciut akibat
penebangan hutan yang terus berlangsung. Fakta ini menuntut Indonesia harus
turut bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global.
Pemanasan global sangat terkait dengan perubahan iklim (di antaranya: suhu,
tekanan udara, angin dan hujan). Pemanasan global sudah terlihat di Indonesia.
Musim kemarau dan hujan sering bergeser. Terkadang petani merugi karena tidak
dapat mengantisipasinya. Dalam 3 dekade terakhir, Indonesia sudah mengalami
beberapa kali musim kemarau panjang yang berdampak besar. Pada 1983, di Pulau
Pari, Teluk Jakarta, terjadi peningkatan suhu air laut sampai 33 0C
(suhu ideal 28 0C). Akibatnya, terjadi kerusakan ekosistem laut
berupa matinya terumbu karang yang merugikan sektor perikanan. Pada 1982 -
1983, 1987 dan 1991, menyebabkan kebakaran hutan yang luas. Pada 1982 - 1983,
sekitar 3,6 juta Ha hutan di Kalimantan Timur terbakar. Pada 1991, sekitar
40.000 Ha sawah dipusokan. Akibatnya pemerintah
Indonesia, yang sudah mencapai swasembada beras sejak 1984, terpaksa mengimpor
beras dari India, Thailand dan Korea Selatan.
Kemarau panjang yang sudah sering terjadi,
diakibatkan oleh fenomena El Nino. Dalam hal ini, naiknya suhu di Samudera
Pasifik sampai 31 0C (suhu normal 27 - 28 0C) sehingga
membawa kekeringan di Indonesia. Jadi, kemarau panjang pada 1982 - 1983, 1987,
1991 dan 1997 adalah akibat El Nino.
Sebaliknya, pada awal 1993, dekade tahun 2000-an
dan terakhir Februari dan Mei 2007, hujan deras mengguyur berbagai wilayah di
Indonesia, lebih deras dari tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan yang tinggi
disebabkan oleh fenomena La Nina, kebalikan dari El Nino. Dalam hal ini,
turunnya suhu permukaan Samudera Pasifik yang membawa angin serta awan hujan ke
Australia dan Asia bagian selatan, termasuk Indonesia. La Nina membawa curah
hujan tinggi disertai angin topan.
PENYELESAIAN
Negara-negara
Dunia Ketiga akan mengalami dampak pemanasan global sama seperti negara-negara
maju. Namun, Dunia Ketiga tidak punya sumberdaya yang cukup untuk mengantisipasinya,
di samping sibuk mengurus hutang dan berbagai ketidakadilan dari negara-negara
maju. Karenanya, setiap pembicaraan dan rencana penyelesaian pemanasan global
harus meliputi penyelesaian berbagai masalah yang melilit Dunia Ketiga.
Menurut Dr. P. M. Kelly, keterlambatan mengurangi polusi dalam setiap 5
tahun akan meningkatkan pemanasan global sebesar 10%. Langkah-langkah
apa yang harus dilakukan untuk menekan laju peningkatan pemanasan global?
Jawabnya: kurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, karena
penggunaannya melepaskan CO2; cegah penggundulan hutan, karena bila
tumbuhan dibakar atau membusuk, terjadi pelepasan CO2; tanam
sebanyak mungkin tumbuh-tumbuhan, karena tumbuh-tumbuhan menyerap CO2;
tingkatkan efisiensi energi dan terapkan teknologi ramah lingkungan yang tidak
memicu peningkatan emisi gas-gas rumah kaca. Khusus di Indonesia, diperlukan sosialisasi menyeluruh terhadap
langkah-langkah tersebut, karena hal ini relatif mudah untuk dilakukan oleh
Pemerintah bersama masyarakat umum. Bagi Indonesia dan beberapa negara lainnya,
menekan laju peningkatan pemanasan global dengan cara merehabilitasi dan
menjaga kelestarian hutan, sekaligus adalah upaya meminimalkan frekuensi dan
resiko banjir. Demikian halnya dengan cara merehabilitasi dan menjaga
kelestarian hutan mangrove, sekaligus adalah upaya menjaga kelestarian
ekosistem pantai, mencegah abrasi dan meningkatkan produktivitas perikanan.
Jon Tinker
(1993): ”Tentang pemanasan global adalah bahwa kita perlu bertindak sebelum ada
bukti, karena pada saat kita mempunyai bukti kuat tentang efek pemanasan
global, waktu itu sudah terlambat untuk menghentikannya.” Pernyataan ini, kini
telah terbukti. Untuk mencegah pemanasan lebih lanjut, perlu penurunan emisi
gas rumah kaca hingga ke kondisi masa pra-industri. Sangat sulit ...! Namun
demikian, penurunan harus tetap diupayakan demi keselamatan seluruh makhluk di
bumi. Dan, hal ini tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri oleh
masing-masing negara. Pemanasan global
adalah masalah global yang menuntut penyelesaian global...!
Dikutip
dari Dosen Fisika dan Ka. Pusat Penelitian Kebumian dan Mitigasi Bencana Alam -
Lembaga Penelitian UNTAD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar