Jumat, 16 Agustus 2013

Sesar Palu Koro



Secara istilah, sesar (fault) sama dengan patahan (faulting) kerak bumi (crust) yang salah satunya, atau keduanya sekaligus, berubah posisi dari posisi semula. Jika hanya patah saja, tidak berubah posisi, disebut kekar. Bentuk sesar ada 3 macam, yaitu sesar turun (sesar normal), sesar naik dan sesar geser. Dua bentuk yang pertama biasa disebut sesar vertikal, sedang bentuk yang ketiga biasa disebut sesar mendatar. Ada 2 jenis sesar geser, yaitu dextral dan sisnistral.
Salah satu sesar yang terdapat di Pulau Sulawesi adalah sesar Palu-Koro. Karena dimensinya yang besar, maka paling tepat disebut sistem atau zone sesar Palu-Koro. Tetapi seringkali disebut sesar Palu-Koro saja. Lajur sesar ini berarah hampir utara-selatan, memanjang mulai dari sekitar batas perairan Laut Sulawesi dengan Selat Makassar sampai pantai utara Teluk Bone. Panjangnya sekitar 500 km. Di darat, sesar ini mempunyai panjang sekitar 250 km, mulai dari Teluk Palu sampai pantai utara Teluk Bone, mungkin di sekitar Masamba Kab. Luwu Prov. Sulawesi Selatan. (Bukan Masomba sebagaimana yang termuat di HU Radar Sulteng pada Selasa 25 Januari 2005. Karena kesalahan nama ini, sehingga masyarakat di sekitar Masomba sempat resah karena menyangka gempa berikutnya akan berpusat di Masomba).
Semula sesar ini dinamakan sesar Fossa Sarassina kemudian dinamakan  sesar Palu-Koro. Perubahan nama ini mungkin karena lajur sesar ini memotong Kota Palu (Lembah Palu) dan Sungai Lariang pada segmen Sungai Koro (Lembah Koro). Semua ahli geologi dan geofisika yang mengenal sesar Palu-Koro sepakat bahwa sesar tersebut adalah sesar aktif, berciri sinistral (pergeseran mengiri) dengan kecepatan sekitar 14 - 17  mm/tahun. Pada segmen Palu - Kulawi, sesar ini berciri sesar normal dan membentuk graben yang menyebabkan Kota Palu sampai Kulawi diapit oleh 2 sesar normal. Sering pula segmen ini disebut "sistem sesar Palu-Koro". Ciri-ciri keberadaan sistem sesar ini adalah banyaknya dijumpai mata air panas di kedua sisi dataran antara Palu - Kulawi.
Sebagian besar gempa yang terjadi di wilayah ini, khususnya Lembah Palu dan perairan Selat Makassar merupakan kontribusi dari aktivitas sesar ini. Sejarah gempabumi tektonik yang diakibatkan oleh aktivitas sesar Palu-Koro seumur dengan awal mula terbentuk dan aktifnya sesar tersebut, ribuan tahun yang lalu. Beberapa yang sempat tercatat, yang menimbulkan bencana adalah Gempa Donggala 1927 (penulis menyebutnya Gempa Watusampu), menyebabkan sejumlah korban jiwa dan menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang 15 m yang menerjang pantai timur Teluk Palu, merubah daratan sekitar 200 m dari pantai termasuk di dalamnya kawasan pasar Mamboro menjadi dasar laut, Gempabumi Tambu atau Gempa Mapaga 1968, menimbulkan tsunami dengan tinggi gelombang sekitar 10 m, longsoran tanah, dan munculnya mata air panas di sepanjang pantai. Di Mapaga tercatat sekitar 790 rumah rusak dan mengakibatkan korban jiwa yang cukup besar; Gempa Lawe 1995, menimbulkan kerusakan lahan berupa retakan tanah, pelulukan, longsoran dan kerusakan rumah terjadi di Kulawi, Gimpu, Lawe dan Kantewu; Gempabumi Tonggolobibi 1996, menimbulkan tsunami dan merubah daratan di sekitar pantai menjadi dasar laut; dan masih banyak lagi gempabumi tektonik yang pernah terjadi akibat aktivitas sesar Palu-Koro, misalnya Gempa Donggala 1938, Rano 1998, Donggala 1998, dan lain-lain, serta yang terakhir Gempa Bora.

Gempa Bora
Hanya berselang beberapa jam setelah 3 rangkain goncangan kuat, menjelang fajar pada Senin 24 Januari 2005,  yang menggetarkan Lembah Palu dan sekitarnya, Pusat Gempa Nasional (PGN) di Jakarta mengeluarkan data resmi tentang guncangan tersebut. Yakni: Pusat Gempa di Bora, Jarak Episenter 16 km (ke arah tenggara Kota Palu), Kedalaman Gempa 33 km dan Magnitudo Gempa 6,2 pada Skala Richter. (Khusus untuk pusat gempa, setelah penulis mengamati wilayah Sigimpu sampai Ranteleda, maka penulis lebih cenderung berpendapat bahwa pusat gempa yang sebenarnya terletak di wilayah Gunung Sibalaki, Desa Bakubakulu Kec. Palolo, tidak jauh dari Desa Bora Kec. Sigi Biromaru).
Gempa ini telah menimbulkan “panik massal” yang belum pernah terjadi sebelumnya di Lembah Palu, khususnya di Kota Palu. Mereka takut terhadap tsunami yang kemungkinan akan muncul setelah guncangan-guncangan tersebut. Ada yang benar-benar panik, ada juga yang berpanik-ria. Namun, semuanya diliputi ketakutan dan kecemasan. Semuanya mengikuti “pelatihan mengungsi”, dengan satu komando: AIR...!
Apalagi, setelah itu, berbagai isu muncul. Isu tsunami secara pelan-pelan redup, muncul isu bahwa Danau Lindu bisa pecah karena rentetan gempa belum selesai. Muncul juga isu akan ada aliran lahar panas dari Bora karena telah terjadi ledakan vulkanik di sana. Setelah itu, muncul lagi isu bahwa akan terjadi gempa yang berpusat di Masomba. Semuanya tidak terbukti…! Namun, setelah itu, muncul lagi isu bahwa akan terjadi gempa yang lebih besar, tepatnya pada 26 – 28 Januari 2005. Belakangan, muncul lagi isu bahwa gempa besar tersebut akan terjadi pada awal Februari. Memang sangat mudah orang panik percaya pada isu.

Gempa Susulan
Gempa susulan muncul setelah gempa utama. Berdasarkan realitas, dapat disimpulkan bahwa gempa susulan untuk Gempa Bora dimulai dari gempa ketiga dari 3 rangkain guncangan di waktu menjelang fajar itu. Gempa susulan ini masih berlanjut hingga sekarang dan bisa memakan waktu yang lama, mencapai bulanan. Gempa susulan untuk Gempa Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004, hingga saat ini masih sering dirasakan oleh warga Banda Aceh dan sekitarnya. Tetapi kekuatan gempa susulan ini tidak akan melebihi kekuatan gempa utama. Hal yang sama juga berlaku bagi Gempa Bora, tapi mungkin waktunya lebih pendek dibanding Gempa Aceh.

Gempa Watusampu 1927
Menurut sumber dari Stasion Geofisika Palu, gempa ini terjadi pada 1 Desember 1927, jam 12:37 waktu lokal dengan pusat gempa: 0.5 LS, dan 119,5 BT. Pusatnya di Teluk Palu. Gempa ini menimbulkan kerusakan bangunan di Palu, Donggala, Biromaru dan sekitarnya. Di Palu 3 kios besar di pasar rusak total, yang lainnya rusak berat. Jalan utama, menuju pasar rusak berat dan beberapa bagian jalan di belakang pasar tersebut turun setengah meter. Pasar Biromaru rusak total dan kantor kecamatan rusak berat. Kantor Pemerintah Daerah Donggala roboh sebagian. Gempa juga dirasakan di bagian tengah Sulawesi yang jaraknya sekitar 230 km dari pusat gempa.
Terjadi gelombang pasang dari Teluk Palu dengan ketinggian maksimum 15 meter. Rumah-rumah di pantai mengalami kerusakan, 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka. Tangga dermaga Talise hanyut sama sekali. Dasar laut setempat turun 12 meter. Gempa susulan dirasakan sampai di Parigi hingga 17 Desember 1927.
Sebenarnya, dalam referensi yang ada, gempa ini disebut Gempa Donggala. Penulislah yang mengganti namanya menjadi Gempa Watusampu. Alasannya, agar pikiran orang langsung tertuju ke sana begitu Gempa Donggala 1927 disebut, apalagi wilayah Kab. Donggala relatif luas. Perobahan nama ini juga didasari bahwa gempa tersebut sedang berada dalam periode berulangnya, sehingga perlu dicermati dan diwaspadai.
Sebuah rumus empiris, yang didasarkan pada hitungan-hitungan statistik, telah dikemukakan oleh seorang seismolog Jepang: bahwa periode berulangnya gempa-gempa besar adalah dalam rentang waktu (69 ± 13,2) tahun. Tepatnya: 55,8 sampai 82,2 tahun. Jadi, Gempa Watusampu yang terjadi lebih dari 77 tahun yang lalu, berada dalam periode pengulangan tersebut. Akankah tejadi...? Tuhan mengaruniai akal kepada manusia, mari kita gunakan sejenak...!

Watusampu ke Bora
Pengulangan Gempa Watusampu telah terjadi. Penulis menduga bahwa energi dalam bentuk gelombang gempa yang lepas di Bora pada Senin 24 Januari 2005 adalah energi yang terakumulasi selama puluhan tahun untuk pengulangan Gempa Watusampu. Hanya saja, pusat pelepasan energi tersebut bergeser ke Bora atau Gunung Sibalaki, bukan di Teluk Palu. Dugaan ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa berulangnya sebuah gempa tidak mesti persis di titik yang sama, karena:
a.    Isi perut bumi dinamis, yang menyebabkan lempeng-lempeng yang ada di atasnya juga dinamis.
b.  Jarak antara pusat Gempa Watusampu dengan pusat Gempa Bora hanya sekitar 5 - 8% dari panjang total lajur sesar Palu-Koro.
c.  Tidak ada catatan sejarah gempa yang mengatakan bahwa di lokasi pusat Gempa Bora pernah terjadi gempa besar yang waktu kejadiannya berada dalam rentang waktu tersebut di atas.

Masih adakah Gempa?
Gempa tidak pernah berhenti. Menurut rekaman seismograf pada Stasion Geofisika Palu, hampir setiap hari sesar Palu-Koro menimbulkan beberapa kali gempa. Untunglah bahwa sebagian besar dari gempa tersebut bermagnitudo kecil, yang getarannya hanya dapat dideteksi oleh seismograf.
Isu tentang akan adanya gempa yang lebih besar lagi setelah Gempa Bora, mungkin muncul dari prediksi berulangnya Gempa Donggala 1927. Berdasarkan analisis penulis sebagaimana dijelaskan di atas, pengulangan itu telah terjadi. Dan, pengulangannya adalah Gempa Bora. Olehnya itu, masyarakat tidak usah resah dan takut, karena gempa yang lebih besar itu tidak akan terjadi, paling tidak, sampai beberapa tahun yang akan datang.
Daripada percaya kepada isu yang dihembuskan oleh orang iseng dan orang kesurupan, lebih baik kita berzikir dan bertawakkal kepada Sang Khalik, karena Dia-lah yang menentukan segalanya...!

Dikutip dari Dosen Fisika, Staf Peneliti PPLH dan Ka. PP BMBA Lembaga Penelitian UNTAD serta Dir. Penelitian LPPS - DAOT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar