Dalam
sepuluh tahun ke depan, secara lambat tetapi pasti pengembangan SIG akan
bergeser dari kegiatan yang bersifat pasif, pengumpulan data digital menjadi
kegiatan aktif dinamis berupa penganalisaan data geografis. Untuk itu, data geografis
yang dikelola oleh suatu instansi harus dapat diakses dengan mudah oleh
instansi lainnya atau pun masyarakat, sehingga keberadaannya akan semakin
optimal. Berbagi pakai data (data sharing)
merupakan suasana kondusif untuk terciptanya suatu sistem yang
interoperability. Suasana keterbukaan ini sangat menunjang keberhasilan
implementasi SIG di Indonesia. Beberapa manfaat positif dari penggunaan teknologi
SIG seperti efisiensi dan efektifitas, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan daerah, demi sebesar-besar nya kemakmuran rakyat.
Sistem
Informasi Geografis (SIG) sebagai tool untuk menyimpan/mengelola,
mengolah/menganalisis, dan menyajikan informasi mulai berkembang sejak akhir tahun
1980-an. Untuk penggunaan dan aplikasi SIG di masa depan tiga komponen di atas
secara umum masih tetap mendominasi kegiatan utama SIG. Perubahan akan terjadi
hanya dalam hal yang terkait dengan pergeseran kepentingan dan implementasi/pemanfaatannya
dari ketiga komponen SIG di atas (Briggs, 1999).
Pada
awal perkembangannya teknologi SIG ini ditekankan pada pengumpulan dan konversi
data dari sistem peta cetak (hardcopy)
dan data tabular/numerik (data statistik, dll) yang terkait ke suatu sistem
basis data spasial digital (softcopy).
Untuk masa yang akan datang, terutama di negara-negara maju penekanan
diharapkan lebih kepada analisis data. Hal ini sangat logis, jika data yang dibutuhkan
sebagai basis sudah tersedia dengan baik dan memadai maka pemanfaatan SIG
selanjutnya harus lebih ditekankan kepada analisis data untuk memperoleh
informasi yang lebih variatif. Walaupun demikian, pekerjaan pengumpulan data
tetap harus dilakukan secara terus-menerus, dengan kapasitas yang lebih kecil,
untuk tujuan pendinian (updating) data
yang sudah ada. Penekanan akan lebih diutamakan juga ke arah analisis yang dinamis
dan aktif seperti pemodelan dan visualisasi dari data yang dipunyai.
Dari
segi ekonomis, proses perkembangan ini akan turut mempengaruhi biaya dan
investasi yang harus dikeluarkan dan ditanamkan untuk pembentukan dan
pemanfaatan SIG pada tahap selanjutnya. Adapun untuk tahapan berikutnya biaya yang
diperlukan akan berkurang pada saat SIG sudah terbentuk dan lebih ditekankan
untuk memperoleh informasi sesuai data yang telah tersedia. Demikian juga
halnya dengan sumber daya manusia yang diperlukan untuk menangani SIG ini akan semakin
kecil karena hanya dibutuhkan sejumlah tenaga untuk memperbaharui data saja dan
tenaga ahli untuk menganalisis data sesuai informasi yang diperoleh. Pada sistem
konvensional makin lama penerapan dilakukan, maka biaya yang harus dikeluarkan
akan makin mahal. Hal sebaliknya akan terjadi pada penerapan dengan menggunakan
teknologi SIG, biaya yang diperlukan makin lama akan makin murah.
Manfaat
Teknologi SIG
Ada
dua faktor utama yang terkait dengan masalah keberhasilan implementasi SIG.
Kedua hal tersebut yaitu masalah teknologi dan masalah kondisi pengoperasian
SIG itu sendiri. Keduanya berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.
Keberhasilan
dari implementasi teknologi SIG sehingga sesuai seperti yang diharapkan akan memberikan
dampak yang positif dalam sistem pengelolaan informasi yang menyangkut antara
lain masalah efisiensi dan efektifitas, komunikasi yang tepat dan terarah,
serta data sebagai aset yang berharga (Briggs, 1999). Efisiensi dan Efektifitas
sistem kerja sebagai dampak dari keberhasilan implementasi teknologi SIG akan
semakin terasa. Pada era globalisasi, setiap institusi pada sektor swasta (private sector) dapat bergerak dengan
efektif dan efisien setelah mereka menerapkan teknologi SIG untuk membantu
pekerjaan mereka di berbagai sektor, bidang atau industri jasa yang mereka
tekuni. Kunci kesuksesan bisnis pada sektor ini di masa depan, terutama dalam
menghadapi persaingan bebas, adalah adanya sistem pengelolaan yang efisien dan sistem
pelayanan yang baik untuk para pelanggan (Longley, 2005). Sebagai contoh, di
suatu negara maju orang memanfaatkan SIG untuk menentukan jalur (route) yang singkat/optimum untuk pengantaran
barang dari pabrik ke tempat distributor. Jalur yang singkat tentunya akan
menghemat waktu dan biaya pengiriman, sehingga hal ini akan meningkatkan
efisiensi dan menjadi pekerjaan mereka menjadi lebih efektif. Di sektor
pemerintah (public sector) indikator
kesuksesan implementasi SIG akan terletak pada kualitas pelayanan pada masyarakat
(Awalin, 2003) atau komunikasi dengan pengguna. Komunikasi ini mungkin lebih
kepada pelayanan dalam memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat secara
mudah dan cepat. Contohnya menunjukkan arah perjalanan, informasi kepemilikan
tanah, lokasi wisata dan lain sebagainya.
Dengan
SIG yang baik maka pelayanan informasi yang sifatnya demikian akan dapat secara
mudah dan cepat diberikan. Komunikasi Informasi yang Tepat dan Terarah. Dalam
suatu sistem informasi yang ideal, penampilan data yang diperlukan harus disesuaikan
dengan tingkatan/level dari pemakai (level
of users). Tampilan SIG untuk tingkatan Kepala Daerah Propinsi (gubernur)
akan berbeda dengan tingkatan pejabat suatu dinas di level kabupaten karena
informasi yang diinginkan sudah tentu berbeda. Pada tingkatan dinas di
kabupaten, informasi yang diperlukan akan lebih rinci, misalnya seluruh data
hasil musim panen harus dapat diketahui untuk setiap kecamatan, sedangkan untuk
seorang gubemur informasi ini cukup untuk setiap kabupaten saja. Walaupun tidak
tertutup kemungkinan untuk memberikan informasi yang lebih terperinci bagi tingkatan
pengguna yang levelnya lebih atas. Terlihat suatu struktur data yang generik
sehingga multiguna. Selain itu, untuk kasus data dan informasi yang selayaknya
harus diketahui masyarakat umum, seluruh data yang ada pada SIG dapat dibuat
dan disusun dalam bentuk sistem jaringan dan memungkinkan untuk dapat
disebarluaskan. Dengan demikian memungkinkan masyarakat umum dapat mengakses
sendiri data yang ada dan menyimpan sesuai keperluannya dengan/atau tanpa biaya (tergantung kebijaksanaan).
Informasi
sebagai Aset Data yang dikumpulkan dan dikelola di dalam SIG ini merupakan
suatu bentuk aset tersendiri yang tidak berbeda dengan bangunan, mesin-mesin,
dan barangbarang inventaris lainnya yang dimiliki oleh suatu institusi. Dalam
situasi yang demikian diperkirakan di masa mendatang institusi pemberi jasa
informasi termasuk informasi geografis akan lebih berperan. Peranannya akan
melebihi perusahaan yang bergerak di bidang perangkat keras (1980-an) dan
perangkat lunak (1990-an). Hal ini sangat memungkinkan karena untuk berbagai
pengambilan keputusan dalam banyak permasalahan diperlukan informasi (data) yang
sampai dengan saat ini belum seluruhnya tersedia dan dapat diperoleh dengan
mudah. Sehingga pada akhirnya suatu saat informasi akan menjadi suatu komoditi
yang sangat strategis yang banyak dicari dan diminati orang.
Kondisi
dan Manfaat Operasional
Kondisi
dan manfaat implementasi SIG di masa depan antara lain menyangkut hal-hal yang berkaitan
dengan bidang bisnis dan pemerintah, teknologi komputerisasi, dan terciptanya
suasana yang interoperability. Pada Sektor Bisnis dan Pemerintah dalam era
teknologi informasi, kebutuhan untuk jenis pelayanan (informasi) sifat dan penyajiannya
sangat ditentukan oleh kebutuhan para pemakai (users requirement), bukan oleh pemberi/penyedia data, seperti
halnya kondisi saat ini, karena setiap pemakai memerlukan jenis pelayanan atau
informasi yang berbeda. Selain itu, pelayanan atau informasi yang disediakan
untuk kebutuhan yang berbeda harus dapat disediakan dalam waktu yang singkat
dan dengan biaya yang relatif murah. Karena ringannya biaya untuk memperoleh
suatu informasi dengan cepat dan akurat, para pelanggan atau masyarakat
pengguna informasi tidak keberatan mengeluarkan biaya untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan. Persaingan sehat dalam bidang penyedia jasa
informasi akan semakin meningkat. Setiap orang akan berusaha untuk menjadi
penyedia jasa informasi geografis. Sektor swasta lambat laun akan mengambil
alih tugas dan peran dari institusi pemerintah, dan pemerintah secara perlahan
dan pasti akan beralih fungsi dari penggerak dan penguasa teknologi menjadi
hanya pemakai teknologi.
Perangkat
lunak SIG yang standar akan lebih
populer dibandingkan yang didesain secara khusus. Teknologi komputerisasi kebutuhan
akan perangkat komputer untuk pengoperasian teknologi SIG akan lebih meningkat.
Hal ini disebabkan karena sifat informasi geografis yang dikelola oleh suatu
SIG sangat kaya dengan nuansa, mempunyai volume besar dan tersebar (rich and
voluminous) (UCGIS, 1998). Untuk itu diperlukan sistem perangkat keras yang mampu
memberikan kecepatan proses data yang tinggi, baik dalam sistem stand-alone
maupun jaringan (network), dan dilengkapi dengan media penyimpanan data yang
cukup besar. Selain perangkat keras, kemampuan perangkat lunak, baik sistem
operasi komputernya sendiri maupun DBMS yang terkait dengan SIG, dituntut untuk
semakin canggih (objectoriented) baik
dalam hal pengelolaan maupun penyajian data (system multimedia). Hal ini akan menimbulkan persaingan yang cukup
ketat di kalangan perusahaan yang bergerak di bidang komputer dan pembuatan
perangkat lunak (Scholten, 1990).
Struktur
Informasi Bentuk arsitektur dari jaringan yang tergabung dalam SIG akan
memisahkan komputer sebagai pusat basis data dengan komputer sebagai terminal
pengolah data. Sehingga perangkat lunak akan mengarah ke sistem modular. Pusat
data SIG akan berbagi pakai data (data sharing)
dengan pusat data lainnya. Untuk dapat melakukan
operasi berbagi pakai data maka dibuat sistem
client and server yang terpisah. Setiap pusat data SIG akan bertindak sebagai client. Agar dapat mengakses data dari
pusat data SIG lainnya, clientclient ini diatur oleh suatu sistem server. Interoperability
Hal yang perlu diperhatikan dalam perkembangan SIG ini ialah kemampuan interoperability
data. Masalah ini berkenaan dengan sistem penyimpanan data yang digunakan baik
data parsial maupun data tekstual. Setiap perangkat lunak SIG memiliki format
penyimpanan data grafis dan tekstual tersendiri yang adakalanya tidak dapat dipindahkan
ke dalam format lainnya. Dengan perkataan lain data yang ada pada satu SIG
tidak dapat digunakan oleh SIG lainnya karena memiliki perbedaan struktur dan
format penyimpanan tersendiri.
Di
masa depan, format data ini tidak menjadi masalah sepanjang suatu format umum (interface/protocol) telah disetujui sebagai
perantara untuk dapat mengubah format yang satu ke format lainnya. Atau paling
tidak, akan lebih memudahkan apabila meta-data yang melengkapi data yang ada
pada suatu SIG tersedia dan dapat diakses dengan baik. Bakosurtanal mengkoordinasikan
SIGNAS (Sistem Informasi Geografis Nasional) yang bertujuan menyusun platform
untuk pertukaran data secara nasional. Sebagai catatan, apabila sistem
interoperability sudah dapat dicapai maka berbagi pakai data (data sharing) dapat
dilaksanakan dengan baik dan akan menguntungkan semua pihak.
Manfaat
SIG untuk Pembangunan Daerah
Pembangunan
daerah di masa depan pada akhirnya akan bergantung kepada daerah itu sendiri. Hal
ini disebabkan adanya penerapan otonomi pemerintahan daerah dimana setiap
daerah bertanggung jawab untuk dapat mengembangkan daerahnya sesuai dengan
potensi dan rencana yang dipunyai. Sejalan dengan itu, sikap para pengambil keputusan
pun pada saat ini dituntut untuk lebih terbuka (transparan) sehingga masyarakat
dapat mengetahui keputusan dan latar belakang dari kebijakan yang ditetapkan. Dalam
pelaksanaan otonomi, daerah harus menggali dan mengembangkan, secara optimal, potensi
dan sumber daya yang ada pada daerahnya demi sebesar-besarnya kemakmuran daerah
tersebut. Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan menginventarisasi
keberadaan segala sumber daya yang tersedia. Salah satu caranya ialah dengan membangun
suatu pusat basis data sumber daya alam dalam media komputer yang terintegrasi
dengan SIG. SIG harus tersusun dengan baik dimana semua data daerah, baik data
parsial maupun data tekstual, disimpan dan dikelola sehingga untuk memperoleh informasi
dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Seperti diketahui, RUTR (Rencana Umum
Tata Ruang), baik Kabupaten, Kota maupun Wilayah, merupakan pedoman bagi
pemerintah daerah untuk menetapkan lokasi dan manfaat ruang dalam menyusun
program-program dan proyek-proyek pembangunan selama jangka waktu tertentu
(setahun atau lima tahun).
Dalam
menyusun RUTR-K/W ini diperlukan data yang menyangkut aspek fisik, sosial dan
ekonomi yang berlangsung di daerah tersebut. Dengan diperolehnya data tersebut,
potensi/kemampuan, kelemahan, kesempatan dan kendala (Strength, Weakness,
Opportunity, Threat) dapat diperkirakan sehingga dapat disusun suatu strategi
pengembangan daerah yang efektif dan efisien. Sumber data yang diperlukan
diperoleh dari berbagai instansi seperti misalnya Biro Pusat Statistik.
Dengan
memanfaatkan SIG dimana data yang disimpan tersebut berupa data digital maka informasi
yang diperlukan untuk proses perencanaan dapat dilakukan secara mudah dan
cepat. Misalkan untuk aplikasi analisis kesesuaian fisik lahan. Salah satu
metoda untuk memperoleh inforrnasi kesesuaian lahan ini ialah dengan memberikan
score pada setiap jenis data yang digunakan sesuai kondisi data tersebut misalnya
jenis tanah, tingkat kemiringan lereng, jumlah curah hujan pertahunnya dan data
lain yang ada. Umumnya proses ini diIakukan dengan menggunakan analisis tumpang
tindih (overlay) dari seluruh data yang berupa peta-peta tematik sehingga dapat dilakukan penjumlahan score untuk menentukan
kesesuaian lahan berdasarkan criteria yang dipakai.
Pemecahan
Masalah Dan Jalan Keluar
Untuk
pengembangan SIG daerah dan pengadaan data dasar yang menunjangnya ada beberapa
aspek yang harus dikaji dan dapat dicoba dicari jalan keluarnya. Aspek yang
pertama menyangkut aspek pendanaan, aspek kedua menyangkut teknologi, dan aspek
ketiga menyangkut sumber daya manusia (SDM) yang harus tersedia. Aspek
Pendanaan Dari segi pendanaan diperkirakan hampir sebagian besar daerah
(propinsi) di Indonesia memiliki sumber daya alam yang dapat digali dan dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya dan setertibtertibnya untuk mendapatkan sumber
dana untuk pembangunan dan kesejahteraan daerah. Dalam kaitan dengan otonomi
ini pemerintah daerah dapat mencari peluang sumber dana dengan leluasa baik melalui
pinjaman luar negeri, penanaman modal dalam negeri (PMDN), penanaman modal
asing (PMA), bahkan dana masyarakat untuk menggali dan memanfaatkan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat daerah.
Aspek Teknologi Seperti dijelaskan pada uraian-uraian di atas, hal yang sangat
mendasar dalam pengembangan SIG adalah ketersediaan data dasar topografis dan
tematis yang terkait. Dalam system konvensional pengadaan kedua jenis data
dasar di atas sangat memakan waktu, tenaga, dan dana. Disadari bahwa selama
limapuluh empat tahun merdeka belum seluruh wilayah Indonesia terliput oleh
peta dasar yang memadai baik topografis maupun tematis. Salah satu hambatannya
adalah masalah teknis untuk menangani pemetaan dengan area yang
terpencar-pencar dan begitu luasnya.
Dalam
sistem pemetaan modern pengadaan kedua jenis data dasar di atas dapat dilakukan
dengan mempersingkat waktu pelaksanaan yang cukup signifikan. Dengan
memanfaatkan teknologi GPS (Global Positioning System), penyebaran titik kerangka
dasar nasional, dan kerangka dasar turunannya di daerah yang merupakan jaringan
referensi pengadaan data dasar topografis dapat dilakukan jauh lebih cepat
dibandingkan dengan sistem yang ada sebelumnya (sistem terestris dan sistem
doppler). Pengambilan data untuk pengadaan data dasar dalam bentuk peta
digital, teknologi fotogrametri digital (softcopy photogrammetry) dan sistem
CAD dapat mengefisiensikan waktu pemrosesan yang jauh lebih baik daripada system
sebelumnya (sistem fotogrametri analog dan analitis). Teknologi ini berkembang
sejak awal 1990-an dan sampai saat ini sudah ada belasan sistem yang dapat dibeli
di pasaran (Leberl, 1991). Di negara-negara maju sistem fotogrametri digital
ini sudah menjadi pilihan utama (hanya satusatunya pilihan) mengingat sistem
sebelumnya (analog dan analitis) sudah tidak dikembangkan dan diproduksi lagi.
Untuk
daerah-daerah yang sulit dipotret karena cuaca dan liputan awan yang di atas toleransi
dapat diatasi dengan cara memanfaatkan satelit radar interferometri yang
teknologinya makin lama makin baik, memadai, dan menjanjikan (promising) untuk
pengadaan data dasar topografi terutama informasi relief atau data ketinggian. Sehingga
masalah pengadaan data dasar untuk daerah-daerah seperti di pedalaman
Kalimantan (mudah-mudahan) tidak akan tergantung lagi kepada keadaan cuaca.
Untuk keperluan pengadaan data dasar tematis, dapat dilakukan dengan teknologi
penginderaan jauh dengan memanfaatkan citra satelit yang resolusinya makin lama
makin baik. Satelit inderaja IKONOS (Fritz, 1999) dalam waktu dekat akan
diluncurkan dan mempunyai resolusi parsial di bawah satu meter.
Dengan
demikian detil informasi topografis dan tematis dapat lebih memadai untuk pengadaan
data dasar tematis (bahkan mungkin untuk pengadaan data dasar topografis) atau
data dasar lainnya yang diperlukan untuk keperluan pembangunan dan pengembangan
SIG. Proyek LREP II (Land Resource Evaluation and Planning II) yang diselenggarakan
pada tahun 1992-1997 yang dikoordinir oleh Bakosurtanal dengan bantuan Dana Bank
Pembangunan Asia (ADB) adalah salah satu contoh proyek yang mencoba menerapkan
teknologi modern yang ada kaitannya dengan penataan ruang daerah pada level
kabupaten/kota. Proyek ini dapat dikatakan merupakan suatu upaya untuk memberdayakan
daerah dalam hal penerapan teknologi pemetaan digital dan SIG dengan melibatkan
sumber daya manusia dari daerah yang bersangkutan. Pada setiap daerah di 18
Propinsi dibuatkan proyek percontohan yang berbeda-beda yang dipilih dan
ditentukan sendiri oleh masingmasing Bappeda (Hakim, 1996).
Aspek
Sumber Daya Manusia Berbicara tentang sumber daya manusia (SDM) daerah dan
kaitannya dengan teknologi modern bisa jadi berarti kendala, kesulitan, dan hambatan.
Demikian juga SDM untuk SIG akan merupakan barang langka di daerah. Selama ini jumlah
tenaga ahli dan tenaga terdidik yang memahami pemanfaatan SIG, dan
profesi-profesi lainnya belum mencapai 1.000 orang (BPPT, 1994) dan sebagian
besar berdomisili di sekitar Jakarta. Pada saat otonomi daerah dijalankan,
apakah tenagatenaga ini dapat didistribusi/terdistribusi ke daerah, merupakan
suatu pertanyaan besar. Berdasarkan pengalaman LREP II, dalam hal pengadaan SDM
khusus yang menangani pemetaan digital dan SIG dapat ditempuh tiga cara, yaitu
melalui suatu pendidikan dengan memberikan beasiswa tugas belajar di dalam
negeri atau di luar negeri, memberikan pelatihan singkat di dalam negeri dan/atau
mengadakan suatu on the job training (OJT) di masing-masing daerah yang
memiliki proyek percontohan.
Untuk
jangka pendek pengadaan SDM dengan cara kedua terakhir dengan bimbingan tenaga ahli
yang berpengalaman boleh dikatakan cukup efektif. Pengadaan SDM seperti di
jelaskan di atas khusus untuk pemetaan digital dan SIG dapat ditempuh oleh daerah-derah otonom dengan cara
meminta bantuan atau mengadakan kerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi
yang memang memiliki tenaga ahli di bidang ini, antara lain ITB (Jurusan Teknik
Geodesi), Universitas Indonesia (Fakultas Geografi), dan Universitas Gajah Mada
(Fakultas Geografi).