Hingga saat ini, komunitas astronomi
mencari planet-planet luar surya telah menemukan 100 bintang-bintang yang mirip
Matahari. Dalam sistem-sistem keplanetan tersebut, 12 di antaranya merupakan
sistem majemuk, yaitu sebuah bintang dengan lebih dari satu buah planet sebagai
pengiring, seperti halnya tata surya.
Sudah sejak lama astronom meyakini
kehadiran planet dan tata surya lain di jagat raya. Tahun 1992, astronom
Alexander Wolszczan mengumumkan temuan berupa sistem keplanetan pertama di luar
tata surya, yaitu sistem Pulsar yang disebut PSR 1257 + 12 pada jarak 1630
tahun cahaya. Satu tahun cahaya setara dengan 9,5 triliun kilometer. Sistem itu
memiliki dua planet yang masing-masing bermassa 2,8 dan 3,4 kali massa Bumi (6
x 1.024 kilogram), dengan tambahan dua planet lagi melalui penemuan berikutnya.
Pulsar adalah bintang yang telah mati
dan merupakan akhir dari bintang bermassa
besar, 8-20 kali massa Matahari. Dalam penulisan biasa disingkat
PSR dan diikuti koordinat langitnya. Tiga tahun setelah penemuan Wolszczan,
Oktober 1995, Mayor dan Queloz mengumumkan kerja tim mereka tentang kehadiran
sebuah planet yang mengorbit bintang setipe Matahari, yakni bintang 51 Pegasi
di arah rasi Pegasus jarak 45 tahun cahaya dari Bumi. Karena planet mengitari
bintang induk yang mirip Matahari, temuan ini mengundang perdebatan para
ilmuwan.
Geometri Orbit
Skema matematis yang menggambarkan gerak
planet-planet di tata surya dalam orbit lingkaran telah dibuat oleh Hipparchus
(2 SM), yang kemudian diperbaiki oleh Ptolomeus. Johannes Kepler (1571-1630)
berhasil menyederhanakan teori tentang pergerakan planet dengan memanfaatkan
data-data observasi yang ditinggalkan Tycho Brahe, astronom kelahiran Denmark
yang menjadi matematikawan kaisar Romawi Rudolph II. Setelah berjuang delapan
tahun, astronom Jerman ini menyimpulkan bahwa planetplanet bergerak dalam orbit
elips dengan laju berubah-ubah.
Menurut Kepler, gerak planet-planet
mengitari Matahari tidak harus berbentuk lingkaran seperti yang dibayangkan
sebelumnya. Semua orbit planet di tata surya berbentuk elips dengan
eksentrisitas atau ukuran kelonjongan yang berbeda-beda. Planet-planet bergerak
sepanjang keliling elips atas pengaruh gravitasi Matahari. Sekarang diketahui
bahwa orbit semua benda langit mengikuti bentuk kurva irisan kerucut, yaitu
elips, parabola, hiperbola, atau lingkaran.
Sebagian besar extrasolar planets atau
planet-planet luar-tata surya berhasil ditemukan dengan teknik kecepatan radial
yang memanfaatkan efek Doppler pada gelombang cahaya. Dengan dukungan teknologi
saat ini astronom mampu mengukur kecepatan radial bintang sampai ketelitian
tiga meter per detik atau setara dengan kecepatan kayuhan sepeda! Sayangnya,
dengan teknik ini hanya massa minimum planet yang dapat ditentukan.
Pembentukan Planet
Teori pembentukan planet menyatakan
bahwa gumpalan awan gas dan debu cikal bakal tata surya pada lima miliar tahun
lalu, mengalami pemampatan sehingga partikel-partikel di dalamnya tertarik ke
arah pusat, membentuk gumpalan dan mulai berpilin. Lambat laun gumpalan awan
memipih dengan bagian tengah lebih tebal dan bergerak lebih lambat daripada
bagian tepi yang lebih tipis. Partikel di bagian tengah yang lebih padat saling
bertumbukan sehingga menimbulkan panas dan mulai berpijar.
Bagian pusat yang memijar inilah yang
akan menjadi Matahari. Bagian tepi cakram yang berputar lebih cepat akan
tercerai menjadi gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang juga berpilin. Bagian
inilah yang setelah membeku akan menjadi planet-planet dan satelit-satelitnya. Model
konvensional di atas sejauh ini dapat menerangkan dengan baik material cakram
yang mengorbit dalam lintasan sirkuler dalam arah yang seragam dan di bidang
yang sama, seperti yang teramati pada planet-planet di tata surya. Atas dasar teori
tersebut, planet tidak dapat terbentuk bila terlampau dekat dengan bintang
induk, mengingat terlalu tingginya temperatur memadatkan material. Planet tidak
dapat terbentuk terlalu jauh karena ketersediaan material yang semakin tipis
karena semakin jauh dari pusat cakram.
Dalam tata surya, hampir semua planet
berada dalam orbit yang dekat dengan bentuk lingkaran, yaitu dengan harga
eksentrisitas kurang dari 0,1. Orbit planet dengan eksentrisitas bernilai 0
memiliki bentuk lingkaran. Semakin besar nilai eksentrisitas (nilainya semakin
mendekati 1), semakin lonjong orbit elips yang terbentuk. Dari kesembilan
planet dalam keluarga Matahari ada tiga planet, yaitu Pluto, Merkurius, dan
Mars yang berada dalam orbit lonjong dengan eksentrisitas 0,1-0,25. Bandingkan
dengan harga eksentrisitas orbit yang dimiliki planet-planet luar-tata surya seperti
Epsilon Eridani b (eksentrisitas = 0,61), 16 Cygni B b (eksentrisitas = 0,67),
HD 89744 b (eksentrisitas = 0,7), dan HD 80606 b (eksentrisitas = 0,93).
Beberapa teori telah dibuat astronom
guna menjelaskan fenomena orbit dengan kelonjongan besar tersebut, salah
satunya dengan menyertakan gangguan gravitasi yang dialami oleh planet-planet
raksasa yang terletak berdekatan. Menurut teori ini, seandainya materi awal
pembentuk tata surya memiliki massa yang lebih besar, keempat planet raksasa
(Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus) akan berukuran jauh lebih besar dari
sekarang. Dengan kata lain, tata surya kita akan memiliki empat buah
"planet super" yang saling berinteraksi satu sama lain dan
mengakibatkan timbulnya gangguan pada orbit masing-masing.
Di bawah pengaruh gravitasi bersama
tersebut, akan ada planet yang orbitnya terdorong lebih "ke dalam"
mendekati Matahari, bergeser menjauh, dan boleh jadi akan ada yang terlempar
keluar dari sistem menjadi planet lepas. Planet-planet raksasa yang terlempar
dari orbit asalnya tersebut selanjutnya dapat berada dalam orbit yang eksentrik
(lonjong). Meskipun demikian, fakta berupa kehadiran planet-planet raksasa yang
justru memiliki orbit lingkaran di dekat bintang induknya, seperti dijumpai
pada sistem 51 Pegasi, masih menjadi teka-teki yang belum sepenuhnya terjawab.
Daya dukung kehidupan
Berpedoman pada pengetahuan tentang
bentuk kehidupan yang sudah dikenal, maka manusia tidak dapat menyandarkan
harapan menjumpai suatu bentuk kehidupan di planet-planet gas raksasa yang
telah berhasil dideteksi. Bias pada pendeteksian extrasolar planets, yang hanya
menunjukkan keberadaan planet-planet gas pada jarak yang dekat dengan bintang
induknya, telah mendorong para ilmuwan mengembangkan teknik lain dalam upaya
pencarian "planet-planet padat dan kecil" seperti Bumi.
Ada banyak program observasi yang
dicanangkan, baik landas Bumi maupun luar angkasa. Di antaranya adalah program
luar angkasa DARWIN milik badan antariksa Eropa, ESA (European Space Agency), yang akan diluncurkan setelah tahun 2009 guna
mendeteksi planet-planet seukuran Bumi sekaligus menyelidiki kemungkinan adanya
atmosfer yang menyelimuti. Hingga kini studi atas situs-situs yang memiliki
daya dukung bagi kehidupan masih terus dikembangkan. Habitable zone atau daerah
hunian bagi suatu bentuk kehidupan telah merambah pula ke satelit-satelit yang
dimiliki oleh planet-planet raksasa luar-tata surya tersebut.
Umat manusia memang masih harus bersabar
untuk dapat menemukan daerah kehidupan lain di alam raya. Apa pun bentuk
kehidupan yang bakal ditemui, temuan tersebut akan menjadi pencapaian
monumental sejarah kemanusiaan. Apa yang diimpikan Epicurus lebih dari 2.000
tahun lalu bahwa ada tak terhingga banyaknya "dunia", baik yang
serupa maupun tidak dengan "dunia" kita sendiri, akan terjawab sudah
melalui serangkaian penemuan sistem keplanetan di luar tata surya.