A. Pendahuluan
Dalam upaya mencapai keberhasilan
tujuan pembangunan wilayah pedesaan saat ini, secara umum kita dihadapkan pada
banyak tantangan yang sangat berbeda sifatnya dibandingkan pada masa-masa yang
lalu. Tantangan pertama berkaitan dengan kondisi eksternal seperti perkembangan
internasional yang berhubungan dengan liberalisasi arus investasi dan
perdagangan global. Sedangkan yang kedua bersifat internal, yaitu yang
berkaitan dengan perubahan kondisi makro maupun mikro dalam negeri. Tantangan
internal disini dapat meliputi transformasi struktur ekonomi, masalah migrasi
spasial dan sektoral, ketahanan pangan, masalah ketersediaan lahan pertanian,
masalah investasi dan permodalan, masalah iptek, SDM, lingkungan dan masih
banyak lagi.
Proses transformasi suatu wilayah
pedesaan menjadi suatu daerah agroindustri secara ilmiah telah banyak diulas
peneliti dan akademisi dan menjadi tuntutan nyata dalam proses perkembangan
modernisasi masyarakat pertanian, karena kegiatan pertanian berada di wilayah
pedesaan. Dengan melihat desa sebagai wadah kegiatan ekonomi, kita harus
merubah pandangan inferior atas wilayah ini, dan merubahnya dengan memandang
desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan
sarana yang menunjang keperluan pertanian, serta mengarahkannya secara lebih
terpadu. Sudah saatnya desa tidak dapat lagi dipandang hanya sebagai wilayah
pendukung kehidupan daerah perkotaan, namun seharusnya pembangunan wilayah kota
atau daerah pedesaan secara menyatu.
B. Melepas Ketergantungan Desa dari
Luar
Untuk menelaah hubungan ekonomi
antara suatu wilayah, kita bisa mengutip pendapat seorang pemikir strukturalis,
Galtung. Ia membedakan antara centre yang merupakan pusat pertumbuhan
dengan daerah pinggiran (periphery) yang terkebelakang. Hal ini berlaku
untuk hubungan keluar ataupun didalam suatu negara. Hubungan yang dihasilkan
tersebut digambarkan telah menguntungkan masyarakat di pusat-pusat secara
keseluruhan, dan merugikan mayoritas masyarakat di daerah pinggiran. Tanpa
disadari, sejak lama kondisi pembangunan desa-kota kita menggambarkan
konstruksi mengenai tata hubungan ekonomi domestic yang timpang. Desa telah
menjadi komoditas empuk bagi penghisapan surplus ekonomi pusat-pusat
pembangunan di kota. Prospek ekonomi rakyat pedesaan sangat dikhawatirkan akan
bertambah suram pada masa yang akan datang, jika perilaku elit kekuasaan di
seluruh tingkatan tidak mengalami perubahan pola pikir pemihakan terhadap
rakyat di desa.
Dalam tulisannya Arief mengemukakan
bahwa urbanisasi penduduk dari sector pertanian di pedesaan berlangsung akibat
adanya investasi dari sektor manufaktur dan jasa yang selama ini masih terfokus
di kota/pusat. Ketika kegiatan di kota memberikan tawaran imbalan tinggi kepada
penduduk desa yang berpindah, sementara itulah sektor pertanian akan mengalami
kelangkaan relatif pekerja. Seiring dengan itu pula, interaksi antar
aktor-aktor ekonomi, antar maupun intra sektor, telah menambah keruh keadaan
dengan adanya pengambilan keputusan politik yang tidak berpihak kepada rakyat
di desa. Sehingga, sektor pertanian, dimana sebagian besar bangsa kita
menggantungkan hidupnya, jauh dari perannya sebagai pondasi pembangunan yang
sesungguhnya. Dilain sisi, sector manufaktur semakin tidak memiliki linkage dengan
sektor primer, yaitu pertanian. Ini bisa kita lihat dari besaran volume total
impor produk barang primer Indonesia yang semakin meningkat sejak awal 70-an
sampai saat ini. Justru ketergantungan kita akan produk barang primer dari luar
negri bertambah tinggi.
Pergeseran sistem perdagangan
internasional komoditas pertanian menuntut kemampuan sektor pertanian kita
untuk mampu bersaing menghadapi kekuatan agribisnis multinasional yang selama
ini telah menguasai pasar. Dimana dari hasil studi yang dilakukan oleh FAO
tahun 1995 terungkap bahwa perdagangan hasil-hasil pertanian masih didominasi
oleh negara-negara maju seperti USA, Uni Eropa, Australia dan Kanada dengan
pangsa pasar sekitar 86% sedangkan total dari negara-negara berkembang termasuk
Indonesia baru berkontribusi 14%.
Saat ini kita dihadapkan kenyataan
tingkat pertumbuhan sektor pertanian yang sangat rendah dan meluasnya jumlah
penduduk yang menggantungkan hidup di sektor informal musiman, akhirnya menyebabkan
efek kemiskinan sosial meluas. Situasi shared poverty atau involusi seperti
yang digambarkan oleh Geertz yang terjadi sejak lama di pedesaan kita sekarang
ini makin nyata. Bila kita tidak memiliki strategi yang jelas dalam
pengembangan potensi pedesaaan jangka panjang, hal ini sangatmembahayakan.
Penerapan ideology liberalisasi perdagangan internasional yang disertai
liberarisasi arus investasi asing dalam kerangka WTO, APEC ataupun organisasi
internasional lainnya dalam situasi likuiditas internasional Indonesia yang
belum sehat seperti sekarang, dapat membawa pengaruh negatif dalam pengembangan
industri local dan menambah beban ekonomi rakyat khususnya di desa. Kekuatan
ekonomi domestik, secara substansial, akan tergeser keluar. Rakyat di desa dan
Indonesia secara keseluruhan akan memasuki fase ketergantungan yang lebih
dahsyat kepada orang luar, atau secara sistematis akan menjadi buruh di atas
tanah sendiri.
C. Agroindustri dalam Membangun
Pedesaan
Integrasi antara konsep agroindustri
dan pembangunan desa menjadi penting keterkaitannya dalam penyediaan dan
penyaluran sarana produksi, penyediaan dana dan investasi, teknologi, serta
dukungan sistem tataniaga dan perdagangan yang efektif. Pengembangan
agroindustri pada dasarnya diharapkan selain memacu pertumbuhan tingkat
ekonomi, juga sekaligus diarahkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan
pendapatan petani. Wibowo mengemukakan perlunya pengembangan agroindustri di
pedesaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar diantaranya:
1.
Memacu
keunggulan kompetitif produk/komoditi serta komparatifsetiap wilayah,
2.
Memacu
peningkatan kemampuan suberdaya manusia dan menumbuhkan agroindustri yang
sesuai dan mampu dilakukan di wilayah yang dikembangkan,
3.
Memperluas
wilayah sentra-sentra agribisnis komoditas unggulan yang nantinya akan
berfungsi sebagai penyandang bahan baku yang berkelanjutan,
4.
Memacu
pertumbuhan agribisnis wilayah dengan menghadirkan subsistem-subsitem
agribisnis,
5.
Menghadirkan
berbagai saran pendukung berkembangnya industri pedesaan.
Untuk mengaktualisasikan secara
optimal strategi tersebut di atas, perumusan perencanaan pembangunan pertanian,
perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat
guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas dapat menghasilkan
output yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap
pembangunan wilayah. Pengalaman yang sangat berharga bagi kita selama ini
menjelaskan bahwa program pembangunan desa kurang terkoodinasi dalam suatu
system yang baik dalam konteks sumberdaya maupun secara fungsional seringkali
kurang menjamin dalam tiga hal endurance (daya tahan), integrity
(keutuhan) dan continuity (kesinambungan).
Pembangunan pertanian haruslah
sinergi dari pembangunan wilayah pedesaaan dimana memiliki tujuan untuk
meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan poin
tersebut, dapat dipaparkan bahwa industrialisasi pertanian seharusnya membawa
cakrawala baru dalam pembangunan pedesaan. Meningkatkan produktivitas pertanian
harus diikuti oleh peningkatan investasi dalam pertanian modern beserta
industri pengolahan dan sektor jasa lainnya di desa. Pengembangan kawasan
potensial dengan basis pedesaan sebagai pusat pertumbuhan akan
mentransformasikan pedesaan menjadi kotakota pertanian (agropolitan). Perkotaan
pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi antar wilayah secara sehat
yang dapat menimbulkan aspek positif lainnya yaitu mengurangi arus urbanisasi
penduduk. Di samping nilai tambah produksi pedesaan akan meningkat,
industrialisasi juga akan mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di desa,
dan mendorong mereka untuk tetap bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan
daerahnya, yang juga sebagai pusat-pusat pertumbuhan.
D. Pembangunan Desa yang Berkelanjutan
Dalam situs Walhi tentang
pembangunan berkelanjutan, dipaparkan bahwa bahwa pembangunan yang
berkelanjutan dapat diartikan secara luas sebagai kegiatankegiatan di suatu
wilayah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa sekarang tanpa
membahayakan daya dukung sumberdaya bagi generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya. Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk
meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana.
Arus globalisasi yang semakin kuat perlu
diimbangi dengan kesadaran bahwa mekanisme pasar tidak selalu mampu memecahkan
masalah ketimpangan sumberdaya. Kebijakan pembangunan harus memberi perhaatian
untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asetaset di wilayah
pedesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan
ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem. Walaupun wawasan agroekosistem
merupakan sesuatu pengelolaan yang kompleks dan rumit, akan tetapi
keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat indikator-indikator
antara lain: kontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan lokal, kontribusi
terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap
peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektifitas
biaya dan kontribusi terhadap kemandirian teknis. Wibowo mengungkapkan empat
aspek umum ciri-ciri spesifik terpenting mengenai konsep agroekosistem. Empat
aspek umum tersebut adalah: kemerataan (equitability), keberlanjutan (sustainability),
kestabilan (stability) dan produktivitas (productivity).
Secara sederhana, equitability merupakan
penilaian tentang sejauh mana hasil suatu lingkungan sumberdaya didistribusikan
diantara masyarakatnya. Sustainability dapat diberi pengertian sebagai
kemampuan system sumberdaya mempertahankan produktivitasnya, walaupun
menghadapi berbagai kendala. Stability merupakan ukuran tentang sejauh
mana produktivitas sumberdaya bebas dari keragaman yang disebabkan oleh
fluktuasi faktor lingkungan.
Productivity adalah ukuran sumberdaya terhadap
hasil fisik atau ekonominya. Dimasa yang akan datang, dalam konteks pembangunan
pedesaan yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya di desa haruslah
dilaksanakan dalam satu pola yang menjamin kelestarian lingkungan hidup,
menjaga keseimbangan biologis, memelihara kelestarian dan bahkan memperbaiki
kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan
model pemanfaatan sumberdaya yang efisien.
E. Kesimpulan
Memandang desa sebagai basis
potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru dalam program
pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Perubahan kondisi internal
dan ekternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para
pembuat kebijakan dalam upaya pengembangkan potensi wilayah pedesaan. Sudah
saatnya menjadikan desa sebagai pusat-pusat pembangunan dan menjadikan daerah
ini sebagai motor utama penggerak roda perekonomian melalui sektor pertanian.
Pengembangan agroindustri sebagai pilihan
model modernisasi pedesaan haruslah dapat meningkatkan kesempatan kerja dan
pendapatan petani. Untuk itu perumusan perencanaan pembangunan pertanian, perlu
disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi tepat guna.
Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat menghasilkan output
yang optimal, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap
kesejahteraan masyarakat. Agar model pembangunan pedesaan yang berkelanjutan
dapat terwujud diperlukan pedoman pengelolaan sumberdaya melalui pemahaman
wawasan agroekosistem secara bijak, yaitu pemanfaatan asset-aset untuk kegiatan
ekonomi tanpa mengesampingkan aspek-aspek pelestarian lingkungan.