Bidang ilmu Geografi pada dasarnya mempelajari
berbagai komponen fisik muka bumi, mahluk hidup (tumbuhan, hewan dan manusia)
di atas muka bumi, ditinjau dari persamaan dan perbedaan dalam perspektif
keruangan yang terbentuk akibat proses interaksi dan interrelasinya. Untuk
mempermudah mempelajarinya, berbagai persoalan keruangan (spatial problems) dirumuskan dalam rangkaian pertanyaan : Apa jenis
fenomenanya? Kapan terjadinya? Di mana fenomena tersebut terjadi? Bagaimana dan
kenapa fenomena tersebut terjadi di daerah tersebut dan tidak terjadi di daerah
lainnya?
Fenomena keruangan, atau fenomena geografis, baik
tentang aspek fisik maupun aspek non-fisik serta interaksi dan interrelasi ke
duanya, dalam proses belajar mengajar dapat dimulai dari yang paling sederhana
seperti lokasi sekolah, lokasi pasar, kantor kelurahan atau kantor puskesmas,
atau lokasi banjir, longsor, gempa bumi, dapat diungkap melalui pertanyaan
bagaimana dan kenapa “ada” di tempat tersebut sedang di tempat lain tidak?
Selanjutnya, adanya perbedaan kepadatan penduduk di wilayah perdesaan dan
wilayah perkotaan, adanya perubahan pola penggunaan tanah untuk memenuhi
kebutuhan hidup penduduk sebagai contoh adanya peranan manusia dalam perubahan fisik
muka bumi (mans role in changing the face
of the earths).
Fenomena keruangan saat ini yang menjadi issue
global seperti konflik wilayah perbatasan antar Negara, terbentuknya
ketimpangan ekonomi Negara Negara di dunia (ada yang sangat kaya dan sangat miskin),
dampak perkembangan teknologi informasi yang bersifat “tanpa batas”
(borderless) sebagai tantangan geograf di seluruh dunia untuk merespon bahwa “the end of Geography” adalah tidak
terjadi. Interaksi dan interrelasi antar ruang muka bumi masih nyata dengan
adanya issue mengglobalnya penyakit menular yang mematikan seperti kasus
penyakit SARS, kolera tahun 60-an, HIV Aids atau kekawatiran dunia saat ini
terhadap issue penyakit Avian Influensa atau Flu burung yang memiliki
kecenderungan terjadi pandemic.
Sebagaimana bidang ilmu lain, ilmu Geografi juga
memiliki alat ukur keruangan seperti jarak antar dua tempat, baik dalam satuan
panjang, satuan nilai ekonomi dan satuan waktu, dan satuan luas (biasanya
diekspresikan dalam bidang datar) dalam hektar atau km2, hasil perhitungan
jumlah obyek, baik berdiri sendiri maupun dalam satuan luas (kepadatan) atau
dalam satuan ratio. Di samping disajikan dalam bentuk diagram, table atau
gambar profil, sarana penyajian informasi geografi paling efektif adalah dalam bentuk
peta karena sebuah peta dapat memberikan penjelasan fenomena geografis dalam
perspektif keruangan. Oleh karena keterbatasan media penyajian ruang muka bumi
ke dalam bidang datar maka sebuah peta mensyaratkan adanya skala peta. Kita
mengenal istilah skala kecil dan skala besar sesuai dengan tingkat informasi
yang akan dihasilkan. Semakin besar skala peta maka informasi atau data yang
dihasilkan semakin detil dan sebaliknya. Skala peta sangat tergantung pada
tujuan pengguna peta. Teknik membuat peta dipelajari dalam Kartografi sebagai
salah satu pelajaran inti dalam Geografi. Dengan adanya kemajuan teknologi
computer saat ini dikenal teknologi GIS atau Sistem Informasi Geografi yang
mampu menghasilkan sebuah peta relative secara lebih cepat dan akurat. Teknologi
GIS juga dapat digunakan sebagai alat bantu analisis geografis.
Secara teoritis, dalam menelaah suatu persoalan
keruangan, Geografi memiliki tiga pendekatan utama yaitu (1) analisis spasial,
(2) analisis ekologis dan (3) analisis komplek regional sebagai gabungan dari
pendekatan (1) dan (2). Pendekatan ke tiga merupakan cara yang lebih tepat
digunakan untuk menelaah fenomena geografis yang memiliki tingkat kerumitan
tinggi karena banyaknya variable pengaruh dan dalam lingkup multi dimensi
(ekonomi, social, budaya, politik dan keamanan). Salah satu contoh adalah
telaah tentang pengembangan wilayah.
Pengembangan
Wilayah
Kegiatan pengembangan wilayah adalah suatu kegiatan
yang memiliki dua sifat yaitu sifat akademis dan sifat birokratis dalam
mengelola wilayah. Sifat akademis biasanya menggunakan istilah “seyogyanya” dan
sifat terapan biasanya menggunakan istilah “seharusnya”. Dengan demikian,
pendekatan geografi, dalam tulisan ini, dapat digunakan dan dapat pula
tidak digunakan dalam kegiatan pengembangan wilayah tergantung kemauan politis
pemegang kekuasaan. Suatu pendekatan yang sudah dipilih dan diputuskan oleh
pengambil keputusan politis maka “harus” dilaksanakan oleh para pelaksana di
lapangan dan “tidak boleh” menggunakan yang lain. Produk politik seperti itu
biasa disebut Undang Undang atau berbagai peraturan lainnya. Tulisan ini
mencoba melakukan elaborasi sistim pembangunan yang berlaku saat ini dengan
menggunakan pendekatan geografi.
Berbeda dengan sistim pembangunan pada era orde baru
yang bertitik tolak dari GBHN yang berisi garis besar rencana pembangunan yang
ditetapkan oleh MPR, sistim pembangunan pada era reformasi saat ini
bertolak dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang berisi rencana
pembangunan (lima tahun) yang disusun oleh Presiden yang dipilih secara
langsung oleh rakyat dan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Saat ini,
pemerintah (pemerintah pusat) dan pemerintah daerah, dalam melaksanakan
pembangunan mengacu pada UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah sebagai amandemen dari UU nomor 22 dan 25
tahun 1999. Di samping itu berbagai UU lainnya seperti UU nomor 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU
nomor 25 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU nomor 2 tahun 1992
tentang Rencana Tata Ruang, UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan
UU lainnya yang telah mendapatkan persetujuan DPR-RI digunakan sebagai acuan
dalam melaksanakan pembangunan.
Namun demikian pada prakteknya sistim pembangunan
saat ini tidak berbeda dengan masa yang lalu karena masih menggunakan istilah
pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Bidang pembangunan dijabarkan
dalam sector, program dan proyek pembangunan. Proyek merupakan jenjang
terrendah dari hirarki istilah dalam pembangunan dan pada tahap ini
pelaksanaannya membutuhkan “dana” dan “tanah”. Dan dapat dimengerti, hasil
pelaksanaan dari proyek pembangunan tahap inilah yang akan merubah kualitas
lingkungan hidup, apakah semakin baik atau sebaliknya malah banyak menimbulkan
masalah baru bagi masyarakat.
Konsepsi pembangunan wilayah pada dasarnya adalah
pembangunan proyek proyek berdasarkan hasil analisa data spasial (Sandy dalam
Kartono, 1989). Karena yang disajikan adalah fakta spasial maka ketersediaan
peta menjadi mutlak diperlukan. Karena keseluruhan proyek berada di tingkat
kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mutlak perlu menyiapkan peta peta
fakta wilayah dalam tema tema yang lengkap. Dalam lingkup pekerjaan inilah
antara lain dituntut peran aktif para ahli geografi.
Pengwilayahan data spasial untuk menetapkan proyek
pembangunan disebut wilayah subyektif, sedang wilayah yang ditetapkan untuk
suatu bidang kehidupan sebagai tujuan pembangunan (penetapan wilayah pembangunan)
disebut wilayah obyektif. Implementasi wilayah pembangunan pada umumnya tidak
sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Produk akhir dari analisis data spasial disebut
“wilayah geografik” sedang cakupan ruang muka bumi yang dianalisis disebut
“area/geomer/daerah”.
Saat ini semakin dapat dirasakan bahwa perkembangan
suatu daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh daerah sekitarnya
mulai dari daerah tetangga sampai daerah yang lebih jauh jaraknya bahkan
pengaruh dari bagian bumi lainnya. Dampak globalisasi telah membuktikan hal
itu. Oleh karena itu, wilayah sebagai system spasial dalam lingkup kegiatan
pengembangan wilayah merupakan subsistem spasial dalam lingkup yang lebih luas.
Sebuah kabupaten/kota, dalam kegiatan pengembangan wilayah, di samping
menganalisis data spasial kabupaten/kota yang bersangkutan, juga perlu
memperhatikan paling tidak bagaimana perkembangan daerah sekitarnya
(interregional planning). Sebuah kabupaten/kota tidak dapat hidup sendiri dan
oleh karena itu perlu mengadakan kerja sama dengan daerah tetangganya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu proyek
pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit
terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya dan
dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya adalah
menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan
dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara
penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui suatu kajian
akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan
lainnya.
Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan
penetapan masalah, pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan
penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi
dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu
pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau
overlay peta wilayah) dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas proyek dan
di mana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan
geografi tidaklah sesederhana itu.
Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek
pembangunan dapat disebutkan antara lain dengan menerapkan teori Economic Base,
Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori
lokasi, (Location Theory), teori
pusat (Central Place Theory) dan
penerapan teori Kutub Pengembanngan (Growth
Pole Theory).
1. Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang
dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu
(1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.
2. Teori Pusat Pelayanan. Pola ideal yang
diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan
tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola
pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan
hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi
transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001).
3. Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller
yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan diprakarsai dan
dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi
seperti konsep Industri Penggerak (leading
industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Beberapa kelemahan penerapan cara cara di atas dalam
penetapan proyek pembangunan dihadapkan pada faktor politis pengambil kebijakan
di tingkat kabupaten/kota utamanya pada era otonomi daerah saat ini, faktor
ketersediaan dana dan bidang tanah tempat dilaksanakannya proyek tersebut. Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan geografi menjadi factor kunci dalam
kegiatan penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara
tepat.
Pendekatan geografi dalam pengembangan wilayah
paling tidak menggabungkan dua hal yang berbeda dalam substansi analisis yaitu
domain akademik dan domain birokratik. Pendekatan geografi yang telah diuraikan
di atas adalah suatu pendekatan akademis yang bersifat logis dan rasional
karena obyek terapannya dalam konteks ruang muka bumi yang karena sifatnya
disebut wilayah. Oleh karena itu peta menjadi instrument dasar, baik pada tahap
awal maupun akhir dari kegiatan pengembangan wilayah.
Secara sederhana, karena contoh pengembangan
wilayahnya di Indonesia, usaha untuk memperoleh hasil/manfaat yang lebih baik
dari kegiatan pengembangan atau pembangunan suatu “wilayah” selalu berorientasi
pada kehendak pemegang kedaulatan atas wilayah yang dimaksud yaitu rakyat yang
diekspresikan dalam perangkat UU. Karena pada dasarnya kegiatan pengembangan
wilayah diarahkan untuk sebesar besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,
lahir dan batin, argument dari sudut pandang ekonomi, social budaya dan
keamanan tidak dapat diabaikan dalam pengembangan wilayah.
Para peserta pelatihan diharapkan dapat menularkan
esensi tulisan ini kepada para murid sekolah, dengan cara sederhana sesuai
tingkat sekolahnya, dengan menggunakan kata kunci : location, place dan space,
sebagai alat bantu menjelaskan berbagai fenomena geografis dalam perspektif
keruangan.