A. Pendahuluan
Dalam pengertian lain; keanekaragaman
hayati merujuk pada keanekaragaman semua jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik
(mikroorganisme), serta proses ekosistem dan ekologis dimana mereka menjadi
bagiannya (UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNCBD). Keanekaragaman
genetik (di dalam jenis) mencakup keseluruhan informasi genetik sebagai pembawa
sifat keturunan dari semua makhluk hidup yang ada. Keanekaragaman jenis
berkaitan dengan keragaman organisme atau jenis yang mempunyai ekspresi genetis
tertentu.
Sementara itu, keanekaragaman ekosistem
merujuk pada keragaman habitat, yaitu tempat berbagai jenis makhluk hidup
melangsungkan kehidupannya dan berinteraksi dengan faktor abiotik dan biotik
lainnya. Keanekaragaman hayati lebih dari sekedar jumlah jenis-jenis flora dan
fauna.
Pemanasan global merupakan isu
lingkungan hidup yang dapat menyebabkan perubahan iklim global. Perubahan iklim
global terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50
- 100 tahun. Walaupun terjadi secara perlahan, perubahan iklim memberikan
dampak yang sangat besar pada kehidupan mahluk hidup. Dampak yang terjadi
antara lain: mencairnya es dikutub selatan, pergeseran musim, dan peningkatan permukaan
air laut. Dampak tersebut memberikan pengaruh terhadap kelangsungan mahluk
hidup.
Mencairnya es dikutub , terutama sekitar
Greenland dapat meningkatkan volume air di laut yang menyebabkan terjadi
menambahan tinggi permukaan laut diseluruh dunia. Pada abad ke-20 telah terjadi
kenaikan permukaan air laut 20-25 cm. Apabila separuh es Greenland dan
Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut rata-rata setinggi
6-7 meter. Kenaikan permukaan air dapat menyebabkan terendamnya daratan yang merupakan
habitat mahluk hidup.
Perubahan iklim global sebagai penyebab
terjadinya penurunan biodiversitas masih bersifat kontroversial untuk saat ini.
Kontroversial yang terjadi merupakan suatu pertanyaan apakah benar perubahan
iklim merupakan penyebab utama penurunan biodiversitas?
Ada beberapa fakta yang disampaikan oleh
Al Gore pada bukunya Earth in The Balance tentang pengaruh perubahan
iklim terhadap biodiversitas antara lain:
1.
Terjadinya perubahan iklim menyebabkan
terjadinya perubahan iklim di hutan Amazon. Awan yang biasanya diatas hutan
Amazon selalu Hitam menunjukan bahwa intensitas hujan sangat tinggi, akan
tetapi sekarang intensitas hujan berkurang ditandai dengan awan yang berada
diatas hutan Amazon menjadi terang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah burung di hutan Amazon. Akan tetapi hubungan antara hilangnya
beberapa spesies burung apakah ada berhubungan langsung dengan berkurangnya
curah hujan masih dipertanyakan.
2.
Naiknya suhu laut menyebabkan terjadinya
kematian terumbu karang. Memang dibeberapa tempat terumbu karang mengalami
kamatian, akan tetapi kematian terumbu karang lebih banyak disebabkan
eksploitasi yang berlebihan oleh manusia seperti penggunaan bom ikan.
3.
Terjadinya penurunan biodiversitas yang
eksponensial sejak terjadinya revolusi industri dan berbanding lurus dengan
pertambahan populasi manusia. Hal tersebut sangat erat sekali dengan
eksploitasi seperti diburu atau habitatnya berubah untuk menjadi pemukiman dan
pertanian, bukan karena perubahan iklim.
Fakta-fakta di atas merupakan beberapa
contoh saja, mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas yang
masih kontroversial. Untuk membahas kontrovesi ini penulis mencoba membahas
dalam tulisan ini.
B. Teori
Kepunahan Mahluk Hidup
Proses seleksi alam merupakan konsep
yang dapat menjelaskan terjadinya proses kepunahan mahluk hidup. Mahluk hidup
akan punah apabila tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya.
Menurut Karl (1991); Lawrence (1991) ada tujuh faktor yang mempengaruhi
sensitifitas mahluk hidup terhadap kepunahan yaitu:
1. Kelangkaan:
Spesies disebut langka apabila hanya ditemukan pada area tertentu atau
tersebar, tetapi dalam jumlah individu yang sedikit. Spesies langka tergantung
pada faktor geografis, habitat khusus dan ukuran populasi.
2. Kemampuan
migrasi:
Spesies yang tidak mempunyai kemampuan migrasi mempunyai sensitifitas yang
tinggi dibandingkan spesies yang bisa migrasi terhadap kepunahan. Spesies yang
dapat migrasi dapat menghindari dari kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan.
3. Derajat
spesialisasi: Spesies yang mempunyai derajat spesialisasi lebih
tinggi sangat sensitif terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai
derajat lebih rendah. Contoh spesies yang mempunyai derajat spesialisasi tinggi
adalah Beruang Panda. Hewan ini hanya memakan satu jenis daun bamboo, sehingga
kalau terjadi kelangkaan bahan makanan ini dapat mempengaruhi kelestarian
beruang panda.
4. Variabilitas
populasi:
Populasi spesies yang relatif stabil akan lebih adaptif dibandingkan spesies
yang populasinya fluktuatif terhadap perubahan lingkungan.
5. Tingkatan
trophik:
Mahluk hidup didalam ekosistem berdasarkan jaringjaring makanan berada pada
tingkat berbeda. Tingkatan tropik paling bawah adalah produsen, tingkatan kedua
adalah herbivora dan tingkatan selanjutnya adalah karnivora. Tingkatan paling
bawah mempunyai populasi lebih besar dibandingkan tingkat diatasnya.
Berdasarkan ukuran populasi sensitifitas tingkat tropik paling atas relatif
lebih sensitif terhadap kepunahan.
6. Lama hidup:
Spesies yang mempunyai waktu hidup lebih pendek lebih sensitif terhadap
kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai waktu hidup lebih panjang.
7. Kecepatan
penambahan populasi: Sensitifitas terhadap kepunahan tergantung
dari kemampuan reproduksi spesies. Spesies yang mempunyai kemampuan reproduksi
tinggi (kecepatan pertumbuhan populasi tinggi) akan lebih adaptif dibandingkan
dengan spesies yang kemampuan reproduktifnya lebih rendah.
Penyebab terjadi kepunahan mahluk hidup
dapat dikategorikan secara langsung atau tidak langsung. Penyebab langsung
adalah perubahan yang terjadi dapat langsung menyebabkan kematian mahluk hidup,
sedangkan penyebab tidak langsung adalah perubahan yang terjadi menyebabkan
terjadinya perubahan faktorlain yang menyebabkan kematian mahluk hidup.
Ada empat faktor penyebab yang mengancam
kehidupan spesies (Stiling.P.D, 1992) yaitu:
1. Hilangnya atau
modifikasi habitat: Penyebab terjadinya hilang atau modifikasi
habitat disebabkan oleh aktifitas manusia antara lain, perubahan lahan menjadi
lahan pertanian atau perumahan pencemaran dan polusi.
2. Over
eksploitasi: Contoh terjadinya eksploitasi antara lain budaya
berburu, penjualan kayu dan perdagangan hewan.
3. Eksotik
spesies:
Introduksi spesies pada habitat suatu spesies dapat menyebabkan terjadinya
kompetisi.
4.
Penyakit:
Penyakit endemik atau eksotik dapat menyebabkan kematian massal spesies.
C. Hubungan
Iklim dan Ekosistem
Ekosistem adalah suatu kesatuan faktor
biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Sesuai dengan definisi diatas
iklim yang merupakan faktor abiotik akan mempengaruhi faktor biotik (mahluk
hidup). Menurut Smith (2000) Iklim hampir mempengaruhi semua aspek ekosistem
antara lain respon fisiologi dan perilaku mahluk hidup, kelahiran, kematian dan
pertumbuhan populasi, kemampuan kompetisi spesies, struktur komunitas,
produktivitas dan siklus nutirisi.
Dalam buku Element of Ecology yang
ditulis Robert Smith dan Thomas Smith, dijelaskan suatu penelitian seorang
botanist yang membagi vegetasi dibumi ini menjadi 5 (lima) formasi tumbuhan
yaitu padang pasir, padang rumput, konifera, temperate dan hutan tropis. Pada
saat yang sama penelitian juga dilakukan oleh peneliti geografi tumbuhan dan
geografi hewan. Dari hasil penelitiannya ternyata formasi vegetasi tumbuhan ada
korelasi antara iklim dengan vegetasi, setiap vegetasi mempunyai karakteristik
iklim tertentu, akan tetapi berbanding terbalik dengan hewan tidak ada korelasi
antara iklim dengan penyebaran populasi hewan.
Ada pandangan lain yaitu V.E.Shelford
(Smith dan Smith, 2000) menyatakan bahwa tumbuhan dan hewan merupakan satu
kesatuan yang disebut dengan bioma, dimana hewan dan tumbuhan saling bergantung
dalam ekosistemnya. Berdasarkan penelitian beliau bahwa penyebaran bioma
berkorelasi dengan iklim lingkungannya.
D. Degradasi
Keanekaragaman Hayati dan Penyebabnya
Keanekaragaman hayati sering diartikan
dengan kekayaan jenis spesies mahluk hidup pada suatu daerah. Biodiversitas
diukur dalam berupa indeks, metode pengukurannyapun bermacam-macam karena
setiap indeks mempunyai asumsi yang berbeda. Seiring dengan isu perubahan
iklim, degradasi biodeversitas merupakan suatu wacana yang sering diasumsikan
merupakan dampak akibat perubahan iklim.
1. Populasi
manusia dan penurunan keanekaragaman hayati
Salah
satu faktor yang sering dijadikan isu penyebab terjadinya penurunan keanekaragaman
hayati adalah pertambahan populasi manusia. Dampak dari jumlah populasimanusia
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan makanan, tempat tinggal dan
sandang.
2. Faktor
penyebab kepunahan spesies
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kepunahan spesies. Yang sering menjadi
fokus penyebab kepunahan spesies adalah berubahnya habitat mahluk hidup yang
dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konversi lahan atau perubahan
faktor lingkungan. Dari hasil pengamatan World Conservation Monitoring
Center menunjukan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepunahan spesies. Faktor
tersebut adalah hilangnya atau berubahnya habitat, eksploitasi, masuknya
spesies baru dan lain-lain. Faktor pengaruh berubahnya atau hilangnya habitat
akibat dari pengaruh iklim dan alam termasuk kategori lain-lain. Dari gambar
diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh iklim terhadap kepunahan spesies antara
lebih kecil dari 15%.
E. Dampak
Perubahan Iklim Terhadap Keanekaragaman Hayati
Tingkat perubahan iklim sekarang
melebihi semua variasi alami dalam 1000 tahun terakhir. Debat tentang iklim
perubahan telah sekarang mencapai suatu langkah dimana kebanyakan ilmuwan
menerima bahwa, emisi gas rumah kaca mengakibatkan perubahan iklim yang
berdampak berbagai sendi-sendi kehidupan.
Salah satu sendi kehidupan yang vital
dan terancam oleh adanya perubahan iklim ini adalah keanekaragaman hayati
(biodiversitas) dan ekosistem. Biodiversitas sangat berkaitan erat dengan
perubahan iklim. Perubahan iklim berpengaruh terhadap perubahan keanekaragaman
hayati dan ekosistem baik langsung maupun tidak langsung.
1. Dampak langsung perubahan iklim terhadap
keanekaragaman hayati
Pada
bagian ini akan dibahas tentang dampak langsung perubahan iklim yang paling
berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati :
a. Spesies
ranges (cakupan jenis) - Perubahan Iklim berdampak pada pada temperatur dan
curah hujan. Hal ini mengakibatkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan
diri, terutama spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang rendah terhadap
fluktuasi suhu.
b. Perubahan
fenologi - Perubahan iklim akan menyebabkan pergeseran dalam siklus yang
reproduksi dan pertumbuhan dari jenis-jenis organisme, sebagai contoh migrasi
burung terjadi lebih awal dan menyebabkan proses reproduksi terganggu karena
telur tidak dapat dibuahi. Perubahan iklim juga dapat mengubah siklus hidup
beberapa hama dan penyakit, sehingga akan terjadi wabah penyakit.
c. Perubahan
interaksi antar spesies - Dampak yang iklim perubahan akan berakibat pada
interaksi antar spesies semakin kompleks (predation, kompetisi, penyerbukan dan
penyakit). Hal itu membuat ekosistem tidak berfungsi secara ideal.
d. Laju
kepunahan - Kepunahan telah menjadi kenyataan sejak hidup itu sendiri muncul.
Beberapa juta spesies yang ada sekarang ini merupakan spesies yang berhasil
bertahan dari kurang lebih setengah milyar spesies yang diduga pernah ada.
Kepunahan merupakan proses alami yang terjadi secara alami. Spesies telah
berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Kita dapat memahami ini melalui
catatan fosil. Tetapi, sekarang spesies menjadi punah dengan laju yang lebih
tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya
disebabkan oleh kegiatan manusia. Di masa yang lalu spesies yang punah akan
digantikan oleh spesies baru yang berkembang dan mengisi celah atau ruang yang
ditinggalkan. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena
banyak habitat telah rusak dan hilang. Kelangsungan hidup rata-rata suatu
spesies sekiar 5 juta tahun. Rata-rata 900.000 spesies telah menjadi punah
setiap 1 juta per tahun dalam 200 juta tahun terakhir. Laju kepunahan secara
kasar diduga sebesar satu dalam satu persembilan tahun. Laju kepunahan yang
diakibatkan oleh ulah manusia saat ini beratus-ratus kali lebil tinggi. Perubahan
iklim yang lebih menyebar luas tampaknya akan terjadi dalam pada masa mendatang
sejalan dengan bertambahnya akumulasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer yang
selanjutnya akan meningkatkan suhu permukaan bumi. Perubahan ini akan
menimbulkan tekanan yang cukup besar pada semua ekosistem, sehingga membuatnya
semakin penting untuk mempertahankan keragaman alam sebagai alat untuk
beradaptasi. Beberapa kelompok spesies yang lebih rentan terhadap kepunahan
daripada yang lain. Kelompok spesies tersebut adalah :
· Spesies
pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar, misal harimau (Panthera
tigris). Karnivora besar biasanya memerlukan teritorial yang luas untuk
mendapatkan mangsa yang cukup. Oleh karena populasi manusia terus merambah
areal hutan dan penyusutan habitat, maka jumlah karnivora yang dapat ditampung
juga menurun.
· Spesies
lokal endemik (spesies yang ditemukan hanya di suatu area geografis) dengan
distribusi yang sangat terbatas, misalnya badak Jawa (Rhinoceros javanicus).
Ini sangat rentan terhadap gangguan habitat lokal dan perkembangan manusia.
· Spesies
dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi terlalu kecil, maka
menemukan pasangan atau perkawinan (untuk bereproduksi) menjadi masalah yang
serius, misalnya Panda.
· Spesies
migratori adalah spesies yang memerlukan habitat yang cocok untuk mencari makan
dan beristirahat pada lokasi yang terbentang luas sangat rentan terhadap
kehilangan ‘stasiun habitat peristirahatannya.
· Spesies
dengan siklus hidup yang sangat kompleks. Bila siklus hidup memerlukan beberapa
elemen yang berbeda pada waktu yang sangat spesifik, maka spesies ini rentan
bila ada gangguan pada salah satu elemen dalam siklus hidupnya.
· Spesies
spesialis dengan persyaratan yang sangat sempit seperti sumber makanan yang
spesifik, misal spesies tumbuhan tertentu.
Satu
spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang dilakukan oleh
badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang
keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies
binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993). Pada
2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah,
yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3
moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies
tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus
bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention
of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES).
Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang
merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek
(Orchidaceae) dinyatakan langka.
e. Penyusutan
Keragaman Sumber Daya Genetik - Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya genetik
juga dapat ditimbulkan oleh adanya pengaruh pemanasan global. Beberapa varian
dari tanaman dan hewan menjadi punah karena perubahan iklim. Kepunahan spesies
tersebut menyebabkan sumberdaya genetic juga akan hilang. Ironisnya banyak
sumberdaya genetic (plasma nutfah) belum diketahui apalagi dimanfaatkan, kita
menghadapi kenyataan mereka telah hilang.
f. Akibat
dari perubahan iklim yang ekstrim - Efek perubahan iklim akan menimbulkan
peristiwa ekstrim seperti meledaknya hama dan penyakit, musim kering yang
berkepanjangan, El Niño, musim penghujan yang relatif pendek, namun curah hujan
cukup tinggi, sehingga timbul dampak banjir dan tanah longsor. Peristiwa yang
ekstrim ini akan mempengaruhi organisma, populasi dan ekosistem.
2. Dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap
biodiversitas
Berbagai
penyebab penuruanan keanekaragaman hayati diberbagai ekosisten antara lain
konversi lahan, pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, praktik teknologi yang
merusk, masuknya spesies asing dan perubahan iklim.
a. Dampak
terhadap Ekosistem Hutan - Ekosistem hutan mengalami ancaman kebakaran hutan
yang terjadi akibat panjangnya musim kemarau. Jika kebakaran hutan terjadi
secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak
sumber penghidupan masyarakat. Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan
rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian
timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi luas
lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta ha
(Suryadiputra, 1994). Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa
sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang
dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut lagi
menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove menjadi
kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).
b. Dampak
pada daerah kutub - Sejumlah keanekaragaman hayati terancam punah akibat
peningkatan suhu bumi rata-rata sebesar 10˚ C. Setiap individu harus
beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan
terdegradasi. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Spesies-spesies
yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga
akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah es di kutub.
c. Dampak
pada daerah arid dan gurun - Dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan
perubahan iklim mengakibatkan luas gurun menjadi semakin bertambah
(desertifikasi).
d. Dampak
pada ekosistem pertanian - Perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya
perubahan cuaca, sehingga periode musim tanam menjadi berubah. Hal ini akan
mengakibatkan beberapa spesies harus beradaptasi dengan perubahan pola tanam
tersebut.
e. Dampak
Ekologis bagi Wilayah Pesisir (mangrove) - Pemanasan global, salah satu
perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup
manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling
rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan
dan lautan. Dalam ringkasan teknisnya tahun ini, Intergovernmental Panel on
Climate Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan
tiga faktor penyebab kerentanan wilayah ini (TS WG I IPCC, 2007:40).
Pertama,
pemanasan global ditenggarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir.
Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi
bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20
tahun terakhir (tahun 1980-2000). Peneliti bidang Meteorologi di AS mencatat
adanya peningkatan frekuensi badai tropis di Laut Atlantik dalam seratus tahun
terakhir (KCM, 31 Juli 2007). Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai Teluk
Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Rata-rata tahunan itu
melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun) pada periode
tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai tropis) mulai tahun
1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai “tahun tenang” saja
masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan pola peningkatan
kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung sepanjang pemanasan global
masih terjadi.
Kedua, pemanasan
global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar antara 1-3° C.
Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya
potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Dampak ini
diperkirakan mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO)
di tahun 1997-1998. World Resource Institute tahun 2002 menyatakan suhu
air laut yang meningkat 1-3°C pada saat itu telah memicu peristiwa pemutihan
terumbu karang yang terbesar sepanjang sejarah. Hampir sekitar 18% terumbu
karang di Asia Tenggara rusak dan hancur. Di Indonesia sendiri cakupannya mulai
dari perairan Sumatera, Jawa, Bali hingga Lombok.
Terjadi kematian sebanyak 90-95% terumbu
karang di wilayah perairan Kepulauan Seribu dan 2 tahun setelah kejadian baru
pulih 30%. El nino tahun itu juga telah menyebabkan sekitar 90% terumbu karang
di Kepulauan Mentawai mengalami kematian. Ekosistem terumbu karang di perairan
Indonesia seluas 51.875 km2, yang setara dengan sepertiga luas pulau Jawa,
terancam rusak dan hancur secara permanen jika pemanasan global terus
berlangsung. Ini juga berarti terancamnya kelangsungan berbagai macam kehidupan
biota laut yang tergantung hidupnya pada ekosistem alam ini. Kerusakan terumbu
karang juga berarti hilangnya pelindung alam wilayah pesisir yang akan memicu
peningkatan laju abrasi pantai.
Luas terumbu karang Indonesia diduga
berkisar antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam KLH, 2002) hingga 85.000 km2
(Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 % terumbu karang dalam kondisi sangat baik,
diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20 tahun
dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun. Rusaknya terumbu karang
mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya mata
pencaharian nelayan kecil.
F.
Kondisi Keanekaragaman Hayati
Dalam laporan penelitian WWF (World
Wildlife Fund), Habitats at Risk : Global Warming and Species Loss in
Terrestrial Ecosystems, ditemukan bahwa dengan beberapa asumsi mengenai
pemanasan global di masa depan dan dampaknya terhadap beberapa tipe vegetasi
utama, kepunahan spesies akan terjadi di kebanyakan ekoregion signifikan di
bumi. Laporan tersebut meneliti dampak perubahan iklim pada ekosistem
teresterial yang diidentifikasikan WWF sebagai bagian dari Global 200
tempat-tempat dimana terdapat keanekaragaman hayati bumi yang paling unik dan
kaya. Apabila tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer dalam 100 tahun mendatang
dikalikan dua dari sekarang maka jumlah yang sesungguhnya lebih kecil dari
perkiraan para ahli iklim, dampak-dampak berikut diperkirakan akan terjadi :
1. Lebih
dari 80 persen dari ekoregion yang diteliti akan menderita kepunahan tumbuhan
dan binatang sebagai akibat pemanasan global.
2. Beberapa
dari ekosistem alami yang paling kaya akan kehilangan lebih dari 70 persen dari
habitatnya, dimana habitat tersebut adalah tempat hidup dari tumbuhan dan
binatang di dalamnya.
3. Banyak
habitat yang akan berubah sepuluh kali lebih cepat daripada seharusnya, yang
menyebabkan kepunahan species yang tidak dapat bermigrasi atau beradaptasi
dengan perubahan tersebut.
Dari hasil riset persatuan kosnservasi
dunia (IUNC) menunjukan pada tahun 2007 ada 16.306 spesies yang terancam yang
terdiri dari hewan bertulang belakang, hewan tak bertulang belakang dan
tumbuhan. Hal tersebut menunjukan degradasi keanekaragaman hayati terus
meningkat sehingga perlu penanganan khusus untuk mengurangi laju penurunan
keanekaragaman hayati dunia.
G. Konvensi
Keanekaragaman Hayati
Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah
Perjanjian multilateral untuk mengikat para pihak (negara peserta konvensi)
dalam menyelesaikan permasalahan global khususnya keanekaragaman hayati.
Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran umat manusia
atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju
kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk
memadukan segalaupaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat
manusia selanjutnya.
Secara singkat sejarah munculnya konvensi
keanekaragaman hayati adalah dari hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de
Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada
tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa
permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan
manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi
Stockholm). Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah
merumuskan lima dokumen, yakni;
a. Deklarasi
Rio;
b. Konvensi
Acuan tentang Perubahan Iklim;
c. Konvensi
Keanekaragaman Hayati;
d. Prinsip-Prinsip
Pengelolan Hutan; dan
e. Agenda
21.
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman
hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan
sumber-sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya
sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap
lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional. UNCED
atau Earth Summit juga
begitu penting karena untuk pertama kalinya memberikan kesadaran ke seluruh
dunia bahwa masalah lingkungan sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi dan
masalah keadilan sosial. Pertemuan ini menegaskan bahwa kebutuhan sosial,
lingkungan dan ekonomi harus dipenuhi secara seimbang sehingga hasilnya akan
berlanjut hingga generasi-generasi yang akan datang.
Hasil utamanya adalah Agenda 21, yaitu
sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas yang menuntut adanya cara-cara
baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21 di seluruh dunia
pembangunan akan bersifat berkelanjutan. Hasil lain UNCED yang membahas tentang
keanekaragaman hayati adalah:
a. Konvensi
Keanekaragaman Hayati (United
Nations Convention on Biological Diversity). Bagian kedua dari
agenda 21 berupa Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan.
Bagian ini menekankan pada pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam,
sumberdaya genetik, spesies, dan ekosistem serta isu-isu penting lainnya.
Semuanya memerlukan kajian lebih lanjut bila tujuan pembangunan berkelanjutan
yang ingin dicapai baik pada tingkat global, nasional dan local. Konvensi ini
bertujuan untuk melestarikan beraneka sumber daya genetika/plasma nutfah,
spesies, habitat dan ekosistem. Selain itu konvensi juga bertujuan untuk
menjamin pemanfaatan secara berkelanjutan berbagai sumber daya hayati dan untuk
menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil. Hingga kini telah
diratifikasi oleh 180 negara.
b. Prinsip-prinsip
Rio tentang Hutan ( Rio Forestry
Principles). Terdiri dari 15 prinsip yang secara hukum mengikat para
pengambil keputusan di tingkat nasional dan internasional dalam rangka
perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara
berkelanjutan. Meletakkan dasar-dasar proses untuk Konvensi Kehutanan
Internasional (International
Forestry Convention).
Konvensi mengenai Biodiversity
(keanekargaman hayati) dan konvensi Ramsar untuk melindungi berbagai jenis
tanaman dan satwa dari kepunahan dan mengelola ekosystem lahan basah (wet land)
supaya dapat meberikan hasil guna dari segi ekonomis-sosial-budaya dan
kelestariannya tetap terjaga.
H. Upaya
Perlindungan Keanekaragaman Hayati dari Kepunahan
Pada awal tahun 1990 KLH telah menyusun
suatu Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang diikuti dengan kompilasi
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Action Plan of Indonesia -
BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 1993. Saat ini BAPPENAS dengan
bantuan Global Environment Facilities (GEF) sedang merevisi BAPI melalui
penyusunan Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action
Plan - IBSAP). Kegiatan yang melibatkan berbagai instansi terkait danLSM
ini, diharapkan akan selesai pada tahun 2003 ini.
Sementara itu, pemerintah telah juga
mengembangkan UU No. 5 Tahun 1994 mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tentang
Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity -
CBD). KLH bertindak sebagai National Focal Point yang bertugas
mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional. Indonesia juga telah
meratifikasi beberapa konvensi PBB yang terkait, seperti CITES, RAMSAR, World
Heritage Convention (WHC)) serta telah menandatangai Protokol Cartagena
tentang Keamanan Hayati. Pemerintah juga berpartisipasi pada kegiatan MAB (Man
and Biosphere) yang dikoordinasikan oleh UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia
berpartisipasi aktif pada kegiatan program ARCBC (ASEAN Regional Center on
Biodiversity Conservation) yang merupakan proyek kerjasama ASEAN-EU dan
berkedudukan di Manila.
Beberapa upaya/ aktifitas lain terkait
dengan keanekaragaman hayati yang telah dilakukan adalah:
a. Penetapan
kebijakan konservasi in-situ and ex-situ. Konservasi in-situ dilaksanakan
dengan menetapkan kawasan lindung yang terdiri dari kawasan konservasi dan hutan
lindung. Saat ini Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas
sekitar 17,8 juta ha dan 30 kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75
ha. Dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat (luas
±11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas ± 3,7 juta ha). Konservasi
ex-situ dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminya. Saat ini
ada 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36
penangkaran satwa dan 2 taman safari, 3 taman burung, 4 rehabilitasi lokasi
orang utan dan 6 pusat rehabilitasi gajah. Pelestarian keragaman sumber daya
genetik, terutama untuk tanaman pertanian dan ternak dilakukan melalui koleksi
plasma nutfah yang dilakukan oleh beberapa balai penelitian di bawah Departemen
Pertanian. Konservasi ex-situ menghadapi berbagai masalah, yaitu kekurangan
dana, fasilitas dan tenaga terlatih. Sebagai contoh, berbagai balai atau pusat
penelitian tidak mempunyai fasilitas penyimpanan jangka panjang, sehingga
koleksi harus ditanam atau ditangkar ulang;
b. Pada
tahun 2002, telah dimulai suatu pembahasan tentang kemungkinan Indonesia untuk
meratifikasi Protokol Cartagena dan International Treaty on Genetic
Resources for Food and Agriculture (ITGRFA) dalam rangka mengantisipasi
dampak negatif dari teknologi rekayasa genetika pada komponen keanekaragaman
hayati.
c. Indonesia
telah berpartisipasi di Kelompok ”Like Minded Megadiversity Countries (LMMDC)“
dimulai sejak diadopsinya Deklarasi Cancun, di Mexico, February 2002. KLH telah
berpartisipasi pada beberapa kali pertemuan selama tahun 2002, yang bertujuan
antara lain untuk saling bertukar pengalaman dan mencari posisi bersama dalam
pengembangan rejim internasional untuk masalah akses dan pembagian keuntungan
dari pemanfaatan sumberdaya hayati.
d. Fase
baru kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia dalam bidang pengelolaan
lingkungan berkelanjutan (Sustainable
Environmental Management) dimulai kembali akhir tahun dan akan berlangsung
selama 5 tahun.
e. Upaya
pengendalian spesies invasif telah mulai dikembangkan dengan menyusun pedoman
untuk pengendalikan species asing invasif oleh KLH di tahun 2001. Selanjutnya
pada tahun 2002 telah diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian
Jenis Asing Invasif dalam upaya untuk mengangkat permasalahan ini sebagai
langkah mengantisipasi kemungkinan kepunahan spesies lokal akibat dari masuknya
spesies asing yang tidak diinginkan.