Home » , » Arah Kebijaksanaan Nasional Bidang Penataan Wilayah Pesisir

Arah Kebijaksanaan Nasional Bidang Penataan Wilayah Pesisir

Written By Tasrif Landoala on Sabtu, 05 Oktober 2013 | 22.14



Kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk mnejaga kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana secara tegas telah mengatur mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang terdiri dari wilayah darat dan laut sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), 1999-2004, mengamanatkan agar pembangunan wilayah Indonesia dapat dilaksanakan secara seimbang dan serasi antara dimensi pertumbuhan dengan dimensi pemerataan, antara pengembangan Kawasan Barat dengan Kawasan Timur Indonesia, serta antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan. Hal ini dimaksudkan agar kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat segera teratasi melalui pembangunan yang terencana dengan matang, sistematis, dan bertahap.  Dalam kaitan ini, maka pengembangan wilayah merupakan sebuah pendekatan yang digunakan agar tujuan pembangunan nasional sesuai dengan amanat GBHN diatas benar-benar dapat terwujud.
Pengembangan wilayah menekankan pula keserasian dan keseimbangan antara pembangunan pada wilayah hulu dengan wilayah hilir, antara wilayah daratan (main-land) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan), serta antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan kata lain, pengembangan wilayah menekankan adanya keserasian dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, demi terselenggaranya pembangunan yang berkelanjutan untuk generasi mendatang (development sustainability) (Darwanto, 2000).
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang terpadu, terarah dan holistik, maka pendekatan pengembangan wilayah untuk pembangunan nasional ditempuh dengan instrumen penataan ruang, yang terdiri dari perencanaan, pembangunan (pemanfaatan ruang) dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang merupakan landasan ataupun acuan kebijakan dan strategi pembangunan bagi sektor-sektor maupun wilayah-wilayah yang berkepentingan agar terjadi kesatuan penanganan yang sinergis sekaligus mengurangi potensi konflik lintas wilayah dan lintas sektoral. (Kusumastanto, 2000), selanjutnya bahwa dalam upaya memberikan respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa mendatang, serta mendorong percepatan otonomi daerah, maka pada tingkat nasional ditempuh kebijakan pokok revitalisasi penataan ruang yang bertujuan untuk mengfungsikan kembali penataan ruang sejalan dengan paradigma baru, yakni keterbukaan, akuntabilitas sehingga mampu menjawab berbagai persoalan dan masalah aktual yang ada sekaligus meletakan landasan pembangunan ke depan yang lebih baik.
Selain itu, kebijakan penting lainnya yang dikembangkan adalah : (a) penyiapan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public campaign dan (d) penyiapan dukungan sistem informasi penataan ruang.
Sebagai penjaga kepentingan nasional, pemerintah pusat juga mengeluarkan kerangka perencanaan makro dalam wujud RTRWN dan RTR Pulau sebagai operasionalisasinya. Pada tingkatan rencana makro tersebut, yang merupakan fokus penataan adalah bagaimana mewujudkan struktur perwilayahan melalui upaya mensinergikan antar kawasan yang antara lain dicapai dengan pengaturan hirarki fungsional yaitu: sistem kota-kota, sistem jaringan prasarana wilayah, serta fasilitasi kerjasama lintas propinsi, kabupaten, dan kota.
Kusumastanto (2000) menyatakan bahwa mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor  berikut : Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan. Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah. Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen baik PP, Keppres, maupun Perda untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders. Dalam hal ini instrument pengaturan bagi wilayah pesisir perlu dirumuskan sebagai turunan dan bagian yang tidak terpisahkan dari UU 24/1992 tentang Penataan Ruang.



Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger