Kamis, 24 Oktober 2013

Masalah-Masalah Utama dan Konservasi di Bidang Lingkungan Hidup



Sejak dimulainya era reformasi akhir 1997, pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah di tingkat Kabupaten atau Kota, ternyata semakin memperberat pembangunan di bidang lingkungan hidup. Perubahan kewenangan kepemerintahan yang mensyaratkan kesiapan berbagai pihak untuk dapat lebih meningkatkan kepemerintahan yang lebih baik, transparan, dan demokratis tidak berjalan mulus.
Permasalahan pengelolaan lingkungan hidup (PLH), justru semakin banyak menghadapi kendala, sehubungan dengan semakin meningkatnya persepsi sebagian besar penentu kebijakan yang menganggap bahwa sudah tiba saatnya bagi semua orang untuk bisa mengeksplorasi SDA seluas-luasnya demi mendapatkan keuntungan dan manfaat (pendapatan asli daerah/PAD) yang lebih besar dalam waktu singkat, tanpa memperhitungkan keberlanjutan eksistensi SDA tersebut.
Dalam lingkungan alam: terdapat empat komponen besar yang dalam jaringan kehidupan alamnya, yang saling mempengaruhi:
1. Udara (atmosfir): isi udara ini terpengaruh pembangunan, misalnya pencemaran udara, akhirnya kembali mempengaruhi kualitas pembangunan itu sendiri. Udara sebagai wahana penyalur: energi matahari, gelombang suara dan listrik, udara bersih dan kotor, dan sebagainya;
2.    Air (hidrosfir): putaran tata air (siklus hidrologi), sangat berpengaruh kepada alam;
3. Tanah dan mineral (geosfir): terdiri dari berbagai macam bahan hasil proses alamiah, termasuk berbagai macam mineral; dan
4.    Flora, Fauna dan mikroba (biomassa): sumber kehidupan biomassa, isinya beraneka-ragam, maka sistem lingkungan alam dalam keanekaragaman hayati (biodiversity) ini akan semakin stabil karena kekayaan keanekaragamannya (heterogenitas).

Namun demikian, teori tentang menjaga keseimbangan antara unsur alam dengan unsur binaan, tidak sungguh-sungguh diterapkan, sehingga beberapa permasalahan klasik masih ada, bahkan semakin meluas dan kompleks, yang diuraikan sebagai berikut:
1.   Sebagai negara agraris (berbasis pertanian) dan (pernah) sebagai penghasil utama beras, lingkungan kota telah menghadapi tekanan transformasi lahan, khususnya lahan subur di ’pinggiran/perbatasan’ kota, untuk kegiatan non pertanian. Tekanan terutama dari sektor industri yang penting bagi penyerapan tenaga kerja. Dengan sendirinya membutuhkan areal permukiman yang semakin luas pula. Keberadaan pertanian perkotaan di dalam lingkungan kota sebagai komponen utama RTH kota juga semakin tergusur.
2. Sumber energi utama skala nasional, ternyata masih bertumpu pada kayu bakar, terutama bagi masyarakat yang saat ini (sekitar 60 persen) hidup di perdesaan, yang mengancam kelestarian kawasan hutan, di samping maraknya penebangan kayu ilegal, dan kebakaran hutan.
3. Sedang sektor modern di perkotaan butuh energi yang terkonsentrasi dalam jumlah sangat besar, hingga pernah timbul pemikiran penggunaan tenaga nuklir sebagai peningkatan teknologi penyediaan energi. Pembangunan yang berbasis hemat energi, pemakaian energi terbarukan, dan ramah lingkungan, harus segera dilakukan di segala lini. Kebutuhan akan pangan dan energi kayu bakar menyebabkan tekanan pada sumber daya alam, hutan, tanah, air, dan udara.

Maka PLH kota, memerlukan:
1. Rasionalisasi penggunaan SDA, melalui upaya minimalisasi kerusakan ekosistem, misalnya upaya perlindungan ekosistem, penggalakan pemanfaatan ulang dari sumber daya, yang biasa disebut: 7-RE yaitu serba daur-ulang dalam berbagai kegiatan dalam menggunakan bahan, yaitu: pemanfaatan ulang (reuse), mengurangi (reduce), mengganti (replace), mendesain (redesign), memfabrikasi (refactory), memperbaiki (recovery), dan mendaur ulang sumber daya (recycle) yang tersedia di lingkungan sekitar;
2.    Meningkatkan produksi pangan dengan pola pertanian se-efisien mungkin, serba hemat akan: ruang (lahan) dan SDA (air, lahan, dan hutan beserta isinya), serta peningkatan kualitas dan kuantitas keaneka-ragaman pangan;
3.  Mengusahakan penggunaan alternatif sumber energi kayu bakar, misal, briket arang dari sampah, tenaga matahari, tenaga angin dan bio-fuel.

Sedang pola perencanaan pemanfaatan ruang di luar Jawa, hendaknya dapat dikembangkan dengan sistem variabel lingkungan, yaitu melalui identifikasi potensi, mengkaitkan variabel lingkungan dalam proses perencanaannya, dan memperkirakan dampak positif maupun negatif.
Sebenarnya, struktur perekonomian tahun 1980-an dan sebelumnya, telah menitik-beratkan pada pentingnya pembangunan pertanian, khususnya pangan. Namun sehubungan dengan keyakinan akan ampuhnya sektor perindustrian, yang diterapkan tanpa mempertimbangkan keseimbangan pembangunan dengan sektor pendukung lain, maka pada akhir tahun 1997/awal tahun 1998, terjadilah krisis perekonomian yang memperburuk kondisi lingkungan Indonesia, dan yang hingga kini masih belum teratasi. Pemanfaatan SDA dan ruang secara rasional, lalu menerapkan kebijakan dan perimbangan pembangunan lebih ke arah sektor industri dan jasa yang seharusnya tetap berdasar pada pemilihan teknologi ramah lingkungan. Kebijakan pembangunan berkelanjutan yang menekan dampak negatif pencemaran sekecil mungkin, dan pertimbangan pada konsistensi perencanaan, penerapan dan evaluasi ‘Tata Ruang Terpadu’ di kalangan pemerintahan pusat dan daerah-daerah hendaknya terus diterapkan. Setelah penerapan pembangunan yang lebih mengarah pada jasa konstruksi dan pelayanan masyarakat, menimbulkan hal-hal berikut:
1. Urbanisasi meningkat dimana-mana dan konsentrasi penduduk akibat proses industrialisasi melahirkan kota-kota baru yang seolah tak terencana. Padahal perkembangan perkotaan seharusnya seirama dengan kebutuhan dan pertumbuhannya pun harus direncanakan secara tepat demi tetap tercapainya kenyamanan hidup dalam lingkungan yang sehat, misalnya terbentuknya keseimbangan antara ruang terbangun dan RTH secara proporsional, baik di wilayah perkotaan, perdesaan maupun pada daerah pendukung. Demi efisiensi ruang, pembangunan permukiman dan prasarana fisik diarahkan vertikal (rumah susun, jalan layang, optimalnya transportasi umum dalam berbagai moda);
2.  Sebagai negara kepulauan di mana tiga per empat wilayahnya berupa perairan, maka sudah saatnya bila sumber daya kelautan dijajaki sebagai sumber kehidupan alternatif, terutama didasarkan pada pertimbangan akan terbatasnya lahan (ruang) daratan, namun harus tetap mempertimbangkan dan menerapkan sistem pemanfaatan yang rasional dan bertanggung jawab;
3.  Akibat tekanan berbagai kegiatan pembangunan maka, media lingkungan (tanah, air, dan udara), untuk kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri, kualitas fungsinya akan menurun, bila proses pemanfaatan SDA-nya tetap tidak/belum mempertimbangkan pemeliharaan demi kelangsungan keberadaannya.

Tanaman dan hewan semakin langka, baik jenis maupun jumlahnya antara lain akibat ruang hidup (habitat) yang semakin menyempit, maka perlu direncanakan kantong-kantong hidup’ sebagai habitat ’baru’ mereka, sehingga keberadaannya dapat dipertahankan karena eksistensi manusia pun sangat tergantung pada biota lain.  Dampak pembangunan akan mempengaruhi kualitas lingkungan, karena itu harus selalu diperhitungkan, baik dampak positif (ditingkatkan), atau dampak negatifnya (dikendalikan). Dampak dapat diukur dan dikendalikan, antara lain menggunakan standar ambang batas, sebagai alat ukur, baik dalam baku mutu lingkungan binaan, maupun baku mutu lingkungan alam. Sebagai contoh, pencemaran yang terjadi dalam lingkungan binaan (negatif) terwujud, misalnya dalam pencemaran terhadap badan sungai, daratan, lautan ataupun udara, berakibat pada pergeseran tata nilai perubahan budaya dan komponen lingkungan sosialnya.
SDA mendapat tekanan dari pertambahan penduduk dan tingkat pendapatan yang selalu diusahakan semakin tinggi. Hal ini berakibat akan memperluas dan memperbesar lingkungan binaan yang ditentukan oleh kendala teknologi dan budaya dengan kemampuan substitusi fungsi alam melalui hukum buatan manusia. Apabila teknologi dan budaya manusia tidak sanggup lagi mensubtitusikan hukum alam, maka ruang lingkup alam akan semakin menciut.
Oleh karena itu, perlu pelestarian fungsi lingkungan alam, sebab teknologi dan budaya belum sepenuhnya mampu menggantikan fungsi lingkungan alam dalam lingkungan binaannya. Usahakan keseimbangan antara perkembangan lingkungan alam dan lingkungan binaan. Adanya kendala perkembangan konsumsi terhadap SDA oleh etika kehidupan dalam menopang pola hidup yang selaras antara kemajuan material dan spiritual, sebagai pencerminan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Jadi, orientasi pembangunan seharusnya menyelaraskan kemajuan lingkungan sosial dengan lingkungan alam, kemajuan material dan spiritual, tanpa merusak pola pembangunan berwawasan lingkungan dan pertimbangan kependudukan. Pola pengelolaan kependudukan dan lingkungan ini yang perlu disadari, diketahui, dan dilaksanakan oleh kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar