Sebelum masuk lebih jauh
ke dalam pembahasan materi inti
tentang perencanaan wilayah (regional planning), terlebih dahulu harus disampaikan
teori perencanaan sebagai komponen penting yang harus diketahui
dan dikuasai oleh para mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah
PPW ini. Pengetahuan tentang sejarah dan tahap perkembangan teori
dan paradigma perencanaan secara memadai, sangat penting kedudukannya
di dalam pemahaman dan pendekatan keilmuan perencanaan serta aspek-aspek
terkait sebelum diterapkan dalam
upaya pengembangan suatu wilayah.
Dalam pembahasan teori
perencanaan ini disampaikan 2 (dua) versi
hasil tinjauan kritis teori perencanaan dan
perkembangannya dari sudut pandang dan perspektif yang saling berbeda yaitu
dari Wildani Hamzens (dalam bukunya “Perencanaan di Indonesia 25
Tahun Mendatang”) dan Su Ritohardoyo (2003). Diharapkan dari hasil
tinjauan kritis mereka didapatkan gambaran lengkap filosofi teori
perencanaan beserta kekuatan dan kelemahan masing-masing, serta
perkembangannya sebagai teori yang relatif mapan dan terkini.
Perencanaan telah banyak
mengalami perkembangan mulai dari teori, praktek, hingga paradigma atau akar
filsafatnya. Pergeseran-pergeseran yang
terjadi dalam perencanaan terlihat jelas merupakan bagian dari pengaruh kondisi/situasi
yang terjadi pada masa tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa planning merupakan bagian dari gambaran kondisi masyarakat
pada masanya.
A. Utopia
1.
Inti ajaran
Inti ajaran
utopia menganut nilai-nilai idealisme dalam planning, berlangsung pada abad XIX
dan sebelumnya, diklasifikasikan atas: (1) Humanis: Social Utopia, dan (2) Naturalis: Physical Utopia. Pendekatan humanis menggambarkan manusia akan
lebih baik, lebih bahagia, lebih produktif, lebih religious, apabila
tatanan-tatanan dan lembaga-lembaga masyarakat di ubah (Plato/politik), sedangkan
pendekatan naturalis (yang digagas Thomas Moore terkait dengan lingkungan)
menggambarkan manusia akan lebih sehat, lebih tertata, lebih puas, lebih peka
terhadap keindahan, apabila lingkungan fisik ditata serasi.
2.
Pengaruh pada
konsep
Teori-teori
planning dan aplikasi yang diterapkan pada waktu itu diantaranya: romantic planning, authoritarian
planning, technocratic planning, dan organic
planning.
3.
Tokoh
Masa utopia
dapat disebut sebagai jaman awal munculnya kapitalisme. Pada abad XV, terdapat
dua orang tokoh arsitek Italia yaitu Leone Batista Alberti dan Filareti, mereka
mengajukan konsep Ideal
City, dengan slogan “Pola lingkungan hidup ideal di
masa depan”, dan “Penyatuan antara artefak dan organisasi ruang”. Orang yang
pertama kali menggunakan istilah Utopia adalah Thomas Moore (1516) yang
kemudian disebut sebagai Bapak Utopia. Moore mempunyai filosofi yang dikenal
dengan: kerja, hemat, pengendalian diri, dan bekerja sosial. Konsepnya tentang
lingkungan adalah: rotasi kehidupan kota-desa.
Tokoh lainnya
dalam kelompok paradigma Utopia adalah Robert Owen (1824) yang muncul pada awal
revolusi industri, seorang industrialis berkebangsaan Inggris yang menulis buku
A New View Society. Dalam bukunya dikatakan bahwa “Industry, apabila ditata secara benar hanya
akan memerlukan sedikit tenaga kerja dan sekaligus memberikan surplus”. Konsep
Owen tentang lingkungan adalah struktur fisik (fasilitas fisik) yang sederhana,
kolektif meliputi: ruang makan bersama, ruang sekolah, tempat bekerja, ruang
tidur untuk anak-anak. Selain itu lahir konsep komunitas yang berisi persamaan
tanggung jawab, hak, milik umum, serta sistem koperasi di dalam bisnis, konsep ini
pernah diterapkan ke dalam pembangunan kota New Harmony di Indiana (1824),
tetapi mengalami kegagalan setelah berjalan selam tiga tahun, yang diakibatkan system
kontrol sosial yang tidak berjalan sehingga tidak menjamin berlakunya
konformitas.
Pada awal
abad XX, social utopia mengalami kemunduran, sementara itu physical utopia
justru mengalami kemajuan pesat, tokoh-tokoh pada masa ini adalah Le Cobusier
dan Frank Lloyd Wright. Cobusier mengemukakan konsep kota sebagai ‘mesin’ atau
‘kota sebagai konsentrasi penduduk’, A
city made for speed is made for success,
sebuah kota yang dibuat untuk kecepatan dibuat untuk kesuksesan. Le Cobusier
menghasilkan konsep kota yang berorientasi fisik dengan penekanan utama pada
teknologi atau technocratic
planning. FL Wright membuat model
perencanaan kota dalam skala besar, penduduk dan aktivitas dalam konsep ini
menyebar, inilah yang merupakan perbedaan utama dengan konsep Le Cobusier yang
menekankan konsep central
core atau pusat kota.
4.
Kategori teori
Teori-teori planning masa ini berada dalam
kategori theory of
planning, disini seorang
perencana (planner) lebih berfungsi sebagai agen moral (moral agent)
dan bukan seorang pemecah masalah (problem
solver). Fokus kelompok sasaran
adalah gerakan masyarakat luas, dengan pola pendekatan normatif (normative approach).
B. Positivisme
1.
Inti ajaran
Paradigma ini menganut ajaran penolakan terhadap
methaphisik dan teologik, ilmu pengetahuan harus terlihat nyata, tidak abstrak
dan diarahkan untuk mencapai kemajuan, difokuskan untuk menuju generalisasi
fakta-fakta dengan bersandar pada pengetahuan nyata dan pandangan-pandangan
ilmiah, membatasi diri pada hukum-hukum obyektif, merupakan jaman yang diatur
oleh cendekiawan dan industrialis.
2.
Pengaruh pada
konsep
Planning memiliki kapasitas untuk suatu reformasi
sosial, memiliki citra pasti, merupakan cetak biru (blue print) dari suatu badan perencanaan, serta lebih kearah
keteknikan (engineering), penerapan standar teknis, pendekatan master plan dan pedoman penggunaan lahan (landuse). Ditinjau dari tradisi perencanaan, masa ini
merupakan masa reformasi kondisi sosial-ekonomi yang berantakan setelah Perang
Dunia I. Karenanya intervensi pemerintah perlu dilakukan agar ketidakadilan,
inefisiensi, dan pemborosan dapat dihindarkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah
untuk meningkatkan standar hidup masyarakat, memanusiakan hubungan industri
dengan masyarakat, menciptakan harmoni dan menghilangkan konflik kelompok. Cara
untuk mencapai tujuan dengan merekayasa terbentuknya organisasi-organisasi yang
dijadikan ‘instrumen’ oleh pemerintah dalam merekayasa pembangunan kota.
3.
Tokoh
Tokoh-tokoh yang muncul dalam periode ini antara
lain: August Comte, John Stuart Mill, dan Herbert Spencer.
4.
Kategori
teori
Planning pada masa ini masih masuk dalam kategori theory for planning, seorang perencana (planner) masih berfungsi sebagai agen moral (moral agent) dan bukan seorang pemecah masalah (problem solver). Pola pendekatan normatif dan memfokuskan pada
gerakan masyarakat luas.
C. Rasionalisme
1.
Inti ajaran
Rasionalisme
menganut nilai rasio/akal, menurut ajaran ini rasio adalah sumber pengetahuan
yang dapat dipercaya. Pengalaman bermanfaat untuk meneguhkan pengetahuan yang
diperoleh akal. Inderawi, sensual harus disikapi ragu-ragu karena tidak pasti,
relatif, berubah-ubah dan menyesatkan. Metode yang ditetapkan adalah metode deduktif.
2.
Pengaruh pada
konsep
Planning
dianggap suatu pola umum dari kegiatan berpikir
dan bertindak, merupakan suatu aktivitas public dimana masyarakat dapat
memutuskan dan mengontrol pembangunannya sendiri dengan cara rasional. Jadi esensi
planning adalah rasionalitas atau penerapan akal sehat untuk
kepentingan-kepentingan manusia. Dengan demikian planning harus mencerminkan dan mengarahkan pada cara
kerja ilmiah, memiliki citra pasti dan menyeluruh (holistic) atas kemungkinan-kemungkinan yang ada, program-program
yang disusun untuk dievaluasi dan memberikan peluang bagi adanya
tindakan-tindakan pemecahan masalah (problem
solving).
Ditinjau dari
segi tradisi perencanaan, planning
pada konteks rasionalisme berakar pada tradisi planning sebagai suatu kegiatan analisis kebijaksanaan (planning as policy analysis) yang berlandaskan pada permasalahan dan tujuan
secara bertautan. Disini dituntut lembaga perencanaan yang harus serba tahu dan
serba bisa. Pemerintah berperan sebagai organisasi yang melakukan pengambilan
keputusan di tingkat pusat, untuk dapat melakukan tugas dengan baik, organisasi
pemerintah terutama organisasi perencanaan pembangunan mensyaratkan sumberdaya
manusia yang berkualitas tinggi, berpandangan luas, mampu mengatasi masalah-masalah
secara detil, serta berorientasi jangka panjang, misalnya rational comprehensive planning yang menekankan pada proses planning.
Dalam tradisi
perencanaan planning
as a policy analyst yang dianut
oleh rasionalisme, ada yang dinamakan dengan economic model of policy analysis, kedudukan perencana adalah sebagai policy analyst yang mendistribusi pelayanan melalui saran dan
pelaporan atau kepada pihak pembuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat terkait dengan permasalahan yang dihadapi dan berapa besar dana yang
tersedia.
Dalam policy analysis dilakukan aktivitas-aktivitas untuk menyusun
tindakan/program yang akan disarankan/direkomendasikan. Aktivitas-aktivitas
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: seorang perencana (planner) merumuskan permasalahan yang ada, mencari data, menganalisis
dan menginterpretasi, akhirnya menyusun program yang akan disarankan sebagai
tujuan akhirnya. Tindakan seperti ini dalam tradisi perencanaan disebut activities in policy analysis.
Dalam policy analysis, dikenal pula model struktural yang digunakan
dalam menyusun program yang akan disarankan, model ini disebut juga sebagai a structural model of policy analysis yang meliputi analisis terhadap keputusan yang diusulkan,
mengambil keputusan implementasi hingga masalah dapat diantisipasi atau dapat
diamati melalui pengumpulan informasi untuk kemudian di analisa kembali, diiringi
dengan kajian sasaran dan hambatan-hambatan yang dihadapi.
3.
Tokoh
Tokoh-tokoh rasionalisme antara lain: Rene
Descrates, Spinoza, K.R. Popper, dan A. Faludi.
4.
Kategori
teori
Planning dalam rasionalisme masuk dalam kategori
theory of planning, dimana seorang perencana berfungsi sebagai pemecah
masalah (problem solver), focus kepada planning system beserta
proses-proses pengambilan keputusan, serta memfokuskan diri pada penerapan
teori-teori ke dalam praktek.
D. Pluralisme
1.
Inti ajaran
Orientasi pengamatan dilakukan pada apa yang
nampak/ menampakkan diri dengan tujuan menemukan hakekat, menghubungkan
kesadaran subyek dan obyek (menyatunya subyek dan obyek), manusia merupakan
bagian yang menyatu dari seluruh aspek kehidupan. Pluralisme menolak
bentuk-bentuk konformitas, realitas itu dianggap relatif serta hanya dapat
dipahami melalui agregat individu.
2.
Pengaruh pada
konsep
Pengaruhnya
pada planning antara lain tidak percaya pada planning yang bersifat umum dan berlaku umum (menolak comprehensive planning dan positive
planning), planning seharunya berorientasi kepada masyarakat dan diarahkan
pada tindakan nyata, responsif dan mendukung terbentuknya konsensus-konsensus
baru atas dasar hubungan antar individu. Seorang perencana berperan sebagai
agen perubahan (agent
of change), fasilitator, widyaswara
(trainer), atau organisatoris. Planning tidak berawal dari tujuan maupun sasaran
melainkan dari kritik sosial tentang keadaan di saat itu dan tujuan dirumuskan di
tengah-tengah perjalanan bersama-sama masyarakat. Planning mempunyai kekuatan arus bawah, gagasan harus
datang dari masyarakat, seorang perencana hanya berperan sebagai pendidik,
membuka kesadaran, melatih ketrampilan, dan meningkatkan kepercayaan diri
masyarakat. Dengan bimbingan seorang perencana, masyarakat merumuskan
kebijakan, program-program, strategi, desain, lokasi proyek, dan anggaran biaya
sendiri, contohnya adalah advocacy
planning.
Ditinjau dari
sisi tradisi perencanaan, planning
pada konteks pluralisme berakar pada tradisi
perencanaan sebagai pembelajaran masyarakat (planning as a social learning), dengan focus utama pada tindakan nyata dan
akar filosofinya adalah pragmatisme (pragmatism), yang artinya tindakan, suatu teori untuk
melakukan tindakan nyata. Rencananya berisi prinsip-prinsip, proyeksi dan
pedoman kegiatan di masa datang dan bukan merupakan dogma melainkan suatu
hipotesis yang harus diuji di lapangan, dapat ditolak, diperbaharui, dikoreksi
dan dilengkapi. Akar tradisi lainnya adalah perencanaan sebagai alat mobilisasi
sosial (planning as a
social mobilization), dengan ide
dasar emansipasi sosial atau kesetaraan hak sosial masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya.
3.
Tokoh
Tokoh-tokoh dalam era ini antara lain: Edmond
Husseri, Mark Scheller, Murice Marleau Ponty, dan Martin Heidegger. Konsep-konsep
yang hadir jelas-jelas menentang positive
planning dan rational comprehensive planning pada rational
planning.
4.
Kategori
teori
Planning dalam era ini masuk dalam kategori theory in planning, dimana terjadi kritik-kritik terhadap ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mengikuti azas-azas positivistik dengan pendekatan-pendekatan
yang muncul yaitu: incrementalism, implementation
and policy, social planning and advocacy planning, the
political economy, the new humanism, dan pragmatism.
Sumber: Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz
Budianta, dkk., 2011)