Selasa, 22 Oktober 2013

Paradigma Perencanaan dan Perkembangannya



Sebelum masuk lebih jauh ke dalam pembahasan materi inti tentang perencanaan wilayah (regional planning), terlebih dahulu harus disampaikan teori perencanaan sebagai komponen penting yang harus diketahui dan dikuasai oleh para mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah PPW ini. Pengetahuan tentang sejarah dan tahap perkembangan teori dan paradigma perencanaan secara memadai, sangat penting kedudukannya di dalam pemahaman dan pendekatan keilmuan perencanaan serta aspek-aspek terkait sebelum diterapkan dalam upaya pengembangan suatu wilayah.
Dalam pembahasan teori perencanaan ini disampaikan 2 (dua) versi hasil tinjauan kritis teori perencanaan dan perkembangannya dari sudut pandang dan perspektif yang saling berbeda yaitu dari Wildani Hamzens (dalam bukunya “Perencanaan di Indonesia 25 Tahun Mendatang”) dan Su Ritohardoyo (2003). Diharapkan dari hasil tinjauan kritis mereka didapatkan gambaran lengkap filosofi teori perencanaan beserta kekuatan dan kelemahan masing-masing, serta perkembangannya sebagai teori yang relatif mapan dan terkini.
Perencanaan telah banyak mengalami perkembangan mulai dari teori, praktek, hingga paradigma atau akar filsafatnya.  Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam perencanaan terlihat jelas merupakan bagian dari pengaruh kondisi/situasi yang terjadi pada masa tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa planning merupakan bagian dari gambaran kondisi masyarakat pada masanya.

A.  Utopia
1.    Inti ajaran
Inti ajaran utopia menganut nilai-nilai idealisme dalam planning, berlangsung pada abad XIX dan sebelumnya, diklasifikasikan atas: (1) Humanis: Social Utopia, dan (2) Naturalis: Physical Utopia. Pendekatan humanis menggambarkan manusia akan lebih baik, lebih bahagia, lebih produktif, lebih religious, apabila tatanan-tatanan dan lembaga-lembaga masyarakat di ubah (Plato/politik), sedangkan pendekatan naturalis (yang digagas Thomas Moore terkait dengan lingkungan) menggambarkan manusia akan lebih sehat, lebih tertata, lebih puas, lebih peka terhadap keindahan, apabila lingkungan fisik ditata serasi.
2.    Pengaruh pada konsep
Teori-teori planning dan aplikasi yang diterapkan pada waktu itu diantaranya: romantic planning, authoritarian planning, technocratic planning, dan organic planning.
3.    Tokoh
Masa utopia dapat disebut sebagai jaman awal munculnya kapitalisme. Pada abad XV, terdapat dua orang tokoh arsitek Italia yaitu Leone Batista Alberti dan Filareti, mereka mengajukan konsep Ideal City, dengan slogan “Pola lingkungan hidup ideal di masa depan”, dan “Penyatuan antara artefak dan organisasi ruang”. Orang yang pertama kali menggunakan istilah Utopia adalah Thomas Moore (1516) yang kemudian disebut sebagai Bapak Utopia. Moore mempunyai filosofi yang dikenal dengan: kerja, hemat, pengendalian diri, dan bekerja sosial. Konsepnya tentang lingkungan adalah: rotasi kehidupan kota-desa.
Tokoh lainnya dalam kelompok paradigma Utopia adalah Robert Owen (1824) yang muncul pada awal revolusi industri, seorang industrialis berkebangsaan Inggris yang menulis buku A New View Society. Dalam bukunya dikatakan bahwa “Industry, apabila ditata secara benar hanya akan memerlukan sedikit tenaga kerja dan sekaligus memberikan surplus”. Konsep Owen tentang lingkungan adalah struktur fisik (fasilitas fisik) yang sederhana, kolektif meliputi: ruang makan bersama, ruang sekolah, tempat bekerja, ruang tidur untuk anak-anak. Selain itu lahir konsep komunitas yang berisi persamaan tanggung jawab, hak, milik umum, serta sistem koperasi di dalam bisnis, konsep ini pernah diterapkan ke dalam pembangunan kota New Harmony di Indiana (1824), tetapi mengalami kegagalan setelah berjalan selam tiga tahun, yang diakibatkan system kontrol sosial yang tidak berjalan sehingga tidak menjamin berlakunya konformitas.
Pada awal abad XX, social utopia mengalami kemunduran, sementara itu physical utopia justru mengalami kemajuan pesat, tokoh-tokoh pada masa ini adalah Le Cobusier dan Frank Lloyd Wright. Cobusier mengemukakan konsep kota sebagai ‘mesin’ atau ‘kota sebagai konsentrasi penduduk’, A city made for speed is made for success, sebuah kota yang dibuat untuk kecepatan dibuat untuk kesuksesan. Le Cobusier menghasilkan konsep kota yang berorientasi fisik dengan penekanan utama pada teknologi atau technocratic planning. FL Wright membuat model perencanaan kota dalam skala besar, penduduk dan aktivitas dalam konsep ini menyebar, inilah yang merupakan perbedaan utama dengan konsep Le Cobusier yang menekankan konsep central core atau pusat kota.
4.    Kategori teori
Teori-teori planning masa ini berada dalam kategori theory of planning, disini seorang perencana (planner) lebih berfungsi sebagai agen moral (moral agent) dan bukan seorang pemecah masalah (problem solver). Fokus kelompok sasaran adalah gerakan masyarakat luas, dengan pola pendekatan normatif (normative approach).

B.  Positivisme
1.    Inti ajaran
Paradigma ini menganut ajaran penolakan terhadap methaphisik dan teologik, ilmu pengetahuan harus terlihat nyata, tidak abstrak dan diarahkan untuk mencapai kemajuan, difokuskan untuk menuju generalisasi fakta-fakta dengan bersandar pada pengetahuan nyata dan pandangan-pandangan ilmiah, membatasi diri pada hukum-hukum obyektif, merupakan jaman yang diatur oleh cendekiawan dan industrialis.
2.    Pengaruh pada konsep
Planning memiliki kapasitas untuk suatu reformasi sosial, memiliki citra pasti, merupakan cetak biru (blue print) dari suatu badan perencanaan, serta lebih kearah keteknikan (engineering), penerapan standar teknis, pendekatan master plan dan pedoman penggunaan lahan (landuse). Ditinjau dari tradisi perencanaan, masa ini merupakan masa reformasi kondisi sosial-ekonomi yang berantakan setelah Perang Dunia I. Karenanya intervensi pemerintah perlu dilakukan agar ketidakadilan, inefisiensi, dan pemborosan dapat dihindarkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan standar hidup masyarakat, memanusiakan hubungan industri dengan masyarakat, menciptakan harmoni dan menghilangkan konflik kelompok. Cara untuk mencapai tujuan dengan merekayasa terbentuknya organisasi-organisasi yang dijadikan ‘instrumen’ oleh pemerintah dalam merekayasa pembangunan kota.
3.    Tokoh
Tokoh-tokoh yang muncul dalam periode ini antara lain: August Comte, John Stuart Mill, dan Herbert Spencer.
4.    Kategori teori
Planning pada masa ini masih masuk dalam kategori theory for planning, seorang perencana (planner) masih berfungsi sebagai agen moral (moral agent) dan bukan seorang pemecah masalah (problem solver). Pola pendekatan normatif dan memfokuskan pada gerakan masyarakat luas.

C.  Rasionalisme
1.    Inti ajaran
Rasionalisme menganut nilai rasio/akal, menurut ajaran ini rasio adalah sumber pengetahuan yang dapat dipercaya. Pengalaman bermanfaat untuk meneguhkan pengetahuan yang diperoleh akal. Inderawi, sensual harus disikapi ragu-ragu karena tidak pasti, relatif, berubah-ubah dan menyesatkan. Metode yang ditetapkan adalah metode deduktif.
2.    Pengaruh pada konsep
Planning dianggap suatu pola umum dari kegiatan berpikir dan bertindak, merupakan suatu aktivitas public dimana masyarakat dapat memutuskan dan mengontrol pembangunannya sendiri dengan cara rasional. Jadi esensi planning adalah rasionalitas atau penerapan akal sehat untuk kepentingan-kepentingan manusia. Dengan demikian planning harus mencerminkan dan mengarahkan pada cara kerja ilmiah, memiliki citra pasti dan menyeluruh (holistic) atas kemungkinan-kemungkinan yang ada, program-program yang disusun untuk dievaluasi dan memberikan peluang bagi adanya tindakan-tindakan pemecahan masalah (problem solving).
Ditinjau dari segi tradisi perencanaan, planning pada konteks rasionalisme berakar pada tradisi planning sebagai suatu kegiatan analisis kebijaksanaan (planning as policy analysis) yang berlandaskan pada permasalahan dan tujuan secara bertautan. Disini dituntut lembaga perencanaan yang harus serba tahu dan serba bisa. Pemerintah berperan sebagai organisasi yang melakukan pengambilan keputusan di tingkat pusat, untuk dapat melakukan tugas dengan baik, organisasi pemerintah terutama organisasi perencanaan pembangunan mensyaratkan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi, berpandangan luas, mampu mengatasi masalah-masalah secara detil, serta berorientasi jangka panjang, misalnya rational comprehensive planning yang menekankan pada proses planning.
Dalam tradisi perencanaan planning as a policy analyst yang dianut oleh rasionalisme, ada yang dinamakan dengan economic model of policy analysis, kedudukan perencana adalah sebagai policy analyst yang mendistribusi pelayanan melalui saran dan pelaporan atau kepada pihak pembuat kebijakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terkait dengan permasalahan yang dihadapi dan berapa besar dana yang tersedia.
Dalam policy analysis dilakukan aktivitas-aktivitas untuk menyusun tindakan/program yang akan disarankan/direkomendasikan. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: seorang perencana (planner) merumuskan permasalahan yang ada, mencari data, menganalisis dan menginterpretasi, akhirnya menyusun program yang akan disarankan sebagai tujuan akhirnya. Tindakan seperti ini dalam tradisi perencanaan disebut activities in policy analysis.
Dalam policy analysis, dikenal pula model struktural yang digunakan dalam menyusun program yang akan disarankan, model ini disebut juga sebagai a structural model of policy analysis yang meliputi analisis terhadap keputusan yang diusulkan, mengambil keputusan implementasi hingga masalah dapat diantisipasi atau dapat diamati melalui pengumpulan informasi untuk kemudian di analisa kembali, diiringi dengan kajian sasaran dan hambatan-hambatan yang dihadapi.
3.    Tokoh
Tokoh-tokoh rasionalisme antara lain: Rene Descrates, Spinoza, K.R. Popper, dan A. Faludi.
4.    Kategori teori
Planning dalam rasionalisme masuk dalam kategori theory of planning, dimana seorang perencana berfungsi sebagai pemecah masalah (problem solver), focus kepada planning system beserta proses-proses pengambilan keputusan, serta memfokuskan diri pada penerapan teori-teori ke dalam praktek.

D. Pluralisme
1.    Inti ajaran
Orientasi pengamatan dilakukan pada apa yang nampak/ menampakkan diri dengan tujuan menemukan hakekat, menghubungkan kesadaran subyek dan obyek (menyatunya subyek dan obyek), manusia merupakan bagian yang menyatu dari seluruh aspek kehidupan. Pluralisme menolak bentuk-bentuk konformitas, realitas itu dianggap relatif serta hanya dapat dipahami melalui agregat individu.
2.    Pengaruh pada konsep
Pengaruhnya pada planning antara lain tidak percaya pada planning yang bersifat umum dan berlaku umum (menolak comprehensive planning dan positive planning), planning seharunya berorientasi kepada masyarakat dan diarahkan pada tindakan nyata, responsif dan mendukung terbentuknya konsensus-konsensus baru atas dasar hubungan antar individu. Seorang perencana berperan sebagai agen perubahan (agent of change), fasilitator, widyaswara (trainer), atau organisatoris. Planning tidak berawal dari tujuan maupun sasaran melainkan dari kritik sosial tentang keadaan di saat itu dan tujuan dirumuskan di tengah-tengah perjalanan bersama-sama masyarakat. Planning mempunyai kekuatan arus bawah, gagasan harus datang dari masyarakat, seorang perencana hanya berperan sebagai pendidik, membuka kesadaran, melatih ketrampilan, dan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat. Dengan bimbingan seorang perencana, masyarakat merumuskan kebijakan, program-program, strategi, desain, lokasi proyek, dan anggaran biaya sendiri, contohnya adalah advocacy planning.
Ditinjau dari sisi tradisi perencanaan, planning pada konteks pluralisme berakar pada tradisi perencanaan sebagai pembelajaran masyarakat (planning as a social learning), dengan focus utama pada tindakan nyata dan akar filosofinya adalah pragmatisme (pragmatism), yang artinya tindakan, suatu teori untuk melakukan tindakan nyata. Rencananya berisi prinsip-prinsip, proyeksi dan pedoman kegiatan di masa datang dan bukan merupakan dogma melainkan suatu hipotesis yang harus diuji di lapangan, dapat ditolak, diperbaharui, dikoreksi dan dilengkapi. Akar tradisi lainnya adalah perencanaan sebagai alat mobilisasi sosial (planning as a social mobilization), dengan ide dasar emansipasi sosial atau kesetaraan hak sosial masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya.
3.    Tokoh
Tokoh-tokoh dalam era ini antara lain: Edmond Husseri, Mark Scheller, Murice Marleau Ponty, dan Martin Heidegger. Konsep-konsep yang hadir jelas-jelas menentang positive planning dan rational comprehensive planning pada rational planning.
4.    Kategori teori
Planning dalam era ini masuk dalam kategori theory in planning, dimana terjadi kritik-kritik terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengikuti azas-azas positivistik dengan pendekatan-pendekatan yang muncul yaitu: incrementalism, implementation and policy, social planning and advocacy planning, the political economy, the new humanism, dan pragmatism.

Sumber: Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz Budianta, dkk., 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar