Kamis, 24 Oktober 2013

Pembangunan Berdimensi Lingkungan Hidup



Pembangunan berdimensi lingkungan hidup atau berwawasan lingkungan telah disepakati oleh banyak Negara di dunia termasuk Indonesia sebagai konsep, strategi dan model yang diharapkan mampu menjaga pelestarian fungsi lingkungan. Bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan dan bagaimana diimplementasikan masih terus menjadi wacana, terlebih lagi dalam era otonomi daerah sekarang ini. Mengutip kearifan pembangunan dari Thailand yang mengatakan bahwa “development is not a work, an activity or a project. It is a movement in which many who share similar ideas take part (Phongphit (1989) dalam Sudharto P. Hadi, 2001). Unsur-unsur dan muatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) lebih menghendaki terwujudnya pembangunan sosial dimana peran serta, keadilan menjadi bagian di dalamnya.
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pertama kali diperkenalkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and Development (WCED)) atau yang lebih dikenal dengan Brundtland Commission pada tahun 1987 di Norwegia. WCED mendefinisikan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development is development that meets the needs of the present without comprimising the ability of future generations to meet their own needs. Apabila diterjemahkan dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Menurut WCED terdapat dua kunci konsep utama dari definisi tersebut, yaitu: (1) Konsep tentang kebutuhan (needs) yang sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan; (2) Konsep tentang keterbatasan (limitation) dari kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu diperlukan pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.
Prof. DR. Emil Salim (1990) dalam makalahnya berjudul “Sustainable Development: An Indonesian Perspective” menyebutkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menempatkan pembangunan dalam perspektif jangka panjang (a longer term perspective). Konsep tersebut menuntut adanya solidaritas antar generasi. Dalam konteks Indonesia, pembangunan berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan juga mengeliminasi kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan secara implisit juga mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan dengan tetap menjaga kualitas sumberdaya alam. Konsep pembangunan berkelanjutan menyadari bahwa sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem.
Dengan memelihara fungsi ekosistem maka kelestarian sumberdaya alam akan tetap terjaga. Dapat disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan mempersyaratkan melarutnya lingkungan hidup dalam pembangunan. Prof. DR. Emil Salim (1990) selanjutnya mengemukakan beberapa resep strategis apabila konsep pembangunan berkelanjutan tersebut diterapkan dalam konteks pembangunan Negara-negara berkembang seperti Indonesia, meliputi:
1. Pembangunan berkelanjutan menghendaki penerapan perencanaan tata ruang (spatial planning);
2. Perencanaan pembangunan menghendaki adanya standar lingkungan yang bisa menjamin kualitas dan kelestarian lingkungan hidup;
3. Penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai perangkat pengelolaan lingkungan hidup;
4.  Pemulihan/rehabilitasi kerusakan lingkungan hidup khususnya di daerah yang kritis sebagai program pengelolaan lingkungan hidup;
5.    Usaha untuk memasukkan secara eksplisit pertimbangan/variable lingkungan hidup ke dalam perhitungan ekonomi (internalisasi) sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan ekonomi lingkungan.

Menurut Rees dan Roseland (1991) konsep pembangunan seperti yang diajukan oleh WCED adalah pandangan dari the mainstream. Menurut WCED, untuk mencapai pembangunan berkelanjutan diperlukan pertumbuhan ekonomi yang cepat baik di Negara maju maupun Negara sedang berkembang. Bertolak dari perspektif WCED, Canadian Report of the National Task Force on Environment and Economy mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai ”development which ensures that utilization of resources and the environment today does not damage prospects for their use by future generations”. Lebih lanjut Canadian Task Force ini memformulasikan bahwa ”current practices should not diminish the possibility of maintaining or improving living standards in the future”.
Rees dan Roseland (1991) mengkritik bahwa kedua dokumen (baik WCED maupun Canadian Task Force) menyarankan pertumbuhan ekonomi sebagai strategi utama untuk keberlanjutan dengan suatu asumsi bahwa surplus ekonomi memungkinkan untuk pemeliharaan dan konservasi ekosistem. Kedua dokumen tersebut tidak membedakan pertumbuhan yang lebih menunjuk pada ekspansi kuantitatif dalam skala dari sistem ekonomi dan pembangunan yang seharusnya merujuk pada perubahan kualitatif secara fisik dari sistem non ekonomis dalam keseimbangan dinamis dengan lingkungan hidup.
Menurut Rees dan Roseland (1991) ada alasan historis kenapa penekanan diletakkan pada pertumbuhan. Dalam sistem ekonomi kapitalis, terdapat suatu premis bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan pendapatan perkapita. Pada gilirannya penduduk miskin akan memperoleh bagian melalui mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). Bertolak dari pemikiran tersebut, Rees dan Roseland (1991) dengan hati-hati merumuskan pembangunan berkelanjutan yang diaplikasikan dalam pembangunan perkotaan sebagai berikut, ‘‘Strong sustainability’ has serious implications for urban form, for the material basis of urban life and for community social relationship that must be expressed as practical measures in planning” … ”these measures must emphasize the efficient use of urban space, reducing community livability and organizing administrative and planning processes which can deal sensitively and comprehensively with the attendant socioeconomic and ecological complexities”.
Pembangunan berwawasan lingkungan menghendaki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Pembangunan itu sarat dengan nilai (dalam arti bahwa pembangunan harus diorientasikan untuk mencapai tujuan ekologis, sosial dan ekonomi);
b. Pembangunan itu membutuhkan perencanaan dan pengawasan yang seksama pada semua tingkat;
c.  Pembangunan itu menghendaki pertumbuhan kwalitatif setiap individu dan masyarakat;
d. Pembangunan membutuhkan pengertian dan dukungan semua pihak bagi terselenggaranya keputusan yang demokratis;
e.    Pembangunan membutuhkan suasana yang terbuka, jujur, dan semua terlibat senantiasa memperoleh informasi yang aktual.

Apa yang diutarakan tersebut sejalan dengan gagasan Jacobs, et.al. (1986) dalam bukunya ‘Sustainable and Equitable Development’ yang mengajukan 4 (empat) prinsip untuk mencapai pembangunan berkelanjutan (Sudharto P. Hadi, 2001), yang meliputi:
a.   Pemenuhan kebutuhan dasar (fulfillment of human needs), meliputi: kebutuhan materi dan kebutuhan non materi;
b. Pemeliharaan lingkungan (maintenance of ecological integrity), meliputi: konservasi dan mengurangi konsumsi;
c.    Keadilan sosial (social equity), meliputi: keadilan pada masa kini dan keadilan pada masa datang;
d. Kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination), meliputi: masyarakat mandiri dan partisipatori demokrasi.


Sumber: Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz Budianta, dkk., 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar