Kamis, 10 Oktober 2013

Penyatuan Waktu di Indonesia



Rencana pemerintah di tahun 2012 ini adalah untuk menyatukan 3 zona waktu di indonesia, yakni WIB, WIT, & WITA menjadi GMT +8 atau menjadi Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA). Penyatuan zona waktu ini didukung oleh beberapa pihak, diantaranya adalah mulai dari menteri Koordinator Perekonomian, menteri Keuangan, menteri Perhubungan, Bursa Efek Indonesia (BEI), Bank Indonesia (BI), dan bahkan Menteri Agama.
Berdasarkan waktu rotasi bumi yang dibulatkan, 24 jam, dan derajat bumi, 360˚, Fleming membagi bumi ke dalam 24 zona waktu. Titik nol atau toloknya berasal dari Greenwich yang berada di bujur 0o. Ini berarti, waktu di tiap garis bujur selebar 15˚ dapat berbeda satu jam lebih lambat atau lebih cepat dari Greenwich. Semakin ke timur, waktu berbeda satu jam lebih cepat daripada Greenwich (+). Sebaliknya, semakin ke barat, waktu berbeda satu jam lebih lambat  (-). Selisih waktu paling cepat dari Greenwich adalah 12 jam, pun jua dengan selisih paling lambatnya. Usul ini disepakati secara internasional melalui sebuah Konferensi Meridian Internasional di Washington DC pada Oktober 1884.
Awal mulanya pembagian wilayah waktu di Indonesia adalah pada tahun 1963 dengan dikeluarkanya Kepres RI No. 243 tahun 1963. Isi dari Kepres tersebut membagi wilayah waktu di Indonesia menjadi 3 bagian dan keputusan tersebut berlaku mulai tangal 1 Januari 1964. Adapun prinsip yang digunakan dalam proses pembagian wilayah waktu Indonesia tersebut antara lain :
1. Menuju terbentuknya peraturan yang sesederhana mungkin
2. Perbedaan waktu matahari jangan terlalu besar dengan waktu tolok, terutama bagi kota-kota besar atau   penting
3. Batas wilayah jangan sampai membelah suatu propinsi atau pulau
4. Memperhatikan factor-faktor agama, politik, kegiatan masyarakat dan ekonomi, kepadatan penduduk, lalu lintas/perhubungan, sosio-psikologis serta perkembangan pembangunan.

Semenjak itu, diputuskan pembagian wilayah waktu sebagai berikut :
1.  Waktu Indonesia Barat meliputi daerah-daerah Tingkat I dan Istimewa di Sumatera, Jawa, Madura dan Bali dengan waktu tolok GMT+07.00 jam dan derajat tolok 105° BT.
2.  Waktu Indonesia Tengah meliputi daerah -daerah Tingkat I di Kalimanatan, Sulawesi dan Nusa Ternggara dengan waktu tolok GMT+08.00 jam dan derajat tolok 120° BT.
3.  Waktu Indonesia Timur meliputi daerah-daerah Tingkat I di Maluku dan Irian Jaya dengan waktu tolok GMT+09.00 jam dan derajat tolok 135° BT.

Tentunya dengan adanya penyatuan waktu di Indonesia akan membawa berbagai keuntungan dan kerugian. Berbagai keuntungan penyatuan waktu di Indonesia dalam berbagai bidang, diuraikan sebagai berikut :
1.   Perekonomian
Indonesia yang memiliki tiga zona waktu dinilai menghambat kenaikan produktivitas. Dengan penyatuan zona waktu diharapkan produktivitas ekonomi bisa meningkat.  Selain itu, penyatuan waktu ini akan memberikan waktu lebih banyak pada perdagangan bursa. Selama ini bursa di Indonesia rutin mengikuti pembukaan di beberapa negara, seperti Hongkong Stock Exchange, Singapura, Jepang dan negara-negara lain yang semuanya menggunakan patokan waktu GMT +8.  Selama ini, perdagangan Indonesia kalah oleh Singapura dan Malaysia, salah satunya karena Jakarta terlambat satu jam jika dibandingkan dengan Singapura dan Kuala Lumpur. Ketika posisi Indonesia secara keseluruhan menjadi GMT+8, standar waktu Indonesia akan sama dengan Singapura, Malaysia, dan Hongkong.
Penyatuan zona waktu dari tiga zona menjadi satu zona akan mengucurkan triliunan rupiah untuk Indonesia, sebab penggunaan energi lebih hemat, negara akan cepat terkoneksi dengan luar negeri, dunia bisnis, dan biaya usaha lebih efisien.

2.   Birokrasi / Pemerintahan
Dalam bidang birokrasi, ternyata waktu efektif kegiatan pemerintahan dalam sehari hanya 180 menit atau 3 jam saja. Padahal, jam kerja tersedia dalam satu hari adalah 480 menit (8 jam). Pegawai di wilayah timur Indonesia baru efektif bekerja pada pukul 10.00 WIT. Soalnya, mereka menunggu rekan di wilayah barat yang baru mulai buka pintu kantor pada saat sama (08.00 WIB). Atau di sektor pasar modal. Para pedagang surat berharga Indonesia bagian timur  ternyata hanya bisa efektif bekerja selama 1 jam. Sementara di wilayah tengah 3 jam. Padahal, Bursa Efek Indonesia yang bermarkas di Jakarta, beroperasi selama 5 jam mulai pukul 9.30 hingga 16.00 WIB.
Penyamaan waktu antara Indonesia Barat, Tengah dan Timur diyakini akan dapat mengangkat 20% PDB Indonesia. Sebab ada angkatan kerja berjumlah 190 juta orang yang akan melakukan pekerjaannya secara bersama-sama. Sementara saat ini angkatan kerja di Indonesia bekerja dalam waktu yang tidak sama. Saat penyatuan waktu, maka dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena ada produktivitas yang sama-sama bergerak. Selain itu, transsaksi di Bank Indonesia, para pelaku pasar uang di Papua dan Maluku tidak memiliki waktu yang cukup untuk saling bertransaksi dengan pelaku pasar di daerah Indonesia barat. Karena pusat bursa efek dan perbankan berada di wilayah Barat, pelaku bisnis Papua dan Maluku harus merelakan waktunya terbuang dua jam secara percuma menunggu lapak transaksi.

3.   Sosial
Dalam penyatuan waktu ini, umat Islam mudah menyesuaikan sebab shalat lima waktu patokannya matahari, bukan jarum jam.  Selama ini tiga zona memang menyulitkan penduduk Kalimantan. Bagi yang tinggal di Kalimantan Barat dan ingin ke Kalimantan Timur, mereka harus mengatur waktunya satu jam. Padahal, mereka satu dataran.
Pemakaian energi listrik pada waktu beban puncak sekitar pukul 6-9 malam akan berkurang jika pelanggan lebih cepat istirahat.  Dengan mengubah WIB mengikuti WITA, rentang waktu beban puncak berjalan mulai pukul 7 sampai 10 malam, secara tak langsung berkurang. Masyarakat lebih cepat tidur. Beban  listrik di pagi hari juga akan berkurang karena pelanggan terbesar PLN dari golongan tarif R-1 lebih cepat bangun untuk berkegiatan di luar rumah.
Dalam bidang pariwisata, contohnya pusat industri dan pariwisata kepulauan Riau yaitu Batam. Jika Indonesia menerapkan GMT+8, maka eksekutif Singapura yang senang berlibur ke Batam dan membeli kenyamanan di hotel-hotel pulau Batam akan menghabiskan waktu lebih lama.
Secara keseluruhan, Kementerian Perhubungan mendukung rencana penyatuan waktu ini untuk memperkuat jaringan Indonesia dengan negara-negara lain karena dapat meningkat daya saing, sehingga konektivitas di ASEAN semakin baik. Dunia penerbangan yang menyasar kawasan timur juga diuntungkan jika terjadi penyesuaian zona waktu. Penerbangan Jakarta-Jayapura yang ditempuh dalam 7 jam, membuat maskapai harus berangkat lebih dini untuk menghindari kesorean tiba di Jayapura karena waktu Jayapura yang lebih lambat 2 jam. Dengan asumsi, zona waktu disederhanakan jadi dua, akan dapat tambahan pertumbuhan penerbangan 10 persen. Kemudian kawasan timur yang hanya berselisih satu jam akan tumbuh pendapatan domestiknya karena ada mobilisasi yang lebih massif.
Jika wilayah yang sekarang WIB mengikuti Wita, Kementerian telah meriset, ada penurunan pemakaian energi di empat provinsi di pulau Jawa. Jika konsumsi menurun, maka biaya perawatan instalasi energi juga akan berkurang, polusi juga berkurang, dan biaya investasi juga berkurang.
Bagi dunia media massa televisi nasional dan telekomunikasi, penyesuaian zona waktu juga memunculkan keuntungan sendiri. Kawasan timur tak perlu menyesuaikan pola istirahatnya mengikuti pola tayangan yang berbasis WIB yang lebih lambat dua jam.

4.   Kerugian
Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan Antariksa (Lapan) Thomas Djamaluddin menuturkan satu zona waktu justru berpotensi inefisiensi jam kerja, khususnya di wilayah barat Indonesia yang banyak penduduknya sehingga jika waktu menjadi lebih cepat satu jam, maka akan mengganggu aktivitas utama. Inefisiensi terjadi terutama untuk komunikasi dinas atau bisnis.  Sebab, di Indonesia yang mayoritas muslim ada faktor salat lima waktu yang harus dipertimbangkan. Kalau kawasan barat mengikuti zona waktu Indonesia bagian tengah, otomatis pekerja di Indonesia bagian barat akan membutuhkan waktu lebih lama untuk istirahat dan ibadah. Istirahat bagi pekerja di barat yang biasanya pukul 12.00-13.00 WIB akan menjadi 11.00-12.00 WIB atau 12.00-13.00 WITA. Adapun waktu salat Zuhur yang disatukan dengan istirahat tentu belum masuk. Karena istirahat berakhir pukul 12.00 WIB atau 13.00 WITA. Maka pekerja tentu akan minta tambahan waktu untuk ibadah. Selain itu, waktu produktif masyarakat tak sesuai dengan aktivitas matahari, terutama bagi yang terbiasa dengan jam matahari.
Menjadikan Satu zona waktu untuk negara sepanjang ini tentu tidaklah tepat secara geografis. Matahari terbit di papua pukul 07.00 WIT, di Lombok pukul 06.00 Wita, dan di Aceh pukul 05.00 WIB. Zona waktu saat ini sudah sesuai dengan perjalanan matahari yang berkisar, terbit pukul 06.00 dan terbenam pukul 18.00 walau ada selisih di beberapa daerah dalam 1 zona. Jika semua daerah akan dijadikan satu zona waktu (menggunakan WITA), maka pukul  06.00 di Lombok tepat matahari baru terbit, sedangkan di Papua pukul 06.00 sudah siang, dan di Aceh pukul 06.00 masih gelap.
Penyatuan waktu di Indonesia perlu dikaji secara komprehensif potensi dampak positif dan negatif penyatuan zona waktu ini. Asumsi yang digunakan perlu diuji akurasinya sebelum digunakan sebagai tolok ukur kajian plus-minus penyatuan zona waktu ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar