Jumat, 25 Oktober 2013

Permasalahan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota



Menurut Dahlan (1992) dan Purnomohadi (1995), degradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indonesia semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin meningkatnya suhu udara di atas kawasan perkotaan, penurunan muka air tanah, pencemaran air tanah, udara, dan suara (bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai, suasana gersang, monoton, membosankan dan terjadinya tekanan psikologis penghuninya (stress).
Kurangnya apresiasi akan pentingnya RTH, inkonsistensi kebijakan dan strategi Tata Ruang Kota yang sudah ditetapkan dalam Rencana Induk Kota, serta lemahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam pelaksanaan pembangunan kota menyebabkan kuantitas dan kualitas RTH semakin berkurang. Nilai ekonomi vs nilai ekologis, keterbatasan luas lahan akibat benturan kepentingan dalam fenomena pembangunan perkotaan, lebih ditekankan pada pentingnya pembangunan sektor perindustrian dan perdagangan yang dianggap mampu menyerap banyak tenaga kerja (atau demi kepentingan ekonomi jangka pendek).
Masalah klasik pengelolaan RTH, dianggap akibat keterbatasan dana dan SDM profesional, pemeliharaan RTH yang tidak konsisten, dan pemilihan jenis tanaman tak sesuai persyaratan ekologis bagi masing-masing lokasi, termasuk langkanya lahan pembibitan tanaman penghijauan. Keterbatasan dana pembangunan dan pengelolaan RTH memerlukan terobosan pengembangan pola kemitraan hijau.
RTH sering dianggap sebagai lahan tidak berguna, tempat sampah, atau sumber dan atau sarang vektor berbagai penyakit. Pemahaman serta kesadaran masyarakat akan arti dan fungsi hakiki RTH, umumnya masih sangat kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok usia tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain anak, maupun taman lansia, apalagi taman khusus bagi penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk pemakaman umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum (Haryoso, 2003). Dalam penataan lansekap kota, etika, dan estetika, khusus penempatan iklan/papan reklame belum ditata menurut kaidah penataan ruang luar yang lebih sesuai.
Bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif untuk pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan (dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian) RTH masih sangat kurang, karena terbagi ke sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tumpang tindih dan kurang terkoordinasi. Hal ini disebabkan karena tugas pokok dan fungsi yang hampir sama, seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan; Dinas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan dan Keolahragaan, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, dan Dinas Kebersihan. Rencana penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas Tata Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam satu atap agar mampu meningkatkan pelayanan pembangunan dan pengelolaan RTH, mungkin tetap perlu dikaji ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan RTH di Kawasan Perkotaan yang transparan dan akuntabel, sesuai dengan paradigma tata pemerintahan yang baik (good governance).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar