Jumat, 25 Oktober 2013

Perkembangan dan Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota



Akibat pembangunan tidak berwawasan lingkungan, luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh dari luas optimal 30 persen dari total luas kota. Secara umum, permasalahan ketidaktersediaan RTH kota secara ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan KLH, 2001) :
1. Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan urgensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai ruang publik (common property) yang secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga saling melepas tanggung jawab;
2.  Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin. RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cenderung lebih menjadi masalah dibanding manfaat;
3. Kurangnya pemahaman (butir 1), berakibat tidak tersedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi peluang bagi warga kota, terutama anak-anak, remaja, wanita, manusia usia lanjut dan penyandang cacat, untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang kehidupan langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olahraga, berekreasi dan bermain;
4. Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media tanah, air dan udara semakin meningkat dan menimbulkan penyakit fisik dan psikis yang serius.

Pernyataan hidup sehat itu mahal telah dibuktikan oleh para pakar kesehatan maupun para penderita penyakit. Hubungan antara pencemaran pada media lingkungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara tercemar yang sama, makan dari hasil produksi bahan mentah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar. Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota, mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan sebagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar. Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu kriteria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya dapat hidup sehat pula.
Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebutuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa. Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa. RTH tersebut harus dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap kota (estetis). Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi estetis, karena secara alami manusia membutuhkan hidup dekat dengan alam yang asri, nyaman dan sehat, sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi ekosistem alam.
Kota identik dengan deretan beranekaragam bangunan-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan perumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau pusat perbelanjaan, rumah sakit, terminal, jalan raya, tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan manusia (Nazarudin, 1996).
Sebagian besar wilayah perkotaan di Indonesia mengalami kemunduran secara ekologis yang diakibatkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan meningkatnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah, banjir/genangan, penurunan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai, pencemaran air oleh bakteri dan unsur logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, kadar karbon monoksida (CO), ozon (O3), karbon-dioksida (CO2), oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta suasana yang gersang, monoton, bising, dan kotor (Endes, N. Dahlan, 1992).
Menimbang hal tersebut, maka pembangunan hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecahan permasalah lingkungan perkotaan yang kompleks, sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun dan dikembangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan, membersihkan lingkungan dari pencemaran dan perusakan, meredam kebisingan, dan beberapa keuntungan lain.
Pada dasarnya hutan kota merupakan bagian Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota memiliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga kota itu sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa potensi masyarakat merupakan hal utama dalam membentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu, peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangunan dan pengembangan hutan kota.
Hutan Kota adalah lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang (PP No. 63 Tahun 2002). Pengertian Kota yang nyaman dan menyehatkan adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya lingkungan yang bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan lingkungan, serta terwujudnya kehidupan dalam suasana kemasyarakatan yang akrab dan saling tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap memelihara nilai-nilai budaya bangsa.
Salah satu metode paling efektif dalam mengendalikan pencemaran udara adalah pengendalian pada sumbernya, tetapi metode ini belum menjamin 100 persen efektif dan efisien, karena keterbatasan teknologi dan dukungan finansial. Salah satu alternatifnya adalah penggunaan metode pengendali pencemaran udara bukan pada sumber pencemar, salah satunya yaitu dengan mempertimbangkan peran RTH (Warren, 1973).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar