Undang-undang
No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang, menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan
oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat merupakan
hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil
penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk
tercapainya tujuan penataan ruang. Masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam
penataan ruang, menjalankan peranannya dan mendayagunakan kemampuannya secara
aktif sebagai sarana untuk mencapai tujuan penataan ruang khususnya terkait
kepentingan publik yakni RTH.
Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di
Wilayah Perkotaan menyatakan bahwa penyediaan atau pengadaan tanah untuk
keperluan Ruang Terbuka Hijau Kota dilaksanakan melalui tata cara penguasaan
tanah baik perseorangan maupun Badan Hukum yang tanahnya dalam keadaan
terlantar dan atau digunakan, dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota
selain dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, juga menuntut peran serta swasta
dan masyarakat. Peran partai politik (DPRD) menduduki posisi strategis dalam
pengembangan visi lingkungan karena mitra kerja dalam pembahasan anggaran
(APBD). Sebaik apa pun visi lingkungan Kepala Daerah, tidak akan tercapai tanpa
dukungan penganggaran bersama dalam pembangunan hijau. Dalam Inmendagri
tersebut juga mewajibkan Pemerintah Daerah menyediakan dana yang dialokasikan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta mendorong dana dan
swadaya ini untuk pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota. Pengelolaan RTH harus
berbasis masyarakat, dengan diikutkan secara aktif diharapkan pembangunan
lingkungan akan berhasil.
Masyarakat
dapat mendorong munculnya APBD Pro Lingkungan (APBD Hijau/Green budgeting). Anggaran biaya untuk
lingkungan hidup dalam APBD ditingkatkan paling tidak menjadi 10 persen atau
lebih, tidak hanya sekedar di bawah nilai 1 persen saja. Sebagai pembanding,
alokasi biaya untuk lingkungan di Jerman adalah 6 persen, di Vietnam 5 persen
(Sobirin, 2010). Perlu upaya mengeksplorasi berbagai sumber dana untuk
pengelolaan lingkungan, antara lain disamping dari APBN dan APBD, juga dari
Program Investasi Publik (Public Private Participatrion), User
Charges, dana investasi lingkungan, model tarif, pajak dan retribusi.
Sistem reward and punishment bisa pula sebagai upaya pemulihan
lingkungan hidup.
Prinsip
tersebut seiring dengan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 yang
mengedepankan Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau
stakeholders utama pembangunan. Peraturan pemerintah tersebut mengatur
tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta
masyarakat dalam penataan ruang termasuk tingkatan kewenangan hirarki
Pemerintahan dari tingkat Nasional, tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota.
Pembangunan kawasan perkotaan memerlukan keterpaduan, kesinambungan, dan kerja
sama pembangunan perkotaan untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, dan
sinergitas dalam penyediaan pelayanan umum kepada masyarakat dan pelestarian
ekosistem (Permendagri No. 69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan
Perkotaan). Kerja sama pembangunan perkotaan adalah kesepakatan antar kepala
daerah yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di dalam
pelaksanaan pembangunan perkotaan.
Pemerintah
Daerah mengendalikan seluruh kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota
dengan tidak memberikan ijin perubahan penggunaan Ruang Terbuka Hijau Kota
untuk kepentingan/peruntukan lainnya. Pemerintah Daerah wajib melakukan
pengendalian secara ketat tentang pemberian dan pencabutan ijin pembangunan
Ruang Terbuka Hijau Kota (Inmendagri No 14 tahun 1988). Diharapkan peran
masyarakat untuk melakukan pengawasan pembangunan yang lebih intensif sehingga
deviasi tata ruang dan marjinalisasi RTH Kota dapat dikendalikan sejak awal.
RTRW
menjadi instrumen penting untuk membela kepentingan masyarakat kota yang
terpinggirkan oleh pembangunan yang kurang menghitungkan ruang fisik/lahan yang
tersedia tanpa memahami lebih jauh kepentingan manusia yang menempati
ruang-ruang di perkotaan khususnya RTH. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan
masyarakat dalam kebijakan berbasis sosial yaitu :
1. Skala ekonomi dari alokasi anggaran, urusan
atau program yang dianggarkan harus memiliki cukup pengaruhnya terhadap seluruh
kegiatan ekonomi;
2.
Ruang lingkup ekonomi dari kegiatan yang
dibiayai oleh anggaran publik;
3.
Untung rugi secara sosial mempertimbangkan
dampak jangka panjang;
4. Keuntungan harus berpihak pada bagian
terbesar masyarakat yang terpinggirkan atau yang tidak berdaya dalam persaingan
pasar yang bebas;
5. Acuan konsumen merupakan dasar pertimbangan
dalam menyusun belanja bagi kegiatan pemerintah.