Jumlah
penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada
1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen
dari jumlah penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi
55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada
tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen
dari jumlah penduduk nasional pada tahun 2015 (Dardak, 2006). Fenomena
pertumbuhan penduduk tersebut memberikan implikasi pada tingginya tekanan
terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga perlu mendapat perhatian khusus,
terutama yang terkait dengan penyediaan ruang-ruang terbuka publik.
Kualitas
dan kuantitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30
tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat signifikan. Di kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari
35 persen pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10 persen pada saat ini.
Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen memiliki rasio RTH per kapita sekitar
7,08 m2 (Dardak,
2006).
Kepmen
PU No. 378 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas:
fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedangkan untuk penyangga lingkungan
kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa. Secara keseluruhan kebutuhan akan
RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa (Purnomohadi, 2006), agar dapat
memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem, dan pencipta iklim
mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum
(sosial-ekomomi), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap
kota (estetika).
Issue
berkaitan
dengan ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa permasalahan
perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa
dampak perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan
destruktif, serta timbulnya bencana banjir dan longsor (Dardak, 2006). Dari
aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi
udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung
maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Pentingnya
fungsi tanaman di area ruang terbuka publik di daerah tropis lembab antara lain
untuk perlindungan terhadap panas terik matahari. Selain itu, untuk memproduksi
O2,
mengurangi debu yang meliputi kota (urban dust dome), mengurangi panas
lingkungan (untuk foto sintesis menyerap panas matahari satu persen, pohon
berdaun lebat dapat merefleksikan panas matahari sampai 75 persen). Dalam
kaitannya dengan ruang terbuka hijau vegetasi memiliki berbagai fungsi antara
lain untuk keindahan dan kenyamanan (Hardiman, 2008).
Kondisi
ekologis kota yang buruk secara ekonomis dapat menurunkan tingkat
produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan serta tingkat harapan hidup
masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat
kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure terhadap
polusi udara yang berlebihan. Selain itu, dari aspek perilaku sosial, tingginya
tingkat kriminalitas dan konflik horizontal diantara kelompok masyarakat
perkotaan secara tidak langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota
yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress
releaser) yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Tingginya frekuensi
bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan
karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan
tingginya volume air permukaan (run-off). Sementara itu, secara teknis
issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut
kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholders
dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/lahan di perkotaan yang
dapat digunakan sebagai RTH.
Kurangnya
optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang memadainya
proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio
jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Pemerintah kota, investor,
pengembang (developer) dan masyarakat luas masih belum banyak menyentuh
perancangan ruang terbuka hijau kota. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat
kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak
langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan
nilai sejarah). Secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan belum
adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam
penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping
itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat mengelola
RTH secara lebih professional. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan masyarakat
masih sangat rendah dalam penyelenggaraan RTH, sehingga pemerintah selalu
terbentur pada masalah keterbatasan pendanaan.
Pengelolaan
RTH kota yang baik seyogyanya dapat bersinergi antara pemerintah kota,
masyarakat dan swasta. Dengan memperhatikan aspek-aspek diatas diharapkan
kualitas ruang terbuka hijau yang dirancang akan lebih baik dan
berkesinambungan. Untuk mencegah pergeseran ruang terbuka hijau kota yang
semakin tidak jelas, diperlukan pengendalian melalui pengelolaan yang
mempertimbangkan aspek pelestarian. Upaya pelestarian (mempertahankan) ruang
terbuka hijau merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis
budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan. Jika kota dapat
mempertahankan penghuni ruang kota yang berkultur tradisionalistik dan
berbudaya ekologi. Pencapaian target RTH perlu disusun dalam bentuk masterplan,
hingga tatanan kegiatannya (waktu, lokasi, dan biaya yang diperlukan), secara
jelas tertuang dalam rencana. Upaya lain yang harus dilakukan adalah
peningkatan kinerja institusi terkait, termasuk unit-unit pelaksana teknis
pembangunan kawasan hijau. Rendahnya mutu kualitas pembangunan kawasan hijau,
dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas jenis dan pemulihan habitat.
Tatanan prioritas pembangunan kawasan hijau berdasarkan alokasi lahan, bantaran
sungai menjadi prioritas utama, diikuti oleh kawasan penyangga situ-situ.
Strategi pencapaiannya, dilakukan melalui koordinasi baik dalam pelaksanaan
program, serta dalam evaluasi dan monitoring hasil-hasil pembangunan
kawasan hijau secara berkelanjutan.
Untuk
meningkatkan pengamanan terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau,
nampaknya pemberdayaan pembangunan pagar hijau perlu dilakukan, termasuk
penyediaan sarana fasilitas pemeliharaan (penyiraman) secara efisien.
Keterkaitannya dengan pendanaan, pemberdayaan stakeholders melalui
kompensasi lingkungan bagi pemilik kendaraan bermotor perlu dilakukan, dan
dipayungi dalam bentuk Perda. Salah satu upaya lain yang dapat diterapkan dalam
rangka untuk mengurangi beban perkotaan adalah dengan mengembangkan daerah
perdesaan agar arus urbanisasi ke perkotaan dapat diturunkan seperti misalnya
dengan mengembangkan kawasan agropolitan (Dardak, 2006). Selain itu, untuk
mendukung kota yang sudah berkembang menjadi sangat besar (metropolitan) yang notabene
mempunyai berbagai permasalahan yang sangat kompleks perlu dikembangkan
kota-kota satelit disekitarnya dengan mengemban fungsi-fungsi tertentu dan juga
dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga mampu menarik
sebagian penduduk yang semula berorientasi ke kota inti sehingga beban kota
inti menjadi berkurang.
Permasalahan
yang sering muncul dalam pembangunan di suatu kawasan adalah tumpang tindihnya
penggunaan peruntukan lahan dan atau pembangunan yang tidak mengikuti ketentuan
peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam tata ruang daerah. Penataan RTH
pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang
bertujuan untuk mendukung beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu
meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat (aspek ekonomi dan sosial) dan
lingkungan hidup (aspek ekologi). Pengalokasian RTH memberikan jaminan
terpeliharanya ruang yang berkualitas dan mempertahankan keberadaan obyek-obyek
ruang terbuka hijau sebagai aset yang dapat dinikmati bersama. Dalam
pengembangan kegiatan pembangunan ekonomi diperlukan pengaturan-pengaturan
alokasi ruang yang dapat menjamin pembangunan berkelanjutan guna mencapai
kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam
penataan ruang berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan
sumber daya alam dan buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mewujudkan perlindungan fungsi
ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan
mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Sebagaimana
diketahui bahwa rencana tata ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan
perkotaan, menurut peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan
dalam rencana umum tata ruang kota, yang merupakan rencana jangka panjang:
rencana detil tata ruang kota, sebagai rencana jangka menengah, dan rencana
teknis tata ruang kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota
tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-gambar yang sudah pasti (blue
print) (Sunardi, 2004). Kelemahan penyelenggaraan penataan ruang selama ini
terletak pada ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan implementasinya.
Hal ini disebabkan lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang dan penegakan hukum
dalam penyelenggaraan penataan ruang. Kedepan diharapkan tidak hanya penawaran
insentif dan disinsentif tetapi juga belanja lahan RTH untuk merangsang
kesadaran terhadap prinsip tata ruang. Bila fenomena tersebut tidak dijadikan
bahan kebijakan maka mustahil pembangunan akan berkelanjutan sebagaimana
diharapkan generasi berikutnya.
Pembangunan
berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future yang
disiapkan oleh World Commission on Environment and Development (Komisi
Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) tahun1987, yang dikenal dengan nama
Komisi Bruntland. Isu utama yang disetujui oleh komisi tersebut adalah bahwa
pada kenyataannya banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan banyak
kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan. Persoalan lingkungan
dunia telah ditetapkan sebagai isu utama pembangunan. Pembangunan berkelanjutan
memiliki tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi
menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumberdaya
yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan
keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan
ekosistem dunia. Pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan
sistem sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar
generasi masa kini dengan generasi mendatang.
Secara
positif, pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi hak dan kesempatan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu pembangunan
berkelanjutan adalah suatu program aksi untuk mereformasi ekonomi global dan
ekonomi lokal, sebuah program yang masih harus didefinisikan lebih lanjut.
Tantangan model pembangunan baru ini adalah mengembangkan, menguji dan
menyebarkan cara-cara untuk mengubah proses pembangunan ekonomi yang tidak
menghancurkan ekosistem, kata kuncinya saving as percentage of gdp = or more
than depreciation of human knowledge + depreciation of human made capital +
depreciation of natural capital (Haeruman, 2010). Terdapat 7 komponen
pembangunan berkelanjutan yaitu :
1.
Prinsip dasar piagam bumi (normatif dan sistem
nilai);
2.
Kesepakatan global (partisipatif dan lintas
pelaku);
3.
Rencana tindak (RPJP/D, RPJM, Propeda);
4.
Prioritas dan strategi (renstra dan
kebijakan pembangunan);
5. Sistem pengelolaan pembangunan (proses
perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan);
6.
Sistem kelembagaan (organisasi dan tata
cara); dan
7.
Instrumen pengatur (sistem hukum,etika dan
pasar).
Kesepakatan global
yang tertuang dalam deklarasi pembangunan berkelanjutan di Johanesburg adalah
membangun masyarakat global yang manusiawi, berkeadilan dan bersama
melaksanakan visi masa depan kemanusiaan; memberantas kemiskinan dan menerapkan
pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan; multilateralisme adalah masa
depan. Rencana tindak pembangunan berkelanjutan disusun rencana pemberantasan
kemiskinan, perubahan pola konsumsi dan produksi yang meliputi energi, transportasi,
pengelolaan limbah dan pengelolaan siklus hidup bahan kimia. Disamping itu,
disusun pula rencana perlindungan dan pengelolaan sumber alam, pengembangan
global dari pembangunan berkelanjutan dan kesehatan serta pembangunan
berkelanjutan. Pola pengelolaan pembangunan berkelanjutan terdiri dari 4
bagian, yaitu :
1.
Pola pengambilan kebijakan yang meliputi
kebijakan, programming dan pembiayaan;
2.
Produksi/konsumsi yang meliputi outcome,
output, dan input;
3. Indikator pengendali yang meliputi dampak
produksi/konsumsi dan biaya depresiasi nilai; serta
4. Alat pemantau yang meliputi evaluasi, audit
nilai ekonomi/sosial/lingkungan, dan audit finansial (Haeruman, 2010).
Instrumen pengatur,
dalam peraturan perundangan perlu diserasikan antara kewenangan, tanggung
jawab, dan indikator kinerjanya. Mekanisme pasar yang berkaitan dengan harga
sebagai indikator kelangkaan yang tepat perlu dipertimbangkan disamping sistem
tata nilai sosial, adat dan budaya yang diperlukan untuk mengembangkan
pembangunan berbasis masyarakat.
Tidak seorangpun
betul-betul memahami dengan tepat, bagaimana dan bilamana pembangunan
berkelanjutan dapat dicapai. Dengan demikian pengembangan konsensus di tingkat
lokal harus dilakukan, sebagai dasar bagi pencapai pembangunan berkelanjutan di
tingkat global. Di tingkat lokal, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa
pembangunan ekonomi harus mendukung kehidupan dan penguatan komunitas, dengan
mendayagunakan bakat dan sumberdaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya
berikutnya adalah mendistribusikan hasil-hasil pembangunan secara merata dan
adil kepada berbagai kelompok sosial dalam jangka panjang. Semua itu hanya
mungkin dilakukan jika bisa dicegah agar aktivitas pembangunan ekonomi tidak
menghacurkan sumberdaya alam dan kualitas ekosistem.