Pendekatan
pewilayahan ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah
banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk
RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota,
hutan kota, taman botani, sempadan sungai dan lain lain. Dalam perspektif
pewilayahan ekonomi, penataan RTH dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara
langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/
perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau
perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Tingginya frekuensi bencana banjir
di perkotaan dewasa ini diduga juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata
air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off).
Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas.
Terbatasnya daerah resapan ini karena konsep pewilayahan ekonomi tidak
memperhatikan keterkaitan dengan kondisi ekologis kota.
Dalam
perspektif pewilayahan sosial-budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi
sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai area alun-alun
kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain
taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya. Isue yang
terjadi secara sosial, bahwa tingginya tingkat kriminalitas dan konflik
horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga
dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan
kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh
masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan
ruang terbuka hijau, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan
kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan. Dalam perspektif
pewilayahan administratif, struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan
konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. Secara hirarkis, struktur
pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka hijau publik dalam
perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya.
Pada
unit lingkungan terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan,
unsur RTH yang relevan perlu disediakan. RTH dengan konfigurasi ekologis
merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan,
sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi
planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota
seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun
taman-taman regional/nasional. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai
keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun
bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, dari segi
kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka
bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang
berada pada lahan-lahan pribadi.
Dari
perspektif biaya atau program, rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan
prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah (Miller,
2001) tetapi dinamis memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai.
Terjadinya simpangan besar tata ruang kota merupakan akibat dari inkonsistensi
kebijakan pemerintah dan gagalnya kekuatan politik atas tata ruang. Kekuatan
politik atas tata ruang dapat dicerminkan sebagai keterlambatan program tata
ruang dalam mengatasi kebutuhan utilitas kota atas tekanan penduduk yang
tinggi, sehingga memarjinalkan daerah kawasan lindung atau ruang terbuka hijau.
Dana
pada dasarnya merupakan kendala yang sulit diatasi. Namun demikian, apabila stakeholders
memiliki kesadaran atas kecenderungan meningkatnya pencemaran udara, maka
dana bukan menjadi masalah lagi. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan di DKI
Jakarta tercatat ada 4,1 juta kendaraan (roda empat, tiga dan dua). Jika semua
pemilik kendaraan memiliki kesadaran membayar resiko lingkungan sebesar Rp
1.000,-/kendaraan/tahun, maka jumlah dana yang tersedia sebesar Rp 4,1 milyar
setiap tahunnya (Waryono, 1990).