Pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, geolog berasumsi bahwa kenampakan-kenampakan
utama bumi berkedudukan tetap. Kebanyakan kenampakan geologis seperti
pegunungan bisa dijelaskan dengan pergerakan vertikal kerak seperti dijelaskan
dalam teori geosinklin. Sejak tahun 1596, telah diamati bahwa pantai Samudera
Atlantik yang berhadap-hadapan antara benua Afrika dan Eropa dengan Amerika
Utara dan Amerika Selatan memiliki kemiripan bentuk dan nampaknya pernah
menjadi satu. Ketepatan ini akan semakin jelas jika kita melihat tepi-tepi dari
paparan benua di sana. Sejak saat itu banyak teori telah dikemukakan untuk
menjelaskan hal ini, tetapi semuanya menemui jalan buntu karena asumsi bahwa
bumi adalah sepenuhnya padat menyulitkan penemuan penjelasan yang sesuai.
Penemuan
radium dan sifat-sifat pemanasnya pada tahun 1896 mendorong pengkajian ulang
umur bumi, karena sebelumnya perkiraan didapatkan dari laju pendinginannya dan
dengan asumsi permukaan bumi beradiasi seperti benda hitam. Dari perhitungan
tersebut dapat disimpulkan bahwa bahkan jika pada awalnya bumi adalah sebuah
benda yang merah-pijar, suhu Bumi akan menurun menjadi seperti sekarang dalam
beberapa puluh juta tahun. Dengan adanya sumber panas yang baru ditemukan ini
maka para ilmuwan menganggap masuk akal bahwa Bumi sebenarnya jauh lebih tua
dan intinya masih cukup panas untuk berada dalam keadaan cair.
Teori
Tektonik Lempeng berasal dari hipotesis continental drift yang dikemukakan
Alfred Wegener tahun 1912 dan dikembangkan lagi dalam bukunya The Origin of Continents and Oceans
terbitan tahun 1915. Ia mengemukakan bahwa benua-benua yang sekarang ada dulu
adalah satu bentang muka yang bergerak menjauh sehingga melepaskan benua-benua
tersebut dari inti bumi seperti 'bongkahan es' dari granit yang bermassa jenis
rendah yang mengambang di atas lautan basal yang lebih padat. Namun, tanpa
adanya bukti terperinci dan perhitungan gaya-gaya yang dilibatkan, teori ini
dipinggirkan. Mungkin saja bumi memiliki kerak yang padat dan inti yang cair,
tetapi tampaknya tetap saja tidak mungkin bahwa bagian-bagian kerak tersebut
dapat bergerak-gerak. Di kemudian hari, dibuktikanlah teori yang dikemukakan
geolog Inggris Arthur Holmes tahun 1920 bahwa tautan bagian-bagian kerak ini
kemungkinan ada di bawah laut. Terbukti juga teorinya bahwa arus konveksi di
dalam mantel bumi adalah kekuatan penggeraknya.
Bukti
pertama bahwa lempeng-lempeng itu memang mengalami pergerakan didapatkan dari
penemuan perbedaan arah medan magnet dalam batuan-batuan yang berbeda usianya.
Penemuan ini dinyatakan pertama kali pada sebuah simposium di Tasmania tahun
1956. Mula-mula, penemuan ini dimasukkan ke dalam teori ekspansi bumi, namun
selanjutnya justeru lebih mengarah ke pengembangan teori tektonik lempeng yang
menjelaskan pemekaran (spreading)
sebagai konsekuensi pergerakan vertikal (upwelling)
batuan, tetapi menghindarkan keharusan adanya bumi yang ukurannya terus
membesar atau berekspansi (expanding
earth) dengan memasukkan zona subduksi/hunjaman (subduction zone), dan sesar translasi (translation fault). Pada waktu itulah teori tektonik lempeng
berubah dari sebuah teori yang radikal menjadi teori yang umum dipakai dan
kemudian diterima secara luas di kalangan ilmuwan. Penelitian lebih lanjut
tentang hubungan antara seafloor spreading dan balikan medan magnet bumi (geomagnetic reversal) oleh geolog Harry
Hammond Hess dan oseanograf Ron G. Mason menunjukkan dengan tepat mekanisme
yang menjelaskan pergerakan vertikal batuan yang baru.
Seiring
dengan diterimanya anomali magnetik bumi yang ditunjukkan dengan lajur-lajur
sejajar yang simetris dengan magnetisasi yang sama di dasar laut pada kedua
sisi mid-oceanic ridge, tektonik
lempeng menjadi diterima secara luas. Kemajuan pesat dalam teknik pencitraan
seismik mula-mula di dalam dan sekitar zona Wadati-Benioff dan beragam
observasi geologis lainnya tak lama kemudian mengukuhkan tektonik lempeng
sebagai teori yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam segi penjelasan dan
prediksi.
Penelitian
tentang dasar laut dalam, sebuah cabang geologi kelautan yang berkembang pesat
pada tahun 1960-an memegang peranan penting dalam pengembangan teori ini.
Sejalan dengan itu, teori tektonik lempeng juga dikembangkan pada akhir 1960-an
dan telah diterima secara cukup universal di semua disiplin ilmu, sekaligus
juga membaharui dunia ilmu bumi dengan memberi penjelasan bagi berbagai macam
fenomena geologis dan juga implikasinya di dalam bidang lain seperti
paleogeografi dan paleobiologi.