Home » » Pergeseran Paradigma Pembangunan

Pergeseran Paradigma Pembangunan

Written By Tasrif Landoala on Sabtu, 17 Agustus 2013 | 22.23



Menurut Burn dan Phillipe (1987), ada tiga tingkatan yang memiliki  peranan proses pengembangan perkotaan. Pada tingkat makro pemerintah memiliki peranan yang penting dalam proses sosial dimasyarakat, menyangkut institusi dan formasi kultural berupa sistem konsep, aturan, nilai dan informasi yang merupakan milik bersama. Kondisi pada tingkat makro ini akan mengantarkan pada tingkat meso yaitu berupa latar (setting) interaksi dari stake holdernya untuk melakukan aksi dan interaksi sosial. Proses sosial pada tingkat menengah  ini akan mengatarkan pada proses tingkat mikro  berkaitan dengan agen sosial yang menyangkut nilai serta preferensial.
Jonathan H Turner (dalam Dasgupta 2000) mengungkapkan pranata formal dari pemerintah dapat membentuk  pranata  informal di masyarakat. Nilai norma dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat merupakan modal sosial dalam pembangunan masyarakat, yang akan membentuk pola hubungan sosial di masyarakat.
Pembangunan perkotaan sebagai proses sosial akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial dan budaya di masyarakat. Pelly (1994) mengungkapkan  faktor yang menyebabkan perubahan sosial budaya dapat dibedakan atas dua faktor: pertama  bersumber dari masyarakat itu sendiri dan yang kedua bersumber dari lingkungan.
Untuk terwujudnya ruang  perkotaan yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan yang selaras dengan visi dan misi penataan ruang naional, pengembangan perkotaan hendaknya dilaksanan dengan pendekatan comunity based development, Sehingga masyarakat secara bersama dengan stake holder yang lain dapat ikut serta dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dengan melibatkan partisipasi masyarakat sesuai dengan potensi dan sumber daya serta karakteristik masyarakat.
Britha Mikkelsen (2001) mengungkapkan, dalam berbagai kajian istilah partisipasi memiliki arti yang beragam, diantaranya :
a. partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan;
b. partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
c. partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
d. partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarkat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar suaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial;
e. partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri;
f.  partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Secara konseptual partisipasi masyarakat merupakan alat dan tujuan pembangunan masyarakat. Sebagai alat dan sarana pembangunan partisipasi berfungsi penggerak dan pengarah proses perubahan sosial secara terencana dan demokratis dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang berasaskan  pemerataan keadilan sosial, pemerataan pelaksanaan serta hasil pembangunan, pemupukan harga diri dan kepercayaan kepada kemampuan masyarakat itu sendiri serta pemupukan rasa kesadaran dan solidaritas sosial. Sebagai tujuan, partisipasi sosial merupakan perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial.
Sementara itu, dua alternatif utama dalam penggunan partisipasi berkisar kepada partisipasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri, atau sebagai alat untuk mengembangkan diri. Logikanya, kedua interprestasi itu merupakan satu kesatuan, suatu rangkaian. Keduanya mewakili partisipasi yang bersifat tranformasional dan instrumental dalam suatu proyek tertentu.
Partisipasi sebagai suatu tujuan menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya. Dengan demikian partisipasi adalah alat dalam memajukan idiologi atau tujuan-tujuan pembangunan yang normatif, seperti keadilan sosial, persamaan, dan demokrasi. Dalam bentuk alternatif partisipasi ditafsirkan sebagai alat untuk mencapai efesiensi dalam manajemen proyek sebagai alat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan.
Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya sendiri dipandang sebagai tujuan, dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, misalnya jadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Dalam memahami partisipasi partisipatoris ini perlu ditinjau pengertian partisipasi yang dikemukakan Lukman Sutrisno (1995). Terdapat dua pengertian partisipasi yang dikemukakannya.
Pertama, adalah definisi yang diberikan oleh perencana pembangunan formal di Indonesia. Definisi partisipasi jenis ini mengartikan partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Definisi ini mempunyai motto yang berbunyi “masyarakat yang berpartisipasi tetapi pemerintah yang merencanakan”. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan pembangunan pemerintah.
Kedua, definisi partisipasi yang bersifat universal yaitu partisipasi   rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Pengertian kedua inilah yang tampaknya selaras dengan semangat partisipasi transformatif tersebut.
Dari sudut pandang sosiologis, definisi pertama tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam pembangunan yang hanya mengatasi permasalahan pembangunan dalam jangka pendek. Lebih lanjut Lukman  Sutrisno (1995) mengungkapkan empat prasyarat pembangunan yang partisipatif (partisipasi yang transformatif), yaitu:
1. Mendorong timbunya pemikiran kreatif, baik di kalangan masyarakat maupun pelaksana pembangunan
2. Toleransi yang besar tehadap kritik yang datang dari bawah dengan mengembangkan sikap positif thinking di antara aparat pelaksana.
3. Menimbulkan budaya dikalangan pengelola pemerintahan  untuk berani mengakui atas kesalahan yang mereka buat dalam merencanakan pembangunan
4. Menimbulkan kemampuan untuk merancang atas skenrio, dan yang terakhir menciptakan sistem evaluasi proyek pembangunan yang mengarah pada terciptanya kemampuan rakyat untuk secara mandiri mencari permasalahan pelaksanaan pembangunan dan pemecahan terhadap permasalahan itu sendiri.

Selaras dengan Lukman Sutrisno, Korten (1992) dalam Hary Hikmat (2001) mengungkapkan ada tiga dasar perubahan sturktural normatif dalam pembangunan partisipatif yang berpusat pada rakyat, yaitu:
1. Memusatkan pemikiran dan tindakan kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong dan mendukung usaha rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri pada tingkat individual, keluarga dan komunitas
2. Mengembangkan struktur dan proses organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem swaorganisasi
3. Mengembangkan sistem-sistem produksi dan konsumsi yang diorganisasi secaa teritorial yang berlandaskan pada kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.

Prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama (aktor) dalam setiap proses pembangunan. Hal ini berimplikasi pada perlunya restrukturisasi sistem pembangunan sosial, baik pada tingkat mikro, meso, dan makro, sehingga masyarakat tingkat lokal (tingkat mikro) dapat ikut terlibat dalam setiap proses pembangunan sehingga dapat mencipatakan ruang kota yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger