Home » , » Perumahan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perumahan dan Pembangunan Berkelanjutan

Written By Tasrif Landoala on Rabu, 21 Agustus 2013 | 08.47



A.  Perkotaan dan Lingkungan
Kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah; kepadatan penduduknya tinggi; sebagian besar wilayah merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi; serta merupakan kegiatan perekonomian non pertanian (Richardson, 1978). Galion (1986) menyatakan bahwa kota merupakan konsentrasi manusia dalam suatu wilayah geografis tertentu dengan mengadakan kegiatan ekonomi. Dickinson dalam Jayadinata (1992) mengungkapkan bahwa kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan dari hasil pertanian. Kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek (Budihardjo dan Hardjohubodjo, 1993). Royal Swedish Academy of Sciences (1995) menyatakan bahwa suatu kota berkelanjutan adalah:
a.    Mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh lingkungan urban-pedesaan
b.    Memberikan manfaat bagi pelaku individual dalam masyarakat
c.   Kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan dibangun dengan partisipasi public
d.   Konservasi sumberdaya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem
e.    Mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya
f.     Menyediakan akses yang sama terhadap layanan untuk semua warga
g.    Memprioritaskan opsi yang mensinergikan sosio-ekonomi dan pencapaian lingkungan
h.    Mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis; dan
i.      Menghormati ilmu pengetahuan dan kreativitas penduduk lokal.

Berkaitan dengan tataguna lahan perkotaan, Almeida (1998) melakukan penelitian mengenai pemahaman dan pemodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik “pembobotan bukti”.
Variabel-variabel yang menjelaskan, dapat bersifat endogen (melekat di dalam sistem transformasi tataguna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusat-pusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya (Almeida, 1998).
Djayadiningrat (2001) mengungkapkan pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap awal krisis lingkungan akibat manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, dewasa ini dapat dilihat pada berbagai kota besar di Indonesia. Kesemrawutan tataruang kota dapat diamati dari aras (level) yang paling ringan hingga yang paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya. Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu faktor eksogen yang mempengaruhi keputusan para pengembang. Tujuan kebijakan lahan perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh dana masyarakat. Di negara-negara berkembang yang pengendaliannya ditegakkan secara keras, ketersediaan lahan bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket (Winarso, 2002).
Rahardjo (2003) dalam penelitiannya mengenai upaya pengendalian lahan diperkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah tidak baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan maka diperlukan adanya suatu penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif adalah melalui manajemen lahan. Selanjutnya Rahardjo (2003) mengemukakan kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, berakibat tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, dan rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan terbatasnya pasokan lahan, mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti mengkonversi sawah, situ, dan lahan pertanian menjadi lahan perumahan.
Siahaan (2004) dalam kajiannya mengenai indeks konservasi lahan dalam pembangunan perumahan mengatakan bahwa adanya upaya mengambil jalan pintas untuk menguasai pangsa pasar perumahan yang tidak diikuti oleh kesadaran akan adanya bahaya konservasi lahan dan tidak siapnya aspek pengelolaan kawasan mengakibatkan percepatan terhadap kerusakan lingkungan.
Permasalahan perkotaan hasil kajian Ionnides dan Rossi-Hausberg (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan perkotaan sebagai salah satu gejala ekonomi berkaitan dengan proses urbanisasi. Urbanisasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Kajian ruang kegiatan ekonomi yang diukur dengan populasi, output dan pendapatan, pada umumnya terkonsentrasi. Pola-pola konsentrasi variabel-variabel ekonomi dan demografi membentuk beberapa gejala ekonomi perkotaan.
Perpindahan penduduk secara besar-besaran dari pedesaan ke perkotaan telah memicu berbagai pertumbuhan perkotaan di seluruh dunia. Gejala lain adalah kecenderungan hilangnya ruang hijau akibat kurang jelasnya kewenangan pengaturan dan pemanfaatan ruang. Selain itu, timbul berbagai macam kasus seperti taman yang merupakan paru-paru kota diubah fungsinya menjadi kawasan komersial seperti pompa bensin, supermarket atau department store, yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah lingkungan. Dampak yang ditimbulkan sangat menyedihkan, mulai dari ketidaknyamanan penduduk akibat kurangnya sarana dan prasarana lingkungan, kesengsaraan masyarakat akibat banjir, sampai masalah sosial, karena benturan berbagai kepentingan pemanfaatan lahan. Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah upaya-upaya penyusunan tata ruang secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda.
Penelitian mengenai masalah kebijakan pembangunan perkotaan dalam kaitannya dengan lokasi perumahan banyak diarahkan kepada upaya pemerintah kota untuk mengendalikan aktivitas pembangunan perumahan di daerahnya sehingga dapat menunjang rencana induk pengembangan kota yang berkelanjutan. Kota yang nyaman huni adalah sistem perkotaan terpadu dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Ada enam kendala kelembagaan yang dihadapi setiap pemerintah daerah dalam menciptakan kota nyaman-huni, yaitu:
a.    Jurisdiksi yang terpecah-pecah;
b.    Kesinambungan politik yang buruk;
c.    Kerjasama antar pemerintah yang buruk;
d.   Kerjasama lintas sektoral yang buruk;
e.    Ketidakselarasan budaya dan ideologi; dan
f.     Sistem pemerintah daerah yang lemah (Timmer dan Kate, 2006).

Pembangunan perkotaan harus memperhatikan konsep berkelanjutan. Berkenaan dengan pembangunan kota berkelanjutan Timmer dan Kate (2006) mengajukan gagasan mengenai Inisiatif Kawasan Berkelanjutan (IKB).

B.  Perumahan dan Permukiman
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman disebutkan pengertian dasar istilah perumahan dan permukiman. Perumahan dimaksudkan sebagai suatu kelompok rumah yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000-2020 antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat, 1999). Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa perumahan dan permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya hal tersebut sering terabaikan, sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan perumahan yang kontributif terhadap tujuan penataan ruang. Berdasarkan pengertian dasar tersebut tampak bahwa batasan aspek perumahan dan permukiman sangat terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) adalah telah terjadi:
a.    Alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat;
b.    Ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan;
c.    Konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan;
d.   Masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam; dan
e.  Komunitas lokal tersisih, dengan orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan.

Tantangan perkembangan pembangunan perumahan yang akan datang antara lain:
a. Urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata;
b.    Perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh;
c.    Marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan
d.   Kegagalan implementasi dan kebijakan penentuan lokasi perumahan (Kirmanto, 2005).

Setelah lokasi perumahan ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, perlu dibuat rencana tapak (site planning), agar dalam jangka panjang perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana tapak ini penting, karena akan menentukan bentuk kota, dapat menciptakan kemudahan atau kesukaran bagi para penghuni, serta dapat mempengaruhi tingkah laku penghuni di lokasi perumahan tersebut. Pengadaan perumahan, baik yang dilakukan oleh sektor formal maupun informal, didasarkan atas kebutuhan rumah. Pengusaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyediakan rumah berbagai tipe untuk berbagai kelompok masyarakat dengan mempertimbangkan kemampuan dan keterjangkauan daya beli masyarakat untuk membeli rumah.

C.  Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk mendapatkan kesempatan hidup (Djayadiningrat, 2001). Arsyad (2005) menyatakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi mendatang . Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal menurut Djayadiningrat (2001) membutuhkan pencapaian hal-hal sebagai berikut:
a.    Keberlanjutan ekologis;
b.    Keberlanjutan ekonomi;
c.    Keberlanjutan sosial budaya;
d.   Keberlanjutan politik; dan
e.    Keberlanjutan pertahanan keamanan.

Menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan sangat krusial karena aktivitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia dengan memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi (Urban and Regional Development Institute, URDI, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan perpaduan antara aspek teknis, ekonomis, sosial dan ekologis yang dituangkan dalam perumusan kebijakan nasional (Arsyad, 2005).
International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen-elemen kunci bagi kehidupan, seperti: pangan yang cukup, sandang, pemukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengkombinasikan kebutuhan mendesak dengan pentingnya melindungi lingkungan (Saroso, 2002). Karakteristik pembangunan kota berkelanjutan adalah:
a.    Tataguna lahan terintegrasi dengan rencana transportasi;
b.    Pola tata guna lahan mendukung pembangunan yang efisien;
c.    Pola tataguna lahan yang membantu melindungi sumberdaya air;
d.   Kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang;
e.    Kota yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian;
f.     Mendukung kota lebih kompak (Saroso, 2002).

Keberlanjutan (sustainability) adalah menyeimbangkan upaya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan keharusan untuk menyisakan warisan positif kepada generasi di masa yang akan datang, menyadari bahwa semua komponen ekonomi, lingkungan dan sosial itu sebenarnya saling berkaitan dan tidak dapat digarap sendiri-sendiri, dan menekankan perlunya mengembangkan sebuah pendekatan kemitraan terhadap semua permasalahan (Timmer dan Kate, 2006). Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan diartikan sebagai pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005).
Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu:
a. Pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung-jawabkan (socially and culturally suitable and accountable);
b.    Pembangunan yang secara politis dapat diterima (politically acceptable);
c.    Pembangunan yang layak secara ekonomis (economically feasible), dan
d.   Pembangunan yang bisa dipertanggung-jawabkan dari segi lingkungan (environmentally sound and sustainable).

Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, baik sosial maupun ekonomi (Soenarno, 2004). Untuk mencapai keberlanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak dapat lagi memecahkan permasalahannya sendiri. Peran pemerintah kota semakin lama akan semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya, sistem pelaku majemuk akan menggantikan sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Di masa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial (“modal sosial”) yang terus terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu : menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korup; menurunkan sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah (Alexander et al., 2006).


Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger