Home » , » Tata Ruang Pariwisata Indonesia

Tata Ruang Pariwisata Indonesia

Written By Tasrif Landoala on Jumat, 20 September 2013 | 10.13



Perencanaan tata ruang pariwisata (tourism spatial planning) tampaknya kalah perhatian terhadap pemahaman tentang pariwisata sebagai industri dan bisnis, sebagai sumber devisa, dan lainnya. Tourism planning sendiri pun masih relatif baru. Menurut sejarahnya di berbagai negara maju, perkembangan pariwisata diawali dengan tumbuhnya hotel dan penginapan untuk melayani pelaku perjalanan. Ada yang didirikan di sepanjang pantai untuk akomodasi wisatawan yang akan menikmati keindahan alam dan rekreasi pantai, ada pula hotel yang dibangun di lokasi strategis untuk akomodasi pelaku perjalanan yang perlu transit (singgah) sebelum sampai ke tujuannya.
Meski tidak khusus direncanakan, kedua contoh di atas menjelaskan betapa pariwisata menyangkut aspek ruang: mencari lokasi dengan keindahan, mencari “titik lelah” di mana pelaku perjalanan butuh transit. Perjalanan memang senantiasa dilakukan oleh manusia untuk berbagai kepentingan, seperti berdagang, mencari ilmu atau menjawab keingintahuan suatu tempat. Namun berwisata umumnya dipahami sebagai perjalanan untuk leisure and pleasure. Padahal pariwisata menyangkut perjalanan untuk berbagai kepentingan, kecuali perjalanan awak pesawat, perjalanan diplomatic atau perjalan rutin mencari nafkah, sekolah dan rutinitas lainnya.
Perkembangan selanjutnya dapat dilihat dengan semakin banyaknya orang berwisata dan berbagai tempat menawarkan liburan. Fenomena ini menumbuhkan berbagai kegiatan lain di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan maupun masyarakat setempat yang ikut tumbuh dengan maraknya sarana akomodasi. Urbanisasi yang terjadi di berbagai tempat, tak urung memicu konflik kepentingan antara kebutuhan masyarakat dan wisatawan, antara sarana komersial dan sarana sosial.
Konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya lainnya (air), ketimpangan pelayanan dan sebagainya menguatkan kesadaran perlunya perencanaan yang matang. Perencanaan yang meletakkan pengembangan kepariwisataan dalam konteks pengembangan wilayah lebih luas. Perencanaan komprehensif yang melihat kaitan ke depan dan ke belakang terhadap pengembangan industri pariwisata. Dari sisi lain, juga perlu persiapan mengantisipasi hubungan antara tuan rumah/masyarakat dengan wisatawan. Persoalan kerap muncul ketika pariwisata menjangkau wilayah yang semula terisolir, tempat alami untuk melepas suasana urban yang menimbulkan berbagai tekanan bagi masyarakat atau bagi lingkungan. Tempat-tempat di berbagai negara berkembang menjadi sasaran itu, kemudian masyarakat setempat kerap termarjinalkan.
Perkembangan yang kental diwarnai oleh pandangan ekonomi. Pariwisata dipandang sebagai industri dan bisnis yang menjanjikan keuntungan bagi negara, pemerintah lokal dan pengusaha. Industri dan bisnis yang dirangsang permintaan pasar. Pada gilirannya, daya dukung kerap terlampaui. Tidak jarang terjadi, lingkungan alam dan peninggalan budaya yang semula menjadi daya tarik utama, kemudian menjadi “korban”. Lokasi pariwisata tumbuh dinamis dan terus berubah. Tempat yang overcrowded ditinggalkan, wisatawan mencari lokasi baru, lokasi lama menjadi sasaran wisatawan kelas/kelompok lain. Tempat lama yang bermasalah ditinggalkan, dicari tempat baru untuk sasaran kunjungan baru lagi.
Kota besar pun tumbuh menjadi sasaran kunjungan wisatawan dari berbagai negara atau bagian negara lain dengan daya tarik yang berbeda. Berbagai peninggalan budaya atau justru modernitas dan segala kelengkapan sarana rekreasi dan hiburan menjadi daya tarik. Dalam mengikuti proses suburbanisasi yang menyebabkan banyak pusat-pusat kota industri ditinggalkan, kemudian muncul kreativitas mengubah tempat ini menjadi pusat rekreasi memanfaatkan gedung bersejarah atau mengubah pelabuhan lama menjadi pusat rekreasi dan hiburan. Muncul pula berbagai model pengembangan lain. Kegiatan rekreasi tidak hanya dikembangkan dalam satu area, tetapi dalam satu gedung secara terpadu dengan kegiatan perdagangan dan berbagai layanan lain, menjadikan tempat semacam ini menjadi sasaran kunjungan penduduk maupun pendatang.
Tempat wisata memanfaatkan segala bentuk, mulai dari lokasi di pegunungan, pantai, pulau kecil, pusat kota, seluruh bagian kota, kawasan subur antarkota hingga tempat terpencil. Perhatian untuk menatanya semakin mendesak, maka berkembanglah pemahaman terhadap kebutuhan perencanaan, sebagai bagian dari tanggapan terhadap permasalahan yang timbul di sana sini.
Situasi dilematis pun timbul. Di satu sisi, pariwisata dipandang sebagai industri terbesar di dunia yang menciptakan lapangan kerja luas. Pada sisi lain, sosiolog meneriakkan ketimpangan perolehan manfaat antara tuan rumah dan tamunya. Para pecinta lingkungan gundah melihat dampak pariwisata terhadap lingkungan di berbagai tempat. Maka, seyogyanya, perencanaan ruang yang mempertimbangkan berbagai dimensi dan sudut pandang, menjadi sangat diperlukan. Namun, karena tata ruang juga dihadapkan pada berbagai persoalan lain, ada pun pariwisata hanyalah salah satu kegiatan penggunaan lahan, para perencana juga terbagi perhatiannya.
Nampaknya, kebutuhan lain seperti perumahan, transportasi, perdagangan dan industri manufaktur dipandang lebih mendesak daripada sekadar mencari “hiburan dan kesenangan”. Masalah yang kemudian timbul, pariwisata kurang diperbincangkan oleh para perencana. Sementara itu, pakar pariwisata cenderung berorientasi memikirkan pengembangan kreativitas untuk memuaskan wisatawan, dengan pandangan bisnis yang berorientasi untuk menangguk keuntungan ekonomis. Dengan demikian, kepentingan pelanggan menjadi lebih utama daripada kepentingan masyarakat.
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger