Perencanaan tata ruang pariwisata (tourism spatial planning) tampaknya kalah perhatian terhadap
pemahaman tentang pariwisata sebagai
industri dan bisnis, sebagai sumber devisa, dan lainnya. Tourism planning sendiri
pun masih relatif baru. Menurut
sejarahnya di berbagai negara maju, perkembangan pariwisata diawali dengan tumbuhnya hotel dan penginapan untuk melayani pelaku perjalanan. Ada yang
didirikan di sepanjang pantai untuk
akomodasi wisatawan yang akan menikmati keindahan alam dan rekreasi pantai, ada pula hotel yang dibangun di lokasi
strategis untuk akomodasi pelaku
perjalanan yang perlu transit (singgah) sebelum
sampai ke tujuannya.
Meski tidak khusus direncanakan, kedua
contoh di atas menjelaskan betapa
pariwisata menyangkut aspek ruang: mencari
lokasi dengan keindahan, mencari “titik lelah” di mana pelaku perjalanan butuh transit. Perjalanan
memang senantiasa dilakukan oleh
manusia untuk berbagai kepentingan, seperti berdagang, mencari ilmu atau menjawab keingintahuan suatu tempat. Namun berwisata umumnya dipahami sebagai
perjalanan untuk leisure and pleasure. Padahal pariwisata
menyangkut perjalanan untuk berbagai kepentingan,
kecuali perjalanan awak pesawat, perjalanan diplomatic atau perjalan rutin mencari nafkah, sekolah dan rutinitas lainnya.
Perkembangan selanjutnya dapat dilihat
dengan semakin banyaknya orang
berwisata dan berbagai tempat menawarkan
liburan. Fenomena ini menumbuhkan berbagai kegiatan lain di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan maupun masyarakat setempat
yang ikut tumbuh dengan maraknya sarana akomodasi.
Urbanisasi yang terjadi di berbagai tempat, tak urung memicu konflik kepentingan antara kebutuhan
masyarakat dan wisatawan, antara
sarana komersial dan sarana sosial.
Konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya
lainnya (air), ketimpangan pelayanan
dan sebagainya menguatkan kesadaran perlunya
perencanaan yang matang. Perencanaan yang meletakkan pengembangan kepariwisataan dalam konteks pengembangan wilayah lebih luas. Perencanaan
komprehensif yang melihat kaitan ke depan
dan ke belakang terhadap pengembangan industri pariwisata. Dari sisi lain, juga perlu persiapan mengantisipasi hubungan antara tuan rumah/masyarakat dengan
wisatawan. Persoalan kerap muncul
ketika pariwisata menjangkau wilayah yang semula terisolir, tempat alami untuk melepas suasana urban yang menimbulkan berbagai tekanan bagi masyarakat atau
bagi lingkungan. Tempat-tempat di
berbagai negara berkembang menjadi sasaran itu, kemudian masyarakat setempat kerap termarjinalkan.
Perkembangan yang kental diwarnai oleh
pandangan ekonomi. Pariwisata dipandang
sebagai industri dan bisnis yang menjanjikan
keuntungan bagi negara, pemerintah lokal dan pengusaha. Industri dan bisnis yang dirangsang permintaan pasar. Pada gilirannya, daya dukung kerap
terlampaui. Tidak jarang terjadi, lingkungan
alam dan peninggalan budaya yang semula menjadi daya tarik utama, kemudian menjadi “korban”. Lokasi pariwisata tumbuh dinamis dan terus berubah. Tempat yang
overcrowded ditinggalkan, wisatawan mencari lokasi baru, lokasi
lama menjadi sasaran wisatawan
kelas/kelompok lain. Tempat lama yang bermasalah ditinggalkan, dicari tempat baru untuk sasaran kunjungan baru
lagi.
Kota besar pun tumbuh menjadi sasaran
kunjungan wisatawan dari berbagai
negara atau bagian negara lain dengan daya
tarik yang berbeda. Berbagai peninggalan budaya atau justru modernitas dan segala kelengkapan sarana rekreasi dan hiburan menjadi daya tarik. Dalam mengikuti
proses suburbanisasi yang menyebabkan
banyak pusat-pusat kota industri ditinggalkan, kemudian muncul kreativitas mengubah tempat ini menjadi pusat rekreasi memanfaatkan gedung
bersejarah atau mengubah pelabuhan
lama menjadi pusat rekreasi dan hiburan.
Muncul pula berbagai model pengembangan lain. Kegiatan rekreasi tidak hanya dikembangkan dalam satu area, tetapi dalam satu gedung secara terpadu dengan
kegiatan perdagangan dan berbagai
layanan lain, menjadikan tempat semacam ini menjadi sasaran kunjungan penduduk maupun pendatang.
Tempat wisata memanfaatkan segala
bentuk, mulai dari lokasi di
pegunungan, pantai, pulau kecil, pusat kota, seluruh bagian kota, kawasan subur antarkota hingga tempat
terpencil. Perhatian untuk menatanya
semakin mendesak, maka berkembanglah pemahaman terhadap kebutuhan perencanaan, sebagai bagian dari tanggapan terhadap permasalahan yang timbul di
sana sini.
Situasi dilematis pun timbul. Di satu
sisi, pariwisata dipandang sebagai
industri terbesar di dunia yang menciptakan lapangan kerja luas. Pada sisi lain, sosiolog meneriakkan ketimpangan perolehan manfaat antara tuan rumah dan tamunya.
Para pecinta lingkungan gundah
melihat dampak pariwisata terhadap lingkungan di berbagai tempat. Maka, seyogyanya, perencanaan ruang yang mempertimbangkan berbagai dimensi dan
sudut pandang, menjadi sangat
diperlukan. Namun, karena tata ruang
juga dihadapkan pada berbagai persoalan lain, ada pun pariwisata hanyalah salah
satu kegiatan penggunaan lahan, para perencana juga terbagi perhatiannya.
Nampaknya, kebutuhan lain seperti
perumahan, transportasi, perdagangan
dan industri manufaktur dipandang lebih mendesak daripada sekadar mencari “hiburan dan kesenangan”. Masalah yang kemudian timbul,
pariwisata kurang diperbincangkan
oleh para perencana. Sementara itu, pakar
pariwisata cenderung berorientasi memikirkan pengembangan kreativitas untuk memuaskan wisatawan,
dengan pandangan bisnis yang
berorientasi untuk menangguk keuntungan ekonomis. Dengan demikian, kepentingan pelanggan menjadi lebih utama daripada kepentingan masyarakat.