Pada akhir abad ke-20 globalisasi
industri telah membawa dampak yang
luar biasa pada perkembangan sosial ekonomi maupun fisik kota dan wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Hal
ini tercermin antara lain dengan
semakin meningkatnya permintaan lahan
untuk kawasan industri dan permukiman-permukiman baru, sebagai konsekuensi kian meningkatnya penanaman modal, khususnya modal asing, dalam
sektor-sektor industri, jasa, dan properti.
Hal ini sangat mudah dimengerti karena
industri manufaktur maupun properti
keberadaannya sangat mengelompok di kota-kota besar dan wilayah sekitarnya, karena fasilitas fasilitasnya berada
di sana. Akibatnya kota-kota besar
di Jawa, seperti Jabotabek, Gerbang kertasusila
dan Bandung Raya, mengalami perkembangan
yang luar biasa. Mudah pula dimengerti kalau secara fisik perkembangan yang terjadi adalah pada
bagian tepi (outskirts) kotakota besar tersebut, karena faktor ‘kemudahan’
dalam memperoleh lahan yang lebih murah.
Kawasan pusat kota secara besar-besaran
juga mengalami pergeseran fungsi,
dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis, keuangan dan jasa. Industri manufaktur bergeser
ke arah tepi kota. Permukiman di
pusat kota beralih fungsi menjadi kawasan
bisnis, supermall, perkantoran dan sebagainya, sedangkan permukiman begeser ke arah pinggir kota. Namun demikian perlu dicatat bahwa perkembangan kegiatan
industri di tepi kota-kota besar merupakan
industri yang bersifat footloose,
yakni jenis industri yang keterkaitannya
dengan bahan baku lokal serta perekonomian lokal sangat lemah, misalnya industri-industri barang elektronik,
garmen, sepatu dan sebagainya,
dimana bahan bakunya dipasok dari luar negeri.
Keterkaitan dengan ekonomi lokal hanya sebatas penyediaan tenaga kerja murah.
Tidak mengherankan pula kalau arus
migrasi menuju kota-kota besar
semakin meningkat, terutama buruh wanita yang bekerja di industri-industri tersebut, yang pada gilirannya menyebabkan pertambahan pesat penduduk di
kota-kota tersebut, terutama di bagian
tepinya (Firman, 2003). Untuk kasus Jabotabek, hal tersebut ditunjukkan dengan sangat tingginya laju pertambahan penduduk di kabupaten dan kota sekitar Jakarta,
seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok.
Sementara itu pertambahan penduduk di Kota Jakarta sendiri relatif sangat kecil, bahkan Sensus Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa laju pertambahan penduduk
wilayah Jakarta Pusat selama kurun
1990-2000 menunjukkan angka yang negatif (BPS, 2000).
Fenomena tata ruang lainnya yang dapat
diobservasi saat itu bahkan hingga
kini adalah konversi lahan pertanian subur di pinggiran kota menjadi kawasan industri dan permukiman baru. Hal ini terjadi pada skala besar-besaran
dan tidak terkontrol, sementara rencana
tata ruang wilayah hanya sebagai macan kertas. Konversi ini bahkan terjadi di kawasan yang berfungsi lindung, seperti Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) dan Bandung
Utara. Rencana tata ruang dalam
kenyataannya sangat dikendalikan oleh para developer, yang hanya beorientasi pada bisnis lahan ketimbang pengembangan tata ruang wilayah. Pada saat itu
pemerintah kota dan kabupaten maupun badan
Pertanahan nasional (BPN) seolah-olah tidak berdaya menghadapi tekanan dari developer. Suatu contoh adalah rencana pengembangan permukiman yang kontroversial di Jonggol, yang direncanakan untuk menjadi pusat
pemerintahan nasional. Namun demikian,
pada akhirnya rencana kontroversial ini dibatalkan pemerintah.
Wujud tata ruang perkembangan wilayah
dan kota di Jawa ditandai dengan
semakin intensifnya hubungan kota-desa. Perbedaan
kota dan desa secara fisik semakin tidak jelas. Demikian juga kegiatan sosio-ekonomi masyarakat perdesaan tidak selalu indentik dengan agraris (pertanian),
tapi sudah merupakan suatu campuran
dengan kegiatan bukan pertanian. Kehidupan masyarakat perdesaan juga diwarnai dengan semakin berkembangnya kegiatan off-farm
employment. Hal ini dikarenakan semakin terbukanya kesempatan-kesempatan kerja di luar pertanian, sementara sempitnya lahan pertanian yang mereka
miliki tidak memungkinkan dijadikan
sebagai gantungan kehidupan sepenuhnya. Dapat
pula diamati bahwa perkembangan sosioekonomi serta fisik kawasan-kawasan tepi kota telah membentuk kecenderungan perkembangan sabuk (belt) wilayah perkotaan yang
menghubungkan kota-kota besar,
seperti misalnya sabuk Jakarta-Bandung; Semarang-Solo-Yogyakarta;
Semarang-Surabaya dan lainnya.
Perkembangan ini berjalan seolah tanpa
kendali, karena memang rencana tata
ruang hampir-hampir tidak berdaya mengendalikannya. Di wilayah luar Jawa yang menonjol adalah perkembangan wilayah Pulau Batam yang melaju pesat.
Tidak mengherankan hal ini terjadi,
karena Batam merupakan bagian dari Segitiga Pertumbuhan Sijori (Singapura-Johor-Riau). Kelangkaan lahan di Singapura, menyebabkan investor menanamkan
investasinya di Batam. Proses ini
ditunjang kerja sama Singapura, Malaysia dan Indonesia. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan Batam
berkembang menjadi suatu konsentrasi
kegiatan industri di luar Pulau Jawa. Sementara itu,
Batam juga mengalami laju pertumbuhan
penduduk pesat, yakni 15,6% per
tahun dalam kurun waktu tahun 1990-2000 (Badan Pusat Statistik, 2000), karena derasnya laju pendatang yang tertarik kesempatan kerja di sana, terutama
dari Pulau Jawa. Hal ini merupakan
salah satu penyebab munculnya berbagai masalah perkotaan di Batam, seperti rumah liar (ruli), kriminalitas dan
lainnya. Wilayah di luar Jawa yang
menonjol perkembangnnya adalah Kalimantan
Timur, yang tumbuh karena potensi minyak, gas bumi serta kayu (timber). Proporsi jumlah penduduk perkotaan, sering disebut tingkat urbanisasi, propinsi
ini mencapai 57,6% pada tahun 2000
(BPS, 2000), suatu tingkat yang tinggi dibanding propinsi lain, kecuali DKI Jakarta. Sementara itu,
laju kenaikan penduduknya mencapai
2,74% per tahun pada kurun waktu tahun 1990-2000, suatu angka yang tinggi bila dibanding laju kenaikan penduduk Indonesia keseluruhan sebesar 1,35%
per tahun. Hal ini mencerminkan
berkembangnya kegiatan ekonomi pada sector
minyak dan gas bumi, serta sumberdaya mineral, yang pada dasarnya digerakkan investasi dari
luar negeri. Ini pun mencerminkan bagaimana
aliran investasi, sebagai bagian dari globalisasi, mempengaruhi perkembangan di Propinsi tersebut, dan tata ruang nasional. Perkembangan ini pada
gilirannya telah mendorong pertumbuhan
kota Balikpapan dan Samarinda.
Propinsi lain yang berkembang pesat
karena dampak global, antara lain,
Bali dan Sumatera Utara. Bali yang merupakan salah satu pusat tourisme dunia, telah mencapai tingkat urbanisasi
hampir 50% pada tahun 2000, yang
berarti dalam sekitar setengah penduduk
Bali bermukim di kawasan yang dikategorikan sebagai urban.
Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk
Kabupaten Badung yang merupakan
lokasi perhotelan dan kegiatan pariwisata
lainnya mencapai 2,77% per tahun selama kurun waktu tahun 1990-2000.
Perkembangan kegiatan ekonomi di Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Jelas bahwa setiap goncangan yang berdampak pada pariwisata, seperti
misalnya terorisme atau wabah penyakit,
berdampak pada perkembangan ekonomi di Bali. Contohnya, peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 berdampak buruk pada
perekonomian Bali. Sementara itu, Propinsi Sumatera Utara perkembangan ekonominya ditunjang potensi perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Propinsi yang berada di perbatasan juga
memiliki potensi memanfaatkan dampak
positif globalisai, seperti misalnya Propinsi Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Malaysia, serta Propinsi Sulawesi Utara yang berbatas dengan
Filipina. Namun demikian hingga saat
ini tampaknya dampak-dampak tersebut belum bekerja penuh. Beberapa Propinsi lain yang berbatasan dengan Malaysia dan Thailand pernah direncanakan
dikembangkan melalui kerjasama BIMP-EAGA
(Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan
Philippines-East ASEAN Growth Area), pada pertengahan tahun 1990-an, namun kemudian tidak
terealisasi dengan baik karena berbagai kendala,
terutama sejak krisis ekonomi melanda Asia.
Demikian pula kerjasama interregional
lintas batas negara, juga pernah
dilakukan untuk Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Area (IMT-GT). Daerah-daerah yang terlibat dalam kerja sama ini adalah Propinsi yang terletak di
Sumatera bagian utara, yang meliputi,
Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, dan Aceh. Namun demikian, saat ini, kerja sama terkendala krisis ekonomi yang
belum pulih hingga pertengahan tahun
2003.