Pada
dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek penting, yaitu
tanah/lahan, rumah/perumahan, komunitas, prasarana dan sarana dasar, yang
terajut dalam suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik dalam suatu
ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem kota. oleh
karena itu permukiman kumuh harus senantiasa dipandang secara utuh dan integral
dalam dimensi yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang menjadi
penyebab tumbuhnya permukiman adalah sebagai berikut:
1. Faktor
Urbanisasi dan Migrasi Penduduk
Substansi
tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi wilayah desa menjadi kota sebagai
dampak dari tingkat keurbanan (kekotaan) dalam suatu wilayah (region) atau negara. Konsekuensinya
adalah terjadi perpindahan penduduk (dengan aktifitas ekonominya) secara
individu atau kelompok yang berasal dari desa menuju kota atau daerah hinterland lainnya. Hal ini perlu
dibedakan dengan pengertian tingkat pertumbuhan kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate) kenaikan penduduk kota, baik skala mandiri maupun kebersamaan
secara nasional.
Ukuran
tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks kependudukan yaitu dengan
memproporsikan antara jumlah penduduk perkotaan terhadap jumlah penduduk
nasional. Tetapi masalah urbanisasi tidak harus diinterpretasikan dalam konteks
kependudukan semata, kenyataannya harus mencakup dimensi perkembangan dan kondisi
sosial, ekonomi masyarakat, bahkan lebih jauh mencakup pula aspek budaya dan
politik. Pada intinya dalam aspek kegiatan ekonomi, pengertian urbanisasi
merupakan substansi pergeseran atau transformasi perubahan corak sosio-ekonomi
masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa-jasa (Tommy Firman, 1996).
Rumusan
beberapa faktor secara umum yang dapat mempengaruhi terjadinya proses
keurbanan, antara lain :
a.
Ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi
antara desa dengan perkotaan
b.
Peluang dan kesempatan kerja yang lebih
terbuka di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan,
c. Terjadinya pola perubahan minat tentang
lapangan pekerjaan dari pertanian ke industri, utamanya bagi penduduk usia
kerja di perdesaan,
d.Lebih majunya teknologi dan infrastruktur
prasarana transportasi, sehingga memudahkan terjadinya mobilitas penduduk baik
yang permanen atau yang ulang alik,
e.
Keberadaan fasilitas perkotaan yang lebih
menjanjikan, utamanya aspek pendidikan, kesehatan, pariwisata dan aspek sosial
lainnya.
Proses
urbanisasi perkotaan adalah suatu gejala umum yang dialami oleh negara-negara
sedang berkembang. Proses pembangunan yang berlangsung relatif pesat. Karena
daya tarik kota sangat kuat, baik yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis.
Keadaan daerah perdesaan yang serba kekurangan merupakan pendorong yang kuat
dalam meningkatnya arus urbanisasi ke kota-kota besar.
Bagi kota yang mulai padat penduduknya, pertambahan penduduk tiap tahunnya jauh melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam wilayahnya sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota. Tekanan ekonomi dan kepadatan tinggal bagi kaum urban memaksa mereka menempati daerah-daerah pinggiran (slum area) hingga membentuk lingkungan permukiman kumuh.
Bagi kota yang mulai padat penduduknya, pertambahan penduduk tiap tahunnya jauh melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam wilayahnya sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota. Tekanan ekonomi dan kepadatan tinggal bagi kaum urban memaksa mereka menempati daerah-daerah pinggiran (slum area) hingga membentuk lingkungan permukiman kumuh.
Migrasi
sebenarnya telah berkembang dan berbagai ahli telah banyak membahas tentang
teori migrasi tersebut dan sekaligus melakukan penelitian tentang migrasi. Lee
dalam Yoeliani, P (1966) mendekati migrasi dengan formula yang lebih terarah.
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk bermigrasi dapat dibedakan atas
kelompok sebagai berikut :
a.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
tempat asal migran.
b.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat
tujuan migran (destination)
c.
Faktor-faktor penghalang atau pengganggu (intervening factors)
d.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan
individu migran.
Faktor-faktor
yang ada di tempat asal migran maupun di tempat tujuan migran dapat terbentuk
faktor positif maupun faktor negatif. Faktor-faktor di tempat asal migran
misalnya dapat berbentuk faktor yang mendorong untuk keluar atau menahan untuk
tetap dan tidak berpindah. Di daerah tempat tujuan migran fakor tersebut dapat
berbentuk penarik sehingga orang mau datang kesana atau menolak yang
menyebabkan orang tidak tertarik untuk datang. Tanah yang tidak subur,
penghasilan yang rendah di daerah tempat asal migran merupakan pendorong untuk
pindah. Namun rasa kekeluargaan yang erat, lingkungan sosial yang kompak
merupakan faktor yang menahan agar tidak pindah. Upah yang tinggi, kesempatan
kerja yang menarik di daerah tempat tujuan migran merupakan faktor penarik
untuk datang kesana namun ketidakpastian, resiko yang mungkin dihadapi,
pemilikan lahan yang tidak pasti dan sebagainya merupakan faktor penghambat
untuk pindah ke tempat tujuan migran tersebut.
Keberadaan
penduduk migran di permukiman kumuh yang menempati lahan milik pemerintah atau
milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut
hunian liar (squatter). Hal ini jelas
telah menimbulkan konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung
jawab atas lahan yang ditempatinya, Meskipun mereka tinggal pada permukiman
liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya
telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga
telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang
demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot Kendari maupun pemilik lahan untuk
membebaskan permukiman demikian.
Penduduk
pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi kontribusi negatif
terhadap kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman kumuh
dengan segala implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi kontribusi
positif bagi pembangunan Kota. Kota Kendari telah memperoleh alokasi sumberdaya
manusia dari daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati
kualitasnya rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan
yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan
produksi skala rumah tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal
maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun
sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan.
Keberadaan permukiman kumuh yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat
membantu penduduk kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai
daerah golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang
relatif murah.
2. Faktor
Lahan di Perkotaan
Pertumbuhan
dan perkembangan kota yang sangat pesat telah menyebabkan berbagai persoalan
serius diantaranya adalah permasalahan perumahan. Permasalahan perumahan sering
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan unit hunian bagi kaum mampu
dan kaum tidak mampu di perkotaan. Di samping itu sebagian kaum tidak mampu
tidak menguasai sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga kaum
tidak mampu ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian sub standar di permukiman
yang tidak layak.
Permasalahan
perumahan di atas semakin memberatkan kaum tidak mampu ketika kebijakan
investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus mekenisme pasar tanpa
mempertimbangkan secara serius pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi kaum
miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan yang salah, semata-mata
berpihak pada kaum mampu pada akhirnya mendorong lingkungan permukiman kaum
tidak mampu yang tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan
masalah sosial lainnya.
3. Faktor
Prasarana dan Sarana Dasar
Secara
umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai juga oleh tidak memadainya kondisi
sarana dan prasarana dasar seperti halnya suplai air bersih, jalan, drainase,
jaringan sanitasi, listrik, sekolah, pusat pelayanan kesehatan, ruang terbuka,
pasar dan sebaginya. Bahkan hampir sebagian besar rumah tangga di lingkungan
permukiman kumuh ini mampunyai akses yang sangat terbatas terhadap pelayanan
sarana dan prasarana dasar tersebut.
Rendahnya
kemampuan pelayanan sarana dan prasarana dasar ini pada umumnya disebabkan
kemampuan pemerintah yang sangat terbatas dalam pengadaan serta pengelolaan
sarana dan prasarana lingkungan permukiman, kemampuan dan kapasitas serta
kesadaran masyarakat juga terbatas pula. Bahkan juga disebabkan pula oleh
terbatasnya peran berbagai lembaga maupun individu atau pihak di luar
pemerintah, baik secara profesional atau sukarela dalam peningkatan
permasalahan sarana dan prasarana dasar.
4. Faktor
Sosial Ekonomi
Pada
umumnya sebagian besar penghuni lingkungan permukiman kumuh mempunyai tingkat
pendapatan yang rendah karena terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang
ada. Tingkat pendapatan yang rendah ini menyebabkan tingkat daya beli yang
rendah pula atau terbatasnya kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan
prasarana dasar.
Di
sisi lain, pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman kumuh yang sebagian
besar berpenghasilan rendah itu memiliki potensi berupa tenaga kerja kota yang
memberikan konstribusi sangat signifikan terhadap kegiatan perekonomian suatu
kota. aktivitas ekonomi di sektor informal terbukti telah memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan produksi melalui sektor
informal.
Dengan
demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan permukiman kumuh yang rendah
ini merupakan permasalahan yang serius keberlangsungan produtivitas suatu kota.
Permasalahan sosial ekonomi merupakan salah satu pendorong meningkatnya arus
urbanisasi dari desa ke kota, dari daerah pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi
sehingga menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh baru.
Ketidakmampuan
ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga menjadi faktor penyebab
munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan maupun di daerah pesisir.
Keterbatasan penghasilan akibat dari semakin sulintya mencari pekerjaan
didaerah perkotaan membuat masyarakat yang berada di garis kemiskinan semakin
kesulitan untuk menyediakan perumahan yang layak huni bagi mereka sendiri.
Ketika
kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, Masyarakat berusaha dengan orientasi
memenuhi kebutuhan hidup. Dan, ketika mereka berhadapan dengan keterbatasan
pekerjaan formal yang jelas strukturnya, mereka menciptakan pekerjaan-pekerjaan
informal yang memberi peluang untuk melangsungkan kehidupan. Tercukupinya
kebutuhan hidup adalah konsep sederhana tentang kebahagiaan yang dimiliki oleh
kaum miskin. Namun, dalam usaha mereka tersebut, mereka berhadapan dengan roda
pembangunan ciptaan penguasa yang tidak berpihak pada mereka.
Persoalan
ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas urbanisasi, lonjakan pengangguran,
serta tingginya tuntutan dan biaya hidup yang memaksa manusia kota kreatif
untuk berusaha di bidang ekonomi. Berdasar survei BAPPENAS pada 2002, kuantitas
pekerja di sektor informal selalu paralel dengan tingkat Pemutusan Hubungan
Kerja serta angka pengangguran. Semakin tinggi angka Pemutusan Hubungan Kerja
dan tingkat pengangguran, berarti jumlah Pekerja pada sektor informal juga akan
bertambah. Urbanisasi juga menyumbang pertambahan pekerja pada sektor informal
lantaran para pendatang dari perdesaan umumnya tak memiliki keterampilan yang
memadai di sektor formal. (Jawa Pos, 17/02/06).
Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan dipinggiran kota saja, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi informal adalah cara melakukan sesuatu yang ditandai dengan :
Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan dipinggiran kota saja, tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi informal adalah cara melakukan sesuatu yang ditandai dengan :
a.
Mudah untuk dimasuki
b.
Bersandar pada sumber daya local
c.
Usaha milik sendiri
d.
Operasinya dalam skala kecil
e.
Padat karya dan teknologinya bersifat
adaptif
f.
Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem
sekolah formal
g.
Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya
bersifat kompetitif.
Aktivitas-aktivitas
sektor informal pada umumnya dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali
diatur oleh aturan yang ketat, dan terkadang tidak diperhatikan oleh pemerintah.
Menurut Daldjoeni (1987), mereka yang masuk ke dalam sektor informal adalah
mereka yang harganya berada di kelas dua, artinya bahwa mereka yang orientasi
pemasarannya untuk golongan menengah ke bawah. Untuk itu, mereka harus lebih
diformalkan, lebih dipadatmodalkan, lebih ditatabukukan, lebih dibadanhukumkan,
dan lebih dikenai pajak.
Secara
implisit dalam kegiatan perdagangan, kegiatan informal dalam bentuk pedagang
kaki lima. Ditinjau dari karakteristik kehadirannya, timbul sektor informal
karena :
1. Tingkat persaingan pekerjaan yang tidak
diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai.
2. Tidak adanya hubungan kerja kontrak jangka
panjang seperti halnya yang dimiliki oleh sektor formal, sehingga mengakibatkan
mobilitas angkatan kerja dalam sektor informal menjadi relatif lebih tinggi.
3.
Meningkatnya arus urbanisasi.
Ketidakmampuan
ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, untuk membangun rumah yang layak
huni menambah daftar panjang permasalahan permukiman kumuh diperkotaan dan
daerah pesisir. Jika golongan miskin dianggap tidak mampu untuk membantu
dirinya sendiri dalam membangun rumah yang layak huni maka mereka seharunya
dibantu. Dalam konteks perumahan, kecenderungan ini berarti hanya pemerintah
sajalah yang mampu membangun perumahan yang layak huni bagi masyarakat miskin.
Menurut Turner dalam Alan gilbert dkk, pemerintah sebaiknya membangun perumahan
swadaya. Dan itu akan terjadi manakala masyarakat miskin tersebut memahami peranannya
bahwa perumahan merupakan bagian dari hidup mereka.
5. Faktor
Sosial Budaya
Permukiman
kumuh juga sering ditandai oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang sangat
rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah ini sangat
erat dengan rendahnya tingkat pedapatan penduduk sehingga mambatasi akses
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Di
samping itu struktur sosial penghuni lingkungan permukiman sangat majemuk
dengan beragam norma-norma sosialnya masing-masing. Keragaman ini kadang-kadang
menimbulkan kesalahpahaman, saling tidak percaya antar penghuni, yang
menyebabkan rendahnya tingkat kohesivitas komunitas. Masing-masing mengikuti
struktur hubungan antar sesama dan budaya yang beragam, yang mempengaruhi
bagaimana sebuah individu, keluarga dan tetangga dalam berinteraksi di
lingkungannya. Sehingga kadang-kadang menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga
yang berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan kesejahteraan
bersama.
Konflik
sosial antara warga kota dapat dilihat dari konflik untuk mencari pekerjaan dan
semakin tingginya angka kejahatan dikota membuat kota semakin tidak aman bagi
masyarakat kota. Argumentasi disorganisasi atau nuansa di kota yang aman hampir
tidak dapat dipungkiri bahwa rasa aman hidup dikota semakin hilang. Hal ini
akibat dari perilaku yang terlepas dari kontrol sosial terhadap nilai-nilai
masyarakat. Kaum migran desa-kota cenderung berharap mereka akan mampu
memperbaiki posisi sosial ekonomi mereka ketika melakukan migrasi kekota. Mereka
dipenuhi pikiran untuk memapankan hubungan pekerjaan dan nilai finansial yang
akan didapatkannya ketika berada dikota. Namun perlu diketahui bahwa persaingan
dikota jauh lebih besar dibandingkan dengan di desa (Darsono Wisadirana, 2004).
Masyarakat
yang tidak memiliki kemampuan/skill dan potensi akan tersingkir dari dunia
usaha yang sifatnya formal. Akibatnya untuk mencari pekerjaan mereka
menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dengan bergerak dalam sektor usaha
informal.
Kasus
kejahatan yang dapat terjadi dari konflik sosial adalah akibat semakin
tingginya jurang pemisah antara kaum kaya dan kaum miskin yang tidak mampu
untuk bersaing. Maka muncullah kejahatan sebagai jalan pintas untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih cepat. Pencurian dan perampokkan dipermudah lagi oleh
tidak adanya sosialisasi dengan sikap acuh tah acuh sesama masyakat yang
bersifat individualistis. Dan sesama masyarakat saling tidak kenal dan puas
dengan kehidupan subsistem. Tetapi orang-orang miskin dikota mungkin tidak
memiliki alternatif perkerjaan lain kecuali harus mencuri dan merampok untuk
mempertahankan kehidupan mereka. Kadang ada juga yang secara terorganisir
melakukan perampokkan dan pencurian dengan modus yang berbeda-beda. Konflik
sosial lain akibat tidak adanya lapangan pekerjaan yang dapat menampung kaum
migran adalah dengan melakukan pekerjaan sebagai pemulung atau pekerjaan lain
yang dapat mereka lakukan (Daldjoeni, 1997).
Masyarakat
yang bermigrasi kekota juga membawa nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat desa. Sementara masyarakat kota yang heterogen memiliki cirinya
sendiri. Salah satu ciri masyarakat kota dalam Alan Gilbert mengungkapkan bahwa
ciri masyarakat kota ditandai dengan :
a.
Lebih terbuka terhadap perubahan,
b.
Kota merupakan pintu gerbang ide-ide dan
budaya yang baru,
c.
Masyarakat kota lebih kritis terhadap perubahan
harga barang dan lainnya,
d.
Lebih rasional,
e.
Faktor pendidikan dan informasi sangat
dibutuhkan,
f.
Proses individualisme, lebih mencolok
dibandingkan dengan suasana kekeluargaan,
g.
Aktivitas dan jarak sosial yang lebih padat,
h.
Dikelompokkan oleh kepentingan,
i.
Kerawanan dan berdampak pada persaingan dan
agresivitas,
j.
Keragaman pekerjaan baik dari sektor
industri maupun sektor jasa.
Menurut
Betrand (dalam Darsono Wisadirana, 2005) masyarakat merupakan hasil dari suatu
perubahan budaya dan akumulasi budaya. Jadi masyarakat bukan sekedar jumlah
penduduk saja melainkan sebagai suatu sistem yang dibentuk dari hubungan antar
mereka. Sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Dimana dari hubungan antar mereka ini terbentuk suatu kumpulan
manusuia kemudian menghasilkan suatu budaya. Jadi masyarakat merupakan
sekumpulan orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat
dan kebudayaan sebenarnya merupakan perwujudan dari perilaku manusia. Antara
masyarakat dan kebudayaan dalam kehidupan yang nyata, keduanya tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan sosial bagaikan dua sisi mata uang. Tidak ada
masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan atau sebaliknya tidak ada kebudayaan
tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Kota pun menjadi fokus dari perubahan sosial yang mengisinkan hadirnya kegiatan-kegiatan personal yang menyimpang. Tingkat kejahatan, kenakalan remaja, dan kegiatan menyimpang lainnya menjadi cukup tinggi di daerah perkotaan. Jika sektor informal bisa menampung tenga kerja kaum marginal maka pemerintah kota tidak perlu membatasi mereka untuk mencari penghidupan pada sektor inforal ini. Karena pada kenyataannya meraka tidak mampu untuk ditampung pada sektor formal karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada masyarakat marjinal (Daljoeni, 1997).
Kota pun menjadi fokus dari perubahan sosial yang mengisinkan hadirnya kegiatan-kegiatan personal yang menyimpang. Tingkat kejahatan, kenakalan remaja, dan kegiatan menyimpang lainnya menjadi cukup tinggi di daerah perkotaan. Jika sektor informal bisa menampung tenga kerja kaum marginal maka pemerintah kota tidak perlu membatasi mereka untuk mencari penghidupan pada sektor inforal ini. Karena pada kenyataannya meraka tidak mampu untuk ditampung pada sektor formal karena keterbatasan-keterbatasan yang ada pada masyarakat marjinal (Daljoeni, 1997).
Daerah-daerah
permukiman liar tadi merupakan penerusan dari kehidupan perdesaan yang serba
luwes. Pendudukya lebih gigih mempertahankan tanah yang terlanjur mereka
tempati sehingga sulit untuk melakukan penggusuran. Ciri-ciri sosial ekonomi
kaum penghuni gubug-gubug liar yang tergolong kaum marjinal dan penduduk
termiskin terdiri atas para urbanisan yang paling baru datangnya. Tetapi mereka
merupakan penggerak kota karena bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pelabuhan,
dan buruh kasar yang membuat ekonomi berjalan terus.
Oleh
karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus secara serius melaksanakan
identifikasi asal-usul tumbuh kembangnya lingkungan permukiman tersebut guna
membantu melakukan rekonstruksi nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku
di dalamnya, termasuk keterkaitan dengan konfigurasi struktur sosial budaya
kota.
6. Faktor
Tata Ruang
Dalam
konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari konsfigurasi struktur ruang kota. oleh karena itu, perencanaan
tata ruang kota perlu didasarkan pada pemahaman bahwa pengembangan kota harus
dilakukan sesuai dengan daya dukunya termasuk daya dukung yang relatif rendah di
lingkungan permukiman kumuh.
Investasi
yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota akan menimbulkan dampak yang merusak
lingkungan serta berpotensi mendorong tumbuhkembangnya lingkungan permukiman
kumuh atau kantong-kantong lingkungan permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi
akan menghapus lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung kota yang
mempunyai nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat itu lingkungan
telah mengalami kemerosotan atau memburuk.
7. Faktor
Aksesibilitas
Secara
umum, salah satu penyebab munculnya permukiman kumuh adalah terbatasnya akses
penduduk miskin kepada kapital komunitas (community
capital). Kapital komunitas ini meliputi kapital terbangun, individu dan
sosial serta lingkungan alam.
Kapital
terbangun meliputi informasi, jalan, sanitasi, drainase, jaringan listrik,
ruang terbuka, perumahan, pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah
dan sebagianya. Kapital individu, antara lain meliputi pendidikan, kesehatan
kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara lain meliputi koneksitas
dalam suatu komunitas-cara manusia berinteraksi dan berhubungan dengan lainnya.
Dalam skala lebih luas, sekelompok manusia membentuk organisasi, baik
organisasi sukarela, bisnis melalui perusahaan maupun pemerintah dan
sebagainya, termasuk berbagai sistem sosial yang ada, termasuk kebijakan
pembangunan kota.
Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam, pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa saja yang diambil dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai untuk proses produksi. Pelayanan ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah untuk budidaya tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan untuk pakaian dan sebagainya.
Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam, pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa saja yang diambil dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai untuk proses produksi. Pelayanan ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah untuk budidaya tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan untuk pakaian dan sebagainya.
8. Faktor
Pendidikan
Pendidikan
merupakan salah satu faktor penentu dalam hal pencapaian pekerjaan dan
pendapatan. Meskipun begitu, pendidikan sangat ditentukan oleh pendidikan itu
sendiri dan pekerjaan orang tua untuk mampu menyekolahkan anak mereka pada
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini berarti perbedaan latar belakang
budaya dan sosial ekonomi (pendidikan dan pekerjaan) orang tua tidak hanya
berpengaruh terhadap pendidikan anak. tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan
dan pendapatan mereka. Sedangkan faktor lain seperti : tempat tinggal, agama,
status perkawinan dan status migrasi, serta umur sangat kecil pengaruhnya
terhadap pencapaian pekerjaan dan pendapatan.
Banyak kaum migran
tidak bisa bekerja dengan standar-standar yang tinggi. Sementara persaingan
untuk mencari lapangan kerja sangat tinggi dan kesemuanya dituntut dengan
tingkat propesionalisme dan tingkat pendidikan pula yang harus dapat bersaing
dengan orang lain. Dilain pihak kota-kota di Indonesia memiliki kelebihan
jumlah tenaga kerja yang belum dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan
tinggi maupun mereka yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan
yang tinggi untuk bisa bertahan pada jalur formal. Elemen lain yang juga
menentukan adalah tidak adanya lapangan kerja yang disiapkan oleh pemerintah.
Dampak dari akumulasi kejadian tersebut memunculkan angka pengangguran yang
setiap tahunnya semakin bertambah.