Terdapat hubungan yang sangat erat antara
masyarakat terhadap ruang sebagai wadah kegiatan. Kota sebagai tempat
terpusatnya kegiatan masyarakat, akan senantiasa berkembang baik kuantitas
maupun kualitasnya, sesuai perkembangan kuantitas dan kualitas masyarakat. Hal
tersebut merupakan indikator dinamika serta kondisi pembangunan masyarakat kota
tersebut berserta wilayah di sekitarnya.
Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di
kota telah dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui
pula bahwa di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan
masyarakat, tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan
kehidupan (fisik dan psikhis) masyarakat.
Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang
jalur transportasi, banjir-banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase
oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan
lain-lain yang semua itu sebagai akibat pembangunan yang dilaksanakan tidak
secara terpadu antara satu sektor dengan sektor lainnya. Di samping itu izin
pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan
peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai
penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman.
Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa di daerah perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi: (a) penurunan
persentase rumah tangga terhadap rasa aman dari tindak kejahatan; (b)
peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah kriminalitas oleh kelompok pemuda.
Keadaan yang demikian ini semakin meningkat pada akhir-akhir ini, terutama
disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk, yang berakibat
begitu besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), perkelahian antar kelompok
preman, dan terhentinya pelaksanaan proyek-proyek besar.
Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan
keadaan yang umum di negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan
lebih berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang
demikian menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi
tersebut tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi
pola pikir perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan
sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan
pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya
persentase penduduk miskin di daerah perkotaan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara
nasional persentase jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan (17,6 %) dan di
daerah perdesaan (14,2 %), sedang di wilayah P. Jawa dan Bali nasional
persentase jumlah penduduk miskin di perkotaan 18,5 %, sedang di perdesaan 12,5
%. Hal ini diperkirakan karena besarnya laju urbanisasi (3,38 %) di daerah
perkotaan, yang pada umumnya dilakukan oleh mereka yang belum memiliki
ketrampilan khusus sebagai modal menghadapi persaingan antar masyarakat
perkotaan.
1.
Perencanaan pembangunan perkotaan di
Indonesia
Kiranya pemerintah telah menyadari
bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah pembangunan tanpa
perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota. Dalam hal perencanaan
pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan, diawali dengan
diberlakukannya De Statuten van 1642,
khusus bagi kota Batavia (Jakarta sekarang). Periode berikutnya oleh Pemerintah
Indonesia ditetapkan Standsvorming
Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku sampai
dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang,
yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming
Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut.
Walau undang-undang tentang Penataan
Ruang baru ditetapkan pada tahun 1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober
1992, hal ini tidak berarti bahwa kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak
dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar tahun 1970-an, perencanaan tata ruang
secara komprehensif telah dilaksanakan di bawah tanggung jawab Ditjen Cipta
Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang bekerjasama dengan Ditjen PUOD
(Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah) Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya
pola penataan ruang pada masa itu lebih mengacu pada pola penataan ruang di
Eropa, yakni dengan pola pemintakatan atau zoning
yang ketat.
Dalam pelaksanaannya produk penataan
ruang pola zoning tidak efektif,
sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 30 tahun 1985 tentang
Penegakan Hukum/Peraturan dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan, yang
diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 7 tahun 1986
tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b) Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota.
Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan acuan para pihak
terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum ditetapkannya Peraturan
Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang.
Produk perencanaan tata ruang kota yang
mengacu pada kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes
(fleksible), karena lebih mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan
setiap 5 (lima) tahun dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali.
Namun dengan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota
ini menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang
telah ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut.
Dari penelitian diketahui bahwa pada
umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari
kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung
jawab rencana tata ruang kota dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan
pembangunan kota. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang
kota (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang
adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur
masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam
rencana tata ruang kota.
Dari hal-hal terurai di atas dapat
dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kota
hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam
Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan, sampai dengan implementasi dan
pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan dasarnya.
2. Revormasi Perencanaan Kota
Di Indonesia reformasi total telah
digulirkan, dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah
membudayanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan
masyarakat. Di dalam proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai
dari penunjukkan konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran,
maupun proses penetapan peraturan daerah, kesemuanya berbau KKN. Karenanya di
dalam proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu
adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur
sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya perlu adanya perubahan/reformasi.
Sebagaimana diketahui bahwa Rencana
Tata Ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang
Kota, yang merupakan rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota,
sebagai rencana jangka menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk
jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk
peta-peta dan gambar-gambar yang sudah pasti (blue print).
Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar
ilmu sosial, bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang,
sangatlah dinamis dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan
berkembang-pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era
globalisasi. Pada kondisi masyarakat yang demikian kiranya kurang tepat dengan
diterapkannya perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning. Blue print planning lebih tepat
diterapkan pada masyarakat yang sudah mantap, karena pada masyarakat yang sudah
mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah kecil. Sedang untuk
masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan model process planning.
Kebijaksanaan selama ini yang mengejar
pertumbuhan tingkat ekonomi makro menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi
sebagai sarana penunjangnya. Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si
kaya dari pada kepada si miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin
semakin tersingkir. Hal ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi,
dan dampaknya sebagai tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial,
yang berakibat terjadinya kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi
dalam perencanaan kota merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat
ini.
3. Beberapa hal yang dirasa sangat penting
dalam rangka reformasi perencanaan tata ruang kota antara lain:
a. Merubah
dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan menjadi
perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi masyarakat,
diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi
kepentingan masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang Advocacy Planning dirasa lebih mahal.
Namun lebih mahal lagi perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang
tanpa perencanaan. Advocacy planning
dapat diterapkan pula pada pembahasan oleh anggota DPRD. Dalam hal ini
konsultan memberikan masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan
rencana sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.
b. Merubah
kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang
terlibat. Sering kali propyek-proyek model top
down dari pusat kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan.
Aspirasi dari masyarakat tidak terakomodasikan di dalam ketetapan rencana tata
ruang kota. Para wakil masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti: Kepala
Kelurahan/Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap
perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
c. Comprehensive Planning
lebih tepat dari pada sectoral planning.
Comprehensive Planning sebagai
perencanaan makro untuk jangka panjang bagi masyarakat di negara sedang
berkembang (dengan dinamika masyarakat yang begitu besar) dirasa kurang sesuai.
Akibatnya perencanaan tersebut tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik disengaja maupun tidak. Perencanaan
sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang benar-benar
dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak.
d. Peranserta
secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sangat
diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota. Komisi Perencanaan Kota
(sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat) kiranya perlu diterapkan pula di
Indonesia. Hal ini didasari bahwa permasalahan perkotaan merupakan permasalahan
yang sangat komplek, tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi menyangkut
pula aspek-aspek: ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.
e. Merubah
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan ruang khususnya di
perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan dan perlindungan rakyat
kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan
kembali (sebagaimana disarankan Eko Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land Sharing, dan Land Readjustment perlu ditingkatkan.
f. Tidak
kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan menjadi
Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan implementasinya, menjadi acuan
dalam penyusunan program-program kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar
menjadi penghuni perpustakaan Bappeda.