Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama
ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek
sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah
perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu,
kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral
atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial
tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi
kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan
kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep
pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.
Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep
pengembangan wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi
fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen
Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan
menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu
pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang
baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui
proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di
Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi
yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena
adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah
mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah
yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak
terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.
Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi
ini muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep
tersebut antara lain people center approach yang menekankan pada
pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based development yang
menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based
development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan
pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut
kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global
yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi
yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem
kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya
kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan
wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan
sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada
konsep-konsep yang dijelaskan di atas.
Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri.
Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan
keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang
dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan
terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah
ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing
tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh
dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut
Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan
komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap
wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada
biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi
untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat
hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan
masyarakat, dan besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah
bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen
internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem.
Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah.
Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga
mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi
persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari
wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan
yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial network tadi
tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus
diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan
pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan
mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan
penerapan insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.