Menurut Burn dan Phillipe (1987), ada tiga tingkatan yang memiliki
peranan proses pengembangan perkotaan. Pada tingkat makro pemerintah memiliki
peranan yang penting dalam proses sosial dimasyarakat, menyangkut institusi dan
formasi kultural berupa sistem konsep, aturan, nilai dan informasi yang
merupakan milik bersama. Kondisi pada tingkat makro ini akan mengantarkan pada
tingkat meso yaitu berupa latar (setting) interaksi dari stake
holdernya untuk melakukan aksi dan interaksi sosial. Proses sosial pada tingkat
menengah ini akan mengatarkan pada proses tingkat mikro berkaitan
dengan agen sosial yang menyangkut nilai serta preferensial.
Jonathan H Turner (dalam Dasgupta 2000) mengungkapkan pranata formal dari
pemerintah dapat membentuk pranata informal di masyarakat. Nilai
norma dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat merupakan modal sosial
dalam pembangunan masyarakat, yang akan membentuk pola hubungan sosial di
masyarakat.
Pembangunan perkotaan sebagai proses sosial akan menyebabkan terjadinya
perubahan sosial dan budaya di masyarakat. Pelly (1994) mengungkapkan faktor
yang menyebabkan perubahan sosial budaya dapat dibedakan atas dua faktor:
pertama bersumber dari masyarakat itu sendiri dan yang kedua bersumber
dari lingkungan.
Untuk terwujudnya ruang perkotaan yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan yang selaras dengan visi dan misi penataan ruang naional,
pengembangan perkotaan hendaknya dilaksanan dengan pendekatan comunity
based development, Sehingga masyarakat secara bersama dengan stake holder
yang lain dapat ikut serta dalam pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Dengan melibatkan partisipasi masyarakat sesuai dengan
potensi dan sumber daya serta karakteristik masyarakat.
Britha Mikkelsen (2001) mengungkapkan, dalam berbagai kajian istilah
partisipasi memiliki arti yang beragam, diantaranya :
a. partisipasi adalah kontribusi
sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan
keputusan;
b. partisipasi adalah pemekaan
(membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan
kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
c. partisipasi adalah suatu proses
yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait,
mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
d. partisipasi adalah pemantapan
dialog antara masyarkat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan,
pelaksanaan, monitoring proyek, agar suaya memperoleh informasi mengenai
konteks lokal dan dampak-dampak sosial;
e. partisipasi adalah keterlibatan
sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri;
f. partisipasi adalah keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.
Secara konseptual partisipasi masyarakat merupakan alat dan tujuan pembangunan masyarakat. Sebagai alat dan sarana pembangunan partisipasi berfungsi penggerak dan pengarah proses perubahan sosial secara terencana dan demokratis dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang berasaskan pemerataan keadilan sosial, pemerataan pelaksanaan serta hasil pembangunan, pemupukan harga diri dan kepercayaan kepada kemampuan masyarakat itu sendiri serta pemupukan rasa kesadaran dan solidaritas sosial. Sebagai tujuan, partisipasi sosial merupakan perwujudan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial.
Sementara itu, dua alternatif utama dalam penggunan partisipasi berkisar
kepada partisipasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri, atau sebagai alat untuk
mengembangkan diri. Logikanya, kedua interprestasi itu merupakan satu kesatuan,
suatu rangkaian. Keduanya mewakili partisipasi yang bersifat tranformasional
dan instrumental dalam suatu proyek tertentu.
Partisipasi sebagai suatu tujuan menghasilkan pemberdayaan, yakni setiap
orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut
kehidupannya. Dengan demikian partisipasi adalah alat dalam memajukan idiologi
atau tujuan-tujuan pembangunan yang normatif, seperti keadilan sosial,
persamaan, dan demokrasi. Dalam bentuk alternatif partisipasi ditafsirkan
sebagai alat untuk mencapai efesiensi dalam manajemen proyek sebagai alat dalam
melaksanakan kebijakan-kebijakan.
Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya
sendiri dipandang sebagai tujuan, dan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang
lebih tinggi lagi, misalnya jadi swadaya dan dapat berkelanjutan. Dalam
memahami partisipasi partisipatoris ini perlu ditinjau pengertian partisipasi
yang dikemukakan Lukman Sutrisno (1995). Terdapat dua pengertian partisipasi
yang dikemukakannya.
Pertama, adalah definisi yang diberikan oleh
perencana pembangunan formal di Indonesia. Definisi partisipasi jenis ini
mengartikan partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat
terhadap rencana/proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya
oleh perencana. Definisi ini mempunyai motto yang berbunyi “masyarakat yang
berpartisipasi tetapi pemerintah yang merencanakan”. Ukuran tinggi rendahnya
partisipasi masyarakat dalam definisi ini pun diukur dengan kemauan rakyat ikut
menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan
pembangunan pemerintah.
Kedua, definisi partisipasi yang bersifat universal yaitu
partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat
antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan
mengembangkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Pengertian kedua
inilah yang tampaknya selaras dengan semangat partisipasi transformatif
tersebut.
Dari sudut pandang sosiologis, definisi pertama tidak dapat dikatakan
sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam
pembangunan yang hanya mengatasi permasalahan pembangunan dalam jangka pendek.
Lebih lanjut Lukman Sutrisno (1995) mengungkapkan empat prasyarat
pembangunan yang partisipatif (partisipasi yang transformatif), yaitu:
1. Mendorong timbunya pemikiran
kreatif, baik di kalangan masyarakat maupun pelaksana pembangunan
2. Toleransi yang besar tehadap
kritik yang datang dari bawah dengan mengembangkan sikap positif thinking
di antara aparat pelaksana.
3. Menimbulkan budaya dikalangan
pengelola pemerintahan untuk berani mengakui atas kesalahan yang mereka
buat dalam merencanakan pembangunan
4. Menimbulkan kemampuan untuk
merancang atas skenrio, dan yang terakhir menciptakan sistem evaluasi proyek
pembangunan yang mengarah pada terciptanya kemampuan rakyat untuk secara
mandiri mencari permasalahan pelaksanaan pembangunan dan pemecahan terhadap
permasalahan itu sendiri.
Selaras dengan Lukman Sutrisno, Korten (1992) dalam Hary Hikmat (2001) mengungkapkan ada tiga dasar perubahan sturktural normatif dalam pembangunan partisipatif yang berpusat pada rakyat, yaitu:
1. Memusatkan pemikiran dan tindakan
kebijakan pemerintah pada penciptaan keadaan yang mendorong dan mendukung usaha
rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri pada tingkat
individual, keluarga dan komunitas
2. Mengembangkan struktur dan proses
organisasi yang berfungsi menurut kaidah-kaidah sistem swaorganisasi
3. Mengembangkan sistem-sistem
produksi dan konsumsi yang diorganisasi secaa teritorial yang berlandaskan pada
kaidah-kaidah pemilikan dan pengendalian lokal.
Prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat menegaskan bahwa masyarakat harus menjadi pelaku utama (aktor) dalam setiap proses pembangunan. Hal ini berimplikasi pada perlunya restrukturisasi sistem pembangunan sosial, baik pada tingkat mikro, meso, dan makro, sehingga masyarakat tingkat lokal (tingkat mikro) dapat ikut terlibat dalam setiap proses pembangunan sehingga dapat mencipatakan ruang kota yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.