Pariwisata dapat dikatakan sebagai
istilah baru. Presiden Soekarno
pertama kali melontarkannya pada tahun 1957, menggantikan kata turisme yang dipakai pada masa itu. Bukan tanpa alasan jika Presiden Soekarno
mengganti istilah itu. Di balik itu, tersirat
pandangan tajam, suatu saat kelak pariwisata akan menjadi wahana persahabatan antarbangsa dan menjadi sector ekonomi penting bagi Indonesia.
Presiden juga memilih lokasi terbaik di
berbagai daerah sebagai tempat
peristirahatan yang kemudian mempunyai kaitan dengan pariwisata. Sebut saja Istana Bogor dan Istana Tampak Siring, sejak dibangun pada masa
kolonial telah memilih lokasi strategis.
Bung Karno pula yang diduga memilih lokasi Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu, Hotel Ambarukmo di Yogyakarta dan hotel
Sanur Beach di Bali.
Keinginannya untuk memiliki hotel
internasional merupakan manifestasi
dari visi menjadikan pariwisata sebagai salah satu bidang yang perlu diperhatukan. Pariwisata menjadi wahana untuk menampilkan Indonesia di kancah
internasional. Konperensi Asia Afrika
yang diprakarsai Bung Karno guna menggalang solidaritas Asia Afrika, sekarang masuk dalam definisi pariwisata. Catatan sejarah itu juga menjadi bagian dari
pariwisata Bandung sampai kini. Dapat
dikatakan, pariwisata mendapat dukungan politik kuat, kemudian masuk dalam agenda pembangunan nasional secara eksplisit.
Bagaimana penjabaran lebih lanjut agenda
pembangunan pariwisata Indonesia
tersebut? Dalam suratnya, Prof. Kus Hadinoto menyatakan, antara tahun 1963-1968 ia ditugasi menghidupkan organisasi pariwisata di Departemen
Perhubungan. Pada tahun 1969,
dibentuk Direktorat Jenderal Pariwisata. Ia termasuk salah seorang yang belajar ke Swiss untuk mendalami bidang itu.
Awalnya, semasa Pelita I, pembangunan
pariwisata identik dengan
pembangunan hotel di berbagai lokasi strategis, mengikuti pola masa penjajahan, seperti juga terjadi di berbagai negara. Di samping itu, rehabilitasi obyek wisata
dan peninggalan nenek moyang seperti
candi di Jawa. Dalam Pelita I pula disusun Rencana Induk Pariwisata untuk Bali, termasuk studi kelayakan Nusa Dua. Dalam Pelita II, disusun beberapa
Rencana Induk Pariwisata, antara
lain Rencana Pengembangan Pariwisata Jawa dan Madura (1974-1975), Rencana Pengembangan Sulawesi (1976-1977) serta Konsep Pengembangan Minahasa (1979).
Dalam skala lokal tercatat Rencana
Pariwisata Kepulauan Seribu. Pemerintah juga menyusun Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Nasional untuk menanggapi perkembangan pariwisata,
sekaligus mengantisipasi berbagai
permasalahan yang dapat timbul.
Permasalahannya kemudian mencari
konsultan lokal yang mampu menyusun
Rencana Induk tersebut. Rencana Induk Pengembangan
Pariwisata Nasional Tahap I (RIPPN I) ditangani konsorsium beberapa konsultan perencanaan yang diwadahi dalam PT. Indulexco melalui kontrak kerja
tertanggal 29 September 1978. Prof.
Kus Hadinoto bertindak selaku project director. Di dalam Tim yang beranggotakan individu dari
berbagai disiplin, ada seorang perencana
lulusan Jurusan Planologi, yakni A.A. Gafar. Saat itu, juga diperbantukan tenaga ahli asing Edward
Inskeep, pakar yang menulis buku Tourism
Planning.
Saat itu telah diusulkan pembukaan
beberapa pintu gerbang udara
internasional. Pada tahun 1980 diusulkan Medan dan Denpasar, selain Jakarta. Kemudian pada tahun 1985, diusulkan Ujungpandang (Makasar), Surabaya,
Manado. Selanjutnya, pada tahun
1990, diusulkan Padang dan Jogyakarta. Ada pun untuk tahun 1995 diusulkan Ambon, Pontianak, Biak dan Balikpapan. Terakhir, pada tahun 2000, diusulkan Labuan Bajo
dan Bacau. Kini, semua pelabuhan
udara itu telah bertaraf internasional, kecuali Labuan Bajo dan Bacau (Timor Timur). Hanya saja, penerbangan internasional ke/melalui Biak sudah terhenti. Pada saat itu pula dikenalkan istilah
DTW (Daerah Tujuan Wisata) untuk
skala provinsi dan WPW (Wilayah Tujuan Wisata) yang tidak didasarkan pada wilayah administratif dan dapat mencakup beberapa DTW. Saat ini, penggunaan
istilah DTW mengalami perubahan,
karena berbagai tempat di kabupaten atau lebih local lagi pun disebut DTW, sehingga cenderung identik dengan destinasi.
Dalam Pelita II dan III, pariwisata
tidak banyak mendapat perhatian
karena negara sibuk dengan swasembada pangan dan substitusi impor. Selain itu, negara juga masih mengandalkan
ekspor migas. Namun, pada Pelita IV ketika
harga minyak turun, perhatian pada
ekspor non-migas membesar, pariwisata pun mulai menjadi andalan. Dalam periode ini pula kunjungan wisman memecah batas 1 juta pengunjung. Investasi pariwisata
pun digencarkan.
Selama periode Pelita IV dan V, sampai
awal dekade 1990-an, investasi pariwisata meningkat pesat. Namun, disayangkan, pertumbuhan terutama hanya di bidang
perhotelan, tidak diikuti perkembangan
unsur lain secara proposional. Selain terfokus pada hotel dan kawasan, pertumbuhan juga tidak tersebar secara terrencana. Konsentrasi pertumbuhan
terjadi di destinasi yang sudah berkembang
seperti Bali, Jakarta dan Jawa. Akibatnya, pertumbuhan berjalan timpang, dan akhirnya timbul permasalahan terlampauinya daya dukung, sediaan tak terserap permintaan
(oversupply) serta kesenjangan antardaerah kian
melebar.