Rabu, 30 Oktober 2013

Pengertian dan Konsepsi Perencanaan



Secara umum perencanaan (planning) dapat diartikan sebagai (Hamzens, W., 2005):
1.  Suatu kegiatan dasar manusia yang terkadang terjadi di dalam tingkah laku manusia dalam setiap strata sosial masyarakat (Chadwik, 1971). Dalam pandangan ini, perencanaan merupakan suatu proses pemikiran dan tindakan manusia ke arah masa depan, perencanaan merupakan suatu kegiatan manusia yang sangat umum;
2. Dari hasil analisis komponen-komponen perencanaan, data tingkah laku individu-individu menyimpulkan bahwa setiap kegiatan merupakan hasil dari proses yang kompleks atau rumit (George Miler, dkk);
3.  Segala sesuatu kegiatan pengambilan keputusan berkaitan dengan alokasi dan distribusi berbagai sumberdaya (Moore);
4.    Setiap bentuk kegiatan manusia yang bersifat rasional (Ozbekhan);
5.   Suatu bentuk pengendalian yang akan dilakukan pada masa depan, mencoba menutup kelemahan definisi sebelumnya yaitu kegagalan untuk mengkaitkan perencanaan dengan tindakan (Wildawsky);
6.   Apa-apa yang dikerjakan oleh perencana (Sir Geoffrey Vickers).

Dalam konteks pembangunan, perencanaan memegang peranan yang sangat penting dalam upaya mensukseskan penyelenggaraan pembangunan tersebut. Perencanaan pembangunan merupakan suatu kegiatan sosial yang berorientasi pada kepentingan meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, dilakukan secara teliti dan berhati-hati, untuk mengembangkan strategi mencapai tujuan perubahan kondisi masyarakat agar menjadi lebih baik, hasil perencanaan pembangunan merupakan kesepakatan dan menjadi komitmen bersama, selain itu suatu perencanaan pembangunan yang menghasilkan suatu rencana strategis, merupakan proses yang juga ditujukan untuk menyusun tindakan-tindakan strategis yang dibutuhkan segera untuk menyelesaikan berbagai permasalahan publik (Hamzens, W., 2005).
Perencanaan merupakan suatu proses atau kegiatan, merupakan kerangka kerja utama bagi profesi perencana yang berorientasi pada suatu hasil akhir, yaitu terwujudnya rencana pembangunan, digambarkan antara lain dengan tercapainya dasar-dasar pengambilan keputusan sosial dan rekomendasi bagi kebijakan pemerintah, maka secara nyata dapat dilihat perbedaan antara perencanaan dan bukan perencanaan, yaitu:
a.    Perencanaan bukan kegiatan individu murni,
b.   Perencanaan bukan kegiatan yang berorientasi pada masa kini,
c.    Perencanaan tidak dapat dijadikan kegiatan yang kaku,
d. Sedikit sekali atau sama sekali tidak memiliki kesamaan dengan usaha cobacoba (trial dan error) dalam memecahkan masalah,
e.    Perencanaan bukan sekedar membayangkan kegiatan masa depan yang diinginkan, dan
f.     Perencanaan tidak sekedar menyusun rencana (plan).

Hamzens, W. (2005) mengusulkan bahwa pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah yang menghasilkan rencana pembangunan yang bernilai strategis, harus dipandang sebagai suatu kegiatan yang tidak pernah berhenti sedikitpun, walaupun dokumen perencanaan tersebut telah selesai dibuat, telah memiliki kekuatan hukum, dan menjadi peraturan daerah. Pekerjaan perencanaan merupakan kegiatan yang terus menerus dan berkelanjutan. Tujuannya agar terjadi pengawasan dan perbaikan mutu yang terus menerus. Profesionalisme sumberdaya manusia yang ada di badan perencanaan pembangunan, konsultan yang dilibatkan dalam proses perencanaan, termasuk seluruh anggota tim perencana, sangat menentukan mutu suatu rencana pembangunan.

Sumber: Bahan Ajar Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz Budianta, S.Si., MT; Rifai Mardin, ST, M.Si., M.Sc. dan Widyastuti, S.Si., M.Si)

Pengertian Ruang



Ruang sebagai salah satu dari sumberdaya alam adalah wujud fisik lingkungan di sekitar kita dalam dimensi geografis dan geometris baik horizontal maupun vertikal yang meliputi daratan, lautan, dan udara beserta isinya. Ruang dalam wilayah nasional adalah merupakan wadah bagi manusia untuk melakukan kegiatannya.
Ruang sebagai wadah, diterjemahkan dengan ’ruimte’ (Belanda), ’raum’ (Jerman), ’space’ (Inggris), ’spatium’ (Latin), mula-mula diartikan sebagai bidang datar (planum, planologi). Dalam perkembangan selanjutnya mempunyai dimensi tiga dan berarti ’tempat tinggal (dwelling house)’. Dalam arti planologis materiilnya berarti ’tempat pemukiman (habitat)’, termasuk kewajiban ’pengaturan tempat permukiman’ yang harus ditata sebaik-baiknya, demi kebahagiaan, kesejahteraan dan kelestarian umat manusia (Wiriadihardja, Moeftie, dalam Sugandy, A., et.al., 1987).
Ruang sebagai pengertian (conseptio) terdiri dari unsur-unsur bumi, air (sungai, danau, dan lautan) dan udara (ruang angkasa di atasnya dan segala kekayaan di dalamnya), mempunyai tiga dimensi. Space (latin, spatium) is a distance extending without limit in all directions, that which is thought of as boundless, contionous expance extending in all directions or in three dimensions, within which all material things are contained (Webster’s New World Dictionary dalam Sugandy, A., et.al., 1987).
Ruang (space), menurut Webster Dictionary diartikan dengan berbagai cara, diantaranya: (a) The three dimensional continous expanse extending in all directions dan containing all mater: variously thought of as boundless or intermediately finite; (b) Area or room sufficient for or alloted to something. Ruang (space), menurut Random House Dictionary: ”a particular extent of surface”.
Dengan demikian secara umum ruang (space) dapat diartikan dengan tempat berdimensi tiga tanpa konotasi yang tegas atas batas dan lokasinya yang dapat menampung/ditujukan untuk menampung benda apa saja. Terkait dengan ruang terdapat tiga kata yang sering dipertukarkan yaitu: ruang, tempat, dan lokasi. Ruang bersifat umum, tidak terikat dengan isi maupun lokasi. Tempat, sering dikaitkan dengan keberadaan suatu benda/kegiatan yang telah/sering ada di situ.
Lokasi, sering terkait dengan pemberian nama/karakter suatu tempat, sehingga dapat dibedakan lokasi yang satu dengan lokasi lainnya (Tarigan, R., 2009). Dari sudut fungsinya, ruang wilayah dapat terbagi menjadi wilayah perkotaan (urban areas) dan wilayah perdesaan (rural areas). Wilayah perkotaan adalah wilayah yang dibatasi lingkup pengamatan fungsi kota sebagai tempat permukiman dan pemusatan kegiatan non pertanian (urban) seperti jasa pelayanan pemerintah, sosial-ekonomi dan distribusinya yang meliputi wilayah daratan, lautan, beserta wilayah angkasa yang terikat padanya. Sedangkan wilayah perdesaan adalah wilayah di luar perkotaan yang dibatasi lingkup pengamatan fungsi perdesaan (rural) sebagai tempat permukiman dan dominasi kegiatan pertanian yang meliputi wilayah daratan, lautan, dan wilayah angkasa yang terkait padanya.

Sumber: Bahan Ajar Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz Budianta, S.Si., MT; Rifai Mardin, ST, M.Si., M.Sc. dan Widyastuti, S.Si., M.Si)

Senin, 28 Oktober 2013

Penataan Ruang Wilayah



Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk hidup lain melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal tersebut dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman , nyaman produktif dan berkelanjutan maka diperlukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, serta dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang serta yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negative terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang.
Kaidah penataan ruang ini termuat dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, yang secara substansial memuat hal-hal sebagai berikut (Dirjen Penataan Ruang, 2008):
1.   Strategi umum dan strategi implementasi penyelenggaraan penataan ruang. Strategi umum merupakan rumusan visi yang dituangkan dalam produk legal peraturan pemerintah dan peraturan daerah berupa rencana umum tata ruang dengan muatan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Produk rencana umum tersebut secara hirarkis dan komplementer, meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
2.    Strategi Implementatif memberikan produk legal rencana operasional berupa rencana rinci/detail dan peraturan zonasi yang ditetapkan dalam peraturan daerah. Dengan demikian akan terdapat kejelasan pengaturan kawasan, blog, dan/atau sub-blog yang ditetapkan untuk tidak boleh dibangun dan yang boleh dibangun dengan berbagai persyaratannya, seperti persentase ruang yang boleh dibangun (koefisien dasar bangunan) maupun koefisien daerah hijau yang harus tersedia.
3.   Penegasan sifat produk rencana tata ruang, bukan hanya yang bersifat administratif, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang propinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, melainkan dapat pula bersifat fungsional seperti rencana tata ruang kawasan strategis nasional, rencana tata ruang kawasan strategis propinsi, dan rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Rencana tata ruang kawasan strategis nasional yang ditetapkan melaui Peraturan Presiden dapat berupa rencana tata ruang kawasan perbatasan negara, rencana tata ruang kawasan metropolitan Jabodetabekjur, dan rencana tata ruang kawasan daerah aliran sungai lintas propinsi. Sedangkan rencana tata ruang kawasan strategis daerah ditetapkan melalui perturan daerah. Sebagai contoh dapat berupa rencana tata ruang daerah aliran sungai dalam satu propinsi/kabupaten yang ditetapkan khusus dengan perda, antara lain untuk memulihkan DAS kritis dengan menjaga keseimbangan neraca air dan tutupan lahan hijau.
4.   Pembagian kewenangan yang jelas dan tegas antara Pemerintah, pemerintah daerah propinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan, termasuk peran Pemerintah dan pemerintah propinsi dalam pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang nasional, propinsi dan kabupaten/kota.
5. Penekanan terhadap hal-hal yang bersifat sangat strategis sesuai perkembangan lingkungan strategis dan kecenderungan yang ada, misalnya proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik di kota/perkotaan yang ditetapkan minimal 20%, proporsi kawasan hutan dalam suatu DAS minimal 30%, dan penetapan tentang pentingnya standar pelayanan minimal.
6.   Penataan ruang yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Seluruh permukaan bumi baik di daratan maupun di dasar laut pada hakikatnya memiliki batasan kapasitas sehingga perlu diatur. Demikian pula di atasnya di ruang udara maupun ruang laut dan di bawahnya yaitu di dalam bumi sebagai satu kesatuan dengan permukaan bumi perlu pula di atur pemanfaatannya.
7.        Pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dinilai rawan bencana, seperti kawasan rawan bencana letusan gunung api, gempa bumi, longsor, elombng pasang dan banjir, dan dampak dari keberadaan jaringan listrik tegangan tinggi.
8.   Pengaturan penataan  ruang kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan, termasuk kawasan metropolitan dan kawasan agropolitan.
9.    Pengaturan penataan ruang kawasan strategis nasional dari sudut pandang ekonomi, antara lain Kawasan Ekonomi Khusus, Kerjasama Ekonomi Sub Regional, Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas, serta Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), dan Pengaturan untuk penataan ruang kawasan perbatasan sebagai kawasan strategis nasional dari sudut pandang pertahanan keamanan, termasuk pulau-pualu kecil terluar/terdepan.
10.   Penegsan mengenai hak, kewajiban dan peran masyrakat dalam penataan ruang, serta pengaturan dalam penyelesaian sengketa penataan ruang yang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
11. Penguatan aspek pelestarian lingkungan hidup dalam penyelenggaraan penataan ruang, antara lain penekanan bahwa penataan ruang diselengggrakan untuk memperkokoh ketahanan nasional bukan hanya dari aspek politik, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan saja, tetapi juga dari aspek lingkungan hidup dan IPTEK.
12.   Penegasan pengaturan pemberian insentif dan disinsensif dalam penataan ruang, baik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemerintah satu kepada pemerintah daerah lainnya, maupun dari pemerintah kepada masyarakat.
13.  Pengaturan sanksi, dalam hal ini selain diatur sanksi administratif, juga diatur sanksi pidana, baik kepada pelanggar maupun pemberi izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, termasuk pula pengaturan mengenai pembentukan pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
14.    Pengaturan jangka waktu penyelesaian peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Penataan Ruang, sebagai dasar hukum implementasi penyelenggaraan penataan ruang, undang-undang tersebut menghadapi banyak permasalahan, kendala dan tantangan sehingga diperlukan dudkungan implementasi yang kuat.


Sumber: Penataan Ruang Wilayah dan Kota (Lutfi Muta’ali, 2013)

Jumat, 25 Oktober 2013

Perencanakan dan Realisasi RTH Kota dalam Perencanaan Kota



Dengan maksud agar perencanaan RTH kota dapat terealisai, maka perencanaan kota tersebut jangan sampai tetap tinggal sebagai gambar belaka, akibat ide perencanaan tak mengandung arti sosial. RTH kota dapat diterapkan, bila memang berarti untuk meningkatkan nilai perencanaan tersebut. Artinya tanpa unsur RTH kota sebagai penyeimbang struktur fisik sudah pasti fungsi lingkungan yang nyaman dan lestari tak akan tercapai. Untuk alasan inilah, berbagai ukuran dan skala perancangan telah dipertimbangkan, sehingga perencanaan nampak menjadi kompleks.
Demikian pula kasus rehabilitasi perencanaan kota di Osaka, Jepang, perencanaan kota dibuat modern sehingga nampak menjadi sangat kompleks. Reklamasi pesisir pantai wilayah kota kedua terbesar di Jepang tersebut dimaksudkan sebagai suatu wilayah baru untuk pembangunan lapangan terbang sekaligus area rekreasi. Demikian pula dengan negara kota taman Singapura, yang sampai kini masih giat membangun proyek perluasan wilayah di bagian pesisir pantai timur pulaunya. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sumber material urungnya didatangkan dari Kepulauan Riau, Indonesia.
Secara teoritis, maupun dalam pelaksanaannya, proyek rehabilitasi (sebagian) kota di luar negeri dapat dibedakan ke dalam dua aspek berdasar hak kepemilikan dan pengelolaan lahan sebagai berikut:
1. Perencanaan kota dimana satu atau beberapa badan masyarakat dapat langsung menangani proyek-proyek, termasuk sarana kota utama yang harus dibangun dalam perencanaan kota, seperti jalan, taman (RTH), sarana lain dalam proyek terpadu tersebut, juga dalam persesuaian lahan dan pembangunan kota kembali (rehabilitasi atau revitalisasi). Di sini, proyek yang dimaksud adalah yang membutuhkan penguasaan atas tapak yang diperlukan dan dengan investasi masyarakat. Umumnya, proyek yang menggunakan metoda lahan yang diplot kembali, seperti proyek persesuaian lahan ini, biasanya akan tetap membutuhkan sedikit modal masyarakat.
2.  Perencanaan kota dimana kegiatan-kegiatan dilakukan oleh sektor swasta, yang biasanya tidak langsung diatur termasuk sarana kota utama yang harus dibangun oleh organisasi perencanaan kota seperti: proyek tunggal, misalnya: jalan, park, dan sarana lain, serta proyek terpadu, seperti persesuaian lahan dan pembangunan kota kembali. Rehabilitasi kota harus menghubungkan dengan perancangan dalam sistem zoning tata guna lahan untuk pekerjaan bangunan dan sistem perijinan kerja pembangunan yang disesuaikan dengan peruntukan lahan.

Berdasar pertimbangan atas dasar peraturan (regulasi) tersebut di atas, maka pekerjaan itu harusnya dilaksanakan dengan rasa syukur, sebab bila ruang terbuka (di dalamnya terdapat RTH kota) diciptakan, maka terdapat dua macam ukuran pelaksanaan, yakni modal masyarakat yang besar dan bagi kepentingan masyarakat dan atau yang dilaksanakan oleh modal atau sektor swasta. Sebagai konsekuensinya, perlu ditentukan mana yang dipilih diantara atau bersama-sama antar kedua ukuran tersebut di atas, sebelum diputuskan pelaksanaannya.
Jadi, meskipun sarana kota itu dibangun dari investasi masyarakat, maka sarana kota khususnya sarana RTH kota yang penting dan harus ada tersebut, pemerintahan kota yang seharusnya tetap menjaga dan memeliharanya, meskipun butuh biaya tinggi. Sedang sarana perencanaan kota dan konstruksinyalah yang dapat menjadi tanggung jawab masyarakat. Pada kasus ini, kebanyakan merupakan proyek tunggal masyarakat umum. Langkah pertama ini harus diambil, sebab biasanya biaya ”penguasaan lahan” yang menjadikan proyek ini terlaksana, menjadi sangat tinggi.
Sementara itu pada investasi swasta, kebutuhan RTH-nya akan berbeda-beda, tetapi semua tetap harus terjalin dimana proyek tersebut berada dalam berbagai tipe wilayah kota yang ada. Areal RTH tersebut dibangun untuk keseimbangan dengan bangunan non-pemerintah dan merupakan perencanaan menyeluruh dari wilayah kota tersebut. Dalam kasus seperti ini, investasi sektor swasta lebih disukai dari pada investasi umum karena:
1. Pertimbangan kasus dimana RTH dibangun melalui ijin sebagai bagian karya pembangunan. Ini merupakan semacam aturan pembatasan perencanaan kota, di Amerika disebut sub-division control. Metoda menyisihkan lahan untuk RTH didasarkan pada kriteria dengan skala dan tipe karya pembangunan tertentu sesuai yang dikehendaki, sekaligus merupakan kondisi penting agar usulan pembangunan disetujui. RTH diciptakan oleh proyek masyarakat yang didasarkan pada ijin resmi dan merupakan sumbangan untuk organisasi masyarakat lokal. Maka, tanpa kecuali, RTH telah menjadi bagian dari pembangunan lahan oleh sektor swasta pula. Asumsi perkiraan kebutuhan RTH secara kasar, adalah 3-6 meter persegi/orang atau satu hektar untuk tiap 100 orang penghuni;
2.   Pertimbangan kasus dimana RTH dibangun oleh proyek persesuaian lahan, yang dapat dilaksanakan, baik oleh organisasi umum atau oleh konsorsium kepemilikan tanah. Bagaimanapun juga dalam peraturan umum, penguasaan tapak tidak akan terjadi, kecuali apabila diproses sebagai lahan yang suatu saat dapat diplot kembali sebagian atau sleuruhnya untuk kepentingan umum. Dalam hubungannya dengan peraturan, tapak untuk RTH disediakan bagi kelompok masyarakat umum, setelah sebelumnya tapak dipersiapkan. Menurut aturan, biaya proyek diatasi dengan mengatur lahan cadangan pada area yang dipertimbangkan tersebut dan dengan subsidi proyek yang telah diciptakan pada berbagai macam tipe RTH, seperti taman lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi dan rekreasi masyarakat sekitar;
3. Mempertimbangkan arti perlunya proyeksi sebuah area kosong dan terbuka untuk umum, maka perencanaan RTH kota, misalnya harus dilakukan melalui sistem perancangan menyeluruh termasuk struktur bangunan di dalamnya. Bila ruang terbuka tersebut cukup luas dan berada dalam konstruksi tapak, maka sistem ini memungkinkan perancangan bangunan untuk mempertimbangkan pula multi-gunanya, dan dengan maksud untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan wilayah kota, dan untuk pembatasannya, perlu pengaturan rasio area dasar (floor area ratio). Pembatasan di atas tidak formal karena tujuannya adalah pada efek peningkatan ukuran (disebut tipe praktis efek pembatasan). Tujuan lain adalah agar ada sistem bonus (insentif) dari suatu sistem yang dapat menyediakan besaran ukuran area dasar utama, pada tempat-tempat di mana terdapat lahan kosong yang terbuka. Karena banyaknya penguasa di wilayah kota yang mencari ‘bonus’ semacam ini, maka akibat positifnya adalah lahan losong terbuka tersebut dapat terpelihara dan mungkin bisa bebas sewa dan pajak (free tax). Dilihat secara nasional, seseorang dapat mengatakan bahwa Osaka adalah kota di mana disajikan banyak contoh dari aplikasi sistem tersebut;
4.Mendemonstrasikan penggunaan sistem peraturan bangunan dan peraturan penghijauan, di mana kedua-duanya juga tetap didasarkan pada hukum. Dengan demikian dimaksudkan agar dalam area khusus ini pemilik tanah dapat, memberi tanda sesuai persetujuan secara sukarela (voluntary) atau ijin khusus untuk menuai keuntungan dari pengelolaan tapak kosong yang berada, misalnya di sepanjang jalur jalan, jalur badan air, dan sebaginya.

Semua kemungkinan adanya pendekatan berdasar ukuran-ukuran (1-4) di atas, dapat digunakan sebagai referensi dalam hubungannya dengan pembangunan area, di mana investasi umum terbatas: 15-20 persen untuk jalan, dimana tiga persen bagian lahan harus dicadangkan untuk kepentingan umum. Dengan demikian untuk tapak bangunan tinggal 80 persen (atau 50-70 persen), karena itu maka rasio area dasar untuk bangunan dapat dinaikkan.
Sistem perancangan komprehensif untuk bangunan, telah diaplikasikan pada konstruksi dari semua bangunan wilayah. Lahan terbuka yang kosong disisihkan dan dipertimbangkan bagi peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota. Untuk alasan inilah, yang berlawanan dengan rasio ruang lantai dasar yang dirancang sebesar 40 persen, maka rasio ruang lantai dapat mencapai 10-20 persen di atas ukuran yang disyaratkan tersebut. Hal ini telah dianggap sebagai suatu peningkatan bonus yang penting bagi peningkatan persepsi masyarakatnya.