Pada dasarnya kegiatan pariwisata adalah kegiatan menjual
lingkungan. Orang yang bepergian dari suatu daerah ke daerah tujuan wisata
adalah ingin menikmati lingkungan, seperti pemandangan alam, atraksi budaya,
arsitektur, makanan dan minuman, benda seni, dan lainnya yang berbeda dengan
lingkungan tempat tinggalnya.
Pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan
oleh baik buruknya lingkungan. Sektor wisata sebagai industri jasa merupakan
sektor yang sangat peka terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti
pencemaran limbah domestik, kumuh, adanya gangguan terhadap wisatawan, penduduk
yang kurang/tidak bersahabat, kesemerautan lalulintas, kriminalitas, dan
lain-lain, akan dapat mengurangi jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu
daerah tujuan wisata. Oleh karena itu pengembangan pariwisata harus menjaga
kualitas lingkungan.
Menurut Mihalic (2000), kualitas lingkungan meliputi kualitas
bentang alam atau pemandangan alamiah itu sendiri. Kualitas ini dapat menurun
karena aktivitas manusia. Menurut hukum permintaan wisata, kualitas lingkungan
merupakan bagian integral dari suguhan-suguhan alamiah. Dengan demikian,
pemeliharaan terhadap kualitas lingkungan menjadi syarat mutlak bagi daya tahan
terhadap kompetisi pemilihan tujuan wisata oleh wisatawan. Jika kualitas
lingkungan suatu daerah tujuan wisata menurun, maka tempat tersebut cenderung diabaikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
kepariwisataan, berkaitan dengan aspek lingkungan, yaitu:
1. Daya Dukung Lingkungan
Setiap daerah tujuan wisata mempunyai
kemampuan tertentu dalam menerima jumlah wisatawan. Kemampuan ini yang disebut
sebagai daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah
wisatawan per satuan luas daerah tujuan wisata (lokasi) persatuan waktu. Daya
dukung lingkungan tersebut berbeda-beda, sesuai dengan faktor psikologis tujuan
kegiatan pariwisata. Misalnya orang yang pergi ke Plaza, orang merasa senang
untuk berdesak-desakan, kalau tidak bersenggolan, sepertinya tidak merasa ke
Plaza. Sebaliknya orang yang pergi ke Musium atau pantai yang romantis, tidak
menginginkan jumlah orang yang banyak, ramai, dan bising. Antara Plaza, Pasar
Malam, pantai dan Musium, mempunyai tujuan yang terkait dengan faktor
psikologis, sehingga daya dukungnya berbeda.
Faktor lain yang menentukan daya dukung
lingkungan yaitu kondisi biofisik daerah tujuan wisata atau lokasi wisata.
Lingkungan biofisik menentukan kuat atau rapuhnya suatu ekosistem. Ekosistem
yang kuat mempunyai daya dukung lingkungan yang tinggi. Daya dukung lingkungan
yang tinggi, lebih banyak dapat menerima sejumlah wisatawan. Daya dukung lingkungan
yang kuat, tidak mudah rusak karena gangguan wisatawan, jikalaupun rusak, maka
pengembalian atau pulihnya cepat. Ekosistem puncak gunung atau kawah, misalnya
Gunung Bromo, dengan suhu yang rendah, tanah yang asam yang kurang subur,
adanya gas beracun seperti uap belerang, merupakan ekosistem yang rapuh. Jika
terjadi kerusakan, seperti pengambilan bunga Edelweis yang berlebihan, maka
untuk “pulih kembali” memerlukan waktu yang cukup lama. Sebaliknya Plaza atau
Mall atau tempat tujuan wisata buatan, seperti taman dan pemandian, mempunyai
lingkungan biofisik yang kuat. Artinya dapat menampung lebih banyak wisatawan.
Kerusakan ekosistemnya dengan mudah untuk dapat dikembalikan lagi.
Daerah tujuan wisata atau tempat wisata
yang mempunyai daya dukung lingkungan yang rendah, haruslah hati-hati dalam
pengembangannya. Jumlah wisatawan yang masuk harus dibatasi, serta diawasi
dengan baik/ketat. Hal ini untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungannya,
antara lain pembuangan sampah, sebab sampah lambat membusuk pada daerah yang
dingin, terlebih sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang oleh alam.
Salah satu contoh daerah tujuan wisata
yang memperhatikan daya dukung lingkungan yaitu Tanah Lot. Jumlah wisatawan
yang boleh masuk sampai bagian luar dan tengah (bagian utama tidak untuk
wisatawan). Jumlah wisatawan yang masuk, sejumlah selendang yang tersedia,
karena setiap wisatawan yang masuk diharuskan memakainya. Wisawatan lain boleh
masuk apabila selendang sudah dikembalikan, artinya ada wisatawan yang sudah keluar.
2. Keanekaragaman
Wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah
tujuan wisata dengan minat, tujuan, umur, jenis kelamin, kondisi sosial
ekonomi, dan budaya yang beranekaragam. Dalam pengembangan kepariwisataan harus
diusahakan adanya suatu keanekaragaman obyek sebagai daya tarik wisata serta
faktor penunjangnya.
Usaha penganekragaman didasarkan pada
faktor tujuan, umur, dan mode wisatawan. Misalnya pada obyek wisata Candi
peninggalan sejarah, penganekaragamannya disesuaikan dengan wisata sejarah.
Demikian juga dalam penganekaragaman, disesuaikan dengan kelompok umur
wisatawan yang akan menikmati atraksi atau penggunaan fasilitas penunjangnya.
Penganekaragaman disesuaikan dengan mode kepariwisataan yang sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya saat ini. Contoh mode wisata yang baru
antara lain: melakukan wisata sambil berolah raga di daerah tujuan wisata,
kegiatan pariwisata yang dikaitkan dengan daerah tujuan wisata sebagai tempat
dilangsungkannya suatu pertemuan atau konferensi, baik tingkat nasional,
regional maupun internasional.
3. Keindahan Alam
Keindahan suatu bentang alam harus tetap
dijaga keasliannya, sebab merupakan aset kepariwisataan yang tinggi. Dalam
pembangunan pariwisata sering diubah bentang alam (natural landscape) dengan alasan untuk tujuan wisata. Contoh (1)
jalan berkelok di pegunungan dengan lembah yang indah, ditutup oleh papan
reklame yang sangat besar, warung-warung pinggir jalan yang tidak teratur dan
kumuh, (2) danau atau telaga yang alami pada bagian pinggirnya dibuat dalam
atau dibangun rumah peristirahatan, restoran dan hotel yang dekat ke danau,
sehingga danau berubah menjadi kolam besar (kolam raksasa). Di samping itu
badan perairan tersebut tercemar oleh limbah cair dari berbagai aktivitas dari
bangunan yang ada di sekitarnya.
4. Vandalisme Grafiti
Vandalisme adalah kegiatan yang merusak.
Vandalisme yang berkaitan dengan pariwisata adalah vandalisme grafiti berupa
coretan-coretan di berbagai tempat termasuk pada obyek-obyek wisata, seperti
candi, tebing, tanda lalulintas, tembok bangunan, telpon umum dan lainnya.
Vandalisme dalam bentuk yang lain yaitu merusak benda-benda tertentu atau
memotong pohon pada saat berkemah, memetik bunga, mengambil tanaman, dan
lainnya.
Kegiatan yang merusak ini, aktivitasnya
semakin meningkat, terlihat dari banyaknya benda-benda yang dirusak serta
sebarannya semakin meluas. Hal ini terutama dilakukan oleh wisatawan domestik
remaja, serta berkaitan dengan masa libur sekolah. Vandalisme sangat merugikan
pariwisata, seperti perusak dan coretan dengan cat pada Candi. Hal ini pernah
diungkapkan oleh Jove Ave pada Konferensi Nasional Pusat Studi Lingkugan di
Denpasar pada Oktober 1996. Semakin berkembangnya kegiatan pariwisata, maka
vandalisme ini harus dicegah sedini mungkin dengan berbagai cara, salah satunya
adalah melalui jalur pendidikan di sekolah atau luar sekolah.
5. Pencemaran
Pencemaran merupakan musuh utama industri
pariwisata. Pada sisi lain kegiatan pariwisata merupakan pencemaran yang besar
pula. Semakin sukses kepariwisataan pada suatu daerah, semakin besar pula
bahaya pencemarannya. Salah satu bentuk pencemaran adalah limbah padat berupa
sampah yang dihasilkan oleh kegiatan wisatawan maupun limbah padat dan cair
dari hotel-hotel.
Masalah pencemaran ini terjadi akibat
kurang sadarnya wisatawan, terutama domestik dalam membuang limbah dari hasil
kegiatannya selama berwisata. Umumnya wisatawan domestik yang melakukan
perjalanan dengan keluarga atau rombongan, melakukan kegiatan “pindah makan dan
minum”. Masalah pencemaran menjadi lebih meningkat, apabila pada tempat wisata
tidak ada atau kurang sekali penyediaan tempat sampah. Jika tersedia tempat
sampah, maka penempatannya yang sering kurang representatif.
6. Dampak Sosial Budaya
Adanya wisatawan ke suatu daerah tujuan
wisata, maka telah terjadi interaksi antara wisatawan dengan penduduk setempat.
Wisatawan yang datang mempunyai latar belakang geografi, sosial, ekonomi,
budaya yang berbeda dengan penduduk setempat. Penduduk setempat akan menyerap
budaya wisawatan, sebaliknya wisatawan juga menyerap budaya lokal. Dampak
interaksi tersebut ada yang positif dan ada yang negatif.
Wisatawan terutama dari manca
negara/internasional untuk kalangan menengah dan atas, memerlukan fasilitas
sesuai dengan standarnya. Hal ini kemudian merupakan suatu “enklave” atau pulau
di tengah masyarakat yang masih terbelakang dengan kondisi sosial ekonomi yang
sangat berbeda. Perkembangan kegiatan kepariwisataan semakin meningkat, maka
perlu diantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan yang akan merugikan
kelangsungan pariwisata dan penduduk setempat/lokal.
Dampak sosial budaya yang lain dalam
kaitannya dengan pariwisata adalah seks. Pariwisata terkait erat (atau sering
dikaitkan) dengan berbagai penyakit sosial seperti pelacuran, kriminal dan
penyalahgunaan narkoba. Hall (1992) menyebutkan bahwa seks atau prostitusi
merupakan “bagian integral” dari pariwisata. Merupakan suatu kenyataan bahwa
pemenuhan kebutuhan seksual merupakan salah satu motivasi orang melakukan
perjalanan wisata. Prostitusi/pelacuran tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan
masyarakat. Ini adalah salah satu bisnis yang selalu menyertai perkembangan
sebuah destinasi pariwisata. Berbagai DTW di Asia sangat terkenal dengan
pariwisata seks, seperti Thailand (khususnya Bangkok), Indonesia (khususnya
Dolly) dan Filipina (khususnya Quiapo dan Cebu). Bahkan Malaysia juga sudah
menjadi salah satu titik dalam peta perjalanan wisata seks.
7. Mintakat (Zone)
Dalam pembangunan kepariwisataan timbul
berbagai konflik berkaitan dengan tata ruang. Pada satu sisi ingin hal yang
bersifat alami, tetapi sis yang lain menghendaki membangun fasilitas atau hotel
dekat pantai. Wisatawan tertarik dengan pantai yang indah, tetapi jumlah
wisatawan yang banyak justeru dapat menyebabkan kawasan pantai menjadi rusak.
Konflik kepentingan dapat dikurangi atau diatasi dengan perencaan tata ruang
yang disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang ada. Hal ini kemudian akan
menghasilkan permintaan dalam keruangan (Zonasi). Masing-masing mintakat diberi
peruntukan berdasarkan potensi geografis, sehingga fungsi utama obyek wisata
dan penunjangnya tidak tumpang tindih dan berbagai kepentingan umum tidak
terganggu atau dikorbankan hanya semata-mata untuk kepentingan pariwisata saja.
Sumber: http://dee-jieta.blogspot.com/2013/06/pariwisata-dan-masalah-lingkungan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar