Minggu, 13 Oktober 2013

Pariwisata dan Masalah Lingkungan



Pada dasarnya kegiatan pariwisata adalah kegiatan menjual lingkungan. Orang yang bepergian dari suatu daerah ke daerah tujuan wisata adalah ingin menikmati lingkungan, seperti pemandangan alam, atraksi budaya, arsitektur, makanan dan minuman, benda seni, dan lainnya yang berbeda dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Pariwisata adalah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan. Sektor wisata sebagai industri jasa merupakan sektor yang sangat peka terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan seperti pencemaran limbah domestik, kumuh, adanya gangguan terhadap wisatawan, penduduk yang kurang/tidak bersahabat, kesemerautan lalulintas, kriminalitas, dan lain-lain, akan dapat mengurangi jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata. Oleh karena itu pengembangan pariwisata harus menjaga kualitas lingkungan.
Menurut Mihalic (2000), kualitas lingkungan meliputi kualitas bentang alam atau pemandangan alamiah itu sendiri. Kualitas ini dapat menurun karena aktivitas manusia. Menurut hukum permintaan wisata, kualitas lingkungan merupakan bagian integral dari suguhan-suguhan alamiah. Dengan demikian, pemeliharaan terhadap kualitas lingkungan menjadi syarat mutlak bagi daya tahan terhadap kompetisi pemilihan tujuan wisata oleh wisatawan. Jika kualitas lingkungan suatu daerah tujuan wisata menurun, maka tempat tersebut cenderung diabaikan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kepariwisataan, berkaitan dengan aspek lingkungan, yaitu:
1.    Daya Dukung Lingkungan
Setiap daerah tujuan wisata mempunyai kemampuan tertentu dalam menerima jumlah wisatawan. Kemampuan ini yang disebut sebagai daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas daerah tujuan wisata (lokasi) persatuan waktu. Daya dukung lingkungan tersebut berbeda-beda, sesuai dengan faktor psikologis tujuan kegiatan pariwisata. Misalnya orang yang pergi ke Plaza, orang merasa senang untuk berdesak-desakan, kalau tidak bersenggolan, sepertinya tidak merasa ke Plaza. Sebaliknya orang yang pergi ke Musium atau pantai yang romantis, tidak menginginkan jumlah orang yang banyak, ramai, dan bising. Antara Plaza, Pasar Malam, pantai dan Musium, mempunyai tujuan yang terkait dengan faktor psikologis, sehingga daya dukungnya berbeda.
Faktor lain yang menentukan daya dukung lingkungan yaitu kondisi biofisik daerah tujuan wisata atau lokasi wisata. Lingkungan biofisik menentukan kuat atau rapuhnya suatu ekosistem. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung lingkungan yang tinggi. Daya dukung lingkungan yang tinggi, lebih banyak dapat menerima sejumlah wisatawan. Daya dukung lingkungan yang kuat, tidak mudah rusak karena gangguan wisatawan, jikalaupun rusak, maka pengembalian atau pulihnya cepat. Ekosistem puncak gunung atau kawah, misalnya Gunung Bromo, dengan suhu yang rendah, tanah yang asam yang kurang subur, adanya gas beracun seperti uap belerang, merupakan ekosistem yang rapuh. Jika terjadi kerusakan, seperti pengambilan bunga Edelweis yang berlebihan, maka untuk “pulih kembali” memerlukan waktu yang cukup lama. Sebaliknya Plaza atau Mall atau tempat tujuan wisata buatan, seperti taman dan pemandian, mempunyai lingkungan biofisik yang kuat. Artinya dapat menampung lebih banyak wisatawan. Kerusakan ekosistemnya dengan mudah untuk dapat dikembalikan lagi.
Daerah tujuan wisata atau tempat wisata yang mempunyai daya dukung lingkungan yang rendah, haruslah hati-hati dalam pengembangannya. Jumlah wisatawan yang masuk harus dibatasi, serta diawasi dengan baik/ketat. Hal ini untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungannya, antara lain pembuangan sampah, sebab sampah lambat membusuk pada daerah yang dingin, terlebih sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang oleh alam.
Salah satu contoh daerah tujuan wisata yang memperhatikan daya dukung lingkungan yaitu Tanah Lot. Jumlah wisatawan yang boleh masuk sampai bagian luar dan tengah (bagian utama tidak untuk wisatawan). Jumlah wisatawan yang masuk, sejumlah selendang yang tersedia, karena setiap wisatawan yang masuk diharuskan memakainya. Wisawatan lain boleh masuk apabila selendang sudah dikembalikan, artinya ada wisatawan yang sudah keluar.
2.    Keanekaragaman
Wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata dengan minat, tujuan, umur, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, dan budaya yang beranekaragam. Dalam pengembangan kepariwisataan harus diusahakan adanya suatu keanekaragaman obyek sebagai daya tarik wisata serta faktor penunjangnya.
Usaha penganekragaman didasarkan pada faktor tujuan, umur, dan mode wisatawan. Misalnya pada obyek wisata Candi peninggalan sejarah, penganekaragamannya disesuaikan dengan wisata sejarah. Demikian juga dalam penganekaragaman, disesuaikan dengan kelompok umur wisatawan yang akan menikmati atraksi atau penggunaan fasilitas penunjangnya. Penganekaragaman disesuaikan dengan mode kepariwisataan yang sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya saat ini. Contoh mode wisata yang baru antara lain: melakukan wisata sambil berolah raga di daerah tujuan wisata, kegiatan pariwisata yang dikaitkan dengan daerah tujuan wisata sebagai tempat dilangsungkannya suatu pertemuan atau konferensi, baik tingkat nasional, regional maupun internasional.
3.    Keindahan Alam
Keindahan suatu bentang alam harus tetap dijaga keasliannya, sebab merupakan aset kepariwisataan yang tinggi. Dalam pembangunan pariwisata sering diubah bentang alam (natural landscape) dengan alasan untuk tujuan wisata. Contoh (1) jalan berkelok di pegunungan dengan lembah yang indah, ditutup oleh papan reklame yang sangat besar, warung-warung pinggir jalan yang tidak teratur dan kumuh, (2) danau atau telaga yang alami pada bagian pinggirnya dibuat dalam atau dibangun rumah peristirahatan, restoran dan hotel yang dekat ke danau, sehingga danau berubah menjadi kolam besar (kolam raksasa). Di samping itu badan perairan tersebut tercemar oleh limbah cair dari berbagai aktivitas dari bangunan yang ada di sekitarnya.
4.    Vandalisme Grafiti
Vandalisme adalah kegiatan yang merusak. Vandalisme yang berkaitan dengan pariwisata adalah vandalisme grafiti berupa coretan-coretan di berbagai tempat termasuk pada obyek-obyek wisata, seperti candi, tebing, tanda lalulintas, tembok bangunan, telpon umum dan lainnya. Vandalisme dalam bentuk yang lain yaitu merusak benda-benda tertentu atau memotong pohon pada saat berkemah, memetik bunga, mengambil tanaman, dan lainnya.
Kegiatan yang merusak ini, aktivitasnya semakin meningkat, terlihat dari banyaknya benda-benda yang dirusak serta sebarannya semakin meluas. Hal ini terutama dilakukan oleh wisatawan domestik remaja, serta berkaitan dengan masa libur sekolah. Vandalisme sangat merugikan pariwisata, seperti perusak dan coretan dengan cat pada Candi. Hal ini pernah diungkapkan oleh Jove Ave pada Konferensi Nasional Pusat Studi Lingkugan di Denpasar pada Oktober 1996. Semakin berkembangnya kegiatan pariwisata, maka vandalisme ini harus dicegah sedini mungkin dengan berbagai cara, salah satunya adalah melalui jalur pendidikan di sekolah atau luar sekolah.
5.    Pencemaran
Pencemaran merupakan musuh utama industri pariwisata. Pada sisi lain kegiatan pariwisata merupakan pencemaran yang besar pula. Semakin sukses kepariwisataan pada suatu daerah, semakin besar pula bahaya pencemarannya. Salah satu bentuk pencemaran adalah limbah padat berupa sampah yang dihasilkan oleh kegiatan wisatawan maupun limbah padat dan cair dari hotel-hotel.
Masalah pencemaran ini terjadi akibat kurang sadarnya wisatawan, terutama domestik dalam membuang limbah dari hasil kegiatannya selama berwisata. Umumnya wisatawan domestik yang melakukan perjalanan dengan keluarga atau rombongan, melakukan kegiatan “pindah makan dan minum”. Masalah pencemaran menjadi lebih meningkat, apabila pada tempat wisata tidak ada atau kurang sekali penyediaan tempat sampah. Jika tersedia tempat sampah, maka penempatannya yang sering kurang representatif.
6.    Dampak Sosial Budaya
Adanya wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata, maka telah terjadi interaksi antara wisatawan dengan penduduk setempat. Wisatawan yang datang mempunyai latar belakang geografi, sosial, ekonomi, budaya yang berbeda dengan penduduk setempat. Penduduk setempat akan menyerap budaya wisawatan, sebaliknya wisatawan juga menyerap budaya lokal. Dampak interaksi tersebut ada yang positif dan ada yang negatif.
Wisatawan terutama dari manca negara/internasional untuk kalangan menengah dan atas, memerlukan fasilitas sesuai dengan standarnya. Hal ini kemudian merupakan suatu “enklave” atau pulau di tengah masyarakat yang masih terbelakang dengan kondisi sosial ekonomi yang sangat berbeda. Perkembangan kegiatan kepariwisataan semakin meningkat, maka perlu diantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan yang akan merugikan kelangsungan pariwisata dan penduduk setempat/lokal.
Dampak sosial budaya yang lain dalam kaitannya dengan pariwisata adalah seks. Pariwisata terkait erat (atau sering dikaitkan) dengan berbagai penyakit sosial seperti pelacuran, kriminal dan penyalahgunaan narkoba. Hall (1992) menyebutkan bahwa seks atau prostitusi merupakan “bagian integral” dari pariwisata. Merupakan suatu kenyataan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual merupakan salah satu motivasi orang melakukan perjalanan wisata. Prostitusi/pelacuran tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan masyarakat. Ini adalah salah satu bisnis yang selalu menyertai perkembangan sebuah destinasi pariwisata. Berbagai DTW di Asia sangat terkenal dengan pariwisata seks, seperti Thailand (khususnya Bangkok), Indonesia (khususnya Dolly) dan Filipina (khususnya Quiapo dan Cebu). Bahkan Malaysia juga sudah menjadi salah satu titik dalam peta perjalanan wisata seks.
7.    Mintakat (Zone)
Dalam pembangunan kepariwisataan timbul berbagai konflik berkaitan dengan tata ruang. Pada satu sisi ingin hal yang bersifat alami, tetapi sis yang lain menghendaki membangun fasilitas atau hotel dekat pantai. Wisatawan tertarik dengan pantai yang indah, tetapi jumlah wisatawan yang banyak justeru dapat menyebabkan kawasan pantai menjadi rusak. Konflik kepentingan dapat dikurangi atau diatasi dengan perencaan tata ruang yang disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang ada. Hal ini kemudian akan menghasilkan permintaan dalam keruangan (Zonasi). Masing-masing mintakat diberi peruntukan berdasarkan potensi geografis, sehingga fungsi utama obyek wisata dan penunjangnya tidak tumpang tindih dan berbagai kepentingan umum tidak terganggu atau dikorbankan hanya semata-mata untuk kepentingan pariwisata saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar