Home » , » Perubahan Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Keanekaragaman Hayati

Perubahan Iklim dan Pengaruhnya Terhadap Keanekaragaman Hayati

Written By Tasrif Landoala on Senin, 19 Agustus 2013 | 07.33



A.  Pendahuluan
Dalam pengertian lain; keanekaragaman hayati merujuk pada keanekaragaman semua jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik (mikroorganisme), serta proses ekosistem dan ekologis dimana mereka menjadi bagiannya (UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan UNCBD). Keanekaragaman genetik (di dalam jenis) mencakup keseluruhan informasi genetik sebagai pembawa sifat keturunan dari semua makhluk hidup yang ada. Keanekaragaman jenis berkaitan dengan keragaman organisme atau jenis yang mempunyai ekspresi genetis tertentu.
Sementara itu, keanekaragaman ekosistem merujuk pada keragaman habitat, yaitu tempat berbagai jenis makhluk hidup melangsungkan kehidupannya dan berinteraksi dengan faktor abiotik dan biotik lainnya. Keanekaragaman hayati lebih dari sekedar jumlah jenis-jenis flora dan fauna.
Pemanasan global merupakan isu lingkungan hidup yang dapat menyebabkan perubahan iklim global. Perubahan iklim global terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50 - 100 tahun. Walaupun terjadi secara perlahan, perubahan iklim memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan mahluk hidup. Dampak yang terjadi antara lain: mencairnya es dikutub selatan, pergeseran musim, dan peningkatan permukaan air laut. Dampak tersebut memberikan pengaruh terhadap kelangsungan mahluk hidup.
Mencairnya es dikutub , terutama sekitar Greenland dapat meningkatkan volume air di laut yang menyebabkan terjadi menambahan tinggi permukaan laut diseluruh dunia. Pada abad ke-20 telah terjadi kenaikan permukaan air laut 20-25 cm. Apabila separuh es Greenland dan Antartika meleleh maka terjadi kenaikan permukaan air laut rata-rata setinggi 6-7 meter. Kenaikan permukaan air dapat menyebabkan terendamnya daratan yang merupakan habitat mahluk hidup.
Perubahan iklim global sebagai penyebab terjadinya penurunan biodiversitas masih bersifat kontroversial untuk saat ini. Kontroversial yang terjadi merupakan suatu pertanyaan apakah benar perubahan iklim merupakan penyebab utama penurunan biodiversitas?
Ada beberapa fakta yang disampaikan oleh Al Gore pada bukunya Earth in The Balance tentang pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas antara lain:
1.    Terjadinya perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan iklim di hutan Amazon. Awan yang biasanya diatas hutan Amazon selalu Hitam menunjukan bahwa intensitas hujan sangat tinggi, akan tetapi sekarang intensitas hujan berkurang ditandai dengan awan yang berada diatas hutan Amazon menjadi terang. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penurunan jumlah burung di hutan Amazon. Akan tetapi hubungan antara hilangnya beberapa spesies burung apakah ada berhubungan langsung dengan berkurangnya curah hujan masih dipertanyakan.
2.    Naiknya suhu laut menyebabkan terjadinya kematian terumbu karang. Memang dibeberapa tempat terumbu karang mengalami kamatian, akan tetapi kematian terumbu karang lebih banyak disebabkan eksploitasi yang berlebihan oleh manusia seperti penggunaan bom ikan.
3.    Terjadinya penurunan biodiversitas yang eksponensial sejak terjadinya revolusi industri dan berbanding lurus dengan pertambahan populasi manusia. Hal tersebut sangat erat sekali dengan eksploitasi seperti diburu atau habitatnya berubah untuk menjadi pemukiman dan pertanian, bukan karena perubahan iklim.

Fakta-fakta di atas merupakan beberapa contoh saja, mengenai pengaruh perubahan iklim terhadap biodiversitas yang masih kontroversial. Untuk membahas kontrovesi ini penulis mencoba membahas dalam tulisan ini.

B.  Teori Kepunahan Mahluk Hidup
Proses seleksi alam merupakan konsep yang dapat menjelaskan terjadinya proses kepunahan mahluk hidup. Mahluk hidup akan punah apabila tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Menurut Karl (1991); Lawrence (1991) ada tujuh faktor yang mempengaruhi sensitifitas mahluk hidup terhadap kepunahan yaitu:
1.  Kelangkaan: Spesies disebut langka apabila hanya ditemukan pada area tertentu atau tersebar, tetapi dalam jumlah individu yang sedikit. Spesies langka tergantung pada faktor geografis, habitat khusus dan ukuran populasi.
2. Kemampuan migrasi: Spesies yang tidak mempunyai kemampuan migrasi mempunyai sensitifitas yang tinggi dibandingkan spesies yang bisa migrasi terhadap kepunahan. Spesies yang dapat migrasi dapat menghindari dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan.
3. Derajat spesialisasi: Spesies yang mempunyai derajat spesialisasi lebih tinggi sangat sensitif terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai derajat lebih rendah. Contoh spesies yang mempunyai derajat spesialisasi tinggi adalah Beruang Panda. Hewan ini hanya memakan satu jenis daun bamboo, sehingga kalau terjadi kelangkaan bahan makanan ini dapat mempengaruhi kelestarian beruang panda.
4.  Variabilitas populasi: Populasi spesies yang relatif stabil akan lebih adaptif dibandingkan spesies yang populasinya fluktuatif terhadap perubahan lingkungan.
5.  Tingkatan trophik: Mahluk hidup didalam ekosistem berdasarkan jaringjaring makanan berada pada tingkat berbeda. Tingkatan tropik paling bawah adalah produsen, tingkatan kedua adalah herbivora dan tingkatan selanjutnya adalah karnivora. Tingkatan paling bawah mempunyai populasi lebih besar dibandingkan tingkat diatasnya. Berdasarkan ukuran populasi sensitifitas tingkat tropik paling atas relatif lebih sensitif terhadap kepunahan.
6. Lama hidup: Spesies yang mempunyai waktu hidup lebih pendek lebih sensitif terhadap kepunahan dibandingkan dengan spesies yang mempunyai waktu hidup lebih panjang.
7. Kecepatan penambahan populasi: Sensitifitas terhadap kepunahan tergantung dari kemampuan reproduksi spesies. Spesies yang mempunyai kemampuan reproduksi tinggi (kecepatan pertumbuhan populasi tinggi) akan lebih adaptif dibandingkan dengan spesies yang kemampuan reproduktifnya lebih rendah.

Penyebab terjadi kepunahan mahluk hidup dapat dikategorikan secara langsung atau tidak langsung. Penyebab langsung adalah perubahan yang terjadi dapat langsung menyebabkan kematian mahluk hidup, sedangkan penyebab tidak langsung adalah perubahan yang terjadi menyebabkan terjadinya perubahan faktorlain yang menyebabkan kematian mahluk hidup.
Ada empat faktor penyebab yang mengancam kehidupan spesies (Stiling.P.D, 1992) yaitu:
1. Hilangnya atau modifikasi habitat: Penyebab terjadinya hilang atau modifikasi habitat disebabkan oleh aktifitas manusia antara lain, perubahan lahan menjadi lahan pertanian atau perumahan pencemaran dan polusi.
2. Over eksploitasi: Contoh terjadinya eksploitasi antara lain budaya berburu, penjualan kayu dan perdagangan hewan.
3. Eksotik spesies: Introduksi spesies pada habitat suatu spesies dapat menyebabkan terjadinya kompetisi.
4.    Penyakit: Penyakit endemik atau eksotik dapat menyebabkan kematian massal spesies.

C.  Hubungan Iklim dan Ekosistem
Ekosistem adalah suatu kesatuan faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi. Sesuai dengan definisi diatas iklim yang merupakan faktor abiotik akan mempengaruhi faktor biotik (mahluk hidup). Menurut Smith (2000) Iklim hampir mempengaruhi semua aspek ekosistem antara lain respon fisiologi dan perilaku mahluk hidup, kelahiran, kematian dan pertumbuhan populasi, kemampuan kompetisi spesies, struktur komunitas, produktivitas dan siklus nutirisi.
Dalam buku Element of Ecology yang ditulis Robert Smith dan Thomas Smith, dijelaskan suatu penelitian seorang botanist yang membagi vegetasi dibumi ini menjadi 5 (lima) formasi tumbuhan yaitu padang pasir, padang rumput, konifera, temperate dan hutan tropis. Pada saat yang sama penelitian juga dilakukan oleh peneliti geografi tumbuhan dan geografi hewan. Dari hasil penelitiannya ternyata formasi vegetasi tumbuhan ada korelasi antara iklim dengan vegetasi, setiap vegetasi mempunyai karakteristik iklim tertentu, akan tetapi berbanding terbalik dengan hewan tidak ada korelasi antara iklim dengan penyebaran populasi hewan.
Ada pandangan lain yaitu V.E.Shelford (Smith dan Smith, 2000) menyatakan bahwa tumbuhan dan hewan merupakan satu kesatuan yang disebut dengan bioma, dimana hewan dan tumbuhan saling bergantung dalam ekosistemnya. Berdasarkan penelitian beliau bahwa penyebaran bioma berkorelasi dengan iklim lingkungannya.

D.  Degradasi Keanekaragaman Hayati dan Penyebabnya
Keanekaragaman hayati sering diartikan dengan kekayaan jenis spesies mahluk hidup pada suatu daerah. Biodiversitas diukur dalam berupa indeks, metode pengukurannyapun bermacam-macam karena setiap indeks mempunyai asumsi yang berbeda. Seiring dengan isu perubahan iklim, degradasi biodeversitas merupakan suatu wacana yang sering diasumsikan merupakan dampak akibat perubahan iklim.
1.    Populasi manusia dan penurunan keanekaragaman hayati
Salah satu faktor yang sering dijadikan isu penyebab terjadinya penurunan keanekaragaman hayati adalah pertambahan populasi manusia. Dampak dari jumlah populasimanusia menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan akan makanan, tempat tinggal dan sandang.
2.    Faktor penyebab kepunahan spesies
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kepunahan spesies. Yang sering menjadi fokus penyebab kepunahan spesies adalah berubahnya habitat mahluk hidup yang dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti konversi lahan atau perubahan faktor lingkungan. Dari hasil pengamatan World Conservation Monitoring Center menunjukan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepunahan spesies. Faktor tersebut adalah hilangnya atau berubahnya habitat, eksploitasi, masuknya spesies baru dan lain-lain. Faktor pengaruh berubahnya atau hilangnya habitat akibat dari pengaruh iklim dan alam termasuk kategori lain-lain. Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa pengaruh iklim terhadap kepunahan spesies antara lebih kecil dari 15%.

E.  Dampak Perubahan Iklim Terhadap Keanekaragaman Hayati
Tingkat perubahan iklim sekarang melebihi semua variasi alami dalam 1000 tahun terakhir. Debat tentang iklim perubahan telah sekarang mencapai suatu langkah dimana kebanyakan ilmuwan menerima bahwa, emisi gas rumah kaca mengakibatkan perubahan iklim yang berdampak berbagai sendi-sendi kehidupan.
Salah satu sendi kehidupan yang vital dan terancam oleh adanya perubahan iklim ini adalah keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan ekosistem. Biodiversitas sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim. Perubahan iklim berpengaruh terhadap perubahan keanekaragaman hayati dan ekosistem baik langsung maupun tidak langsung.
1.    Dampak langsung perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati
Pada bagian ini akan dibahas tentang dampak langsung perubahan iklim yang paling berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati :
a.  Spesies ranges (cakupan jenis) - Perubahan Iklim berdampak pada pada temperatur dan curah hujan. Hal ini mengakibatkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan diri, terutama spesies yang mempunyai kisaran toleransi yang rendah terhadap fluktuasi suhu.
b. Perubahan fenologi - Perubahan iklim akan menyebabkan pergeseran dalam siklus yang reproduksi dan pertumbuhan dari jenis-jenis organisme, sebagai contoh migrasi burung terjadi lebih awal dan menyebabkan proses reproduksi terganggu karena telur tidak dapat dibuahi. Perubahan iklim juga dapat mengubah siklus hidup beberapa hama dan penyakit, sehingga akan terjadi wabah penyakit.
c. Perubahan interaksi antar spesies - Dampak yang iklim perubahan akan berakibat pada interaksi antar spesies semakin kompleks (predation, kompetisi, penyerbukan dan penyakit). Hal itu membuat ekosistem tidak berfungsi secara ideal.
d. Laju kepunahan - Kepunahan telah menjadi kenyataan sejak hidup itu sendiri muncul. Beberapa juta spesies yang ada sekarang ini merupakan spesies yang berhasil bertahan dari kurang lebih setengah milyar spesies yang diduga pernah ada. Kepunahan merupakan proses alami yang terjadi secara alami. Spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Kita dapat memahami ini melalui catatan fosil. Tetapi, sekarang spesies menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan manusia. Di masa yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang dan mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah rusak dan hilang. Kelangsungan hidup rata-rata suatu spesies sekiar 5 juta tahun. Rata-rata 900.000 spesies telah menjadi punah setiap 1 juta per tahun dalam 200 juta tahun terakhir. Laju kepunahan secara kasar diduga sebesar satu dalam satu persembilan tahun. Laju kepunahan yang diakibatkan oleh ulah manusia saat ini beratus-ratus kali lebil tinggi. Perubahan iklim yang lebih menyebar luas tampaknya akan terjadi dalam pada masa mendatang sejalan dengan bertambahnya akumulasi gas-gas rumah kaca dalam atmosfer yang selanjutnya akan meningkatkan suhu permukaan bumi. Perubahan ini akan menimbulkan tekanan yang cukup besar pada semua ekosistem, sehingga membuatnya semakin penting untuk mempertahankan keragaman alam sebagai alat untuk beradaptasi. Beberapa kelompok spesies yang lebih rentan terhadap kepunahan daripada yang lain. Kelompok spesies tersebut adalah :
·  Spesies pada ujung rantai makanan, seperti karnivora besar, misal harimau (Panthera tigris). Karnivora besar biasanya memerlukan teritorial yang luas untuk mendapatkan mangsa yang cukup. Oleh karena populasi manusia terus merambah areal hutan dan penyusutan habitat, maka jumlah karnivora yang dapat ditampung juga menurun.
·   Spesies lokal endemik (spesies yang ditemukan hanya di suatu area geografis) dengan distribusi yang sangat terbatas, misalnya badak Jawa (Rhinoceros javanicus). Ini sangat rentan terhadap gangguan habitat lokal dan perkembangan manusia.
·   Spesies dengan populasi kecil yang kronis. Bila populasi menjadi terlalu kecil, maka menemukan pasangan atau perkawinan (untuk bereproduksi) menjadi masalah yang serius, misalnya Panda.
·   Spesies migratori adalah spesies yang memerlukan habitat yang cocok untuk mencari makan dan beristirahat pada lokasi yang terbentang luas sangat rentan terhadap kehilangan ‘stasiun habitat peristirahatannya.
·  Spesies dengan siklus hidup yang sangat kompleks. Bila siklus hidup memerlukan beberapa elemen yang berbeda pada waktu yang sangat spesifik, maka spesies ini rentan bila ada gangguan pada salah satu elemen dalam siklus hidupnya.
·   Spesies spesialis dengan persyaratan yang sangat sempit seperti sumber makanan yang spesifik, misal spesies tumbuhan tertentu.

Satu spesies diperkirakan punah setiap harinya. Inventarisasi yang dilakukan oleh badan-badan internasional, seperti International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) dapat dijadikan indikasi tentang keterancaman spesies. Pada 1988 sebanyak 126 spesies burung, 63 spesies binatang lainnya dinyatakan berada di ambang kepunahan (BAPPENAS, 1993). Pada 2002, Red data List IUCN menunjukan 772 jenis flora dan fauna terancam punah, yaitu terdiri dari 147 spesies mamalia, 114 burung, 28 reptilia, 68 ikan, 3 moluska, dan 28 spesies lainnya serta 384 spesies tumbuhan. Salah satu spesies tumbuhan yang baru-baru ini juga dianggap telah punah adalah ramin (Gonystylus bancanus). Spesies tersebut sudah dimasukkan ke dalam Appendix III Convention of International Trade of Endengered Species of Flora and Fauna (CITES). Sekitar 240 spesies tanaman dinyatakan mulai langka, di antaranya banyak yang merupakan kerabat dekat tanaman budidaya. Paling tidak 52 spesies keluarga anggrek (Orchidaceae) dinyatakan langka.
e.  Penyusutan Keragaman Sumber Daya Genetik - Ancaman terhadap kelestarian sumberdaya genetik juga dapat ditimbulkan oleh adanya pengaruh pemanasan global. Beberapa varian dari tanaman dan hewan menjadi punah karena perubahan iklim. Kepunahan spesies tersebut menyebabkan sumberdaya genetic juga akan hilang. Ironisnya banyak sumberdaya genetic (plasma nutfah) belum diketahui apalagi dimanfaatkan, kita menghadapi kenyataan mereka telah hilang.
f.  Akibat dari perubahan iklim yang ekstrim - Efek perubahan iklim akan menimbulkan peristiwa ekstrim seperti meledaknya hama dan penyakit, musim kering yang berkepanjangan, El Niño, musim penghujan yang relatif pendek, namun curah hujan cukup tinggi, sehingga timbul dampak banjir dan tanah longsor. Peristiwa yang ekstrim ini akan mempengaruhi organisma, populasi dan ekosistem.

2.    Dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap biodiversitas
Berbagai penyebab penuruanan keanekaragaman hayati diberbagai ekosisten antara lain konversi lahan, pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, praktik teknologi yang merusk, masuknya spesies asing dan perubahan iklim.
a.    Dampak terhadap Ekosistem Hutan - Ekosistem hutan mengalami ancaman kebakaran hutan yang terjadi akibat panjangnya musim kemarau. Jika kebakaran hutan terjadi secara terus menerus, maka akan mengancam spesies flora dan fauna dan merusak sumber penghidupan masyarakat. Indonesia mempunyai lahan basah (termasuk hutan rawa gambut) terluas di Asia, yaitu 38 juta ha yang tersebar mulai dari bagian timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Maluku sampai Papua. Tetapi luas lahan basah tersebut telah menyusut menjadi kurang lebih 25,8 juta ha (Suryadiputra, 1994). Penyusutan lahan basah dikarenakan berubahnya fungsi rawa sebesar 37,2 persen dan mangrove 32,4 persen. Luas hutan mangrove berkurang dari 5,2 juta ha tahun 1982 menjadi 3,2 juta ha tahun 1987 dan menciut lagi menjadi 2,4 juta ha tahun 1993 akibat maraknya konversi mangrove menjadi kawasan budi daya (Suryadiputra, 1994, Dahuri et al, 2001).
b. Dampak pada daerah kutub - Sejumlah keanekaragaman hayati terancam punah akibat peningkatan suhu bumi rata-rata sebesar 10˚ C. Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Spesies-spesies yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah es di kutub.
c. Dampak pada daerah arid dan gurun - Dengan adanya pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim mengakibatkan luas gurun menjadi semakin bertambah (desertifikasi).
d. Dampak pada ekosistem pertanian - Perubahan iklim akan menyebabkan terjadinya perubahan cuaca, sehingga periode musim tanam menjadi berubah. Hal ini akan mengakibatkan beberapa spesies harus beradaptasi dengan perubahan pola tanam tersebut.
e.  Dampak Ekologis bagi Wilayah Pesisir (mangrove) - Pemanasan global, salah satu perubahan iklim global, telah diyakini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di berbagai wilayah dunia. Wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rentan terkena dampak buruk pemanasan global sebagai akumulasi pengaruh daratan dan lautan. Dalam ringkasan teknisnya tahun ini, Intergovernmental Panel on Climate Change, suatu panel ahli untuk isu perubahan iklim, menyebutkan tiga faktor penyebab kerentanan wilayah ini (TS WG I IPCC, 2007:40).

Pertama, pemanasan global ditenggarai meningkatkan frekuensi badai di wilayah pesisir. Setiap tahun, sekitar 120 juta penduduk dunia di wilayah pesisir menghadapi bencana alam tersebut, dan 250 ribu jiwa menjadi korban hanya dalam kurun 20 tahun terakhir (tahun 1980-2000). Peneliti bidang Meteorologi di AS mencatat adanya peningkatan frekuensi badai tropis di Laut Atlantik dalam seratus tahun terakhir (KCM, 31 Juli 2007). Pada periode 1905-1930 di wilayah pantai Teluk Atlantik terjadi rata-rata enam badai tropis per tahun. Rata-rata tahunan itu melonjak hampir dua kali lipat (10 kali badai tropis per tahun) pada periode tahun 1931-1994 dan hampir tiga kali lipat (15 kali badai tropis) mulai tahun 1995 hingga 2005. Pada tahun 2006 yang dikenal sebagai “tahun tenang” saja masih terjadi 10 badai tropis di wilayah pesisir ini. Juga dilaporkan pola peningkatan kejadian badai tropis ini tetap akan berlangsung sepanjang pemanasan global masih terjadi.
Kedua, pemanasan global diperkirakan akan meningkatkan suhu air laut berkisar antara 1-3° C. Dari sisi biologis, kenaikan suhu air laut ini berakibat pada meningkatnya potensi kematian dan pemutihan terumbu karang di perairan tropis. Dampak ini diperkirakan mengulang dampak peristiwa El Nino Southern Oscillation (ENSO) di tahun 1997-1998. World Resource Institute tahun 2002 menyatakan suhu air laut yang meningkat 1-3°C pada saat itu telah memicu peristiwa pemutihan terumbu karang yang terbesar sepanjang sejarah. Hampir sekitar 18% terumbu karang di Asia Tenggara rusak dan hancur. Di Indonesia sendiri cakupannya mulai dari perairan Sumatera, Jawa, Bali hingga Lombok.
Terjadi kematian sebanyak 90-95% terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Seribu dan 2 tahun setelah kejadian baru pulih 30%. El nino tahun itu juga telah menyebabkan sekitar 90% terumbu karang di Kepulauan Mentawai mengalami kematian. Ekosistem terumbu karang di perairan Indonesia seluas 51.875 km2, yang setara dengan sepertiga luas pulau Jawa, terancam rusak dan hancur secara permanen jika pemanasan global terus berlangsung. Ini juga berarti terancamnya kelangsungan berbagai macam kehidupan biota laut yang tergantung hidupnya pada ekosistem alam ini. Kerusakan terumbu karang juga berarti hilangnya pelindung alam wilayah pesisir yang akan memicu peningkatan laju abrasi pantai.
Luas terumbu karang Indonesia diduga berkisar antara 50.020 Km2 (Moosa dkk, 1996 dalam KLH, 2002) hingga 85.000 km2 (Dahuri 2002). Hanya sekitar 6 % terumbu karang dalam kondisi sangat baik, diperkirakan sebagian terumbu karang Indonesia akan hilang dalam 10-20 tahun dan sebagian lainnya akan hilang dalam 20-40 tahun. Rusaknya terumbu karang mempunyai dampak pada masyarakat pesisir, misalnya berkurangnya mata pencaharian nelayan kecil.

F.   Kondisi Keanekaragaman Hayati
Dalam laporan penelitian WWF (World Wildlife Fund), Habitats at Risk : Global Warming and Species Loss in Terrestrial Ecosystems, ditemukan bahwa dengan beberapa asumsi mengenai pemanasan global di masa depan dan dampaknya terhadap beberapa tipe vegetasi utama, kepunahan spesies akan terjadi di kebanyakan ekoregion signifikan di bumi. Laporan tersebut meneliti dampak perubahan iklim pada ekosistem teresterial yang diidentifikasikan WWF sebagai bagian dari Global 200 tempat-tempat dimana terdapat keanekaragaman hayati bumi yang paling unik dan kaya. Apabila tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer dalam 100 tahun mendatang dikalikan dua dari sekarang maka jumlah yang sesungguhnya lebih kecil dari perkiraan para ahli iklim, dampak-dampak berikut diperkirakan akan terjadi :
1.  Lebih dari 80 persen dari ekoregion yang diteliti akan menderita kepunahan tumbuhan dan binatang sebagai akibat pemanasan global.
2.  Beberapa dari ekosistem alami yang paling kaya akan kehilangan lebih dari 70 persen dari habitatnya, dimana habitat tersebut adalah tempat hidup dari tumbuhan dan binatang di dalamnya.
3. Banyak habitat yang akan berubah sepuluh kali lebih cepat daripada seharusnya, yang menyebabkan kepunahan species yang tidak dapat bermigrasi atau beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Dari hasil riset persatuan kosnservasi dunia (IUNC) menunjukan pada tahun 2007 ada 16.306 spesies yang terancam yang terdiri dari hewan bertulang belakang, hewan tak bertulang belakang dan tumbuhan. Hal tersebut menunjukan degradasi keanekaragaman hayati terus meningkat sehingga perlu penanganan khusus untuk mengurangi laju penurunan keanekaragaman hayati dunia.

G. Konvensi Keanekaragaman Hayati
Konvensi Keanekaragaman Hayati adalah Perjanjian multilateral untuk mengikat para pihak (negara peserta konvensi) dalam menyelesaikan permasalahan global khususnya keanekaragaman hayati. Konvensi keanekaragaman hayati lahir sebagai wujud kekhawatiran umat manusia atas semakin berkurangnya nilai keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh laju kerusakan keanekaragaman hayati yang cepat dan kebutuhan masyarakat dunia untuk memadukan segalaupaya perlindungannya bagi kelangsungan hidup alam dan umat manusia selanjutnya.
Secara singkat sejarah munculnya konvensi keanekaragaman hayati adalah dari hasil pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro yang merupakan bentuk penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm pada tanggal 16 Juni Tahun 1972, terutama menyangkut isi deklarasi bahwa permasalahan lingkungan merupakan isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi Stockholm). Pertemuan KTT Bumi Tahun 1992 di Rio de Janeiro ini telah merumuskan lima dokumen, yakni;
a.    Deklarasi Rio;
b.    Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim;
c.    Konvensi Keanekaragaman Hayati;
d.   Prinsip-Prinsip Pengelolan Hutan; dan
e.    Agenda 21.

Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber daya hayati sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yuridiksi nasional. UNCED atau Earth Summit juga begitu penting karena untuk pertama kalinya memberikan kesadaran ke seluruh dunia bahwa masalah lingkungan sangat terkait erat dengan kondisi ekonomi dan masalah keadilan sosial. Pertemuan ini menegaskan bahwa kebutuhan sosial, lingkungan dan ekonomi harus dipenuhi secara seimbang sehingga hasilnya akan berlanjut hingga generasi-generasi yang akan datang.
Hasil utamanya adalah Agenda 21, yaitu sebuah program aksi yang menyeluruh dan luas yang menuntut adanya cara-cara baru dalam melaksanakan pembangunan sehingga pada abad 21 di seluruh dunia pembangunan akan bersifat berkelanjutan. Hasil lain UNCED yang membahas tentang keanekaragaman hayati adalah:
a.  Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity). Bagian kedua dari agenda 21 berupa Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan. Bagian ini menekankan pada pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam, sumberdaya genetik, spesies, dan ekosistem serta isu-isu penting lainnya. Semuanya memerlukan kajian lebih lanjut bila tujuan pembangunan berkelanjutan yang ingin dicapai baik pada tingkat global, nasional dan local. Konvensi ini bertujuan untuk melestarikan beraneka sumber daya genetika/plasma nutfah, spesies, habitat dan ekosistem. Selain itu konvensi juga bertujuan untuk menjamin pemanfaatan secara berkelanjutan berbagai sumber daya hayati dan untuk menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil. Hingga kini telah diratifikasi oleh 180 negara.
b.   Prinsip-prinsip Rio tentang Hutan ( Rio Forestry Principles). Terdiri dari 15 prinsip yang secara hukum mengikat para pengambil keputusan di tingkat nasional dan internasional dalam rangka perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Meletakkan dasar-dasar proses untuk Konvensi Kehutanan Internasional (International Forestry Convention).

Konvensi mengenai Biodiversity (keanekargaman hayati) dan konvensi Ramsar untuk melindungi berbagai jenis tanaman dan satwa dari kepunahan dan mengelola ekosystem lahan basah (wet land) supaya dapat meberikan hasil guna dari segi ekonomis-sosial-budaya dan kelestariannya tetap terjaga.

H.  Upaya Perlindungan Keanekaragaman Hayati dari Kepunahan
Pada awal tahun 1990 KLH telah menyusun suatu Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati yang diikuti dengan kompilasi Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Action Plan of Indonesia - BAPI) yang diterbitkan oleh BAPPENAS pada tahun 1993. Saat ini BAPPENAS dengan bantuan Global Environment Facilities (GEF) sedang merevisi BAPI melalui penyusunan Rencana Aksi dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan - IBSAP). Kegiatan yang melibatkan berbagai instansi terkait danLSM ini, diharapkan akan selesai pada tahun 2003 ini.
Sementara itu, pemerintah telah juga mengembangkan UU No. 5 Tahun 1994 mengenai Ratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity - CBD). KLH bertindak sebagai National Focal Point yang bertugas mengkoordinasikan implementasi CBD di tingkat nasional. Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang terkait, seperti CITES, RAMSAR, World Heritage Convention (WHC)) serta telah menandatangai Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati. Pemerintah juga berpartisipasi pada kegiatan MAB (Man and Biosphere) yang dikoordinasikan oleh UNESCO dan dalam kerangka ASEAN, Indonesia berpartisipasi aktif pada kegiatan program ARCBC (ASEAN Regional Center on Biodiversity Conservation) yang merupakan proyek kerjasama ASEAN-EU dan berkedudukan di Manila.
Beberapa upaya/ aktifitas lain terkait dengan keanekaragaman hayati yang telah dilakukan adalah:
a. Penetapan kebijakan konservasi in-situ and ex-situ. Konservasi in-situ dilaksanakan dengan menetapkan kawasan lindung yang terdiri dari kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat ini Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar 17,8 juta ha dan 30 kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75 ha. Dari kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat (luas ±11 juta ha) dan 6 tanaman nasional laut (luas ± 3,7 juta ha). Konservasi ex-situ dilakukan untuk pelestarian spesies di luar habitat alaminya. Saat ini ada 23 unit kebun binatang, 17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan 2 taman safari, 3 taman burung, 4 rehabilitasi lokasi orang utan dan 6 pusat rehabilitasi gajah. Pelestarian keragaman sumber daya genetik, terutama untuk tanaman pertanian dan ternak dilakukan melalui koleksi plasma nutfah yang dilakukan oleh beberapa balai penelitian di bawah Departemen Pertanian. Konservasi ex-situ menghadapi berbagai masalah, yaitu kekurangan dana, fasilitas dan tenaga terlatih. Sebagai contoh, berbagai balai atau pusat penelitian tidak mempunyai fasilitas penyimpanan jangka panjang, sehingga koleksi harus ditanam atau ditangkar ulang;
b. Pada tahun 2002, telah dimulai suatu pembahasan tentang kemungkinan Indonesia untuk meratifikasi Protokol Cartagena dan International Treaty on Genetic Resources for Food and Agriculture (ITGRFA) dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari teknologi rekayasa genetika pada komponen keanekaragaman hayati.
c. Indonesia telah berpartisipasi di Kelompok ”Like Minded Megadiversity Countries (LMMDC)“ dimulai sejak diadopsinya Deklarasi Cancun, di Mexico, February 2002. KLH telah berpartisipasi pada beberapa kali pertemuan selama tahun 2002, yang bertujuan antara lain untuk saling bertukar pengalaman dan mencari posisi bersama dalam pengembangan rejim internasional untuk masalah akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya hayati.
d. Fase baru kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia dalam bidang pengelolaan lingkungan berkelanjutan (Sustainable Environmental Management) dimulai kembali akhir tahun dan akan berlangsung selama 5 tahun.
e. Upaya pengendalian spesies invasif telah mulai dikembangkan dengan menyusun pedoman untuk pengendalikan species asing invasif oleh KLH di tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2002 telah diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif dalam upaya untuk mengangkat permasalahan ini sebagai langkah mengantisipasi kemungkinan kepunahan spesies lokal akibat dari masuknya spesies asing yang tidak diinginkan.


Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger