Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk
memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar
wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan
ini. Menurut PPRI No. 47/1997 yang dimaksudkan dengan wilayah adalah
ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional tertentu.
Jadi pengembangan wilayah merupakan usaha
memberdayakan pihak terkait (stakeholders) di suatu wilayah dalam
memanfaatkan sumberdaya dengan teknologi untuk memberi nilai tambah (added
value) atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif/wilayah
fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah
tersebut. Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah
mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan sumberdaya manusia
dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta
kemampuan memanfaatkan peralatan pendukung (instrument) yang ada.
Dengan target tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar
kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan
sumberdaya. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia, masih
muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah sumberdaya
yang ketersediaannya cukup melimpah.
Konsep Marshal Plan yang berhasil menuntun
pembangunan Eropa setelah Perang Dunia II telah mendorong banyak negara
berkembang (developing countries) untuk berkiblat dan menerapkan
konsep tersebut. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa konsep tersebut membawa
kegagalan dalam menciptakan pembangunan secara merata antar daerah.
Secara geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara
dramatis, sementara beberapa pusat pertumbuhan lainnya masih jauh
tertinggal atau jauh dari kemampuan berkembang.
Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini
selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek
sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktivitas masyarakat suatu wilayah
dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian
aspek spasial/keruangan lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau
dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.
Pada aspek inilah Sistem Informasi Geografi (SIG) mempunyai peran yang
cukup strategis, dikarenakan SIG mampu menyajikan aspek keruangan/spasial
dari fenomena/fakta yang dikaji (Susilo, K., 2000).
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan
spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembangan wilayah yang
harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung,
mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik
dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut
digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah yang didasarkan pada
penataan ruang. Dalam kaitan itu terdapat 3 (tiga) kelompok konsep
pengembangan wilayah yaitu: konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi
fungsional, dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et.al. (1999).
Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi
secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang
telah mempunyai infrastruktur yang baik.
Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan
diharapkan melalui proses/mekanisme tetesan ke bawah (trickle down
effect). Penerapan konsep ini di Indonesia sampai dengan tahun 2000
telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN). Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya
integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat
pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini
menempatkan suatu kota/ wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat
pelayanan relatif terhadap kota/wilayah yang lain. Sedangkan konsep
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar
dari sumberdana dan sumberdaya manusia. Pendekatan tersebut
mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini munculah beberapa konsep
untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain ‘people
center approach’ yang menekankan pada pembangunan sumberdaya
manusia, ‘natural resources-based development’ yang
menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta ‘technology
based development’ yang melihat teknologi sebagai kunci dari
keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi
konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan
global yang sering memaksa penerapan sistem ‘outsourcing’,
kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis,
perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi,
otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah
mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin
kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk
mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsepkonsep yang
dijelaskan tersebut. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya
sendiri (otonomi). Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan
tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif (comparative
advantage) berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang
dikenal dengan ‘bubble economics’, sudah usang karena terbukti
tak tahan terhadap gelombang krisis.
Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah
bermetamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi
berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter,
ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri
et.al. (1999). Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula
diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara
menerus. Menurut Porter (1990) keunggulan komparatif telah dikalahkan
oleh kemajuan teknologi. Namun demikian setiap wilayah masih mempunyai
faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang
murah saja, tetapi lebih dari itu yaitu adanya inovasi untuk pembaharuan.
Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui 4 (empat) hal
yaitu keunggulan factor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan
masyarakat, dan besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan
wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan 3 (tiga) pilar,
yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar
tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan
berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut
mencerminkan kinerja dari suatu wilayah, yang akan berbeda antar
wilayah, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah.
Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi
pusat jaringan keruangan (spatial network) dari wilayah-wilayah
lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang
antara lain apabila salah di dalam mengelola jaringan keruangan tadi
tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus
diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan
keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh pemerintah pusat. Konsep
pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar
wilayah dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah yang kurang
berkembang.