Home » » Konsep Pengembangan Wilayah

Konsep Pengembangan Wilayah

Written By Tasrif Landoala on Senin, 23 September 2013 | 09.01



Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut PPRI No. 47/1997 yang dimaksudkan dengan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional tertentu.
Jadi pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan pihak terkait (stakeholders) di suatu wilayah dalam memanfaatkan sumberdaya dengan teknologi untuk memberi nilai tambah (added value) atas apa yang dimiliki oleh wilayah administratif/wilayah fungsional dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan memanfaatkan peralatan pendukung (instrument) yang ada. Dengan target tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan sumberdaya. Apabila konsep tersebut diterapkan di Indonesia, masih muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk mengolah sumberdaya yang ketersediaannya cukup melimpah.
Konsep Marshal Plan yang berhasil menuntun pembangunan Eropa setelah Perang Dunia II telah mendorong banyak negara berkembang (developing countries) untuk berkiblat dan menerapkan konsep tersebut. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa konsep tersebut membawa kegagalan dalam menciptakan pembangunan secara merata antar daerah. Secara geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara dramatis, sementara beberapa pusat pertumbuhan lainnya masih jauh tertinggal atau jauh dari kemampuan berkembang.
Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktivitas masyarakat suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial/keruangan lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut. Pada aspek inilah Sistem Informasi Geografi (SIG) mempunyai peran yang cukup strategis, dikarenakan SIG mampu menyajikan aspek keruangan/spasial dari fenomena/fakta yang dikaji (Susilo, K., 2000).
Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembangan wilayah yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah yang didasarkan pada penataan ruang. Dalam kaitan itu terdapat 3 (tiga) kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu: konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional, dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et.al. (1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik.
Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses/mekanisme tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia sampai dengan tahun 2000 telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota/ wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota/wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia. Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini munculah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain ‘people center approach’ yang menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, ‘natural resources-based development’ yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta ‘technology based development’ yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem ‘outsourcing’, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsepkonsep yang dijelaskan tersebut. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri (otonomi). Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif (comparative advantage) berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan ‘bubble economics’, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis.
Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah bermetamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri et.al. (1999). Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu yaitu adanya inovasi untuk pembaharuan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui 4 (empat) hal yaitu keunggulan factor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan 3 (tiga) pilar, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah, yang akan berbeda antar wilayah, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat jaringan keruangan (spatial network) dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah di dalam mengelola jaringan keruangan tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh pemerintah pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah yang kurang berkembang.
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger