Kebijaksanaan
pemerintah yang mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis untuk
mnejaga kelestarian sumberdaya laut, adalah terbitnya Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dimana secara tegas telah mengatur mengenai kewenangan daerah dalam pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang terdiri dari wilayah darat dan laut
sejauh 12 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah
perairan kepulauan.
Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN), 1999-2004, mengamanatkan agar pembangunan wilayah
Indonesia dapat dilaksanakan secara seimbang dan serasi antara dimensi
pertumbuhan dengan dimensi pemerataan, antara pengembangan Kawasan Barat dengan
Kawasan Timur Indonesia, serta antara kawasan perkotaan dengan kawasan
perdesaan. Hal ini dimaksudkan agar kesenjangan pembangunan antar wilayah dapat
segera teratasi melalui pembangunan yang terencana dengan matang, sistematis,
dan bertahap. Dalam kaitan ini, maka pengembangan wilayah merupakan
sebuah pendekatan yang digunakan agar tujuan pembangunan nasional sesuai dengan
amanat GBHN diatas benar-benar dapat terwujud.
Pengembangan
wilayah menekankan pula keserasian dan keseimbangan antara pembangunan pada
wilayah hulu dengan wilayah hilir, antara wilayah daratan (main-land) dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (perairan),
serta antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dengan kata lain,
pengembangan wilayah menekankan adanya keserasian dan keseimbangan antara
pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, demi terselenggaranya
pembangunan yang berkelanjutan untuk generasi mendatang (development
sustainability) (Darwanto, 2000).
Dalam
rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang terpadu, terarah dan holistik,
maka pendekatan pengembangan wilayah untuk pembangunan nasional ditempuh dengan
instrumen penataan ruang, yang terdiri dari perencanaan, pembangunan
(pemanfaatan ruang) dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang
merupakan landasan ataupun acuan kebijakan dan strategi pembangunan bagi
sektor-sektor maupun wilayah-wilayah yang berkepentingan agar terjadi kesatuan
penanganan yang sinergis sekaligus mengurangi potensi konflik lintas wilayah
dan lintas sektoral. (Kusumastanto, 2000), selanjutnya bahwa dalam upaya
memberikan respons terhadap beratnya tantangan yang akan dihadapi pada masa
mendatang, serta mendorong percepatan otonomi daerah, maka pada tingkat
nasional ditempuh kebijakan pokok revitalisasi penataan ruang yang bertujuan
untuk mengfungsikan kembali penataan ruang sejalan dengan paradigma baru, yakni
keterbukaan, akuntabilitas sehingga mampu menjawab berbagai persoalan dan
masalah aktual yang ada sekaligus meletakan landasan pembangunan ke depan yang
lebih baik.
Selain
itu, kebijakan penting lainnya yang dikembangkan adalah : (a) penyiapan Norma,
Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk per-cepatan desentralisasi bidang
penataan ruang ke daerah; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c)
sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public
campaign dan (d) penyiapan dukungan sistem informasi penataan ruang.
Sebagai
penjaga kepentingan nasional, pemerintah pusat juga mengeluarkan kerangka
perencanaan makro dalam wujud RTRWN dan RTR Pulau sebagai operasionalisasinya.
Pada tingkatan rencana makro tersebut, yang merupakan fokus penataan adalah
bagaimana mewujudkan struktur perwilayahan melalui upaya mensinergikan antar
kawasan yang antara lain dicapai dengan pengaturan hirarki fungsional yaitu:
sistem kota-kota, sistem jaringan prasarana wilayah, serta fasilitasi kerjasama
lintas propinsi, kabupaten, dan kota.
Kusumastanto
(2000) menyatakan bahwa mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien
dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada
dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan
faktor-faktor berikut : Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan
lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta
konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata
ruang kawasan pesisir. Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat
(participatory planning process)
dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif
terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan
pembangunan. Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun
kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara
kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir
dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi
potensi konflik lintas wilayah. Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen baik
PP, Keppres, maupun Perda untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk
terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.
Dalam hal ini instrument pengaturan bagi wilayah pesisir perlu dirumuskan sebagai
turunan dan bagian yang tidak terpisahkan dari UU 24/1992 tentang Penataan
Ruang.