Kebijakan
penataan ruang wilayah pesisir pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi
tujuan-tujuan sebagai berikut: Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada
kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan
kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota
sebagai sumber pangan (source of
nourishment) dapat tetap berlangsung; Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan
para pemukimnya (inhabitants) dari
ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya; Mempertahankan
berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan
keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai
melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management)
(Darwanto, 2000).
Menurut
Nurlia (1999), hal-hal yang perlu dilakukan dalam penataan ruang kelautan dan
pesisir adalah sebagai berikut :
1. Pengenalan kondisi pemanfaatan ruang
laut dan pesisir yang ada mencakup kegiatan analisis sumberdaya di laut,
batasan wilayah laut dimana suatu wilayah atau negara mempunyai wewenang,
analisis pendekatan teknologi yang mungkin dibutuhkan dalam pengembangan
sumberdaya yang ada, identifikasi sektor-sektor dalam pemanfaatan ruang dan
sumberdaya kelautan, identifikasi kesepakatan nasional dan konvensi
internasional mengenai pemanfaatan ruang laut serta analisis hubungan
fungsional secara sosial ekonomi antara pemanfaatan ruang laut dan udara.
2. Pengenalan dimensi spasial
pembangunan suatu daerah meliputi analisis tujuan dan sasaran makro pembangunan
daerah, analisis pola ekonomi ruang darat dan laut yang sesuai untuk mewujudkan
tujuan pembangunan serta analisis skenario pembangunan laut dalam konstelasi
pengembangan ruang darat dan laut secara menyeluruh dan pemilihan alternatif
yangada.
Penjabaran pola pembangunan ruang
laut, kawasan-kawasan pesisir dan kawasan konservasi di laut dan pantai. Untuk
mencapai pembangunan wilayah pesisir dsn lautan secara optimal dan
berkelanjutan maka diperlukan kebijakan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan laut secara terpadu (Integrated
Coastal and Marine Zone Management). Pada dasarnya arahan kebijakan
pembangunan sumebrdaya wilayah pesisir dan laut meliputi empat aspek kutama
yaitu (1) aspek teknis dan sosial, (2) aspek sosial ekonomi dan budaya, (3)
aspek sosial politik, dan (4) aspek hukum serta kelembagaan termasuk pertahanan
dan keamanan.
Implementasi kebijakan menurut
Grindle (1980) dalam Wibawa (1994) ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa kebijakan ditransformasikan
menjadi program aksi maupun proyek individual dan biaya telah disediakan, maka
implementasi kebijakan dilakukan. Tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung
pada implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks
kebijakannya.
Secara sederhana tujuan implementasi
kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan dapat
direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Karena itu, hal ini akan
menyangkut penciptaan sistem pelaksanaan kebijakan yang juga merupakan alat
khusus yang disusun untk mencapai tujuan khusus. Dengan demikian, kebijakan
adalah suatu pernyataan tujuan secara luas, sasaran dan cara-cara, yang
ekmudian diterjemahkan kedalam program-program tindakan yang dimaksudkann untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan (Wibawa, 1994).
Selanjutnya Salusu (2005) menyatakan
bahwa implementasi adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan menyusul suatu
keputusan. Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk mencapai sasaran tertentu,
guna merealisasikan pencapaian sasaran itu, sehingga diperlukan serangkaian
aktivitas. Jadi dapat dikatakan bahwa implementasi adalah operasionalisasi dari
berbagai aktivitas guna mencapai sasaran tertentu.
Menurut Abdullah (1988), pengertian
dan unsur-unsur pokok dari proses implementasi adalah sebagai berikut :
1. Proses implementasi program
(kebijakan) adalah rangkaian tindak lanjut (setelah sabuah program atau
kebijakan diterapkan), yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah
strategis maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu program atau
kebijakan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan
semula.
2. Proses implementasi dalam kenyataan
sesungguhnya dapat berhasil, kurang berhasil ataupun gagal sama sekali,
ditinjau dari sudut hasil yang dicapai atau out come, karena dalam proses
tersebut turut bermain dan terlibat sebagai unsur yang pengaruhnya dapat
bersifat mendukung maupun menghambat pencapaian sasaran program.
3. Dalam proses implementasi
sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak yaitu: (1)
adanya program/kebijakan yang dilaksanakan; (2) “target group” yaitu kelompok
masyarakat yang menjadi sasaran dan diharapkan akan menerima manfaat dari
program tersebut, perubahan atau peningkatan; dan (3) unsur pelaksana
(implementer) baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan dan pengawasan dari implementasi tersebut.
Jones (1991) mengemukakan pendapat
tentang pilar implementasi sebagai berikut :
1. Pengorganisasian; yakni penataan
kembali sumberdaya unit-unit serta metode untuk menjalankan program.
2. Interpretasi; yakni aktivitas
menafsirkan agar program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat
diterima serta dilaksanakan.
3. Aplikasi; yaitu memberikan
kelengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran, atau aktivitas lainnya sesuai
dengan tujuan program.
Ada beberapa strategi yang harus
ditempuh dalam proses implementasi, strategi tersebut meliputi: (a) persiapan
implementasi, dan (b) implementasi program. Persiapan implementasi meliputi
rencana program, pengumpulan data, sentralisasi atau desentralisasi keputusan
penentuan agen-agen pelaksana, sedangkan implementasi program ada yang bersifat
spasial atau sektoral.
Dalam proses implementasi ada banyak
kenyataan yang dihadapi yang ikut mempengaruhi keberhasilan program yaitu: (1)
karakteristik lingkungan dimana program tersebut dilaksanakan, (2) aparat
pelaksana program menyangkut keterampilan, pengetahuan, komitmen dan loyalitas,
(3) otoritas yang berlaku dalam program, (4) dukungan masyarakat, dan (5)
sistem administrasi yang berlaku dalam program (Keban, 1994).
Allison dalam Tangkilisan (2003)
dalam menilai konteks implementasi kebijakan, menampilkan tiga model pembuatan
keputusan untuk implementasi yaitu: aktor rasional, proses organisasional, dan
model politik birokrasi. Kedua dan ketiga model ini berfokus pada prosedur
operasi standar (Standard Operating
Procedure/SOP) dan politik birokrasi secara berurutan dan telah memberi
banyak perhatian untuk pembuatan keputusan. Pendekatan dilakukan sesuai dengan
kondisi lingkungan masing-masing intitusi, namun tetap berfokus pada pentingnya
faktor dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, penekanan terhadap faktor
tersebut adalah bagaimana faktor-faktor domian tersebut mempengaruhi
implementasi secara khusus.
Mempelajari masalah implementasi
kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa kenyataan yang terjadi sesudah
program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa dan kegiatan terjadi
setelah proses pengesahan kebijakan, baik itu menyangkut usaha-usaha untuk
memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Beberapa model dalam pengkajian
implementasi kebijakan, dikemukakan sebagai berikut (Pressman dan Wildavsky,
1984): implementation problem approach, mengemukakan dua pertanyaan pokok,
yaitu: (i) hal-hal apa saja yang merupakan prasyarat bagi suatu implementasi
yang berhasil? (ii) apa saja yang merupakan penghambat utama terhadap
berhasilnya implementasi program?. Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dapat
dirumuskan empat faktor atau variabel yang merupakan prasyarat penting guna berhasilnya
implementasi, yaitu :
1. Komunikasi menjadi penting karena
suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi
pelaksana. Hal ini menyangkut penyampaian informasi, kejelasan informasi dan
konsistensi informasi yang dibutuhkan.
a. Sumberdaya; meliputi: staf yang
cukup dalam arti jumlah dan mutu, informasi yang dibutuhkan guna pengambilan
keputusan, kewenangan yang cukup untuk melaksanakan tugas serta fasilitas yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan.
b. Sikap birokrasi dan pelaksanaan;
sikap dan komitmen para birokrasi terhadap program khususnya bagi implementasi
dari suatu program dalam hal ini aparatur birokrasi.
c. Struktur birokrasi; adanya suatu SOP
yang mengatur tata aliran pekerjaan program. Apabila tidak ada SOP maka akan
sulit mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian masalah yang timbul
akan bersifat ad-hoc. Dengan demikian, penyelesaian masalah tanpa pola yang
baku.
2. Transactional model, merupakan suatu
model yang memadai karena cukup komprehensif sifatnya, sbagai kerangka
pemikiran guna memahami masalah yang dihadapi dalam proses pelaksanaan
pembangunan. Pada prinsipnya model ini bertolak dari pandangan bahwa guna
memahami berbagai masalah pada tahap pelaksanaan suatu rencana atau kebijakan,
keterikatan antara perencanaan dan implementasi tak dapat diabaikan. Proses
perencanaan itu sendiri tidak dapat dilihat sebagai suatu proses terpisah dari
pelaksanaan. Pada tahap implementasi berbagai kekuatan akan berpengaruh baik
faktor yang mendorong maupun menghambat pelaksanaan program.
3. Faktor-faktor untuk dipertimbangkan
dalam implementasi (Chuse dalam Abdullah, 1988) mengemukakan bahwa hambatan
dalam proses implementasi program yang terkait dengan masyarakat dapat
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Masalah yang timbul karena kebutuhan
operasional yang melekat pada progam itu sendiri.
b. Masalah yang timbul dalam kegiatan
dengan sumberdaya yang dibutuhkan guna pelaksanaan program.
c. Masalah lain yang timbul karena
keterikatan dengan organisasi lainnnya untuk memberikan dukungan, bantuan dan
persetujuaan guna melaksanakan program tersebut.