Presiden Republik Indonesia dalam sambutannya pada
saat Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional baru-baru
ini di Surabaya menegaskan beberapa isu strategis dalam penyelenggaraan
penataan ruang nasional, yakni :
1. Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor, seperti pertambangan, lingkungan
hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan sebagainya,
2. Belum
berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka
menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan program sektor
tadi,
3. Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma yang seharusnya
ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi
kebijakan terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian pembangunan,
4. Belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi
yang tegas dalam RTRWN,
5. Belum adanya keterbukaan dan keikhlasan
dalam menempatkan kepentingan sector dan wilayah dalam kerangka penataan
ruang, serta
6. Kurangnya kemampuan menahan diri dari keinginan membela kepentingan
masingmasing secara berlebihan.
Senada dengan isu yang
dikemukakan Presiden RI, Menko Perekonomian pada forum yang sama menyebutkan
adanya 3 (tiga) isu utama dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional, yang
meliputi :
a.
Konflik
antar-sektor dan antar-wilayah,
b.
Degradasi
lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut
dan udara, serta
c. Dukungan terhadap pengembangan
wilayah belum optimal, seperti diindikasikan
dari minimnya dukungan kebijakan sektor terhadap pengembangan kawasan-kawasan
strategis nasional dalam RTRWN seperti kawasan perbatasan negara, kawasan
andalan, dan KAPET.
Pada era otonomi
daerah, inisiatif untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat cenderung diselenggarakan
untuk memenuhi tujuan
jangka pendek, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan
keberlanjutan pembangunan jangka panjang. Konversi lahan dari kawasan lindung
menjadi kawasan budidaya guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
praktek pembangunan yang kerap terjadi. Di Pulau Jawa misalnya, hutan
lindungnya telah terkonversi dengan laju sebesar 19.000 ha/tahun (BPS,2001). Bahkan
Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di
Jawa telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari luas
daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian untuk
penggunaan non-pertanian seperti untuk industri, permukiman dan jasa di Pulau
Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun antara 1979 - 1999
(Deptan, 2001).
Contoh lainnya adalah
penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang signifikan. Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah
berkurang luasannya baik akibat kebakaran dan penjarahan/ penggundulan. Data
yang dihimpun dari The Georgetown International Environmental Law Review (1999)
menunjukkan bahwa antara tahun 1997 - 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di
Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar,
yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada
periode yang sama. Dengan kerusakan hutan yang berfungsi lindung tersebut maka
akan menimbulkan run-off yang
besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada
jangka panjang, serta meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan
pesisir.
Selain itu kondisi satuan-satuan wilayah sungai di
Indonesia telah berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dari keseluruhan 89
SWS yang ada di Indonesia, hingga tahun 1984 saja telah terdapat 22 SWS berada
dalam kondisi kritis. Pada tahun 1992, kondisi ini semakin meluas hingga
menjadi 39 SWS. Perkembangan yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana
59 SWS di Indonesia telah berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir seluruh
SWS di Pulau Jawa.4 (periksa Gambar 1 berikut). Seluruh SWS kritis tersebut
selain mendatangkan bencana banjir pada musim hujan, sebaliknya juga
menyebabkan kekeringan yang parah pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, bilamana kecenderungan
negatif dalam pengelolaan SWS tersebut terus berlanjut, maka produktivitas
sentra-sentra pangan yang terletak di SWS-SWS potensial (seperti Citarum,
Saddang, Brantas, dsb) akan terancam pula.
Berbagai fenomena
bencana (water-related disaster)
seperti banjir, longsor dan kekeringan yang terjadi secara merata di berbagai
wilayah di Indonesia pada awal tahun 2002 dan 2003 ini, pada dasarnya,
merupakan indikasi yang kuat terjadinya ketidakselarasan
dalam pemanfaatan ruang, antara manusia
dengan alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian
lingkungan. Penyebab terjadinya bencana
sendiri dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) hal, yakni :
1. Kondisi
alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan
karakteristik sungai,
2. Peristiwa
alam yang bersifat dinamis, seperti : perubahan iklim (pemanasan) global, land subsidence, sedimentasi, dan
sebagainya, serta
3. Aktivitas
sosial-ekonomi manusia yang dinamis, seperti penggundulan hutan, konversi lahan
pada kawasan lindung, pemanfaatan sempadan sungai untuk permukiman, pemanfaatan
wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, dan sebagainya.
Pada kawasan pesisir pun, telah terjadi
degradasi kualitas lingkungan yang serius. Pertama adalah penurunan luas
mangrove di Indonesia dari 5.209.543 ha (1982) menjadi 3.235.700 ha (1987)
hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam 10 tahun (1982-1993), terjadi penurunan
mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila mangrove tidak dapat dipertahankan
maka : abrasi pantai, pencemaran dari sungai ke laut, dan zona aquaculture pun akan terancam. Kedua adalah intrusi air laut yang diakibatkan oleh
kenaikan muka air laut serta land
subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Contoh, antara
2050 hingga 2070, intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Ketiga adalah hilangnya ekosistem terumbu
karang yang merupakan tempat pemijahan (breeding and nursery ground)
bagi perkembangbiakan ikan-ikan. Keempat adalah ancaman dampak global warming berupa
gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi kawasan, diantaranya adalah : (a) jalan lintas dan KA di Pantura Jawa dan Timur- Selatan
Sumatera ; (b) permukiman penduduk pada
wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan,
Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot
pesisir di Papua ; (c) hilangnya sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove
seluas 3,4 juta ha; sentra produksi
pangan (4 %) terancam alih
fungsi lahan,5 dan (d) penurunan produktivitas sentra-sentra pangan, seperti di
DAS Citarum, Brantas, dan Saddang.
Isu berikutnya yang sangat serius adalah mengenai kenaikan jumlah penduduk perkotaan sebagai
wujud terjadinya fenomena urbanisasi
akibat migrasi desa - kota Data menunjukkan bahwa jumlah penduduk
perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan
yang cukup pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980), meningkat menjadi 55,4 juta
atau 30,9% (1990), menjadi 74 juta atau 37% (1998), menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002), dan diperkirakan akan
mencapai angka 150 juta atau 60%
dari total penduduk nasional (2015) dengan laju pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995). Dengan
kecenderungan urbanisasi yang terus meningkat, perhatian pada penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya
melalui penerapan zoning regulation,
mekanisme insentif dan disinsentif, dan
sebagainya.
Perkembangan kawasan perkotaan yang membentuk pola linear
yang dikenal dengan ribbon development, seperti yang
terjadi di Pantai Utara Jawa secara intensif pun mulai terjadi di Pantai Timur Sumatera. Konsentrasi perkembangan
kawasan perkotaan yang memanjang
pada kedua Pulau utama tersebut telah menimbulkan kesenjangan antarwilayah pulau yang cukup signifikan serta inefisiensi pelayanan prasarana-sarana. Sebagai gambaran konsentrasi kegiatan
ekonomi di Pantura Jawa mencapai 85%, jauh meninggalkan Pantai Selatan (15%). Hal ini pun dicirikan dengan
intensitas pergerakan orang dan
barang yang sangat tinggi, seperti pada lintas utara Jawa dan lintas Timur Sumatera.
Isu lainnya adalah menyangkut perkembangan kota-kota
yang tidak terarah, cenderung membentuk
konurbasi antara kota inti
dengan kota-kota sekitarnya. Konurbasi dimaksud dicirikan dengan munculnya 9
kota metropolitan dengan penduduk diatas 1 juta jiwa (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Tangerang, Semarang,
Palembang dan Makassar) dan 9
kota besar (Bandar Lampung, Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Solo, Yogyakarta, dan
Denpasar). Konurbasi yang terjadi pada kota-kota tersebut menimbulkan berbagai permasalahan kompleks, seperti
kemiskinan perkotaan, pelayanan
prasarana dan sarana kota yang terbatas, kemacetan lalu lintas, dan pencemaran lingkungan.
Pengembangan kota-kota
pada kawasan perbatasan negara baik yang berada di mainland ataupun di pulau-pulau kecil sebagai pusat-pusat
pertumbuhan wilayah dan beranda
depan negara (frontier
region) pada saat ini masih jauh dari harapan. Ketertinggalan, keterisolasian dan
keterbatasan aksesibilitas, serta keterbatasan pelayanan merupakan kondisi yang tipikal terjadi.
Walaupun telah diatur melalui PP No.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban serta Bentuk dan
Tatacara Peran Serta Masyarakat yang merupakan derivasi dari UU No. 24/1992 dan karenanya telah
menjadi common interests, proses
pelibatan masyarakat sebagai subyek utama dalam penataan ruang wilayah
masih belum menemukan bentuk
terbaiknya. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa penyaluran hak-hak masyarakat dalam penataan ruang saja
belum terjamin sepenuhnya, terlebih pelaksanaan kewajibannya masih jauh dari yang diharapkan. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat
seringkali juga menghadirkan
konflik pemanfaatan ruang yang sulit dicarikan solusinya, tingginya transaction cost, dan
cenderung merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan seluruh stakeholders
dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan
konsensus yang disepakati bersama serta dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local
unique).
Dukungan teknologi
informasi dalam proses pengambilan keputusan atau intervensi kebijakan penataan ruang belum
dioptimalkan pemanfaatannya, walaupun kompleksitas permasalahan pengembangan wilayah yang dihadapi telah nyata. Era
otonomi daerah akan menempatkan
masing-masing wilayah otonom dalam iklim kompetisi yang ketat. Eksistensi suatu wilayah dalam hal
ini sangat ditentukan oleh kemampuan para pengambil keputusan dalam mengatasi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan
yang dimilikinya dengan optimal.
Untuk itu, salah satu kunci sukses terletak
pada kecepatan mengakses informasi,
melakukan analisis dan penyesuaian kebijakan pembangunan wilayahnya.
Kompatibilitas dan
kesesuaian standar peta yang digunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah di masing-masing
wilayah otonom merupakan salah satu prasyarat terwujudnya keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya. Untuk itu,
PP No. 10 tahun 2000 tentang
Ketelitian Peta diharapkan dapat mensinergikan peta-peta yang digunakan untuk penataan ruang wilayah sehingga
ke depan dapat menjadi sistem informasi yang handal untuk penataan ruang wilayah tersebut. Selanjutnya, PP No.
10 tahun 2000 ini masih perlu
disosialisasikan agar jelas manfaatnya dengan mendorong BAKOSURTANAL dan instansi terkait dengan penataan ruang untuk
siap melayani kebutuhan akan
pengadaan peta dasar wilayah, peta tematik dan informasi digital lainnya.
Dengan memperhatikan keseluruhan uraian diatas,
untuk mengatasi berbagai permasalahan
aktual dalam pembangunan, maka prinsip-prinsip penataan ruang tidak dapat diabaikan lagi. Dalam konteks
ini upaya pengendalian pembangunan dan berbagai dampaknya perlu diselenggarakan secara terpadu lintas sektor dan
lintas wilayah melalui instrumen
penataan ruang. Melalui instrumen ini pula, maka daya dukung lingkungan dari suatu wilayah menjadi
pertimbangan yang sangat penting.