Home » » Penataan Ruang dalam Era Otonomi Daerah

Penataan Ruang dalam Era Otonomi Daerah

Written By Tasrif Landoala on Jumat, 04 Oktober 2013 | 22.34



Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal pada tahun 2001, dimulailah era baru dalam sistem pembangunan di daerah. Pada hakekatnya otonomi daerah mengandung makna yaitu diberikannya kewenangan (authority) kepada pemerintah daerah menurut kerangka perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur kepentingan (interest) daerah masing-masing.8 Melalui kebijakan otonomi daerah ini, pemerintah telah mendesentralisasikan sebagian besar kewenangannya kepada pemerintah daerah.
Secara konseptual, desentralisasi dapat dibedakan atas 4 (empat) bentuk dengan turunan yang berbeda:
1. Devolusi, yang merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih atasnya kepada pemerintah di bawahnya sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah;
2. Dekonsentrasi, yang merupakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat atau pemerintah atasannya kepada para pejabat mereka di daerah;
3. Delegasi, yang merupakan penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan pertanggungjawaban tugas kepada atasannya;
4.    Privatisasi, yang merupakan pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada organisasi non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun non-profit.

Lazimnya prinsip devolusi mengacu kepada desentralisasi politik, dekonsentrasi pada pengertian desentralisasi administrasi, dan delegasi maupun privatisasi sebagai tugas subcontracting. Berlakunya kebijaksanaan otonomi daerah melalui UU No. 22/1999 berimplikasi pada biasnya hirarki dalam sistem perencanaan tata ruang wilayah. Dengan tidak adanya hirarki antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, RTRW Nasional dan RTRW Propinsi yang sebelumnya menjadi pedoman bagi daerah tingkat bawahannya (ps.20 (3c) dan ps 21 (3d) UU 24/1992 dapat menjadi tidak efektif karena daerah mempunyai kewenangan penuh dalam penataan ruang daerahnya. Dalam PP No 25/1999 bahkan disebutkan bahwa penyusunan RTRWN berdasarkan tata ruang kabupaten/kota dan propinsi (ps.2 (3) butir 13.c. Sementara penyusunan RTRWP harus berdasarkan kesepakatan antara propinsi dan Kabupaten/Kota (ps.3 (5) butir 12.a). Meskipun pada satu sisi penataan ruang yang paling fundamental merupakan kewenangan daerah, namun pada sisi lain RTRW Propinsi bukanlah mosaik dari Kabupaten/Kota. Dalam konteks ini, concern Pemerintah Pusat dalam bidang penataan ruang adalah untuk menjamin:
1.  Tercapainya keseimbangan pemanfaatan ruang makro antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya, antara kawasan perkotaan dan perdesaan, antar wilayah dan antar sector.
2.   Tercapainya pemulihan daya dukung lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan pembangunan.
3.  Terwujudnya keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas propinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang.
4.    Terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (basic needs) akan pelayanan public yang memadai.

Di sisi lain, menurut PP 25 tahun 2000, kewenangan pusat dalam bidang tata ruang
meliputi:
1.    Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, serta (penetapan) pola dan struktur pemanfaatan ruang nasional.
2.  Fasilitasi kerjasama atau penyelesaian masalah antar propinsi/daerah, misal melalui penyusunan RTRW Pulau atau RTRW Kawasan Jabodetabek.
3.  Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil dan kriteria penataan perwilayah ekosistem daerah tangkapan air
4.    Penyiapan standar, kriteria dan fasilitasi kerjasama penataan ruang.

Berkenaan dengan hal tersebut, instrumen pengikat yang dapat digunakan sebagai acuan sekaligus alat keterpaduan dan kerjasama pembangunan antar-daerah adalah melalui:
1.    Instrumen perundang-undangan yang mengikat
2.    Kebijakan-kebijakan yang jelas dan responsif sesuai dengan kebutuhan daerah
3.    Bantuan dan kompensasi dalam bentuk fiscal
4.    Penyediaan langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan backbone pengembangan wilayah
5. Mendorong kemitraan secara vertikal dan horisontal yang bersifat kerjasama pengelolaan (co-management) dan kerjasama produksi (co-production).
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger