Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal pada tahun 2001,
dimulailah era baru dalam sistem pembangunan di daerah. Pada hakekatnya otonomi
daerah mengandung makna yaitu diberikannya kewenangan (authority) kepada
pemerintah daerah menurut kerangka perundang-undangan yang berlaku untuk
mengatur kepentingan (interest) daerah masing-masing.8 Melalui
kebijakan otonomi daerah ini, pemerintah telah mendesentralisasikan
sebagian besar kewenangannya kepada pemerintah daerah.
Secara konseptual, desentralisasi dapat dibedakan
atas 4 (empat) bentuk dengan turunan yang berbeda:
1. Devolusi,
yang merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah
pusat atau pemerintah yang lebih atasnya kepada pemerintah di bawahnya sehingga
menjadi urusan rumah tangga daerah;
2. Dekonsentrasi,
yang merupakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat atau pemerintah
atasannya kepada para pejabat mereka di daerah;
3. Delegasi,
yang merupakan penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah atasannya
kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan pertanggungjawaban
tugas kepada atasannya;
4. Privatisasi,
yang merupakan pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada organisasi
non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun non-profit.
Lazimnya prinsip devolusi
mengacu kepada desentralisasi politik, dekonsentrasi pada pengertian
desentralisasi administrasi, dan delegasi maupun privatisasi sebagai tugas subcontracting.
Berlakunya kebijaksanaan otonomi daerah melalui UU No. 22/1999 berimplikasi
pada biasnya
hirarki dalam sistem perencanaan tata ruang wilayah. Dengan tidak adanya
hirarki antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, RTRW Nasional
dan RTRW Propinsi yang sebelumnya menjadi pedoman bagi daerah tingkat
bawahannya (ps.20 (3c) dan ps 21 (3d) UU 24/1992 dapat menjadi tidak efektif
karena daerah mempunyai kewenangan penuh dalam penataan ruang daerahnya. Dalam
PP No 25/1999 bahkan disebutkan bahwa penyusunan RTRWN berdasarkan tata ruang
kabupaten/kota dan propinsi (ps.2 (3) butir 13.c. Sementara penyusunan RTRWP
harus berdasarkan kesepakatan antara propinsi dan Kabupaten/Kota (ps.3 (5)
butir 12.a). Meskipun pada satu sisi penataan ruang yang paling fundamental
merupakan kewenangan daerah, namun pada sisi lain RTRW Propinsi bukanlah mosaik
dari Kabupaten/Kota. Dalam konteks ini, concern Pemerintah Pusat dalam bidang penataan ruang adalah untuk
menjamin:
1. Tercapainya keseimbangan pemanfaatan
ruang makro antara kawasan berfungsi lindung dan budidaya, antara kawasan
perkotaan dan perdesaan, antar wilayah dan antar sector.
2. Tercapainya pemulihan daya dukung
lingkungan untuk mencegah terjadinya bencana yang lebih besar dan menjamin
keberlanjutan pembangunan.
3. Terwujudnya keterpaduan dan kerjasama
pembangunan lintas propinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi
struktur pemanfaatan ruang.
4.
Terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat
(basic needs) akan pelayanan public yang memadai.
Di sisi lain, menurut PP 25 tahun 2000, kewenangan pusat
dalam bidang tata ruang
meliputi:
1. Perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, serta (penetapan) pola dan
struktur pemanfaatan ruang nasional.
2. Fasilitasi
kerjasama atau penyelesaian masalah antar propinsi/daerah, misal melalui penyusunan
RTRW Pulau atau RTRW Kawasan Jabodetabek.
3. Pengaturan
tata ruang perairan di luar 12 mil dan kriteria penataan perwilayah ekosistem
daerah tangkapan air
4. Penyiapan
standar, kriteria dan fasilitasi kerjasama penataan ruang.
Berkenaan dengan hal
tersebut, instrumen pengikat yang
dapat digunakan sebagai acuan sekaligus alat keterpaduan dan kerjasama pembangunan
antar-daerah adalah melalui:
1. Instrumen
perundang-undangan yang mengikat
2. Kebijakan-kebijakan
yang jelas dan responsif sesuai dengan kebutuhan daerah
3. Bantuan
dan kompensasi dalam bentuk fiscal
4. Penyediaan
langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan backbone pengembangan
wilayah
5. Mendorong
kemitraan secara vertikal dan horisontal yang bersifat kerjasama pengelolaan
(co-management) dan kerjasama produksi (co-production).