1. Faktor Alami Penyebab Erosi
Kondisi
sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi tanah, terutama
tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun
intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi, terutama
terkait dengan genesa tanah.
Data
BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia memiliki
curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan
hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian,
curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup
areal yang luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping
curah hujan. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan
topografi datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan
datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat
wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%)
di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%).
2. Praktek Pertanian yang Kurang Bijak
Tingginya
desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim tidak
hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng
> 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara
keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan
Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman,
industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan
pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga
pertanian terdesak ke lahanlahan berlereng curam.
Laju
erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang tidak
disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah
yang banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun,
penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum
dianggap sebagai bagian penting dari pertanian.
3. Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi
Rendahnya
adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih
kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi
di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa
walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang
untuk perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik,
sosial, dan ekonomi.
Kebijakan
dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan upaya
pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum memadai
dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan
tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih
ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro,
sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak
tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan
pertanian di masa mendatang.
Selain
kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering menghambat
penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan,
fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk.
Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka
untuk mengabaikan konservasi tanah.
Konversi
lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa
mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian
(Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan
terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain
itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan
lahan dengan alasan mudah dan murah.