Metode vegetatif adalah suatu cara
pengelolaan lahan miring dengan menggunakan tanaman sebagai sarana konservasi
tanah (Seloliman, 1997). Tanaman penutup tanah ini selain untuk mencegah atau
mengendalikan bahaya erosi juga dapat berfungsi memperbaiki struktur tanah,
menambahkan bahan organik tanah, mencegah proses pencucian unsur hara dan
mengurangi fluktuasi temperatur tanah.
Teknik konservasi tanah secara
vegetatif antara lain : penghutanan kembali (reforestation), wanatani (agroforestry)
termasuk didalamnya adalah pertanamanlorong (alley cropping), pertanaman
menurut strip (strip cropping),
striprumput (grass strip) barisan
sisa tanaman, tanaman penutup tanah (cover
crop), penerapan pola tanam termasuk di dalamnya adalahpergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dantumpang gilir (relay cropping).
Dalam penerapannya, petani biasanya
memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan
lingkungan agroekosistemnya sehingga teknik konservasi ini akan terusberkembang
di lapangan. Keuntungan yang didapat dari system vegetatif ini adalah kemudahan
dalam penerapannya, membantu melestarikan lingkungan, mencegah erosi dan
menahan aliran permukaan, dapat memperbaiki sifat tanah dari pengembalian bahan
organik tanaman, serta meningkatkan nilai tambah bagi petani darihasil
sampingan tanaman konservasi tersebut.
A. Penghutanan
Kembali
Penghutanan kembali (reforestation)
secara umum dimaksudkan untuk mengembalikan dan memperbaiki kondisi ekologi dan
hidrologi suatu wilayah dengan tanaman pohon-pohonan. Penghutanan kembali juga
berpotensi untuk peningkatan kadar bahan organic tanah dari serasah yang jauh
di permukaan tanah dan sangat mendukung kesuburan tanah. Penghutanan kembali
biasanya dilakukan pada lahan-lahan kritis yang diakibatkan oleh bencana alam
misalnya kebakaran, erosi, abrasi, tanah longsor, dan aktivitas manusia seperti
pertambangan, perladangan berpindah, dan penebangan hutan.
Hutan mempunyai fungsi tata air yang
unik karena mampu menyimpan air dan meredam debit air pada saat musim penghujan
dan menyediakan air secara terkendali pada saat musim kemarau (sponge effect).
Penghutanan kembali dengan maksud untuk mengembalikan fungsi tata air, efektif
dilakukan pada lahan dengan kedalaman tanah >3 m. Tanah dengan kedalaman
<3 m mempunyai aliran permukaan yang cukup tinggi karena keterbatasan
kapasitas tanah dalam menyimpan air (Agus et al., 2002). Pengembalian fungsi
hutan akan memakan waktu 20-50 tahun sampai tajuk terbentuk sempurna. Jenis
tanaman yang digunakan sebaiknya berasal dari jenis yang mudah beradaptasi
terhadap lingkungan baru, cepat berkembang biak, mempunyai perakaran yang kuat,
dan kanopi yang rapat/rindang.
Penelitian tentang kondisi biofisik
lahan sangat penting untuk menentukan jenis tanaman yang akan dipergunakan
dengan tujuan penghutanan kembali terutama untuk hutan monokultur. Beberapa
tanaman tahunan mempunyai intersepsi dan evaporasi yang tinggi sehingga akan
banyak mengkonsumsi air. Penelitian terhadaptanaman pinus (Pinus merkusii) yang
dilakukan oleh Universitas GadjahMada/UGM, Institut Pertanian Bogor/IPB dan
Universitas Brawijaya/Unibraw (Priyono dan Siswamartana, 2002), menyimpulkan
bahwa tanaman pinus akan aman jika ditanam pada daerah yang mempunyai curah
hujan di atas 2.000 mm/tahun. Pada daerah yang mempunyai curah hujan
1.500-2.000 mm/tahun disarankan agar penanaman pinus dicampur dengan tanaman
lain yang mempunyai intersepsi dan evaporasi lebih rendah misalnya Puspa atau
Agatis.Sedangkan untuk daerah yang mempunyai curah hujan 1.500mm/tahun atau
kurang disarankan untuk tidak menanam pinus karena akan menimbulkan kekurangan
(defisit) air.
B. Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang
menggabungkan antara tanaman pohon-pohonan,atau tanaman tahunan dengan tanaman
komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim.Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yangmempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim.
Penggunaan tanaman tahunan mampu mengurangi erosi lebih baik daripada tanaman komoditas pertanian khususnya tanaman semusim.Tanaman tahunan mempunyai luas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow) dan aliran tembus (throughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu besar. Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan perlindungan tanah yang baik dari butiran hujan yangmempunyai energi perusak. Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim.
Penerapan wanatani pada lahan dengan
lereng curam atau agak curam mampu mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki
kualitas tanah, dibandingkan apabila lahan tersebut gundul atau hanya ditanami
tanaman semusim. Secara umum proporsi tanaman tahunan makin banyak pada lereng
yang semakin curam demikian juga sebaliknya. Tanaman semusim memerlukan
pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif dibandingkan
dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah pada tanaman semusim biasanya
dilakukan dengan cara mencangkul, mengaduk tanah,maupun cara lain yang
mengakibatkan hancurnya agregat tanah,sehingga tanah mudah tererosi. Semakin
besar kelerengan suatu lahan, maka risiko erosi akibat pengolahan tanah juga
semakin besar.
Penanaman tanaman tahunan tidak
memerlukan pengolahan tanahsecara intensif.Perakaran yang dalam dan penutupan
tanah yangrapat mampu melindungi tanah dari erosi.Tanaman tahunan yang dipilih
sebaiknya dari jenis yang dapatmemberikan nilai tambah bagi petani dari hasil
buah maupunkayunya.Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan lebih cepatdan
lebih besar, wanatani ini juga merupakan sistem yang sangat baik dalam mencegah
erosi tanah.
Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia danberkembang menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campuran,pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan silvipastura.
Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat Indonesia danberkembang menjadi beberapa macam, yaitu pertanaman sela, pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campuran,pekarangan, tanaman pelindung/multistrata, dan silvipastura.
1. Pertanaman Sela
Pertanaman sela adalah pertanaman
campuran antara tanaman tahunan dengan tanaman semusim.Sistem ini banyak
dijumpai di daerah hutan atau kebun yang dekat dengan lokasi permukiman.Tanaman
sela juga banyak diterapkan di daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga
maupun usaha pertanian tanaman tahunan lainnya.Dari segi konservasi tanah,
pertanaman sela bertujuan untuk meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan
permukaan tanah terhadap terpaan butir-butir air hujan secara langsung sehingga
memperkecil risiko tererosi.Sebelum kanopi tanaman tahunan menutupi tanah,
lahan di antara tanaman tahunan tersebut digunakan untuk tanaman semusim.
Di beberapa wilayah hutan jati daerah
Jawa Tengah, ketika pohon jati masih pendek dan belum terbentuk kanopi,
sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim berupa jagung, padigogo,
kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe (Zingiber officinale),
temulawak (Curcuma xanthorrizha), kencur (Kaemtoria galanga), kunir (Curcuma
longa), dan laos (Alpiniagalanga). Pilihan teknik konservasi ini sangat baik
untuk diterapkan oleh petani karena mampu memberikan nilai tambah bagi petani,
mempertinggi intensitas penutupan lahan, membantu perawatan tanaman tahunan dan
melindungi dari erosi.
Penanaman tanaman semusim bisa
berkali-kali tergantung dari pertumbuhan tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk
hijau sebaiknya dipilih dari tanaman legum seperti Leucaena leucocephala, Glyricidia
sepium, Cajanus cajan, Tephrosia candida, dan lain sebagainya. Jarak antara
tanaman semusim dengan tanaman tahunan secara periodik dilebarkan (lahan
tanaman semusim semakin sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara,
pengaruh allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit.
2. Pertanaman Lorong
Sistem pertanaman lorong atau alley
cropping adalah suatu sistem dimana tanaman pagar pengontrol erosi berupa
barisantanaman yang ditanam rapat mengikuti garis kontur, sehinggamembentuk
lorong-lorong dan tanaman semusim berada di antaratanaman pagar tersebut.Sistem
ini sesuai untuk diterapkanpada lahan kering dengan kelerengan 3-40%. Dari
hasil penelitianHaryati et al. (1995) tentang sistem budi daya tanaman lorong
di Ungaran pada tanah Typic Eutropepts,
dilaporkan bahwa sistem inimerupakan teknik konservasi yang cukup murah dan
efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu mempertahankan
produktivitas tanah.
Penanaman tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et al., 1999):
Penanaman tanaman pagar akan mengurangi 5-20% luas lahan efektif untuk budi daya tanaman sehingga untuk tanaman pagar dipilih dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et al., 1999):
a. Merupakan tanaman yang mampu
mengembalikan unsurhara ke dalam tanah, misalnya tanaman penambat nitrogen(N2)
dari udara.
b.
Menghasilkan banyak bahan hijauan.
c. Tahan terhadap pemangkasan dan dapat
tumbuh kembalisecara cepat sesudah pemangkasan.
d.
Tingkat persaingan terhadap kebutuhan
hara, air, sinarmatahari dan ruang tumbuh dengan tanaman lorong tidakbegitu
tinggi.
e.
Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan
zat beracun) bagitanaman utama.
f. Sebaiknya mempunyai manfaat ganda
seperti untuk pakanternak, kayu bakar, dan penghasil buah sehingga
mudahdiadopsi petani.
Penelitian-penelitian tentang
pertanaman lorong menyimpulkan, bahwa sistem budi daya lorong merupakan salah
satu cara untuk mempertahankan produktivitas lahan kering yang miskin hara dan
mempunyai KTK yang rendah. Suwardjo et al. (1987) melaporkan bahwa kandungan
bahan organik tanah Podsolik diJambi, Sumatera meningkat dari 1,8% menjadi 2,2%
setelah 1 tahun ditanami dengan tanaman lorong Flemingia. Pada tahun kedua
kandungan bahan organik semakin bertambah dengan nilai 2,8%.
Dari hasil kajiannya pada penerapan
pertanaman lorong (Alleycropping) di beberapa negara yang tergabung dalam ASIALANDsloping
land project yang meliputi Indonesia, Phillipines, Laos danVietnam, Irawan
(2002) melaporkan bahwa alley cropping mampu mengurangi kehilangan hara akibat
erosi senilai US $ 4,1-85,5/ha/tahun.
Flemingia mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk tumbuhdan bertunas sehingga menghasilkan hasil pangkasan yang
cenderung terus meningkat. Hasil pangkasan ini merupakan sumber bahan organik
yang sangat penting. Dari reklamasi yang dilaksanakan pada tahun 1970 dan
evaluasinya pada tahun 1984 pada tanah berskeletal vulkanik Gunung Merapi di
Kali Gesik, Jawa Tengah,Sukmana et al. (1985) melaporkan bahwa setelah 14 tahun
direklamasi dengan Flemingia congesta mampu menghasilkan serasah (keringudara)
sebanyak 5,6 t/ha. Biomassa ini memberikan kontribusi terhadappeningkatan bahan
organik tanah 2,65% yang sebelum direklamasitidak mengandung bahan organik.
Dibandingkan dengan vegetasialami, Flemingia sangat besar kontribusinya dalam
peningkatan bahanorganik tanah. Bahan organik ini sangat penting
dalampeningkatan kapasitas tanah menahan air (water holding capacity).
Pada penelitian sistem pertanaman
lorong menggunakan tiga jenis legum yang ditanam dua strip tiap baris
dilaporkan, bahwa pada tahun kedua penanaman Flemingia congesta sudah terlihat
adanya pembentukan teras alami dengan tinggi tampingan sekitar 25 cm, lebih
tinggi dibandingkan pada tanaman Calliandra calothyrsusmaupun Tephrosia
volgelli. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kerapatan tanaman serta produksi
hijauan Flemingia congesta yang mampu menahan partikel tanah lebih baik
dibandingkan Calliandra maupun Tephrosia (Rachman et al., 1990). Sistem
perakaran yang dalam dan hasil dari guguran daun ataupun dari hasil pangkasan
yang menumpuk akan membantu terbentuknya teras alami. Aliran permukaan akan
menghanyutkan partikel-partikel tanah dan mengendap di bawah tegakan legum.
Endapan tersebut makin lama makin tinggi dan akhirnya membentuk bidang olah
menyerupai teras dengan tanaman legum sebagai penguat tampingan. Hal ini
merupakan cara pembuatan teras yang ekonomis karena menurut Rachman et al.
(1989), untuk pembuatan teras bangku pada kemiringan 15% membutuhkan tenaga
kerja sebesar 607 HOK/ha, sedang untuk teras gulud sebesar 52 HOK/ha.
Bahan tanaman pagar tidak selalu tersedia di sekitar petani sehingga bantuan benih/bibit tanaman pagar akan sangat membantu penerapannya di lapangan. Analisis kebutuhan tenaga dalam penerapan sistem pertanaman lorong secara rinci adalah sebagai berikut (Agus et al., 1999):
Bahan tanaman pagar tidak selalu tersedia di sekitar petani sehingga bantuan benih/bibit tanaman pagar akan sangat membantu penerapannya di lapangan. Analisis kebutuhan tenaga dalam penerapan sistem pertanaman lorong secara rinci adalah sebagai berikut (Agus et al., 1999):
a. Penanaman dengan menggunakan bahan
tanaman berupabibit (tanaman muda) dan rumput membutuhkan tenagakerja 100-200
HOK/ha tergantung kelerengan.Perawatannyahanya membutuhkan tenaga kerja antara
20-25 HOK/ha.Apabila memerlukan penanaman rumput akanmembutuhkan 20-40 HOK/ha.
b. Penanaman dengan menggunakan bahan
tanaman berupastek membutuhkan tenaga kerja antara 20-40 HOK/hadengan kebutuhan
perawatan per tahun mencapai 25-30HOK/ha.
c. Penanaman secara langsung hanya
membutuhkan tenagakerja 6-12 HOK/ha dengan perawatan pertahun mencapai 25-30
HOK/ha.
Berbagai tanaman pagar yang umumnya
adalah tanaman pohon telah diteliti dan diidentifikasi sifat-sifat
pertumbuhannya. Banyak tanaman mempunyai pertumbuhan yang cepat
sepertiKaliandra dan Glirisidia yang sangat efektif untuk digunakan sebagai
tanaman pagar.
3. Talun Hutan Rakyat
Talun adalah lahan di luar wilayah
permukiman penduduk yang ditanami tanaman tahunan yang dapat diambil kayu
maupun buahnya. Sistem ini tidak memerlukan perawatan intensif dan hanya
dibiarkan begitu saja sampai saatnya panen. Karena tumbuh sendiri secara spontan,
maka jarak tanam sering tidak seragam, jenis tanaman sangat beragam dan kondisi
umum lahan seperti hutan alami. Ditinjau dari segi konservasi tanah, talun
hutan rakyat dengan kanopi yang rapat dapat mencegah erosi secara maksimal
jugasecara umum mempunyai fungsi seperti hutan.
4. Kebun Campuran
Berbeda dengan talun hutan rakyat,
kebun campuran lebih banyak dirawat. Tanaman yang ditanam adalah tanaman
tahunan yang dimanfaatkan hasil buah, daun, dan kayunya. Kadang-kadang juga
ditanam dengan tanaman semusim. Apabila proporsi tanaman semusim lebih besar
daripada tanaman tahunan, maka lahan tersebut disebut tegalan. Kebun campuran
ini mampu mencegah erosi dengan baik karena kondisi penutupan tanah yang rapat
sehingga butiran air hujan tidak langsung mengenai permukaan tanah. Kerapatan
tanaman juga mampu mengurangi laju aliran permukaan. Hasil tanaman lain di luar
tanaman semusim mampu mengurangi risiko akibat gagal panen dan meningkatkan
nilai tambah bagi petani.
5. Pekarangan
Pekarangan adalah kebun di sekitar
rumah dengan berbagai jenis tanaman baik tanaman semusim maupun tanaman
tahunan. Lahan tersebut mempunyai manfaat tambahan bagi keluarga petani, dan
secara umum merupakan gambaran kemampuan suatu keluarga dalam mendayagunakan
potensi lahan secara optimal. Tanaman yang umumnya ditanam di lahan pekarangan
petani adalah ubi kayu, sayuran, tanaman buah-buahan seperti tomat, pepaya,
tanaman obat-obatan seperti kunyit, temulawak, dan tanaman lain yang umumnya
bersifat subsisten.
6. Tanaman Pelindung
Tanaman pelindung adalah tanaman
tahunan yang ditanam disela-sela tanaman pokok tahunan. Tanaman pelindung ini
dimaksudkan untuk mengurangi intensitas penyinaran matahari, dan dapat
melindungi tanaman pokok dari bahaya erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda.
Tanaman pelindung ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Tanaman pelindung sejenis yang
membentuk suatu system wanatani sederhana (simple
agroforestry). Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu jenis
tanaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia
sepium), dadap (Erythrina subumbrans),
lamtoro (Leucaena leucocephala) atau
kayu manis (Cinnamomum burmanii).
b. Tanaman pelindung yang beraneka ragam
dan membentuk wanatani kompleks (complex
agroforestry atau sistem multistrata). Misalnya tanaman pokok berupa
tanaman kopi dengan dua atau lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites muluccana), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai (Perkia speciosa), kayu manis, dadap,
lamtoro, gamal, durian (Durio zibethinus),
alpukat (Persea americana), nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer),dan lain sebagainya.
Tajuk tanaman yang bertingkat
menyebabkan sistem ini menyerupai hutan, yang mana hanya sebagian kecil air
yang langsung menerpa permukaan tanah. Produksi serasah yang banyak juga
menjadi keuntungan tersendiri dari sistem ini.
7. Silvipastura
Sistem silvipastura sebenarnya adalah
bentuk lain dari system tumpang sari, tetapi yang ditanam di sela-sela tanaman
tahunan bukan tanaman pangan melainkan tanaman pakan ternak seperti rumput
gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Penniseitumpurpoides), dan
lain-lain. Silvipastura umumnya berkembang di daerah yang mempunyai banyak
hewan ruminansia. Hasil kotoran hewan ternak tersebut dapat dipergunakan
sebagai pupuk kandang, sementara hasil hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pakan ternak. Sistem ini dapat dipakai untuk mengembangkan peternakan
sebagai komoditas unggulan di suatu daerah.
8. Pagar Hidup
Pagar hidup adalah sistem pertanaman
yang memanfaatkan tanaman sebagai pagar untuk melindungi tanaman pokok. Manfaat
tanaman pagar antara lain adalah melindungi lahan dari bahaya erosi baik erosi
air maupun angin. Tanaman pagar sebaikny atanaman yang mempunyai akar dalam dan
kuat, menghasilkan nilai tambah bagi petani baik dari hijauan, buah maupun dari
kayu bakarnya.
Untuk tanaman pagar dapat dipilih jenis
pohon yang berfungsi sebagai sumber pakan ternak, jenis tanaman yang dapat
menghasilkan kayu bakar, atau jenis-jenis lain yang memiliki manfaat ganda.
Tanaman-tanaman tersebut ditanam dengan jarak yang rapat (< 10 cm). Karena
tinggi tanaman bisa mencapai 1,5 – 2 m maka pemangkasan sebaiknya dilakukan 1-2
kali setahun (Agus et al., 1999).
C. Strip
Rumput
Teknik konservasi dengan strip rumput
(grass strip) biasanya menggunakan rumput yang didatangkan dari luar areal
lahan, yang dikelola dan sengaja ditanam secara strip menurut garis kontur
untuk mengurangi aliran permukaan dan sebagai sumber pakan ternak. Penelitian
yang dilakukan oleh Suhardjo et al. (1997), Abdurachman et al. (1982), dan
Abujamin (1978), membuktikan bahwa untuk lahan dengan lereng di bawah 20%
sistem ini sangat efektif menahan partikel tanah yang tererosi dan menahan
aliran permukaan. Tetapi apabila lahan mempunyai lereng di atas 20% dibutuhkan
tindakan konservasi lainnya seperti alley cropping atau teras bangku.
Rumput yang ditanam sebaiknya dipilih
dari jenis yang berdaun vertical sehingga tidak menghalangi kebutuhan sinar
matahari bagi tanaman pokok, tidak banyak membutuhkan ruangan untuk pertumbuhan
vegetatifnya, mempunyai perakaran kuat dan dalam, cepat tumbuh, tidak menjadi
pesaing terhadap kebutuhan hara tanaman pokok dan mampu memperbaiki sifat
tanah.
Faktor tumbuh tanaman rumput, jarak
tanam dalam satu strip,dan jarak antar-strip sangat menentukan efektifitas
pengendalian erosi. Penelitian terhadap efektifitas berbagai macam strip rumput
yang dilakukan Suhardjo et al. (1997), menunjukkan bahwa tingkat erosi pada
tahun pertama masih tinggi karena rumput belum tumbuh optimal. Pertumbuhan
rumput yang lebih baik pada tahun kedua mampu menekan jumlah tanah tererosi
antara 30-60% pada kemiringan di bawah
20%. Sedimen yang tertahan lama kelamaan akan mendekati bentuk datar sehingga
menciptakan bidang terasalami. Abujamin et al. (1983) melaporkan bahwa setelah
4 tahun(1976/1977 sampai dengan 1979/1980) strip rumput bahia menghasilkan
teras alami hasil endapan partikel tanah terangkut dengan ketinggian sekitar
25-30 cm, sedangkan pada strip rumput bede sekitar 50-60 cm.
Strip rumput sangat bagus jika dikombinasikan
dengan usaha peternakan. Penelitian yang dilakukan oleh Watung et al. (2003)
dan Subagyono et al. (2004) di sub-DAS Babon, Ungaran, Jawa Tengah, menunjukkan
bahwa integrasi penanaman rumput baik secara strip maupun ditanam pada sebagian
bidang olah dengan penggemukan sapi terbukti memberikan alternatif yang dapat
ditempuh untuk mewujudkan implementasi teknologi konservasi secara
berkelanjutan. Hasil pangkasan strip dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak
sedangkan kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Di wilayah
sentra produksi peternakan, teknik ini mudah diadopsi oleh peternak. Walaupun
tingkat kebutuhan hijauan pakan ternak lebih besar daripada kontribusi pupuk
kandang ke lahan pertanian, kondisi ini dapat diatasi dengan penanaman rumput
secara khusus (padang rumput). Aspek keterjangkauan lahan dari permukiman
penduduk desa juga perlu dipertimbangkan karena seringkali strip berupa pakan
ternak tersebut dicuri.
Dalam upaya lebih meningkatkan
efektifitasnya dalam menahan erosi, strip rumput dapat dikombinasikan dengan
mulsa. Selain bertujuan untuk menahan erosi, sistem ini juga efektif dalam
mempertahankan kelengasan tanah. Strip rumput dapat dikombinasikan dengan
teknik konservasi secara mekanis seperti penerapan teras. Penanaman strip
rumput dibibir teras sampai tampingan teras menghasilkan pengurangan tingkat
erosi 30-50% dibandingkan bila strip rumput hanya ditanam di bibir teras saja.
Menurut Suhardjo et al. (1997), pada tanah Inceptisols dengan curah hujan
1.441,8 mm/musim tanam maupun Entisols dengan curah hujan 1.625,5 mm/musim
tanam, strip rumput yang ditanam di bibir teras saja ternyata masih
menghasilkan erosi yang tinggi yaitu 20t/ha/musim tanam.
D. Mulsa
Dalam konteks umum, mulsa adalah
bahan-bahan (sisa tanaman, serasah, sampah, plastik atau bahan-bahan lain) yang
disebar atau menutup permukaan tanah untuk melindungi tanah dari kehilangan air
melalui evaporasi. Mulsa juga dapat dimanfaatkan untuk melindungi permukan
tanah dari pukulan langsung butiran hujan sehingga mengurangi terjadinya erosi
percik(splash erosion), selain mengurangi laju dan volume limpasan permukaan
(Suwardjo, 1981). Bahan mulsa yang sudah melapuk akan menambah kandungan bahan
organik tanah dan hara. Mulsa mampu menjaga stabilitas suhu tanah pada kondisi
yang baik untuk aktivitas mikroorganisma. Relatif rendahnya evaporasi,
berimplikasi padastabilitas kelengasan tanah. Secara umum mulsa berperan
dalamperbaikan sifat fisik tanah. Pemanfaatan mulsa di lahan pertanian juga
dimaksudkan untuk menekan pertumbuhan gulma.
Dalam bahasan ini, mulsa sisa tanaman
atau bahan-bahan lain dari tanaman yang berfungsi untuk konservasi tanah dan
air diuraikan. Peran mulsa dalam menekan laju erosi sangat ditentukan oleh
bahan mulsa, persentase penutupan tanah, tebal lapisan mulsa, dan daya tahan
mulsa terhadap dekomposisi (Abdurachman dan Sutono, 2002). Menurut Suwardjo et
al. (1989), dalam jangka panjang olah tanah minimum dan pemberian mulsa dapat
menurunkan erosi hingga dibawah ambang batas yang dapat diabaikan (tolerable
soil loss).
Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi terjadi makin besar.
Sebaliknya pada tanah yang diolah dan tanpa diberi mulsa, erosi terjadi makin besar.
Hasil penelitian telah membuktikan
bahwa pemberian mulsa mampu meningkatkan laju infiltrasi.Lal (1978) melaporkan
bahwa pemberian mulsa sisa tanaman sebanyak 4-6 t/ha mampu mempertahankan laju
infiltrasi, serta menurunkan kecepatan aliran permukaan dan erosi pada tingkat
yang masih dapat diabaikan. Menurut Kurnia et al. (1997), mulsa jerami ditambah
dengan mulsa dari sisa tanaman sangat efektif dalam mengurangi erosi
sertamengurangi konsentrasi sedimen dan hara yang hilang akibat erosi. Erfandi
et al. (1994) melaporkan, bahwa hasil pangkasan rumput vetiver yang dijadikan
mulsa pada tahun ketiga penelitian sebanyak 5-6 t/ha mampu meningkatkan kadar C
dan N tanah masing-masing sebesar 37-70%. Dari penelitian tentang mulsa dan
pupuk hijau Sonosiso (Dalbergia siso) yang dilakukan oleh Haryati et al.(1990)
di Desa Gondanglegi, Kabupaten Boyolali dapat disimpulkan bahwa cara pemberian
pupuk hijau dengan cara dimulsakan lebih efisien/menguntungkan dibandingkan
dengan cara pembenaman kedalam tanah.
Mulsa yang diberikan sebaiknya berupa
sisa tanaman yang tidak mudah terdekomposisi misalnya jerami padi dan jagung
dengan takaran yang disarankan adalah 6 t/ha atau lebih.Bahan mulsa sebaiknya
dari bahan yang mudah diperoleh seperti sisa tanaman pada areal lahan
masing-masing petani sehingga dapat menghemat biaya, mempermudah pembuangan
limbah panen sekaligus mempertinggi produktivitas lahan.
E.
Sistem Penanaman Menurut Strip
Penanaman menurut strip (strip cropping) adalah system
pertanaman, dimana dalam satu bidang lahan ditanami tanaman dengan jarak tanam
tertentu dan berselang-seling dengan jenis tanaman lainnya searah kontur.
Misalnya penanaman jagung dalamsatu strip searah kontur dengan lebar strip 3-5
m atau 5-10 mtergantung kemiringan lahan, di lereng bawahnya ditanam kacang
tanah dengan sistem sama dengan penanaman jagung, strip rumput atau tanaman
penutup tanah yang lain.
Semakin curam lereng, maka strip yang
dibuat akan semakin sempit sehingga jenis tanaman yang berselang-seling tampak
lebih rapat. Sistem ini sangat efektif dalam mengurangi erosi hingga 70-75% (FAO,
1976) dan vegetasi yang ditanam (dari jenis legum) akan mampu memperbaiki sifat
tanah walaupun terjadi pengurangan luas areal tanaman utama sekitar 30-50%.
Sistem ini biasa diterapkan di daerah
dengan topografi berbukit sampai bergunung dan biasanya dikombinasikan dengan
teknik konservasi lain seperti tanaman pagar, saluran pembuangan air, dan lain-lain.
Penanaman menurut strip merupakan usaha pengaturan tanaman sehingga tidak
memerlukan modal yang besar.
F.
Barisan Sisa Tanaman
Pada dasarnya, sistem barisan sisa
tanaman (trash line) ini sama dengan sistem strip. Sistem ini adalah teknik
konservasi tanah yangbersifat sementara dimana gulma/rumput/sisa tanaman yang
disiangi ditumpuk berbaris.Untuk daerah berlereng biasanya ditumpuk mengikuti
garis kontur. Penumpukan ini selain dapat
megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan juga bias berfungsi sebagai mulsa.
megurangi erosi dan menahan laju aliran permukaan juga bias berfungsi sebagai mulsa.
Ketersediaan bahan sisa tanaman harus
cukup banyak sehingga penumpukannya membentuk struktur yang lebih kuat. Sisa
tanaman tersebut lemah dalam menahan gaya erosi air dan akan cepat
terdekomposisi sehingga mudah hanyut. Penggunaan kayu-kayu pancang diperlukan
untuk memperkuat barisan sisa tanaman ini. Sistem ini cukup bagus untuk
mempertahankan ketersediaan hara melalui dekomposisi bahan organik dan
melindungi tanah dari bahayaerosi sampai umur tanaman <5 bulan.
G. Tanaman
Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah (cover crop) adalah tanaman yang biasa
ditanam pada lahan kering dan dapat menutup seluruh permukaan tanah. Tanaman
yang dipilih sebagai tanaman penutup tanah umumnya tanaman semusim/tahunan
darijenis legum yang mampu tumbuh dengan cepat, tahan kekeringan, dapat
memperbaiki sifat tanah (fisik, kimia, dan biologi) dan menghasilkan umbi,
buah, dan daun. Sebagaimana dilaporkan Lal (1978), tanaman penutup tanah mampu
meningkatkan laju infiltrasi.
Tanaman penutup tanah dibedakan menjadi
empat (Agus et al.,1999), yaitu: (1) tanaman penutup tanah rendah seperti
centrosema (Centrosema pubescens), pueraria (Pueraria javanica) dan benguk
(Mucuna sp.); (2) tanaman penutup tanah sedang seperti lamtoro (Leucaena
leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium); (3) tanaman penutup tanah tinggi
seperti sengon (Periserianthes falcataria); dan (4) belukar lokal.
Tanaman penutup tanah rendah, dapat
ditanam bersama tanaman pokok maupun menjelang tanaman pokok ditanam. Tanaman
penutup tanah sedang dan tinggi pada dasarnya seperti tanaman sela dimana
tanaman pokok ditanam di sela-sela tanaman penutup tanah. Dapat juga tanaman
pokok ditanam setelah tanaman penutup tanah dipanen.
Tanaman penutup tanah dimaksudkan untuk
menambah penghasilan petani dari hasil panennya, selain itu juga untuk
memperbaiki sifat tanah karena mampu menambat N dari udara dan sisa tanamannya
dapat dijadikan sumber bahan organik. Sebagai contoh tanaman penutup tanah dari
jenis legum seperti Mucuna sp. sangat besar kontribusinya dalam memperbaiki
produktivitas tanah. Selain mampu mengurangi pengaruh keracunan Al pada
tanaman, Mucuna sp. juga merupakan sumber unsur hara bagi tanaman. Kandungan
hara Mucuna sp. sebagai berikut: N=2,32%; P=0,20%; danK=1,97% (Adiningsih dan
Mulyadi, 1992). Ini berarti bahwa setiap pengembalian 1 t biomassa kering
Mucuna sp. sebagai mulsa, maka akan diperoleh sekitar 23 kg N; 2 kg P dan 20 kg
K yang setara dengan 52 kg urea; 10 kg TSP, dan 39 kg KCl. Hasil ini jelas akan
memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi petani dalam memenuhi kebutuhan
lahannya terhadap pupuk.
H. Penyiangan
Parsial
Penyiangan parsial merupakan teknik
dimana lahan tidak disiangi seluruhnya yaitu dengan cara menyisakan sebagian
rumput alami maupun tanaman penutup tanah (lebar sekitar 20-30 cm) sehingga di
sekitar batang tanaman pokok akan bersih dari gulma. Tanaman penutup tanah yang
tidak disiangi akan berfungsi sebagaipenahan erosi. Pada dasarnya teknik ini
menyerupai strip rumput dimana vegetasi gulma mampu menahan aliran permukaan
dan mengendapkan material terangkut. Hasil tanaman yang disiangi dikembalikan
ke lahan atau ditumpuk sebagai barisan sisa tanaman sehingga dapat menambah
bahan organik bagi tanah dan memperbaiki sifat tanah. Teknik penyiangan yang
termasuk dalam penyiangan parsial adalah:
1. Strip tumbuhan alami (natural vegetative strips = NVS)
Pada dasarnya teknik ini adalah menyisakan sebagian lahan
yang tidak disiangi dan tidak ditanami sehingga rumput alami tumbuh membentuk
strip yang kurang lebih sejajar dengan garis kontur. Teknikini banyak
diterapkan untuk tanaman semusim dan sudahberkembang di Mindanao Utara,
Filipina (Agus et al., 2002).Meskipun teknik ini efektif mengurangi erosi,
tetapi teknik ini juga mengurangi areal produktif lahan pertanian sekitar 5-15%.
2. Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok
Teknik ini dapat diterapkan pada penyiangan dimana tanah
tertutupi oleh gulma rumput maupun tanaman penutup tanah lain yang sengaja
ditanam. Penyiangan dilakukan di sekeliling batang tanaman pokok dengan diameter
sekitar 120 cm. Dengan memanfatkan teknik penyiangan ini pada areal tanaman
kopi umur satu tahun dengan kemiringan lereng 60% dan curah hujan sebesar 1.338
mm (selama 6 bulan) tingkat aliran permukaan hanya sebesar 1,8% dari curah
hujan dan erosi sebesar 1,9 t/ha. Sedangkan pada tanaman kopi umur 3 tahun
dengan lereng 62-63% dan umur 16 tahun dengan kelerengan 46-49%, curah hujan
yang sama menghasilkan aliran permukaan berturut-turut sebesar 3,4% dan 6,3%
dari jumlah curah hujan dan erosi yang dihasilkan berturut-turut sebesar 1,6
dan 1,3 t/ha (Gintings, 1982). Penyiangan sekeliling batang tanaman pokok ini
juga dimaksudkan, untuk mencegah hama dan penyakit menyerang tanaman pokok
dengan tetap memelihara keberadaan tanaman penutup tanah.
I.
Penerapan Pola Tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan
waktu tanam dan jenis tanaman sesuai dengan iklim, kesesuaian tanah dengan
jenistanaman, luas lahan, ketersediaan tenaga, modal, dan pemasaran. Pola tanam
berfungsi meningkatkan intensitas penutupan tanah dan mengurangi terjadinya
erosi. Biasanya petani sudah mempunyai pengetahuan tentang pola tanam yang
cocok dengan keadaan biofisik dan sosial ekonomi keluarganya berdasarkan
pengalaman dan kebiasaan pendahulunya. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam suatu
usaha tani, erosi masih terjadi. Pemilihan pola tanam yang tepat dapat
meningkatkan keuntungan bagi petani dan meningkatkan penutupan tanah sehingga
erosi dapat dikurangi. Misalnya penanaman padi gogo yang disisipi jagung pada
awal musim hujan, setelah panen disusul penanaman kedelai dan pada saat bera
ditanami benguk (Mucuna sp). Jenis tanaman dapat lebih bervariasi tergantung
keinginan petani dan daya dukung lahannya. Pertanaman majemuk yang merupakan
salah satu bagian dalam pola tanam pada dasarnya merupakan sistem dimana satu
bidang olah ditanami lebih dari satu jenis tanaman pangan. Misalnya dalam satu
bidang olah ditanami sekaligus tanaman jagung, padigogo, mukuna (benguk), dan
kedelai. Sistem ini bertujuan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan,
dan dapat mengurangi risiko gagal panen untuk salah satu tanaman, meningkatkan
nilaitambah bagi petani dan juga termasuk tindakan pengendalian hama dan
pengendalian erosi. Pada tahun 1974, hasil penelitian IRRI membuktikan bahwa
populasi hama penggerek jagung (Ostrinianubilalis)
pada penanaman tumpang sari antara jagung dan kacang tanah berada dalam jumlah
yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah populasi hama tersebut pada saat
jagung ditanam secara monokultur.
Dengan penerapan pertanaman majemuk,
penutupan tanah akan lebih rapat sehingga mampu melindungi tanah dari pukulan
air hujan secara langsung dan menahan aliran permukaan. Sistem pertanaman yang
termasuk sistem pertanaman majemuk adalah sistem pergiliran tanaman (crop rotation), tumpang sari (intercropping), dan tumpang gilir (relay cropping).
1. Pergiliran tanaman
Pergiliran tanaman (crop rotation)
adalah sistem bercocok tanam dimana sebidang lahan ditanami dengan beberapa
jenis tanaman secara bergantian. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk
memutuskan siklus hama dan penyakit tanaman dan untuk meragamkan hasil tanaman.
Pergantian tanaman ada yang dilakukan secara intensif dimana setelah panen
tanaman pertama kemudian langsung ditanami tanaman kedua dan ada pula yang
dibatasi periode bera. Daerah yang memiliki musim kering (MK) <4 bulan
sangat baik untuk menerapkan system ini.
Penggunaan sistem pergiliran tanaman
intensif secara berurutan, antara tanaman pertama yang disusul tanaman kedua
dan seterusnya mampu menekan erosi secara nyata dibandingkan lahan yang hanya
diolah tanpa ditanami. Pengaruh nyata tersebut dihasilkan dari fungsi tanaman
sebagai pengikat tanah (nilai C koefisien tanaman = 0,371) serta penambahan
bahan organik dari sisa tanaman tersebut sebagai mulsa dan pembenah tanah
sehingga tahan terhadap erosi.
Penggunaan sistem ini disarankan untuk
tetap menggunakan pupuk dan teknik konservasi tanah, sehingga hasil tanaman
dapat maksimal dan lahan yang dipergunakan dapat terjaga produktivitasnya. Dari
segi konservasi tanah, pergiliran tanaman memberikan peluang untuk
mempertahankan penutupan tanah, karena tanaman kedua ditanam setelah tanaman
pertama dipanen. Demikian seterusnya, sehingga sepanjang tahun intensitas
penutupan tanah senantiasa dipertahankan. Kondisi ini akan mengurangi risiko
tanah tererosi akibat terpaan butir-butir air hujan dan aliran permukaan.
2. Tumpang sari
Tumpang sari (intercropping) adalah
sistem bercocok tanam dengan menggunakan dua atau lebih jenis tanaman yang
ditanam serentak/bersamaan pada sebidang tanah. Sistem tumpang sari sebagian
besar dikelola pada pertanian lahan kering yang hanya menggantungkan air hujan
sebagai sumber air utama. Sistem tumpangsari adalah salah satu usaha konservasi
tanah yang efektif dalam memanfaatkan luas lahan.Tanaman yang ditanam dapat
berupa jagung dengan kacang tanah, jagung dengan kedelai, dan sebagainya.
Tanaman tersebut dapat berupa tanaman penambat nitrogen, berperakaran dalam
maupun dangkal yang pada prinsipnya saling menguntungkan.
Kerapatan penutupan tanah akan sangat
menguntungkan untuk pencegahan erosi, mempertahankan kadar lengas tanah karena
evaporasi terhambat, memperbaiki kondisi tanah karena aktivitas perakaran
mempertinggi bahan organik tanah. Hasil ganda yang diperoleh dalam satu luasan
lahan dapat meningkatkan pendapatan petani. Setelah tanaman dalam tumpang sari
tersebut dipanen sebaiknya tanah langsung ditanami dengan tanaman pangan lain
ataupun tanaman penutup tanah yang mampu tumbuh cepat untuk melindungi tanah,
sehingga erosi dapat dikurangi.
3. Tumpang gilir
Tumpang gilir (relay cropping) adalah cara bercocok tanam dimana satu bidang lahan
ditanami dengan dua atau lebih jenis tanaman dengan pengaturan waktu panen dan
tanam. Pada system ini, tanaman kedua ditanam menjelang panen tanaman musim
pertama. Contohnya adalah tumpang gilir antara tanaman jagung yang ditanam pada
awal musim hujan dan kacang tanah yang ditanam beberapa minggu sebelum panen
jagung. Sistem ini diterapkan untuk mempertinggi intensitas penggunaan lahan.
Penanaman tanaman kedua sebelum tanaman
pertama dipanen dimaksudkan untuk mempercepat penanamannya dan masih
mendapatkan air hujan yang cukup untuk pertumbuhan dan produksinya. Tanaman
pertama tidak terlalu terpengaruh akibat kompetisi tanaman kedua karena tanaman
pertama telah melewati fase pertumbuhan vegetatifnya. Begitu pula dengan
tanaman kedua yang mendapatkan air dan hara yang cukup sehingga dapat
memaksimalkan pertumbuhan vegetatifnya.
Dari segi konservasi, penutupan tanah
yang rapat pada tumpang gilir mempunyai pengaruh yang cukup baik dalam menahan
erosi. Penerapan teknik ini perlu diiringi dengan penerapan teknik konservasi
tanah yang lain seperti penambahan bahan organik, penutup tanah dan jika perlu
diterapkan tindakan sipil teknis. Mengingat intensitas tanaman yang tinggi,
pemupukan juga perlu dilaksanakan. Penambahan sisa tanaman yang dijadikan mulsa
akan mengoptimalkan kemampuan tanah dalam menahan erosi selain menyediakan
kebutuhan tanaman akan hara.
Pola tanam yang diintroduksikan harus
mampu meningkatkan efektivitas penggunaan lahan dan penggunaan air melalui
pertimbangan biofisik lahan dan sosial ekonomi suatu wilayah. Perbedaan pola
tanam menghasilkan komoditas serta intensitas pertanaman yang berbeda.Pola
tanam juga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan hara terutama
jika pola tanam yang diintroduksi mencakup tanaman-tanaman dengan kedalaman
perakaran yang berbeda.