Upaya konservasi tanah tidak dapat
diserahkan hanya kepada inisiatif dan kemampuan petani saja, karena berbagai
keterbatasan, terutama permodalan, selain kurang memahami pentingnya
konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dan menentukan.
Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan implementasinya di
lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut meliputi lima hal
sebagai berikut.
Strategi 1: Penyiapan Teknologi
Konservasi
Teknologi konservasi tanah yang tepat
guna, berupa teknologi pengendalian erosi dan longsor, sudah tersedia. Beberapa
di antaranya telah dipublikasikan dalam berbagai media cetak berupa buku,
jurnal, dan prosiding. Yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusunnya
dalam buku teknologi atau menyediakan file elektronis, sehingga dapat diakses
dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna lainnya. Teknologi untuk mengendalikan
pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi oleh limbah pertambangan dan
industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti dan dikembangkan lebih
lanjut.
Strategi 2: Percepatan Diseminasi
Upaya penelitian konservasi tanah
selama ini belum didukung oleh sistem diseminasi yang handal. Teknologi
pengendalian erosi lebih banyak diterapkan pada proyek reboisasi dan
penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Sasaran utaman proyek
tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan
konservasi wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di
DAS hulu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan
kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendukung
pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan kepada pencarian
metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping penelitian teknologinya
sendiri.
Salah satu program Departemen Pertanian
yang dapat dijadikan wadah percepatan diseminasi teknologi konservasi adalah
Prima Tani, yang salah satu tujuannya adalah mempercepat diseminasi inovasi
pertanian (Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani merupakan model pembangunan
pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program pertanian, penanggulangan
kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga bertujuan untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber daya manusia dan lahan.
Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat dekat dengan semangat
konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi
konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani sebagai percontohan.
Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model
pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru
sejarah pembangunan pertanian (Abdurachman 2007).
Teknologi konservasi dapat pula
didiseminasikan melalui peraturan, seperti dengan penetapan Permentan 47 tahun
2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam
Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan teknologi konservasi
tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi.
Secara substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta
sari pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan
konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.
Strategi 3: Reformasi Kelembagaan
Konservasi Tanah
Pada tahun 2005, dalam struktur
organisasi Departemen Pertanian dibentuk kelembagaan eselon I baru, yaitu
Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, dengan Permentan No. 299 tahun
2005. Hal ini memberikan harapan akan lebih tertibnya pengelolaan lahan dan
air, walaupun mandat konservasi tanah masih diletakkan pada tingkat jabatan
yang relatif rendah (eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi, dan
Reklamasi Lahan.
Makin cepatnya laju degradasi lahan
pertanian, yang mengancam keberlanjutan dan tingkat produksi pertanian,
menuntut adanya politik pemerintah yang lebih tegas, antara lain dengan
meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi tanah di
Departemen Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan setingkat
eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen PLA, bahkan lebih baik
lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan demikian akan ada
kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang konservasi tanah, yang meliputi seluruh wilayah
Indonesia.
Strategi 4:
Relokasi Program Konservasi Tanah
Program konservasi tanah selama ini
dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan, dengan nama Reboisasi dan Penghijauan
hingga tahun 2002. Kemudian pada tahun 2003 digalakkan gerakan masyarakat yang
disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (Gerhan). Hingga tahun
2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan anggaran Rp8,586 triliun
atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi (Kartodihardjo 2006).
Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan untuk pembuatan
konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran drainase,
sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti, terutama untuk
konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut, seyogianya program
konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan konservasi di Departemen
Pertanian yang dikoordinasikan dengan program Dinas Pertanian di provinsi dan
kabupaten. Dengan demikian, konservasi lahan pertanian akan mendapat perhatian
lebih besar, dan Departemen Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada
penanganan konservasi kawasan hutan.
Strategi 5: Pelaksanaan Program
Pendukung
Upaya konservasi lahan pertanian perlu
didukung perbaikan perencanaan dan implementasi programnya, antara lain berupa
program sebagai berikut.
a.
Peningkatan
Kesadaran Masyarakat
Hasil penelitian di DAS Citarum dan DAS
Kaligarang menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan baru mengenal 2-4 jenis fungsi
lahan pertanian, yaitu penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air
tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan
pertanian bagi kemanusiaan mencapai 30 jenis.
Sehubungan dengan hal tersebut,
penggalakan konservasi tanah harus meliputi pula advokasi pentingnya pertanian
beserta fungsi gandanya. Dalam jangka pendek, promosi dapat dilakukan melalui
seminar dan simposium serta media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang,
sasaran advokasi bukan saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa
melalui kurikulum pokok dan ekstra-kurikuler.
b.
Penguatan
Kelembagaan Penyuluhan
Kondisi kelembagaan penyuluhan saat ini
kurang kondusif untuk pembangunan pertanian secara umum, lebih-lebih untuk
pengembangan konservasi tanah. Hal ini terjadi terutama setelah diberlakukannya
UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, yang antara lain mengalihkan pengelolaan
urusan penyuluhan pertanian dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten.
Namun dengan diterbitkannya UU No 16/2006 tentang penyuluhan diharapkan fungsi
penyuluhan akan lebih baik, apalagi dengan digabungnya penyuluhan pertanian,
perkebunan, dan peternakan dalam satu wadah. Salah satu hal yang perlu
diupayakan adalah pengadaan tenaga penyuluh konservasi tanah lapangan yang
terlatih dan dibekali pengetahuan dan teknologi konservasi yang memadai.
c.
Penegakan
Hukum
RUU Konservasi Tanah masih dalam proses
ke arah pengesahan menjadi undang-undang. Namun sebenarnya berbagai
peraturan/perundangan yang berkaitan dengan masalah kerusakan lahan pertanian,
terutama konversi lahan ke nonpertanian, sudah banyak diberlakukan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah. Masalah yang
mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum terutama karena penerapan
law-enforcement yang kurang tegas.
d.
Advokasi
Penanggung Jawab
Konservasi Perlu dilakukan advokasi
intensif kepada masyarakat luas untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumber
daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung
jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.